“Damocles dan
Sebatang Pedang di Seutas Rambut Kuda”
Oleh: Candra Kusuma
“Pedang Damocles” dalam Politik
di Indonesia
Belum lama ini, saya sempat membaca kembali
sebuah artikel lama yang ditulis oleh A. Rahman Tolleng di Majalah TEMPO edisi
4 Agustus 2002 lalu. Dalam artikel tersebut Pak Tolleng mengangkat isu mengenai
ancaman dari dihidupkannya kembali mekanisme recall terhadap anggota legislatif oleh partai politik. Pada saat
itu, partai-partai politik memang tengah memperdebatkan perlu tidaknya ada
mekanisme pergantian antar waktu (PAW) atau recall oleh partai politik, yang tujuannya adalah untuk
“mendisiplinkan” anggota mereka yang duduk di parlemen, khususnya untuk mereka
yang dianggap mbalelo terhadap garis politik dan keputusan
partai. Menurut Pak Tolleng, mekanisme recall tersebut membuat Indonesia akan kembali ke masa Orde Baru,
di mana lembaga recall memang menjadi senjata yang ampuh untuk
membungkam anggota legislatif. Recall ibarat Pedang Damocles
yang siap menebas para anggota legislatif dari kursi empuknya. Secara resmi, recall tersebut menjadi domain partai politik, namun kuatnya posisi
politik presiden, membuat praktik recalling tersebut dapat
dilakukan atas pesanan Suharto sendiri.
Pak Tolleng mencatat, bahwa meskipun dari segi kuantitas sesungguhnya tidak banyak anggota DPR yang terkena sanksi recall, namun mekanisme tersebut mampu membuat anggota DPR dan MPR kala itu menjadi bisu dan hanya mengamini apa yang diusulkan dan diagendakan oleh pihak eksekutif. Menurutnya, “Alih-alih ditebas oleh pedang Damocles, para legislator lebih suka memilih membeo untuk bersama-sama menyanyikan kor Orde Baru.” Diujung artikelnya Pak Tolleng mengutip pandangan Muhammad Hatta dan ahli hukum Harun Alrasyid yang menyatakan bahwa recall tidak dikenal dalam kamus politik demokrasi, dan hanya dikenal dalam sistem fasisme dan komunisme.
Sulit untuk membantah kekhawatiran Pak Tolleng tersebut. Meskipun menurut saya mekanisme recall di lembaga legislatif masih tetap diperlukan untuk saat ini. Ketika para anggota legislatif tersebut tidak dapat berfungsi sesuai dengan tugasnya sebagai wakil rakyat, seperti: tingkat absensi tinggi; jarang atau bahkan tidak pernah menyampaikan pendapat dalam rapat; jarang atau tidak pernah mengurus konstituen di daerah pemilihannya; korupsi; dll., tentu wakil rakyat tersebut perlu diganti. Jadi indikator untuk dapat di-recall adalah terkait dengan kinerjanya sebagai wakil rakyat, dan bukan karena alasan berbeda pendapat atau tidak disukai oleh partai politik pengusungnya. Jadi “Pedang Damocles” dalam wujud lembaga recall “berbasis kinerja” tampaknya masih diperlukan.
Tapi apa dan siapa sesungguhnya Damocles yang kisahnya disitir Pak Tolleng tadi...?
Tapi apa dan siapa sesungguhnya Damocles yang kisahnya disitir Pak Tolleng tadi...?
Cicero dan Kisah
Pedang Damocles
Kisah mengenai Pedang Damocles adalah salah satu cerita
kuno yang sangat menarik, karena mengisahkan mengenai betapa rapuhnya kekuasaan
dan kebahagiaan. Konon kisah ini dipopulerkan oleh Cicero (106-43 BC), seorang
politisi, filsuf dan orator terkenal dari era Romawi kuno. Cicero sendiri kabarnya
membaca kisah ini dari sebuah buku berjudul History of Timaeus of
Tauromeniu. Cicero menuliskan kisah tersebut dalam bukunya yang berjudul Tusculan Disputations.
Hikayat Damocles kemudian menjadi cerita klasik
yang banyak diulas para penulis, diantaranya James Baldwin yang menerjemahkan
kisah tersebut ke bahasa Inggris. Baldwin menjadikan The Sword of Damocles sebagai salah satu kisah dalam buku kumpulan ceritanya yang
berjudul Fifty Famous Stories Retold
(2010:89-91). Saya membaca kisah di buku tersebut minggu lalu, dan mencoba menerjemahkannya secara bebas, sebagai berikut:
Pada suatu masa pernah ada seorang raja bernama
Dionysius. Dia adalah raja yang lalim dan kejam, di mana dia menyebut dirinya
sendiri sebagai seorang tiran. Dionysius tahu bahwa hampir semua orang
membencinya, dan ia selalu dalam ketakutan kalau-kalau ada orang yang akan
mengambil nyawanya.
Dionysius sangatlah kaya, dan ia tinggal di sebuah
istana yang megah yang diisi dengan benda-benda yang indah dan mahal, serta dilengkapi
oleh para hamba yang selalu siap untuk melayani dirinya.
