Penulis : Benedict Anderson
Judul asli : “Nationalism Today and in the Future”
yang dimuat dalam New Left Review
I/235 May- June 1999.
Penerjemah : Bramantya Basuki -
Penerbitan Anjing Galak.
Dalam
pengalaman saya, nasionalisme seringkali disalah mengertikan. Untuk itu, saya
akan memulai tulisan saya dengan membahas dua jenis kesalahpahaman yang sering
terjadi, menggunakan Indonesia sebagai contoh dari fenomena yang terjadi hampir
sama di seluruh dunia dalam sebuah abad yang hampir berakhir saat ini.[1] Yang pertama, nasionalisme merupakan
sesuatu yang sudah sangat tua dan diwariskan tentu saja oleh “kejayaan nenek
moyang yang begitu agung“ (“absolutely splendid ancestors“).
Bagaimanapun nasionalisme merupakan sesuatu yang tumbuh secara alamiah dalam
darah dan daging tiap-tiap dari kita. Namun faktanya, nasionalisme merupakan
sesuatu yang masih anyar, dan sampai saat ini “baru“ berusia dua abad.
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, yang diproklamirkan di Philadelphia pada
1776, tidak menyebut sedikitpun tentang “nenek moyang“, termasuk tidak juga
menyebut tentang orang Amerika. Deklarasi Kemerdekaan oleh Soekarno dan Hatta pada
17 Agustus 1945, juga tampak mirip. Namun kebalikannya, mereka yang mengusung
“kejayaan nenek moyang yang begitu agung“ biasanya hanya memunculkan omong
kosong belaka, dan seringnya sebentuk omong kosong yang sangat berbahaya.
Contoh
dari sejarah setempat yang paling bagus adalah Pangeran Diponegoro (1787-1855),
yang pada tahun 1950 diangkat sebagai Pahlawan Nasional, selayaknya Diponegoro
telah memimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia keluar dari jerat kolonialisme
Belanda. Namun, jika kita perhatikan lagi apa yang Diponegoro tulis dalam
memoarnya, kata yang ia gunakan untuk menggambarkan tujuan politiknya adalah ia
berniat untuk “menaklukkan“ (Subjugate) –ya, “menaklukan“- Jawa. Konsep
mengenai “Indonesia“ masih sangatlah asing bagi dirinya –begitu juga dengan
gagasan mengenai “kebebasan“. Memang, sejauh yang kita ketahui neologisme asing
dari Yunani-Romawi ini masih sangatlah anyar: baru mulai jadi terkenal semenjak
80 tahun yang lalu.Organisasi pertama yang menggunakan kata ini adalah Partai
Komunis Indonesia –pada tahun 1920 (ketika ibu saya masih seorang gadis berumur
15 tahun).
Kesalahpahaman
kedua adalah tentang “bangsa“ (nation) dan “negara“ (state), jika
dianggap tidak mirip, paling tidak hubungan mereka layaknya suami dan istri
yang berbahagia. Namun dalam kenyataan sejarah yang terjadi justru berlawanan.
Mungkin 85% dari gerakan nasionalis memulai perjuangannya sebagai sebuah
gerakan anti-negara (anti-state) melawan struktur negara-dinasti yang
kolonialistik dan absolutistik. Negara dan bangsa baru “menikah“ akhir-akhir
ini, dan pernikahan tersebut
seringnya jauh dari bahagia. Pemahaman yang umumnya muncul muncul adalah bahwa
negara –atau apa yang oleh saya dan beberapa kawan sering kami sebut sebagai Buto[2]
(Ogre)- jauh lebih tua daripada bangsa itu sendiri.
Dari Batavia menjadi Indonesia
Indonesia
sekali lagi, menyajikan sebuah contoh yang bagus. Genealogi perihal negara di
Indonesia dimulai di Batavia pada awal abad ke-17. Runutan perkembangannya
terlihat sangatlah jelas, meskipun perluasan wilayahnya semakin lama semakin
lebar. Luas wilayah di Indonesia saat ini –dengan pengecualian Timor-Timur-
merupakan wilayah jajahan Belanda di Hindia Timur saat mereka merampungkan
penaklukan terakhir mereka di Aceh, Bali Selatan dan Irian (Papua sekarang
–Penj) di awal abad ini. Selanjutnya, kita harus selalu ingat bahwa di akhir
masa kejayaan Belanda di Indonesia, sekitar tahun 1930-an, 90 persen –saya
ulangi, 90 persen- dari pegawai pemerintahannya merupakan “pribumi“. Tentu saja
ada beberapa pergantian -tekanan dan penambahan- selama masa revolusi, namun,
sebagian besar personil dari negara republik muda ini merupakan kelanjutan dari
negara kolonial yang ada sebelumnya. Parlemen pertama sesudah tahun 1950 juga
penuh dengan para mantan kolaborator kolonialisme, dan tentara republik yang baru
ini juga terdiri dari banyak prajurit dan pegawai negara yang melawan
keberadaan Republik selama masa Revolusi.[3]
Sejauh
pemahaman mengenai wilayah nasional yang ada, terdapat sebuah ironi yang
pertama kali disebutkan salah satunya oleh Jenderal Sayidiman. Karena rezim
Suharto membuat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjadi sesuatu yang sakral
–walaupun pada kenyataannya, Undang-Undang itu dibuat dengan ketergesaan yang
sangat tinggi di bulan Agustus 1945 dalam situasi yang darurat dan penuh
kebingungan- penentuan batas wilayah Indonesia tidak dapat dirubah (dengan
ketakutan akan mengurangi kesakralannya). Ini berarti bahwa pencaplokan
Timor-Timur, yang berada di luar batas yang ditentukan tadi, sedari awal
sangatlah tidak konstitusional. Untungnya, Sayidiman merupakan seorang
Jenderal, jadi tak terlalu berbahaya baginya untuk mengucapkan itu.
Singkatnya:
apa yang baru saja saya tuturkan merupakan sebuah peringatan. Waspadalah kepada siapapun yang
membuat negara menjadi sesuatu yang sakral dan senantiasa dipuja, dan
waspadalah kepada siapa saja yang selalu membanggakan “kejayaan nenek moyang
yang begitu agung“. Milikmu akan segera dicurinya.
Lalu
apa sebenarnya nasionalisme itu? Jika kita mempelajari tentang sejarah dunia,
maka dapat dikatakan bahwa nasionalisme bukanlah sesuatu yang diwariskan dari
masa lampau, namun lebih kepada sebuah “proyek bersama“ (common project)
untuk kini dan di masa depan. Dan proyek ini lebih membutuhkan pengorbanan
pribadi, bukannya malah mengorbankan orang lain. Inilah mengapa tidak pernah
terjadi pada para pejuang kemerdekaan bahwa seolah-olah mereka memiliki hak
untuk membunuh sesama bangsa Indonesia; sebaliknya mereka merasa harus memiliki
keberanian jika nanti mereka akan dipenjara, dianiaya, dan diasingkan demi
kebebasan dan kebahagiaan di masa depan para sesamanya.
Perihal
Pemuda dan Pertaruhan Mereka
Nasionalisme
muncul di dalam suatu wilayah tertentu ketika para penduduknya mulai merasa
mereka memiliki sebuah tujuan bersama, juga masa depan bersama. Atau seperti
yang sudah saya tulis sebelumnya, mereka diikat oleh rasa persaudaraan yang
dalam. Biasanya, perasaan itu muncul secara cepat dan begitu saja pada sebuah
generasi, sebagai suatu penanda bagi kebaruanya. Kita dapat melihat betapa
nasionalisme dapat begitu lekat dengan harapan untuk masa depan, jika kita
perhatikan nama-nama dari organisasi awal yang bergabung dengan gerakan
kemerdekaan pada awal abad-20: Jong Java, Indonesia Muda, Jong
Islamietenbond (Liga Muslim Muda), Jong Minahasa, dan sebagainya.
