Baru saja selesai membaca buku ini, dan jadi ingin berbagi.
Tentu saja saya bukan ahli sejarah agama, dan hanya sekedar ingin sedikit belajar kenal tentang sejarah dari mereka-mereka yang mendalami dan ahli di bidang tersebut.
Buku ini berjudul Aliran Syi’ah di Nusantara, karya Prof. DR. Aboebakar Atjeh, yang diterbitkan pada tahun 1977 oleh Islamic Research Institute, Jakarta.
Ada 8 bagian tulisan dalam buku ini.
Selamat membaca...
-----
NAMA DAN AJARAN
(Hal.1-3)
NAMA Syi'ah
itu pada awal mulanya berarti golongan, firqah dalam
bahasa Arab. Tetapi telah pada permulaan Islam nama ini terutama digunakan
untuk suatu golongan yang tertentu, yaitu golongan yang sepaham dan membela Ali
bin Abi Thalib, khalifah yang keempat, suami dari anak junjungan kita Nabi
Muhammad s.a.w., bernama Fatimah dan kemenakan penuh dari Nabi, karena ia anak
pamannya Abu Thalib, saudaranya ayahnya.
Dalam masa salaf, zaman Nabi dan
sahabatnya, perkataan ini belum digunakan orang, tetapi untuk itu dipakai
perkataan Ahlil Bait atau Alawi atau Bani Ali atau Ba Alawi.
Orang-orang Syi'ah itu, artinya
orang-orang yang masuk golongan Saidina Ali , mempercayai bahwa Saidina Ali
itulah orang yang berhak menjadi pengganti Nabi sesudah wafatnya, begitu pula
khalifahan itu turun-menurun dari padanya, sebagai orang yang berhak menjadi Imam, yaitu
kepala masyarakat kaum muslimin, karena mereka itulah, yang juga dinamakan
Ahlil Bait, yang lebih mengetahui dan lebih dekat serta lebih meyakini akan
ajaran Nabi Muhammad.
Uraian yang panjang lebar tentang
segala sesuatu mengenai Syi'ah, sudah saya uraikan dalam karangan saya,
"Syi'ah, rasionalisme dalam Islam", (Semarang, 1972), dan kitab
"Al-Ja'fari, Mashaf Ahlil Bait" (sedang dicetak). Disana saya uraikan
lengkap mengenai sejarah terjadi dan pertumbuhannya, perkembangan aliran dan
mashafnya mengenai tafsir, ilmu liadtts, ilmu fiqh, tarikh tasyriq,
bermacammacam aliran Syi'ah, seperti Isyna Asysar Imamiyah, Zaidiyah, Isma'
iliyah, Jabaliyah, dll. Imam-Imam dan sejarah perjuangannya, ulama-ulama dan
pengarang-pengarang, penyiaran kitab-kitabnya, yang bersifat agama dan ilmu
pengetahuan, jasa-jasanya dalam penyiaran dan perkembangan Islam seluruh dunia.
Beberapa kejadian sesudah wafat Nabi,
seperti bangkit kembali Bani Umayah dan Bani Abbas, dengan
kerajaan-kerajaannya, yang kemudian, juga bercekcokan dengan keturunan Ali bin
Abi Thalib, pembunuhan atas diri khalifah Usman, yang dituduhkan secara palsu
oleh Yazid bin Mu'awiyah, kepada Ali dll. menyebabkan pada akhirnya
keluarga-keluarga Ahlil Bait ini, mengungsi kedaerah Persia dan India, Cina,
Asia Tengah, Afrika dan Nusantara yang dapat menampung mereka, dan
menyelamatkannya. Hal ini terutama sesudah terjadi pembunuhan atas diri Sayidina
Hasan dgn racun, dan Sayidina Husain dalam peperangan di Karbala. Sayidina A l
i sendiri dalam th. 40 H (661 M) dibunuh oleh salah seorang fanatik, Ibn
Muijam, dari golongan Khawarij, dan sesudah gugur pula anaknya dalam
pertempuran yang dahsat dimedan peperangan Karbala pada th. 61 H. (680 M),
sebagai putra Mahkota yang melawan Yazid dari Bani Umayah, maka makin bertambah
tambahlah hebatnya perkembangan golongan Syi'ah ini, yang meluap kesebelah
timur, terutama Persia dan India, dan Asia Tengah serta Afrika Utara.