Suatu hari salah seorang temannya yang bernama
Damocles berkata pada Dionysius: "Betapa
senangnya anda ya Raja! Disini anda memiliki segala sesuatu yang diinginkan
siapa pun." "Mungkin kau ingin
bertukar tempat denganku," kata sang tiran. "Tidak, bukan itu, ya raja" kata
Damocles, "Tapi saya pikir, bahwa
jika saya dapat memiliki kekayaan dan kesenangan yang anda miliki untuk satu
hari saja, tidak ada lagi kebahagiaan
yang lebih besar yang dapat kumiliki." "Baiklah, " kata sang tiran, "Kau boleh mencobanya."
Jadi, pada keesokan harinya, Damocles dibawa masuk ke
istana , dan semua hamba yang diperintahkan untuk memperlakukannya sebagai raja
mereka. Damocles duduk di meja di ruang perjamuan , dan beragam makanan yang
sangat lezat disajikan di hadapannya. Tidak ada yang ketinggalan. Ada anggur
mahal, bunga-bunga indah, parfum langka, dan musik yang menyenangkan . Dia
beristirahat diantara tumpukan bantal yang lembut, dan merasa bahwa dia adalah
orang yang paling bahagia di seluruh dunia.
Lalu secara kebetulan Damocles mengangkat pandangannya
ke langit-langit. “Apa itu yang
menggantung di atasnya, dengan ujung benda itu hampir menyentuh kepalanya?”,
pikirnya. Ternyata itu adalah pedang yang yang sangat tajam, dan hanya digantung
dengan sehelai rambut kuda saja. “Bagaimana
jika rambut kuda itu putus? Ada bahaya setiap saat jika itu memang terjadi,”
pikir Damocles cemas.
Senyum memudar dari bibir Damocles. Wajahnya menjadi
pucat abu-abu. Tangannya gemetar. Dia tidak ingin makan makanan lezat lagi; ia tidak
bisa minum anggur lagi; ia tidak dapat menikmati music yang merdu itu lagi. Dia
ingin segera keluar dari istana, dan pergi sejauh mungkin, tak peduli kemana.
“Apa yang terjadi?" tanya Dionysius sang
tiran. "Pedang itu! Pedang itu!"
teriak Damocles. Dia begitu ketakutan hingga sama sekali tidak berani
bergerak. "Ya," kata Dionysius, "Aku
tahu ada pedang di atas kepalamu, dan
memang benar bahwa pedang itu mungkin dapat jatuh setiap saat. Tapi kenapa itu jadi masalah buatmu? Aku
memiliki pedang di atas kepalaku sepanjang waktu. Aku ketakutan setiap saat
kalau-kalau sesuatu dapat menyebabkanku kehilangan nyawaku sendiri."
"Biarkan saya
pergi," kata Damocles. "Sekarang
saya melihat bahwa saya keliru, dan bahwa orang kaya dan berkuasa tidak begitu
bahagia sebagaimana yang tampak. Biarkan aku kembali ke rumah lama saya di
pondok kecil miskin di antara gunung-gunung."
Dan selama ia hidup, Damocles tidak pernah lagi ingin
menjadi orang kaya, atau sekedar untuk bertukar tempat, bahkan meski hanya
untuk sesaat saja, dengan sang raja.
Menurut saya kisah Pedang Damocles dapat dimaknai
dalam banyak tafsir, dan menjadi kiasan yang sangat fleksibel untuk digunakan
sebagai ilustrasi bagi banyak hal. Baik Dionysius maupun Damocles sendiri tampaknya
juga memiliki pemaknaan yang berbeda mengenai “sebatang pedang yang digantung pada
seutas rambut kuda di atas kepala penguasa.”
Bagi Dionysius, pedang yang digantungnya tersebut adalah
menjadi pengingat baginya, bahwa banyak orang lain yang juga menginginkan
kedudukannya. Pembunuhan dan kematian menjadi ancaman konstan bagi kelangsungan
nyawa dan seluruh kenikmatan hidup yang dapat dinikmati dari kedudukannya
sebagai raja. Sangat mungkin, hal inilah yang membuatnya menjadi penguasa yang
lalim dan kejam, serta selalu bersiaga dan ringan tangan menumpas semua benih
ketidakpatuhan dan pemberontakan dengan pedangnya yang lain.
Sementara bagi Damocles sendiri, pedang yang
digantung Dionysius tersebut justru membuatnya menjadi takut setengah mati, dan
sekaligus membuatnya sadar bahwa para penguasa memang dapat menikmati berbagai
kenikmatan dunia, namun itu semua hanyalah bersifat sementara. Semua kenikmatan
tersebut, dan bahkan nyawa mereka sendiri dapat lenyap karena mereka senantiasa
hidup di bawah ancaman “ujung pedang.”
Dalam konteks masa kini, jika saja semua Presiden, politisi
dan pejabat publik lainnya mau membangun imajinasi akan adanya Pedang Damocles
yang tergantung di atas kepala mereka serta menafsirkannya seperti Damocles (dan
bukan seperti tafsirnya Dionysius yang membuatnya menjadi tiran), mungkin saja mereka akan mampu bekerja lebih baik, lebih melayani
rakyat, menjauhkan diri dari korupsi, dsb.
----------------------------------
Sumber:
- A. Rahman Tolleng.
“Pedang Damocles Bagi Legislator.” Majalah TEMPO. 4 Agustus 2002.
- James Baldwin. “The
Sword of Damocles,” on Fifty Famous
Stories Retold. Yesterday's Classics. 2010,
p.89-91.
- “The
Sword of Damocles,” http://www.livius.org/sh-si/sicily/sicily_t11.html,
diakses 24 Mei 2014.