Tak ada satupun organisasi yang menamai diri mereka Jawa Tua, Bali Abadi, atau
sejenisnya. Orientasi mereka adalah menuju masa depan dan basis sosialnya
adalah para pemuda (Bahkan hingga saat ini, kekuatan politik istimewa yang
dimiliki mahasiswa terletak pada posisi sosial mereka sebagai simbol masa depan
bangsa). Lebih jauh lagi, para pemuda pada masa itu menggunakan identitas
kedaerahan mereka bukan atas nama nasionalisme lokal yang separatis, namun
sebagai penanda akan komitmen kedaerahan mereka terhadap kebersamaan sesama
koloni dan proyek bersama untuk pembebasan. Mereka tak terlalu lagi mempedulikan
bahwa dulu raja Aceh pernah “menjajah“ wilayah pesisir Minangkabau, bahwa raja
orang Bugis pernah memperbudak orang-orang di perbukitan Toraja, bahwa
bangsawan-bangsawan Jawa pernah mencoba untuk menaklukan dataran tinggi Sunda,
atau maharaja Bali yang pernah dengan sukses menundukan Pulau Sasak.
Jika
kita dapat kembali ke tahun 1945-1949 dan bercengkrama dengan para pejuang
kemerdekaan pada masa itu, bisa dipastikan bahwa mereka akan sulit mempercayai
bahwa lima puluh tahun kemudian fungsi dari angkatan bersenjata Republik ini
tidak lagi untuk melindungi negara dari musuh eksternal, namun justru malah
menindas rakyat sendiri, yang dengan ini berarti juga mengadopsi tradisi
militer pada masa kolonial. Namun inilah yang selalu sering terjadi. Mungkin
orang-orang pada masa lalu itu tak begitu waspada pada konsekuensi yang mungkin
terjadi pada perkawinan antara negara dan bangsa.
Jika
nasionalisme merupakan sebuah proyek bersama untuk kini dan masa depan, maka ia
tak akan pernah mengenal garis final. Nasionalisme memang harus diperjuangkan
dalam setiap generasi. Di dalam pandangan orang tuanya, dan juga negara,
seorang bayi uang lahir di Madura, katakanlah, sudah menjadi seorang “warga
Indonesia“, namun si bayi belum tentu juga berpikir demikian. Proses untuk si
Bayi menjadikan dirinya seorang warga Indonesia, dengan jiwa seorang Indonesia,
dengan komitmen untuk Indonesia, dan dengan budaya Indonesia, merupakan sebuah
jalan yang panjang, tanpa ada jaminan pasti akan adanya keberhasilan. Dengan
kata lain, kita dapat juga melihat bahwa “kelanjutan“ dari sebuah bangsa pada
dasarnya tidak pernah memiliki sebuah jawaban pasti, dan juga layaknya sebuah
pertaruhan.
Pertaruhannya
apakah gagasan mengenai “masa depan Indonesia“ akan cukup mengakar pada jiwa
semua warga negara, yang jika perlu, tiap calon warga Indonesia yang baru
selalu seiap menyingkirkan ambisi personal dan mendedikasikan kesetiaannya pada
gagasan besar tersebut. Taruhan ini dapat dimenangkan dalam jangka waktu yang
panjang, hanya jika bangsa Indonesia cukup terbuka pikirannya dan berhati besar
untuk menerima keberagaman dan kompleksitas dari masyarakatnya –dimana dalam
kasus Indonesia terdapat 200 juta jiwa. Dunia modern saat ini telah memberikan
kita bukti yang cukup mengenai sebuah bangsa yang terpecah-pecah karena banyak
dari warga negaranya yang berhati kerdil dan berpikiran sempit –belum termasuk
keinginan yang berlebih untuk berkuasa atas sesamanya.
Warisan
Bersama atau Proyek Bersama
Ketika
saya masih kanak-kanak, ibu membelikan sebuah buku bekas berjudul History of
English Literature (Sejarah Kesusastraan Inggris). Saya mengingat dengan
jelas bahwa bagian pertama dari buku ini ditujukan bagi cerita Cuchulain and
the Brown Cow yang ditulis pada abad ke-12 di Irlandia Kuno –yaitu, sebelum
bahasa Inggris pun ada. Lalu apa yang membuat ini aneh? Karena edisi buku yang
ibu saya belikan adalah terbitan tahun 1900-an, saat Irlandia masih dijajah
oleh Inggris, yang berusaha dengan susah payah untuk “mengintegrasikan“
penduduk lokal, seperti halnya cara rezim Soeharto mencoba untuk
“mengintegrasikan“ penduduk Timor-Timur. Beberapa tahun kemudian, saya
menemukan sebuah edisi baru dari buku tersebut, diterbitkan sekitan 1930-an,
dan saya kagum mendapati bagian pertama dari buku tersebut telah hilang,
karena, pada waktu itu Republik Irlandia (dimana saya menjadi warga negaranya)
telah mendapatkan kemerdekaannya –kurang lebih 22 tahun sebelum Indonesia. Dari
cerita sederhana ini, kita dapat melihat betapa mudahnya membuat dan membinasakan
“nenek moyang yang agung“ tergantung pada situasi politik. Sejujurnya saat ini
tak ada seorang orang Inggris pun yang merindukan The Brown Cow. Di lain
sisi, kebanyakan orang Irlandia berbicara dengan bahasa Inggris daripada bahasa
Irlandia sendiri, jadi banyak dari mereka hanya dapat membaca cerita The
Brown Cow tadi dalam terjemahan bahasa Inggris. Dan hubungan antara
Irlandia yang merdeka dan Inggris sekarang ini jauh lebih baik daripada seratus
atau lima puluh tahun yang lalu, ketika puluhan ribu petani Irlandia dipaksa
oleh kelaparan akibat penjajahan untuk kabur ke Amerika. Ada sebuah perlajaran
menarik di sini untuk Indonesia dan hubungannya dengan Timor-Timur.
Saya
memberikan kilasan singkat ini karena saya masih melihat banyak sekali warga
Indonesia masih cenderung berpikir Indonesia sebagai sebuah “warisan“ semata,
bukan sebagai sebuah tantangan atau sebuah proyek bersama. Dimana seseorang
memiliki warisan, lalu seseorang itu memiliki pewaris, dan, seringnya, terjadi
perselisihan pahit diantara mereka sebagai siapa yang lebih berhak untuk
mewarisinya. Seseorang yang masih memandang bahwa “perasan“ dari Indonesia
merupakan sebuah “warisan“ yang harus dijaga dengan segala cara dapat berujung
pada perlakuan kekerasan kepada warga yang hidup dalam ruang geografis yang
abstrak tersebut.
Mari
kita ambil dua contoh paling jelas yang sedang banyak diberitakan: Aceh dan
Irian.[4] Sepanjang sejarah pergerakan kemerdekaan saat masa penjajahan, tak
ada satu pun orang Aceh yang saya ketahui pernah mengungkapkan ide mengenai
“Aceh Merdeka“. Selama masa Revolusi, Aceh adalah satu-satunya provinsi dimana
Belanda tidak lagi berani untuk kembali ke sana. Namun, bukannya mengambil
kesempatan itu untuk memerdekakan diri, orang Aceh memberikan, dengan dasar
sukarela –saya hendak menekankan kata “sukarela“ di sini- kontribusi yang
sangat besar kepada perkara revolusi tersebut baik dalam hal tenaga manusia
maupun sumber daya ekonomi dan keuangan. Mereka melakukan hal ini dikarenakan,
di masa-masa itu, Jogjakarta[5] sama sekali tidak
memiliki niatan ataupun tujuan untuk bertindak seperti Diponegoro, yaitu
mencoba menaklukan Aceh.