Sebenarnya hubungan Iran-Indonesia telah berlangsung lama dan selalu baik.
Dalam buku „Al-Islam Fi Indonesia" karangan Dzya Shahab dan Haji Abdullah
b. Nuh, yang diterbitkan "Badan Penerbit Saudi Arabia" Jeddah,
dikisahkan bahwa pelayaran laut ke Asia Tenggara dan Asia Timur lama dikuasai
orang-orang Persia bersama Arab. Hubungan teluk Persia dengan Indonesia lalulintas
kuat. Banyak kota-kota di Indonesia di diami orang-orang Persia dan Arab. Juga
dinukil dari buku Al-Damashky, yang mengatakan dalam bukunya
„Nakhbat-al-Dahr" bahwa arusperpindahan Muslimin ke Indonesia, meningkat
pada zaman bani Umayah, yang dikenal karena kezalimannya.
Ibn Batuta, pelancong Marokko diabad ke
13 (787 H) menyatakan bahwa ketika mengunjungi Samudra dan Pasai dia banyak
bertemu dengan Muslimin dan orang-orang Persia. Terdapat ulama besar Abdullah
Shah Muhammad bin Shaikh Taher (wafat 787 H).
Pada zaman Malik al-Kamil terdapat
Qadhi (hakim) Al-Sharief Amir Sayyid Al-Shirazi. Sedangkan dizaman Al-Malik
al-Zahir, terdapat ulama besar Tajuddin Al-Isphahani dan banyak lagi yang
nama-nama mereka terukir dalam nisan-nisan diatas kuburnya masing2".
Ibn Batuta berkata pula bahwa wakil
Laksamana di Samudra-Pasai adalah seorang Persia bernama Behruz. Terdapat
sebuah desa di Samudra kubur dari Hisauddin yg wafat pada tahun 1420 M. Menurut
Sir Richard Winsted, kuburannya sangat menarik karena terukir beberapa shair
dari Sa'di, pujangga Iran yang dikubur di Shiraz, a.1. berbunyi :
„Ribuan tahun akan datang
dan pergi
diatas kubur kita melintasi
Selama itu air mengalir dan
angin Saba mengembus
dan waktu hidup segera
terputus
Mengapa melintasi kubur
orang
dengan jalan angkuh lantang ?
Disamping itu kita juga lihat berbagai
nama raja-raja di Indonesia memakai gelar-gelar yang dipakai juga di Iran.
Berbagai adat istiadat di Jawa, Sumatra dan Sulawesi banyak persamaannya dengan
yang ada di Iran. Kebiasaan-kebiasaan tidak menikahkan atau merayakan
pesta-pesta pada bulan Suro, mirip dengan kebiasaan Iran. Demikian pula kisah
bubur merah bubur putih dan cerita-cerita yatim, mempunyai latar belakang yang
sama.
Prof. Husein Jayadiningrat almarhum,
banyak mengadakan penelitian mengenai hubungan kebudayaan Iran-Indonesia,
dimana kemudian Prof. Husein Jayadiningrat mengatakan banyak pengaruh Iran
dalam bahasa Indonesia.
Dalam aliran Sufi di Indonesia banyak
masuk pengaruh Tasauf Persia seperti pengaruh Junaid, Hallaj, Jalaluddin al
Rumi, Shams al-Tebrisi. Belum lagi pengaruh Al-Gazali yang demikian popuier di
Indonesia. Cerita-cerita Iskandar Zulkarnaen, Kisah Am'r Hamzah, Kisah Yusuf
dan Zulaikha, Mu'jizat-mu'jizat para Nabi sangat terkenal dikawasan ini berasal
dari literatuur Iran.