Memang benar
bahwa, di bahwa pimpinan Daud Beureueh,[6] beberapa orang
Aceh memutuskan untuk memberontak kepada Jakarta pada awal 1950-an, karena
mereka telah dikecewakan oleh beberapa kebijakan yang diterapkan oleh pusat;
namun pemberontakan ini pertama-tama ditujukan
untuk merubah kebijakan ini, bukan untuk memisahkan diri dari Indonesia. Pada
tahun 1970-an, Aceh begitu damai dan makmur di bawah pemerintahan sispil, dan
tak ada seorang pun yang percaya bahwa, pada akhir dekade berikutnya, provinsi
tersebut akan menjadi sebuah Daerah Operasi Militer (DOM) yang penuh kengerian.
Pada saat itu, Hasan di Tiro[7] tidak terlalu diangap penting
oleh siapa saja, dikarenakan dia telah cukup lama meninggalkan Indonesia dan
koneksinya kepada CIA (Central Intelligence Agency) di masa lalu. Bahwa
“Aceh Merdeka“ menjadi begitu populer pada akhir 1980-an dikarenakan semakin
banyaknya orang Aceh yang kehilangan harapan dan kepercayaan bahwa mereka
sedang berbagi dalam sebuah proyek bersama dengan manusia Indonesia lainnya.
Kerakusan yang begitu hebat dari Jakarta, dan kaki tangan serta anak buah
mereka di pemerintahan provinsi, begitu juga penggantian pemimpin sipil putra
daerah dengan mereka yang dari militer, yang kebanyakan berasal dari Jawa,
sepertinya hendak berujar pada para penduduk Aceh: “Kita sama sekali tidak
membutuhkanmu; yang kita butuhkan adalah sumber daya alam milikmu. Alangkah
bagusnya jika Aceh dikosongkan dari orang Aceh sendiri“. Inilah muasal dari
rangkaian kekejian yang media massa seringkali luput untuk diliput.
Akar
dari Separatisme
Cerita
Irian dalam banyak hal sangat bisa dibandingkan. Kemunculan OPM (Organisasi
Papua Merdeka) bukan sebelum Orde Baru –dimana mulai sekarang akan saya sebut
sebagai Orde Keropos- berkuasa, namun sesudahnya. Dan bahasa yang mereka
gunakan masih bahasa Indonesia. Namun berbagai macam ancaman dan manipulasi
yang diarsiteki oleh Ali Murtopo[8] dan antek-anteknya,
memberi sebuah gambaran seolah-olah semua orang Irian merupakan pelayan yang
patuh kepada Orde Keropos tersebut. Bagi orang Irian sendiri, hal ini
jelas-jelas menunjukan bahwa di mata orang-orang di pusat, yang paling penting
itu adalah Iriannya, bukan manusia yang hidup di sana. Dalam segala macam
keberagaman yang dimiliki, mereka justru dicap sebagai populasi primitif yang
diberi sebutan mengacu pada nama provinsi mereka. Sekali lagi, yang hanya akan
dipahami dari tindakan Jakarta ini adalah perkataan: “Sayang ya, ada orang
Irian yang tinggal Irian“. Rakyat di Irian tak pernah secara serius diajak
bergabung pada sebuah proyek bersama, jadi wajar saja kalau mereka mulai merasa
bahwa mereka sedang dijajah. (Sambil lalu, saya mencatat bahwa masih saja ada
warga Indonesia yang berpikir bahwa penjajahan hanya dapat dilakukan oleh orang
Barat kepada orang non-Barat. Ini sangatlah berbahaya dan secara historis
merupakan sebuah ilusi ketidakacuhan.)
Dari
perilaku kolonial Orde Keropos tersebut, munculah karakteristik yang begitu
keji. Institut Bantuan Hukum cabang setempat mencatat, sebagai contoh, dibawah
kepemimpinan biadab Jenderal Abinowo, ada sebuah kasus dimana sebuah desa
disangka menampung geriliyawan OPM lalu setengah penduduk yang tinggal disana
dibakar hidup-hidup bersama dengan rumah mereka oleh pihak militer, sedangkan
setengah penduduk yang lain dipaksa oleh oknum militer yang sama untuk memakan
daging para keluarga dan tetangga mereka yang telah gosong terpanggang.
Kekejian terencana seperti ini sama sekali tak dapat dibayangkan selama masa
revolusi, dan bahkan pada era PRRI dan DI.[9] Mereka jelas-jelas menunjukan bahwa, pada bagian angkatan
bersenjata di bawah Orde Keropos, orang Irian bukan saja tidak termasuk dalam
sesama bangsa Indonesia, namun juga sekedar “barang milik“ dari si Buto.
Kita
dapat menyimpulkan dengan demikian bahwa, Gerakan Aceh Merdeka dan OPM muncul
kepermukaan sebagai reaksi atas sebuah mentalitas, kebijakan dan pelaksanaan
kebijakan dari Orde Keropos, dengan sikap dasar: “Sayang ya, ada orang Aceh
yang tinggal Aceh dan orang Irian yang tinggal di Irian“, dan pandangan terhadap
warga yang terkucilkan ini bukan sebagai manusia Indonesia, namun lebih sebagai
“objek“, “barang milik“, “pembantu“, dan “halangan“ bagi si Buto.
Situasi saat ini sangatlah serius dan hanya perubahan radikal pada pola pikir
para pemimpin politik di Jakarta. Sangatlah penting bahwa Aceh dan Irian diakui
keasliannya dan diberi otonomi penuh sehingga mereka, sekali lagi, dapat
merasakan diri sebagai tuan di rumah sendiri. Proses ini akan memerlukan
hadirnya pemilihan daerah yang bebas dan reguler, serta pemerintah provinsi dan
kabupaten yang dipilih secara langsung –bukan ditunjuk lagi oleh menteri dalam
negeri. Otonomi ini juga akan memerlukan adanya Dewan Perwakilalan Rakyat
Daerah dimana “fraksi militer“ -mereka yang tidak melalui pemilihan umum, namun
ditunjuk, dan kebanyakan berasal dari bagian barat Indonesia- tidak termasuk di
dalamnya. Saya tidak ragu lagi bahwa, jika perubahan ini diwujudkan dalam waktu
dekat dan dengan benar, maka gerakan separatis akan kehilangan gaungnya.
Saya
juga yakin bahwa nanti akan ada rintangan kedepan: sengketa di daerah, korupsi,
dan bahkan kekerasan, sebagai bagian dari sisa-sisa tiga puluh tiga tahun
kekejaman dan korupnya kekuasaan Orde Keropos tadi. Namun kondisi tersebut
hanyalah sementara, dan dalam berbagai hal, kondisi-kondisi tadi masih belum
ada apa-apanya dibandingkan dengan eksploitasi dan kekejian saat era Orde
Keropos. Dengan cara ini, warga Aceh dan Irian sekali lagi akan diundang
kembali secara lebih serius dalam sebuah proyek bersama dan akan memunculkan
perasaan persaudaraan yang mendalam dimana daripadanya mereka tak akan pernah
dikucilkan lagi.