Di daerah ini aliran Syi'ah dianut, dan
bersama dengan orang-orang Persia dan India ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin
Syi'ah itu pergi ke Nusantara untuk menyiarkan agama Islam menurut pahamnya,
sambil melanjutkan perdagangan dengan Timur Jauh, yang sudah terjadi sejak
dahulu, Lih. karangan saya "Sejarah Al-Qur'an" (Surabaya-Malang,
1956. eet. ke-IV).
Keturunan dari Sayidina Hasan biasa
sehari-hari dinamakan Syarif, dari Sayidina Husain disebut Syayid, keturunan
wanita masing-masing dinamakan Syarifah dan Syayidah. Perlu dicatat disini,
bahwa hijrah dari pada keturunan Ahlil Bait ini, banyak ke Mesir, dan dari sana
kedaerah-daerah Islam yang lain, sebagaimana banyak yang hijrah ke Persia dan
India, yang kemud'an kedaerah Islam yang lain. Baik juga pembaca memperhatikan
sebuah kitab baru yang diterbitkan oleh "Al-Majlisul A'la Lisy-Syu'unil
Islamiyah" di Cairo, yang bernama "Ahlul Bait fi Misr", karangan
Ust. Abdul Hafid Faragli (Cairo Desember 1974 M).
-----
AHLIL BAIT, DAN MASHAFNYA
(Hal.4-9)
Dalam kitab karangan saya mengenai
"Syi'ah, nasionalisme dalam Islam" (Semarang, 1972), saya uraikan
tentang pengikut Syi'ah Ali ini dengan mashafnya, yang bernama Ahlil Bait,
sebagai berikut.
Memang disana — sini kita mendengar
kecaman terhadap Mashaf Ahlil Bait, yang menggunakan hadits-hadits tersendiri
dan berbuat bid'ah. misalnya oleh pengarang sejarah yang terkenal Ibn Khaldun (Muqaddimah,
hal. 274), tetapi acap kali orang lupa, bahwa dibelakang tuduhan-tuduhan itu
terdapat politik propaganda Bani Umayah atau Bani Abbas, yang membenci mashaf
ini, karena ia teruntuk khusus bagi Syi'ah Ali bin Abi Thalib. Untuk
kemaslahatan dan keselamatan diri serta karangan-karangannya, banyak
penyusun-penyusun kitab dalam segala bidang meninggalkan kemegahan bagi Syi'ah,
meskipun pada bathinnya kadang-kadang mereka membenarkannya.
Mengenai jawaban ilmiyah atas kecaman
Ibn Khaldun, bacalah kitab "Al-lmam
as-Shadiq wal Mazahibil Arba'ah", karangan
Asad Haidar, diantara lain jilid kesatu, hal. 216 - 218. Sebenarnya bukan tidak
beralasan, baik Bani Umayyah maupun Bani Abbas, menuduh Syi'ah Ali senantiasa
kalah menggerakkan pemberontakan rakyat terhadap pemerintahan mereka. Jiwa
pengajaran Islam dalam daerahnya banyak dititik beratkan kepada kehidupan duniawi,
melalui jalan kasar atau jalan halus terhadap ulama-ulamanya, sedang ajaran
Islam menurut Mashaf Ahlil Bait lebih banyak ditekankan kepada kehidupan dunia
dan akhirat.
Jiwa pengajaran Imam As-Shadiq diantara
lain adalah kemerdekaan roh, yang sangat dihargakan tinggi oleh Islam, dan
dengan demikian pengikut-pengikutnya selalu berdaya upaya meiepaskan kemerdekaan
jiwanya itu dari pada belenggu kekuasaan yang dianggap zalim ketika itu. Sejak
berdirinya mashaf ini terikat dengan dua peninggalan Nabi yang kuat
"As-sagalain" yaitu Kitabullah dan Itrah Rasulnya, Qur'an dan
keluarga Nabi, yang berpadu keduanya, tidak berccrai dalam penunaian kewajibannya
untuk memberi petunjuk dan hidavat kepada umat. ("Haditsuts
Tsaqalain", 1952 M., penerbitan "Damt Taqrib bainal Mazahibil
Islamiyah").