Untuk
sebuah Indonesia yang Federal
Kita
juga harus menjadi lebih realistik dan menyadari bahwa otonomi yang asli, bukan
“otonomi palsu“ yang ditunjukan saat ini dengan status Daerah Istimewa, juga
berarti federalisasi Indonesia. Hal ini sepenuhnya normal. Bahkan hampir semua
negara berwilayah luas di dunia mempunyai institusi federal dalam berbagai macam
jenis: Kanada, Brasil, Amerika Serikat, India, Nigeria, Jerman, Rusia, dan lain
sebagainya. Cina merupakan salah satu pengecualiannya, dan saya agak ragu jika
ada banyak warga Indonesia yang merasa sistem seperti di Cina merupakan salah
satu yang ingin mereka jadikan model. Saya yakin bahwa ada orang-orang di
Jakarta yang akan berteriak, dengan gaya yang sudah dapat ditebak, bahwa
Indonesia yang federal merupakan proyek peninggalan kolonial Belanda –tanpa
menghiraukan fakta bahwa Belanda telah tidak mempunyai peranan penting lagi di
Indonesia selama hampir setengah abad. Yang lain akan mencibir bahwa
federalisme merupakan sebuah rencana yang dikompori oleh pihak “asing“ untuk
memecah-mecah Negara Kesatuan. Orang asing mana yang masih memiliki minat dalam
urusan pemecah-belahan ini di masa sesudah Perang Dingin usai? Saya pikir tak
ada lagi. Kejadian di Yugoslavia telah cukup membuat semua negara-negara di
dunia paham untuk mencegah tragedi yang serupa berulang. Sedangkan orang lain
yang masih saja tertambat pada mentalitas Orde Keropos, akan menentang dengan
mengatakan bahwa federalisme bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Namun Undang-Undang itu pun buatan anak manusia, bukan buatan Tuhan, dan untuk
dapat bertahan di keadaan yang serba berubah, Undang-Undang harus senantiasa
disesuaikan. Jika para Founding Fathers Amerika dapat dibangkitkan
kembali saat ini, mereka akan begitu terkejut mengetahui bahwa naskah yang
telah mereka susun bersama dua abad yang lalu telah begitu berubah, baik dalam
isi maupun semangatnya. Undang-Undang Dasar 1945 sudah begitu usang. Lebih
tepatnya, sudah usang semenjak tahun 1950, dan seharusnya tak akan pernah
digunakan lagi jika pada tahun 1959 tidak muncul aliansi oportunis antara
militer yang haus kekuasaan dan Presiden Soekarno yang mulai bertindak
otoriter. Undang-Undang tersebut sangat memerlukan, jika bukan pembongkaran
total, paling tidak sebuah perbaikan yang menyeluruh.
Menghadapi
Masa Lalu
Jika
“proyek bersama“ dihidupkan kembali dan menjadi semakin nyata, maka yang tak
kalah penting untuk dilakukan adalah mengakhiri berbagai macam praktek
kekerasan dan kekejian yang sudah begitu mengakar. Jika kita membaca memoir para
aktivis yang ditangkap oleh rezim kolonial, jarang kita temukan adanya
penganiayaan dan penyiksaan, kemaluan yang dibiarkan menempel pada alat sengat
listrik, dan semacamnya. Namun, selama tiga puluh dua tahun yang lalu, hal ini
menjadi aktivitas “normal“ dari polisi dan personil militer pada tingkat bawah.
Hari-hari ini, sangatlah “normal“ untuk memukul seseorang yang ditangkap bahkan
sebelum dia diintrogasi; begitu juga saat “mengeksekusi“ tahanan, dengan dalih
mereka “mencoba untuk melarikan diri“.
Beberapa
hal ini juga terjadi antara tahun 1950-an dan 1960-an, namun saat itu belum
bisa disebut “rutin“. Kejadian tersebut telah menjadi rutinitas juga berarti
bahwa hal tersebut telah dipergunakan untuk mempertahankan kekuasaan yang
seharusnya berdasarkan atas hukum, namun pada kenyataannya justru mengingkari
hukum tersebut dengan adanya impunitas (kekebalan hukum –penj) total. Situasi
ini tidak hanya merusak moral dari para penegak hukum, namun juga cenderung
merusak mental para korbannya juga. Banyak dari tahanan yang melihat aparat
yang menahan mereka menjadi para penyiksa yang keji, bahkan juga seorang tukang
jagal, cenderung akan mengikuti contoh tersebut. Inilah sumber utama dari
menjamurnya, dalam lima belas tahun terakhir, kelompok yang sering mengutamakan
kekerasan yang disebut sebagai preman, yang kerapkali malah menjadi “tangan
kiri“ dari si Buto. Kita semua paham mengenai sejauh mana proses
“premanisasi“ dan “gangsterisasi“ telah terjadi dalam wilayah politik di
Indonesia. Partai politik mempunyai premannya sendiri, begitu juga para
pengusaha dan instansi pemerintah. Dan media massa memainkan perannya sendiri,
dengan sedikit banyak “mengagung-agungkan“ para preman kondang seperti Yorries
Raweyai, Sumargono, Anton Medan, Yapto, Hercules dan yang lain-lain.
Namun
sebenarnya proses kekejaman ini telah dimulai jauh sebelum tahun 1980-an.
Selama masa gerakan kemerdekaan, cukup sering terjadi pertikaian yang sengit
antara berbagai kelompok yang ada waktu itu. Namun saya tidak yakin bahwa
kondisi tersebut akan membuat mereka melakukan penganiayaan atau pembunuhan
kepada kelompok lain yang berlawanan dengan mereka. Lawan adalah lawan, bukan
“binatang“. Masih ada unsur saling menghormati dalam konflik diantara mereka.
Sesudah itu, timbul kemerosotan yang perlahan namun pasti. Kekejaman yang
begitu parah dilakukan oleh kedua belah pihak dalam perkara Madiun 1948,[10] dalam
situasi nasional yang kondisinya serba darurat dan ketegangan sosial dan
ekonomi yang begitu tinggi. Orang mulai melihat para lawan politiknya, bukan
sebagai sesama bangsa Indonesia, namun sebagai pion dari kekuatan asing -NICA,[11]
CIA, NKVD (Narodnyy Komissariat Vnutrennikh Del/Komisariat Rakyat untuk
Urusan Dalam Negeri, organisasi polisi rahasia pada masa Uni Soviet –Penj), dan
lain sebagainya. Namun, dua tahun setelah peristiwa Madiun, partai yang kalah,
pihak Komunis, kembali sebagai anggota parlemen, yang dengan kata lain, sebagai
sesama bangsa Indonesia sekali lagi.
Perubahan yang
cukup besar muncul pada tahun 1965-1966. Dan selama peristiwa”65-66” tidak
dihadapi, secara jujur dan terbuka, oleh manusia Indonesia, proses pengeroposan
dan kekejaman akan terus terjadi. Di sini, saya tidak berniat untuk membahas
peristiwa ”65-66” secara mendetail. Saya hanya ingin menggaris bawahi dua poin
penting:
(i)
Pada 4 Oktober 1965, Soeharto dan
kelompoknya menerima hasil autopsi resmi yang dikeluarkan oleh pihak militer
dan ahli forensik sipil pada tubuh dari para Jenderal yang terbunuh pada 1
Oktober. Jelas disebutkan dalam laporan tersebut bahwa para Jenderal ditembak
hingga mati, dan mayat mereka rusak karena jatuh ke sumur yang sangat dalam di
Lubang Buaya. Namun pada 6 Oktober, media massa, yang sepenuhnya dikontrol oleh
kekuasaan Soeharto melancarkan pemberitaan bahwa yang terjadi kepada para
Jenderal adalah mata mereka dicongkel keluar dan kemaluan mereka dikebiri
dengan sadis oleh para anggota Gerwani.[12] Kampanye penuh kebohongan ini dilakukan dengan berdarah dingin
oleh mereka yang sadar betul apa yang sedang mereka lakukan. Jika kita hendak
membaca gambaran fiksional akan betapa luar biasanya kesadisan ini, tidak ada
yang jauh lebih bagus penggambarannya selain novel karya Putu Wijaya berjudul Nyali.