Qur'an mencegah memberi bantuan kepada
orang yang berbuat zalim dan mempercayainya. Dalam sebuah firman Tuhan berseru
:
"Jangan kamu lekatkan
kepercayaanmu kepada mereka yang berbuat zalim karena pasti kamu akan masuk
neraka. Tidak ada lain pemimpinmu kecuali Allah, yang lain tidak akan dapat
menolongmu" (Qur'an surat Hud, ayat 113).
Ajaran seperti dalam masa Nabi ini sudah
tidak sesuai lagi dengan masa Bani Umayyah dan Bani Abbas yang tamak kekayaan dan
bertindak secara kekerasan. Mereka menganggap ajaran-ajaran Imam as-Shadiq itu
ditujukan kepadanya.
Dengan penuh keberanian Imam
menjalankan terus ajaran semacam ini. Pengikut-pengikutnya diajar meresapkan
rasa adil, yang merupakan pokok terpenting daripada dasar-dasar penetapan hukum
Islam. Murid-muridnya hanya mematuhi peraturan-peraturan yang tidak melampaui
batas Tuhan, yaitu Qur'an dan mentaati imam-imam yang adil serta memelihara
agama, imam-imam yang ingin damai, bermutu tinggi dalam akhlak dan budi
pekerti.
Sebagai akibatnya rakyat tidak mau
mencari penjelasan dalam urusannya kepada hakim-hakim pemerintah yang d'anggap
zalim itu, menjauhkan dirinya dari ulama-ulama yang ditunggangi oleh pemerintah
(Abu Na'im Halyatul Aulia, III : 195). Dengan demikian Khalifah Mansur
As-Saffah dan Hajjaj bin Yusuf lalu mengambil tindakan, dan gugurlah
ulama-ulama hadits dan fiqh dalam mempertahankan agamanya itu.
Imam As-Shadiq menghendaki, agar
disamping pemerintah dunia, terdapat pimpinan agama, yang betul-betul
menjalankan kebijaksanaannya menurut hukum Tuhan, berdasarkan kepada da'wah
yang benar kebajikan, keadilan, persamaan ukhuwah Islamiyah umum, peradaban yang
baik dan kebudayaan yang benar, membasmi hawa nafsu, membasmi bid'ah dan
kesesatan, yang semuanya itu dapat diperoleh hanya dari keturunan suci,
pemimpin-pemimpm mashaf ini. Karena merekalah yang sanggup memimpin umat kepada
agamanya, membawanya kepada kebahagiaan, kepada tujuan-tujuan yang mulia dan
tinggi, kepada contoh-contoh yang tinggi.
Mashaf Ahlil Bait ini adalah mashaf
yang terdahulu lahir dalam sejarahnya, karena sebenarnya bukan Imam As-Shadiq
yang meletakkan batu pertama dan menaburkan benihnya, tetapi ialah Rasulullah sendiri.
Nabilah yang meletakkan sumber-sumber dan peraturannya dengan ucapannya
menyuruh berpegang kepada Qur'an dan keluarganya, agar umat jangan tersesat
(Hadits).
Mashaf ini terlahir dalam masa Nabi dan
Imam yang pertama ia\lah Ali bin Abi
ThaVb, Imam yang paling tinggi nilainya dan
paling banyak ilmunya. Ia merupakan diri Nabi Muhammad mengikutinya dalam
segala waktu, menampung ilmu langsung dari padanya, memperoleh tasyri'amali
sahabatnya dikampung dan dalam perjalanan, ia duduk jika Nabi duduk, ia bekerja
jika Nabi bekerja. Rasulullah adalah guru langsung dari Ali , pendidik dan
pengasuhnya.