Yang paling menegerikan dari Kampanye propaganda ini adalah munculnya
atmosfir mencekam diseluruh Indonesia yang nantinya mengakibatkan, selama
beberapa bulan berikutnya, lebih dari setengah juta dari mereka yang seharusnya
ikut serta dalam proyek bersama dibunuh dengan cara yang paling mengerikan, sama sekali tidak mengindahkan hukum
yang berlaku, dan tidak satu orang pun yang membunuh dihadapkan pada
pengadilan. Secara kasar dapat kita katakan demikian: bahwa dasar sebenarnya
dari apa yang disebut sebagai Orde Baru merupakan gunungan tulang-belulang.
(ii) Akibatnya terasa hingga saat ini. Kita kesampingkan dulu para
inisiator dari kekejian ini –dengan kata lain, Soeharto dan lingkaran dalamnya-
kita dapat bertanya pada yang sekarang: Pernahkah Abdulrahman Wahid,[13] terkenal dengan pidatonya
yang mendukung Hak Asasi Manusia dan toleransi beragama, meminta maaf untuk NU
untuk sepuluh ribu orang yang terbunuh oleh Ansor pada 1965-1966? Saya percaya
jawabannya ialah tidak. Pernahkah Megawati,[14] yang
menganggap dirinya sebagai korban dari rezim Soeharto, pernah meminta
pengampunan untuk PNI-PDI akan puluhan ribu –termasuk anggota sayap kiri dari
PNI sendiri- dibunuh oleh komplotan pemuda PNI, terutama di Bali? Sekali lagi,
saya pikir jawabannya adalah tidak. Pernahkan tokoh Katolik terkemuka pada masa
Orde Baru seperti Benny Murdani, Frans Seda, Liem Bian-kie dan Harry Tjan
Silalahi[15] pernah meminta maaf atas
keterlibatan pemuda Katolik dalam aksi pembantaian? Lagi-lagi tidak. Kaum
Protestan? Para mantan PSI?[16] Kaum Intelektual? Para
Akademisi? Hampir tak ada satu kata pun. Saya ingat hanya seorang kolega muda
yang begitu saya rindukan Soe Hok-Gie memiliki keberanian itu, sejak tahun
1967, untuk menyuarakan fakta yang terjadi. Dari sudut pandang ini, kita dapat
melihat bahwa hampir semua ”oposisi” saat ini tidaklah, secara mendasar,
merupakan oposisi sesungguhnya bagi Orde Keropos, dan Indonesia yang akan
mereka bangun kembali, akibatnya, akan tetap menyimpan gunungan tulang-belulang
terkubur di dalam gudang bawah tanahnya. Semuanya terus saja menghindari fakta
yang terjadi pada masa lalu politik mereka, meminta maaf, berjanji pada diri
mereka sendiri tak akan pernah membiarkan segala hal seperti tahun 1965-66
terjadi lagi, dan menyambut kembali kedalam sebuah proyek bersama sekali lagi
mereka yang masih tertinggal dan keturunan dari para korban periode tersebut.
Dan, di sekolah-sekolah, anak-anak masih saja disuapi dengan wacana sejarah
yang semu mengenai ”trauma bangsa” atau ”tragedi bangsa” –Hentikan sekarang
juga!
Pendangkalan
Kekejian
Kengerian
akan 1965-66, ketika jutaan manusia Indonesia dianggap oleh manusia Indonesia
yang lain sebagai binatang atau setan, yang karenanya dapat dan harus
diperlakukan dengan kejam dan tidak memperdulikan segala hukum yang berlaku,
mempunyai banyak konsekuensi berat pada saat ini. Sebuah kebiasaan telah
terbangun di kalangan militer dimana jika menyangkut persoalan ”keamanan”,
setiap aspek kesusilaan dari manusia dapat disingkirkan dan mereka dibekali
dengan impunitas yang mutlak –disediakan oleh “atasan” yang memberi mereka
perintah. Konsekuensi politiknya menjadi semakin jelas melihat pada peristiwa “aneksasi”[17] Timor-Timur sesudah 1975. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa antara tahun 1977 dan 1980, sekitar sepertiga dari
populasi daerah bekas koloni Portugis mati dengan cara yang tidak wajar
–ditembak senjata api, dibakar dengan napalm,[18] dibiarkan mati kelaparan di ‘kamp
pengungsian”, atau korban dari penyakit menular yang menyebar cepat akibat
kondisi pemukiman yang tidak manusiawi. Penyiksaan menjadi standar prosedur
kerja (SOP –Standard Operating Procedure), belum lagi berbagai macam
pemerkosaan dan pembunuhan. Jika kita menggunakan presentase diatas untuk pulau
Jawa, maka ini berarti kematian tak wajar paling tidak 25 juta jiwa dalam waktu
tiga tahun. Menakutkan? Jelas! Kejahatan tingkat tinggi? Apakah masih ada yang
meragukannya?
Kenapa
itu semua harus terjadi? Seharusnya tak ada lagi ada orang yang ditipu mengenai
retorika “Selamat datang kawanku, ke dalam haribaan Ibu Pertiwi” atau warga
Timor Timur dengan
sukarela bergabung dalam proyek bersama ini. Operasi di Timor Timur, yang
sebagian besar (faktanya -penj) ditutup-tutupi dari bangsa Indonesia sendiri,
merupakan proyek “penaklukan” dari si Buto, yang masih satu garis
turunan langsung sejak van Heutsz, Diponegoro, dan pendahulunya yang jauh lebih
brutal: Sultan Agung.[19]
Sudah tidak jarang lagi kita dengar dari
seorang pejabat tinggi mengatakan tentang betapa “tidak tahu terima kasihnya”
orang Timor Timur untuk segala hal baik yang Jakarta telah berikan untuk
mereka. Saya yakin benar bahwa tidak ada satupun dari mereka sadar, bahwa yang dilakukan
sama saja dengan mendengungkan lagi sikap “nenek moyang penjajah Belanda yang
agung” dahulu kala, yang saat itu juga mengeluh tentang betapa “tidak tahu
terima kasihnya” para pribumi (Indonesia) atas segala kebaikan dari kolonial
Belanda atas rust en orde dan juga opbow (pembangunan!!)[20]
yang telah diberikan untuk
mereka. (Untuk merasakan betapa tidak adilnya pernyataan ini, kita boleh
membayangkan apakah mungkin akan ada pejabat tinggi yang mengeluh di depan
publik perihal tak tahu terima kasihnya orang Jawa atau Sunda terhadap segala
kebaikan yang telah dibawakan Orde Baru untuk mereka.) Di timor Timur juga,
pikiran orang-orang dipenuhi dengan kesan yang ditangkap dari sikap si Buto:
“Ah sayang ya, ada orang Timor Timur yang tinggal di Timor Timur”.
Dari
akhir 1970-an hingga akhir 1980-an, Timor Timur merupakan sebuah wilayah yang
tertutup tidak hanya untuk orang asing, tapi juga untuk kebanyakan orang
Indonesia sendiri –yang harus memiliki izin khusus untuk bisa pergi ke sana.
Lalu menjadi wilayah yang “semua boleh masuk”. Kopassus[21] menjadi garda depan dan
pemberi contoh yang pertama dalam segala macam kekejaman tersebut. Pemerkosaan,
penyiksaan dan pembunuhan menjadi hal yang “normal”. Dan para “Ninja” juga
muncul pertama kali
di tempat ini –para preman yang memakai penutup wajah yang bekerja sebagai
tangan kiri dari si Buto. Dari waktu ke waktu, “budaya penaklukan”
menyebar dan mengakar ke seluruh bagian Indonesia. Kita dapat melihatnya dalam
pembunuhan massal yang diarsiteki oleh Soeharto, Murdani, dan Kopassus dalam
aksi Petrus pada 1983.[22] Dari sana, “aksi” tersebut menyebar ke Aceh,
Lampung, Irian, dan yang lainnya. Ketika sebuah wilayah yang damai menjadi
“bermasalah”, bukan atas kehendak mereka sendiri, namun karena mereka “dibuat
jadi masalah” oleh para agen dari si Buto. Mari kita coba pikirkan lebih
dalam: Jika kita coba reka jumlah keseluruhan dari orang yang meninggal dengan
tidak wajar dalam era Orde Baru –dan kita kesampingkan dulu mereka yang
terluka, secara psikologis terguncang, yang jadi yatim piatu, serta yang
lainnya, maka dapat kita buat daftar
sebagai berikut: 1965-66, setidaknya 500.000, Timor Timur 200.000; Petrus
7.000; Aceh, mungkin 3.000; Irian, mungkin 7.000. Mendekati seperempat juta
orang, yang disangka sebagai bagian dari proyek bersama semua orang. Jika anda
benar-benar memikirkan hal ini, maka anda akan paham kenapa saya hanya dapat
menggelengkan kepala, tidak percaya dengan tuntutan para “oposisi” dimana
Soeharto dan keluarganya di panggil pengadilan atas penilapan begitu banyak
uang –mungkin mereka pikir itu sebagai uang “kita”? –dan sebagian besar menutup
mata untuk segala kejahatan yang seribu kali jauh lebih buruk: Pembunuhan
secara sistematik dan terencana pada skala yang tak pernah dapat dibandingkan
lagi dalam sejarah nusantara.
Hak
Asasi Manusia Indonesia
Dan
sekarang kita menghadapi sebuah fakta yang ironis. Presiden Habibie yang telah
dicerca dan disalahkan sebagai penerus dan pion dari Soeharto, Namun justru,
disamping memberi kebebasan kepada pers, dan melepaskan sebagian besar tahanan
politik, dia memiliki keberanian untuk memutuskan akhir dari proyek
“penaklukan” dari mantan atasannya di Timor Timur. Disamping itu, pemimpin
“oposisi” yang lain telah cukup menunjukan bahwa, dalam mentalitasnya, mereka
masih hidup dalam kegelapan moral dari era Orde
Keropos. Hal yang paling memalukan adalah anak perempuan dari Soekarno
–yang telah dikucilkan, dihina, dan secara tidak langsung dipenjara seumur
hidup oleh Soeharto, dan nota bene, tak pernah menyatakan bahwa Timor Timur
merupakan bagian dari Indonesia –telah secara publik membela proyek
“penaklukan” oleh Soeharto. Suatu hal yang sangat disayangkan.Yang dirasakan
adalah, mengacu pada ucapanya, yang berbicara bukan lagi Megawati, namun
Miniwati. Di bawah sulur-sulur yang rimbun dari pohon beringin hanya tanaman
kerdil nan buluk yang dapat tumbuh.[23]
Lalu
apa yang harus dilakukan? Kita lihat sekarang bahwa banyak organisasi dan
institusi, baik yang lokal maupun asing, maupun yang campuran keduanya, yang
mendedikasikan kerjanya untuk “Hak Asasi Manusia” di Indonesia. Memang sudah
seharusnya demikian adanya. Namun yang tak kita saksikan adalah mereka yang
bekerja untuk Hak Asasi, bukan sebagai manusia pada umumnya, namun sebagai Manusia Indonesia. Apa yang saya maksudkan di sini adalah
hak bagi orang-orang Indonesia, yang ditakdirkan untuk lahir di tanah Indonesia
sewaktu menjadi Republik, untuk berpartisipasi secara sukarela, semangat,
setara, dan tanpa ketakutan ikut serta dalam proyek bersama Nasionalisme
Indonesia. Dengan kata lain, hak mereka untuk tidak diperlakukan sebagai
binatang, setan, pelayan, atau hak milik bagi manusia Indonesia yang lainnya.
“Hak Asasi Manusia Inonesia” ini hanya dapat diperjuangkan dan disadari oleh
manusia Indonesia sendiri.
Jika
perjuangan ini tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dalam skala yang
luas, maka masa depan dari usaha bersama ini sangatlah gelap. Jika ada yang
memulai dengan “Sayang ya, ada orang Aceh yang tinggal di Aceh”, maka dengan
mudah akan beralih pada, “Sayang ya, ada orang Katolik di Flores”, “Sayang ya,
ada warga Tionghoa yang tinggal di Semarang”, “Sayang ya, ada orang Dayak yang
tinggal di Kalimantan”. Secara logis ini akan merambat juga ke: “Sayang ya, ada
orang Jawa yang tinggal di Jawa”. Dan yang paling sulit dibayangkan: “Sayang
ya, ada orang Jakarta yang tinggal di Jakarta”. Karena di Jakarta itu sendiri,
dalam masyarakat kelas menengah dan atas yang banyak berpengaruh, mentalitas
“Sayang ya…” ini sangatlah mengakar dalam.
Dalam
media massa dan di Internet dapat kita baca mengenai kesepakatan akan adanya
reformasi dan sewaktu-waktu bahkan “revolusi”. Hal ini bisa diterima sepanjang
istilah ini dimaknai secara sungguh-sungguh dan tidak ada “udang dibalik batu”.
Namun sebagai tambahan, saya percaya (dan berharap) akan kebangkitan kembali
dari proyek bersama yang telah dicetuskan hampir seratus tahun yang lalu. Usaha
yang hebat seperti ini cenderung menghasilkan manusia-manusia yang hebat pula.
Dr. Soetomo, Natsir, Tan Malaka, Sjahrir, Yap Thiam Hing, Kartini, Haji
Misbach, Sukarno, Sjauw Giok Tjan, Chairil Anwar, Suwarsih Djojopoespito,
Sudirman, Roem, Pramoedya Ananta Toer, Hatta, Mas Marco, Hasjim Ansjari,
Sudisman, Armijn Pane. Haji Dahlan,[24] dan masih banyak lagi yang
datang pada zaman tersebut. Betapa sedih jika saya bandingkan dengan masa
sekarang. Sudah hampir lebih dari sepuluh tahun, saya biasa bertanya kepada
pemuda dari Indonesia yang mengunjungi Cornell, atau yang datang belajar ke
sini, dengan pertanyaan sederhana: Siapa di Indonesia yang begitu anda kagumi
dan hormati sekarang? Reaksi yang lazim terjadi adalah, bingung dengan
pertanyaan tersebut, lalu mengaruk-garuk kepala dan akhirnya, baru secara lugas
menjawab…. Iwan Fals.[25] Bukankah ini mengerikan? Saya tak bermaksud bahwa setiap orang
harus atau dapat menjadi manusia hebat tadi. Namun sebaliknya, saya pikir
setiap orang dapat memutuskan sendiri untuk menolak menjadi kerdil.
Hidup
Rasa Malu!