Penyair Mutanabbi menggambarkan
keindahan pewarisan ilmu itu kepada Ali sebagai berikut :
Kuletakkan sanjunganku
kepada pewaris,
Pewaris Nabi, wasiat Rasul,
Karena ia nur cahaya
berbaris,
Sambung menyambung, susul
menyusul.
Sesuatu yang tetap terus
menerus,
Pasti akhirnya berdiri
sendiri,
Busah lenyap karena arus,
Laksana sifat matahari.
Tatkala Ali wafat, gerakan ilmiyah dan
pimpinan mashaf ini dipimpin oleh puteranya, Imam
Hasan, cucu Rasulullah dan mainan hatinya.
Dialah tempat rakyat mengembalikan urusannya dan segala persengketaan. Tetapi
urusan mashaf itu tidak berjalan dengan lancar, karena tekanan beberapa
kejadian dan saling sengketa dengan Mu'awiyah. Kecurangan-kecurangan Mu'awiyah
terhadap keluarga Ali dan kekejaman-kekejamannya yang banyak menumpahkan darah,
menghambat kemajuan perkembangan hukum. Kita ketahui bahwa perjanjian antara
Hasan dan Mu'awiyah untuk menyelamatkan perkembangan hukum dan ajaran Islam,
yang sebenarnya, tidak ditepati oleh Mu'awiyah.
Masa Imam Husain yang menggantikan saudaranya, lebih kacau lagi. Tidak saja
peperangan-peperangan sudah terbuka, tetapi kekuasaan yang telah dicapai oleh
Mu'awiyah digunakannya dengan sengaja untuk merusakkan kedudukan hukum kaum
muslimin. Urusan peradilan diserahkan kepada anaknya Jazid, seorang fasik dalam
berbuat dosa dan kufur yang tidak ada taranya. Kemudian ia menjadi khalifah
buat orang Islam, menjadi imam yang duduk diatas singgasana kekhalifahan Islam.
Siapa Yazid ? Dalam "As-Sa'ral
Anwal Fil Islam", karangan Muhammad Abdul Baqi (hal. 79) kita baca, bahwa
ia seorang fasik yang durhaka, ia membolehkan berzina, memperkenankan
meminum-minuman keras, membolehkan berzina, memperkenankan nyayian-nyanyian
dalam mejelis-majelis kehormatan menjadikan adat kebiasaan meminum anggur dalam
sidang-sidang pengadilan, memberikan rantai dan kalung anjing dan monyet
mainannya dengan emas, sedang ratusan orang Islam disekeliling tempat itu mati kelaparan.
Lalu menjadilah kedudukan hukum Islam
ketika itu sangat buruk. Imam Husain tidak dapat berdiam diri, ia terpaksa
bangkit membela kebenaran, melakukan amar-ma'ruf nahi munkar, hingga terpaksa
ia mengorbankan jiwanya dengan cara yang sangat menyedihkan scbagai pahlawan
Islam.
Urusan peradilan Islam dan pimpinan
mashaf berpindah kepada anaknya Imam Ali
bin Husain, yang bergelar Zainal Abidin, seorang
yang sangat wara' dan taqwa dalam masanya, tetapi juga seorang alim dalam
segala bidang ilmu Islam. Dengan cara diamdiam ia meneruskan usaha ayahnya,,
yang meskipun suasana ketika itu sangat buruk, melahirkan banyak ulama-ulama
ahli hukum dan ahli hadits.
Masa anaknya Imam Al-Baqir, memimpin
mashaf Ahlil Bait ini, suasana politik sudah agak berubah, pemerintah Bani
Umayyah sudah mulai lemah, diserang kanan kiri dan dibenci oleh rakyat karena sifat
feodalnya. Pengajaran-pengajaran Ahlil Bait digiatkan kembali dimana-mana,
ulama-ulamanya memancar pergi menyiarkan ajaran Kitabullah dan Sunnah Nabi di
Madinah dan dalam MasjidU Haram, terutama ruang yang terkuat dengan nama "Ruang Ibn Mahil".