Bangkitnya
kembali kehidupan nasional yang sebenarnya akan membutuhkan perombakan total
sistem pemerintahan, terutama ke arah otonomi daerah –bukan etnik-. Hal ini
membutuhkan pertumbuhan budaya politik yang sehat dan berlapang dada, dan
penghapusan politik yang penuh sadisme dan premanisme. Yang juga dibutuhkan
adalah rasa sayang, yang sebenarnya, untuk institusi nasional. Saya berikan
satu contoh, yang paling dekat dengan kehendak saya sebagai seorang guru. Sudah
bukan rahasia umum lagi bahwa kualitas universitas di Indonesia sudah begitu
menurun, paling tidak semenjak kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus oleh Daud
Yusuf yang menggelikan pada akhir 1970. Kita tahu seperti apa lingkaran
setannya: Profesor yang terlalu sibuk dengan kerja yang memberikan tambahan
penghasilan, proyek-proyek pemerintah, konsultansi-konsultansi, dan sedikit
kemungkinan untuk mengajar mahasiswanya secara serius; mahasiswa yang tumbuh
bersama dengan budaya mencontek; perpustakaan yang menyedihkan; birokrasi
kampus yang korup dan otoriter –dan lain sebagainya. Salah satu alasan yang
jarang sekali disebutkan untuk segala macam kemunduran ini adalah kebiasaan
antipati untuk segala macam yang berbau dalam negeri dari kaum kelas atas
maupun sebagian kelas menengahnya, yang lebih memilih untuk mengirimkan anak
mereka ke sekolah-sekolah internasional di Indonesia, atau universitas mahal di
luar negeri. Kebiasaan ini membuktikan bahwa, di mata orang-orang ini,
universitas-universitas di Indonesia diperuntukan untuk warga “kelas dua”, yang
tak memiliki rekening bank yang banyak dan koneksi yang luas. Seperti berujar,
siapa yang akan peduli jika mereka hancur? Saya seringkali berharap dapat
melarang seluruh akses studi ke luar negeri, kecuali untuk tingkatan MA dan
PhD, untuk semua warga Indonesia dalam masa “penyembuhan” untuk sepuluh tahun.
Jika para kaum kelas atas harus mengirimkan nak-anaknya ke universitas-universitas
di Indonesia, mungkin kondisi universitas-universitas itu akan membaik. Namun,
tentu saja, ini hanyalah mimpi di siang bolong.
Di
sebuah buku yang baru saja diterbitkan, setengah bercanda saya menyertakan
slogan “Hidup Rasa Malu!”. Mengapa? Karena saya pikir bahwa tak ada seorangpun
yang mengaku menjadi nasionalis yang utuh jika tidak merasa “malu” jika
negaranya atau pemerintahnya sendiri melakukan tindak kejahatan, apalagi jika
kejahatan itu dilakukan kepada warganya sendiri. Meskipun secara individu ia
tidak melakukan suatu kejahatan, namun sebagai bagian dari proyek bersama,
secara moralitas seharusnya ia merasa terlibat pada segala sesuatu yang
mengikutsertakan nama dari proyek bersama itu. Selama Perang Vietnam
berkecamuk, sebagian besar orang yang menentangnya memulai aksi mereka dari
sebuah perasaan malu sebagai seorang warga negara Amerika bahwa “pemerintah
mereka” bertanggung jawab untuk pembunuhan keji tiga juta jiwa di Indochina,
termasuk wanita dan anak-anak yang tak terhitung jumlahnya. Mereka merasa malu
bahwa presiden “mereka” Johnson dan Nixon mengatakan berbagai macam kebohongan
kepada dunia dan sesama warga Amerika sendiri. Mereka merasa malu bahwa sejarah
negara “mereka” dinodai dengan kekejaman, kebohongan dan pengkhianatan. Jadi
mereka melakukan protes, bukan hanya untuk membela Hak Asasi Manusia yang
universal, namun juga sebagai warga Amerika yang juga mencintai proyek bersama
warga Amerika. Rasa malu secara politik seperti ini sangatlah bagus dan selalu
diperlukan.
Jika rasa malu
ini dapat ditumbuhkan secara sehat di Indonesia, warga Indonesia akan memiliki
keberanian untuk menghadapi ketakutan dari zaman Orde Keropos, bukan sebagai
sesuatu yang telah dilakukan oleh orang lain (jadi aku tak perlu peduli-Penj),
namun sebagai beban bersama. Ini berarti akhir dari mentalitas yang telah
dipupuk selama ini: (pura-pura) Tidak Mendengar Segala yang Jahat, (pura-pura)
Tidak Melihat Segala yang Busuk, Tidak Berbicara Buruk mengenai Semuanya (See
No Evil, Hear No Evil, Speak No Evil).[26]
[1] Naskah ini dipresentasikan dalam sebuah
kuliah umum di Jakarta, 4 Maret 1999, sesaat sesudah saya diperbolehkan lagi
memasuki Indonesia
[2] Mahluk raksasa menyeramkan yang muncul
dalam cerita pewayangan –Penj.
[3] Baik Jenderal Nasution, perancang
kemiliteran pasca masa Revolusi, dan Jenderal Suharto memulai karir militer
mereka di KNIL (het Koninklijke Nederlands-Indische Leger / Tentara
Kerajaan Hindia-Belanda –Penj.), tentara perang bentukan Belanda, musuh besar
dari gerakan nasionalis. Suharto lalu hengkang bergabung dengan PETA (kyōdo
bōei giyûgun –Penj.) tentara pembantu bentukan otoritas Jepang yang
beranggotakan masyarakat “pribumi” pada tahun 1943.
[4] Yang lebih terkenal sebagai provinsi
Muslim Aceh, terletak di ujung barat-laut dari Sumatra, menandai batas paling
barat dari Indonesia. Irian, bagian barat dari Papua Nugini, menandai batas
paling timur dari Indonesia. (Saat ini nama Irian Jaya telah diganti menjadi
Papua. (Nama Papua digunakan resmi semenjak masa kepresidenan Gus Dur pada
2002. Sebelumnya nama Irian Barat digunakan untuk menandai rezim Soekarno pada
1969, dan Irian Jaya untuk menandai masa rezim Soeharto pada 1973, bertepatan
ketika Soeharto meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport-Penj).
[5] Ketika rezim kolonial Belanda kembali
menguasai Batavia/Jakarta pada Januari 1946, ibu kota Indonesia pada masa
revolusi dipindahkan ke kota kerajaan tua Jogjakarta yang terletak di Jawa
Tengah.
[6] Daud Beureueh, seorang ulama modernis
terkenal pada tahun 1930-an, dulunya seorang gubernur militer Aceh semasa
Revolusi, dan juga tokoh kunci dalam pergerakan lokal demi kemerdekaan
Indonesia.
[7] Bergelar pendiri Gerakan Aceh Merdeka
(GAM), dia memiliki keuntungan sebagai keturunan langsung dari salah satu
pahlawan utama dari perjuangan yang begitu pahit nan panjang sejak 1783-1908
melawan serangan militer kerajaan Belanda.
[8] Jendral Ali Murtopo merupakan kepala
intelejen politik Soeharto pada masa awal kekuasaan Orde Baru yang terkenal sangat
Machiavellian. Aparatur negara inilah yang pada tahun 1963 “menetapkan” PEPERA
(Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian agar seolah-olah memperlihatkan suara yang
bulat untuk berintegrasi dengan Indonesia. Selama masa-masa perundingan akhir
untuk pemindahan kedaulatan di akhir 1949, pihak Belanda menolak untuk
menyerahkan Irian kepada negara Indonesia yang baru Merdeka. Pada 1962, dengan
militer Indonesia dan usaha diplomasi Amerika, memberikan tekanan kepada Den
Haag (dimana pusat kekuasaan kerajaan Belanda waktu itu berada –Penj) untuk
sementara menempatkan wilayah tersebut dibawah naungan PBB guna menunda
finalisasi pengemukaan pendapat penduduk lokal.
[9] PRRI (Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia) merupakan pemerintahan pemberontakan dibentuk pada awal
1958 dengan dukungan kuat dari CIA. Kelompok ini unjuk kekuatan di sebagian
Sumatera dan Sulawesi, bertujuan untuk menurunkan sekaligus menggantikan
pemerintah yang ada di Jakarta, namun dikalahkan pada tahun 1960. DI (Darul
Islam) merupakan kelompok ekstrimis Islam yang mempersenjatai diri mereka,
berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat pada 1949, dan selanjutnya menyebar ke
sebagian Sumatera dan Sulawesi. Gerakan ini belum sempat ditaklukan hingga
tahun 1964.