Kemajuan yang sangat pesat dicapai
dalam masa Imam As-Shadiq. Ditiap negeri sudah ada orang alim yang mengajar
mashaf ini. Madrasah Imam As-Shadiq di Madinah merupakan sebuah universitas yang
besar, yang dikunjungi oleh mahasiswa dari seluruh pojok bumi Islam. Banyak
yang mengirimkan utusan-utusannya.
Sejarah pendidikannya menerangkan,
bahwa ia seorang mujtahid besar; Tidak ada pertanyaan yang tidak dijawab dan
jawabannya itu menjadi sumber hukum pula bagi murid-muridnya.
Terkenal sebuah ucapannya :
"Tanyakanlah kepadaku sebelum aku mati, tidak akan ada seorangpun dapat
memberikan kepadamu penjelasan seperti yang engkau dengar daripadaku"
(Tazkiratul Huffaz, II : 157). Mengapa tidak demikian, karena dialah pewaris
ilmu kakeknya yang masyhur itu. Mengenai Ali bin Abi Thalib, Nabi berkata :
„Aku ini gudang ilmu dan Ali pintunya" (Hadits).
Maka oleh karena itu sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam As-Shadiq dari ayahnya Al-Baqir, dari ayahnya Zainal
Abidin, dari Husain bin Ali dan dari Nabi, dianggap sanad yang paling baik dan
paling kuat Riwayat semacam ini dinamakan "Silsilah zahabiyah",
urutan keemasan demikian tersebut dalam kitab "Ma'-rifah
Ulumut Hadits, karangan Hakim
An-Naisaburi, hal. 55.
Jelaslah kepada kita mengapa
ulama-ulama mengutamakan mashaf ini dalam sesuatu penetapan hukum. Tidak lain
sebabnya melainkan karena salurannya sangat bersih.
Pemerintah melihat bahayanya orang
banyak dari mencari hukum kepada Imam As-Shadiq, dan tidak mau mendatangi
hakim-hakim dan pengadilan resmi. Lalu diambil siasat, menyuruh ulamanya mengeluarkan
fatwa, bahwa pintu ijtihad hukum Islam sudah tertutup.
Mashaf Ahlil Bait, yang kemudian
terkenal dengan Mashaf Al-Ja'fari, tidak mau mentaati siasat pemerintah ini,
pertama karena rakyat tidak mau mematuhinya, kedua karena menyebabkan orang Islam
menjadi beku, tidak mau berfikir dan menggunakan akal, satusatunya anugerah
Tuhan yang sangat mulia kepada manusia. Sebagai akibat keputusan ini,
pemerintah menganggap-anggap mashaf itu meneutang kebijaksanaannya dan
menghukum orang-orang yang tidak taat itu.
Dengan alasan ini pemerintah menganggap
mashaf Ahlil Bait musuhnya, lalu dinyatakan sebagai suatu golongan yang
dianggap keluar dari Islam karena salah i'tikadnya, padahal ulama-ulama Ahlil
Bait tidak mau mentaatinya karena hakim-hakim itu zalim, dan umat Islam
diperintahkan meninggalkan orang-orang yang zalim itu dan rajanya.
Sebagaimana terjadi dalam salah satu
permusuhan, pemerintahan Bani Abbas lalu mencari-cari dan membuat-buat alasan
untuk memburuk-burukkan mashaf ini dan Syi'ah Ali yang memeluknya. Mereka menggunakan
uang untuk menggaji mubaligh-mubaligh yang menyampaikan kecaman-kecaman mereka
dalam mesjid-mesjid, menggunakan ahli-ahli pidato yang ulung dijalan-jalan,
mengumpulkan ulama-ulama untuk mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan hawa nafsu
mereka untuk menyerang Syi'ah sebagai musuh negara dan sebagai musuh Islam.
Mereka menyiarkan berita bohong, bahwa
Syi'ah mengkafirkan semua sahabat Nabi, bahwa mereka tidak beramal menurut
Qur'an dll. Dengan demikian diracuni pikiran rakyat dan digerakkan untuk membasmi
golongan yang disebut salah itu. Bacalah kitab "Imam As-Shadiq wal
Mazhahihil Arba'ah", karangan Asad Haidar, terutama jilid ketiga, hal. 21 -
23.
Dengan demikian pula tuduhan-tuduhan
yang bukan-bukan kepada Syi'ah ini berlarut-larut dari generasi-kegenerasi,
dari ulama ke ulama dari kitab ke kitab, sebagaimana yang akan kita singgung juga
dimana ada kesempatan.
-----
ALI DAN QUR'AN
(Hal.10-15)
Ali bin Muhammad At-Thaus dalam
kitabnya "Sa'dus Su'ud", berdasarkan keterangan Abu Ja'far bin Mansur dan Muhammad
bin Marwan, berkata, bahwa pengumpulan Qur'an dalam masa Abu Bakar oleh Zaid
bin Sabit gagal, karena banyak dikeritik oleh Ubay, Ibn Mas'ud dan Salim, dan
kemudian terpaksalah Usman mengadakan usaha mengumpulkan ayat-ayat Qur'an lebih
hati-hati dan seksama, dibawah pengawasan Ali bin Abi Thalib (Az-Zanjani, hal.
45). Maka pengumpulan Qur'an dengan pengawasan Ali bin Abi Thalib inilah yang
berhasil, karena pengumpulan itu, tidak saja disetujui oleh Ubay, Abdullah bin
Mas'ud dan Salam Maulana Abu Huzaifah, tetapi juga oleh sahabat-sahabat yang
lain. Mashaf Usman inilah yang kita namakan Qur'an umat Islam sekarang ini, yang
tidak saja wahyu-wahyunya benar seperti yang disampaikan Nabi, tetapi bahasanya
dan bunyi ucapannya sesuai dengan aslinya. Usman membuat beberapa buah diantara
mashaf ini, sebuah untuk dirinya, sebuah untuk umum di Madinah, sebuah untuk
Mekkah, sebuah untuk Kufah, sebuah untuk Basrah dan sebuah untuk Syam. Ibn
Fazlullah al-Umri pernah melihat mashaf Usman ini pada pertengahan abad ke-VII
H. dalam masjid Damsyiq (baca Maslikul Absar, I 195, c. Mesir), dan banyak
orang menyangka, bahwa naskah mashaf ini pernah disimpan dalam perpustakaan di
Liningrad, yang kemudian dipindahkan kesalah satu perpustakaan di Inggeris
(Az-Zanjani, 46). Pengarang Sejarah Qur'an yang terkenal Abu Abdullah
Az-Zanjani ini dalam kitabnya "Tarikhul Qur'an", hal. 46, menerangkan
bahwa ia pernah melihat dalam bulan Zulhijjah, th. 1353 H . dalam perpustakaan,
yang bernama "Darul Kutub
Al-AU>wiyah", di Nejef sebuah mashaf dgn.
khat Kufi, dan tertulis pada akhirnya "Ditulis oleh Ali bin Abi Thalib
dalam th. 40 Hijrah".
Al-Amadi At-Tughlabi, seorang ulama
fiqh dan ilmu kalam, mgl. 617 H, menerangkan dalam kitabnya ''Al-Ajkarul Akbar", bahwa mashaf-mashaf yang masyhur dalam zaman sahabat itu
dibacakan kepada Nabi dan diperlihatkan mashafnya kepada Nabi. Ibn Sirin
mendengar Ubaidah As-Salmani berkata, bahwa bacaan yang diperdengarkan kepada
Nabi mengenai Qur'an pada saat-saat hampir wafatnya, adalah bacaan yang sampai
sekarang dipergunakan orang.