[10] Semenjak akhir 1945 hingga Januari
1948, Kabinet Republik Indonesia didominasi oleh kaum sosialis dan komunis,
yang dengan demikian harus mengemban tugas dalam situasi semakin kurang baiknya
”kesepakatan” dengan rezim kolonial Belanda. Dalam bulan tersebut, cabinet yang
baru, dipimpin oleh wakil Presiden Hatta, yang tidak mengikutsertakan pihak
kiri, mengampu kekuasaan. Tegangan politik antara kaum Konservatif dan kiri
semakin cepat meningkat dan memperburuk atmosfir mendung Perang Dingin. Pada
September 1948 kondisi ini berujung pada konflik berdarah yang dimulai di kota
Madiun, dan selanjutnya memukul habis pihak kiri.
[11] Ketika angkatan bersenjata milik
Sekutu, di bawah Louis Mountbatten, mengambil alih kekuasaan Jepang di
Indonesia pada September 1945, Belanda, yang baru saja dibebaskan dari
kekuasaan Nazi, tidak memiliki kekuatan militer yang memadahi. Den Haag
diwalikan untuk lebih dari satu tahun oleh Netherland Indies Civil
Administration (NICA) di bawah lindungan militer Inggris.
[12] Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia)
merupakan organisasi wanita sayap kiri yang perlahan-lahan menjadi bagian dari
infrastruktur Partai Komunis.
[13] NU – Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi
para ulama tradisionalis berdiri sejak pertengahan 1920-an. Abdulrahman Wahid,
adalah pemimpin mereka dalam jangka waktu yang cukup lama, merupakan cucu darui
pendirinya. Ansor merupakan angkatan muda dari NU yang cukup ditakuti, terutama
kuat di daerah pedesaan Jawa Timur.
[14] Megawati, anak perempuan dari Presiden
pertama Indonesia Soekarno, merupakan Ketua Umum PDI-Perjuangan. Pada awal
1970-an, Soeharto memaksa seluruh partai non-islam untuk bergabung kedalam
Partai Demokrasi Indonesia yang terbelah dari dalam dan korup. Unsur
pembentuknya kebanyakan dari PNI (Partai Nasionalis Indonesia) –yang secara
berdarah dipisahkan dari anggota sayap kirinya yang begitu banyak- dimana,
diketahui sebagai yang paling dekat dengan pandangan politik dari bapaknya.
[15] Jenderal Benny Murdani, tzar intelejen
untuk waktu yang lama, dan orang yang paling bertanggungjawab atas peran kejam
Indonesia di Timor Timur. Frans Seda, menteri Perkebunan dalam kabinet Soekarno
yang terakhir, yang juga merupakan ahli keuangan pada awal rezim Soeharto. Liem
Bian-kie dan Harry Tjan Silalahi, dua operator terkemuka pada jaringan
intelejen Operasi Khusus (Opsus-penj) Ali Murtopo, memainkan peranan tidak
langsung pada matanza (pembunuhan/pembantian-Penj) oleh kaum anti
komunis pada 1965-1966.
[16] PSI –Partai Sosialis Indonesia. Partai
kecil terdiri dari para intelektual yang berorientasi ke Barat, yang pada
pertenganhan 1950-an menyebut dirinya sosialis hanya pada namanya. Sangat
berpengaruh dalam tubuh militer dan lingkaran kekuasaan yang lain, dijadikan
partai terlarang oleh Soekarno pada awal 1960-an.
[17] Merupakan tindakan pencaplokan wilayah
yang lebih kecil oleh sebuah entitas yang jauh lebih besar darinya (negara,
korporasi). Dimana tindakan ini sifatnya unilateral/ dilakukan secara sepihak
oleh entitas yang lebih besar untuk memperoleh pengakuan internasional. –Penj.
[18] Napalm (naphthenic and palmitic
acids) adalah semacam bahan kimia yang biasanya digunakan untuk membuat bom
untuk membumihanguskan sebuah teritori tertentu. Karena tujuan utama dari bom napalm
adalah untuk membakar maka biasa digunakan militer untuk perang-perang di
hutan rimba seperti di Vietnam –Penj.
[19] Jenderal Joannes van Heutsz, salah satu
komandan Belanda yang paling sukses dalam Perang Aceh, menjadi
Gubernur-Jenderal dari 1904-1909, dan menjaga keutuhan wilayah Hindia Belanda
hingga akhir. Sultan Agung (r.1613-1645) hampir sukses meletakkan seluruh pulau
Jawa dalam kuasanya, dengan menggunakan cara yang paling zalim sekalipun. Namun
akhirnya ia kalah telak oleh United East India Company (EIC –Kongsi
dagang Inggris di India dan wilayah sekitarnya –Penj.)
[20] Dua slogan yang tak habis-habisnya
didengungkan pada masa kolonial adalah rust en orde (kedamaian dan
tatanan) dan opbouw (pembangunan). Secara mirip, rezim Soeharto hanya
mengindonesiakan slogan ini menjadi Orde Baru dan pembangunan.
[21] Kopassus (Komando Pasukan Khusus), yang
sebagian mengacu model dari Green Berets (Sebutan untuk Pasukan Khusus
Amerika Serikat –Penj), merupakan Pasukan elit Indonesia, yang juga sangat
terkenal akan kekejamannya.
[22] Pada 1983, ribuan “penjahat kelas teri”
dibunuh (kadang dengan cara penyiksaan) oleh personil Kopassus yang memakai
pakaian preman. Pasukan pembawa kematian ini, lebih terkenal dengan nama petrus
(penembak misterius), akhirnya diakui dengan bangga oleh Soeharto sebagai
hasil perintahnya. Kepala operasi mereka adalah seorang Katolik Jenderal
Murdani.
[23] Partai Golkar yang bisa dibilang merupakan partai negara
pada waktu rezim Soeharto, karena “memenangkan” tiap pemilu yang mempertahankan
kekuasaan Soeharto, menggunakan pohon beringin keramat sebagai logonya, mengacu
pada kepercayaan orang Jawa akan kekuatan magis yang dimiliki sebagai tempat
tinggal bagi roh-roh pelindung. Namun seperti yang oleh para aktivis anti-rezim
ketahui, sulur-sulur yang begitu rimbun menggantung membuat segala macam
tetumbuhan sangat susah tumbuh dibawahnya –selain lumut (politik), parasit
(politik), jamur (politik) dan lain sebagainya.
[24] Daftar ini termasuk komunis, sosialis, Muslim, kelas menengah
nasionalis sekuler, Tionghoa, perempuan, penyair dan penulis novel, pengacara
Hak Asasi Manusia, dan pekerja Sosial.
[25] Iwan Fals merupakan nama panggung dari
penyanyi folk-rock terkenal di kalangan pemuda dan pelajar. Tema-tema
yang dibawakannya seputar kritik-kritik sosial.
[26] Ungkapan ini mengacu pada sikap yang
dilakukan oleh tiga kera bijak yang terdapat patungnya di kuil Nikko Toshogo di
Jepang sejak abad ke-17. Adapun ketiga kera itu digambarkan satu menutup
matanya, satu menutup telinganya dan yang terakhir menutup mulutnya. Banyak
intepretasi mengenai ajaran yang dibawa dari China dan menjadi salah satu
ajaran aliran Zen di Jepang ini. Ada yang menganggap bahwa ini sebagai sembol
penarikan diri dari urusan duniawi oleh para biksu yang menganut ajaran Budha,
namun juga dapat diartikan sebagai sikap tidak peduli dengan situasi yang ada
di sekitar –Penj.