Jika ada pembicaraan mengenai Qur'an
Ali " (yang sebenarnya mashaf Ali), yang berbeda dengan mashaf-mashaf Ubay
bin Ka'ab (mgl. 20 H), Abdullah bin Mas'ud (mgl. 32 H), mashaf Abdullah bin
Abbas (mgl. 68 H) dan mashaf Abu Abdullah Ja'far bin Muhammad As-Shadiq, adalah
perbedaan mengenai susunan bahagian Qur'an, yang dinamakan "Surat",
bukan perbedaan mengenai ayat2 dan dialeknya, yang sesudah Ali dengan aktif
turut menyusun mashaf itu dalam masa Usman sudah tidak berbeda lagi. Jika ada
perkataan yang menyebut "Qur'an Syi'ah yang dimaksudkan ïalah mashaf asli
Ali bin Abi Thalib atau mashaf asli imam Ja'far Shadiq, yang sekarang tidak ada
lagi sudah menjadi mashaf Usman dengan ijma' sahabat-sahabat Nabi ketika itu.
Orang-orang Syi'ah memakai Qur'an Usman itu sebagaimana kita memakainya.
Jadi tuduhan, bahwa Ali mempunyai
Qur'an yang berlainan ayat-ayatnya daripada wahyu yang diturunkan Tuhan kepada
Muhammad, dengan disaksikan oleh sahabat, dan bahwa Qur'an itu, sesudah
ditambah atau dikurangi, digunakan khusus oleh golongan Syi'ah, tidak benar
sama sekali adanya. Tuduhan i n i ditolak oleh sejarah dan oleh ulama-ulama
Syi'ah sendiri, diantara lain oleh Abul Qasim Al - Khuli, pengarang tafsir
Syi'ah Imamiyah yang terkenal "Al-Bayan
fi Tafsiril Qur'an" (Nejef, 1957). Dan juz yang
pertama, pada halaman 171 dan berikutnya, dikupas panjang lebar, bahwa Ali bin Abi
Thalib tidak mempunyai mashaf yang berlainan ayat2nya dari mashaf-mashaf Sahabat
lain, kecuali berlainan susunan Suratnya. Mashaf Ali yang dipusakai dari Nabi,
penuh diberi catatan-catatan mengenai tanzil, masa dan sebab turun ayat,
mengenai ta'wil, pengertian dan maksud yang pelik, yang berasal dari keterangan
Nabi sendiri, selanjutnya mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, ayat-ayat
ahkam dan mutasyabihah (Tafsir As-Shafi, muk. VI : 11), mengenai halal dan haram, mengenai had atau
hukum sampai kepada tetek bengek (Muk.
Tafsir Al-Burhan hal. 27), ditolak semua
oleh A l - K h u l i tuduhan yang tidak benar itu (172 - 175).
Al-Khuli mengatakan sebagai khulasah,
bahwa penambahan dalam mashaf A l i bukan ayat-ayat Qur'an, yang disuruh
sampaikan oleh Nabi kepada ummatnya, dan bahwa tuduhan semacam ini adalah tidak
berdasarkan kepada dalil yang benar, karena dengan ijma dalam masa Usman sudah
dihilangkan semua penyelewengan atau tahrif.
Sebenarnya segala sesuatu mengenai
Qur'an, baik sejarah turunnya wahyu, sejarah pengumpulannya dan penyusunan
Qur'an dan penulisan mashaf, penterjemahan serta penafsirannya, sudah saya
bicarakan dalam sebuah kitab khusus mengenai persoalan ini, yang saya namakan "Sejarah Al-Qur'an", cetakan terakhir di Jakarta 1953, tetapi belum saya tinjau
dari sudut pendirian golongan Syi'ah.
Bahwa Ali bin Abi Thalib mempunyai
bahagian dan kedudukan penting dalam penyusunan Al-Qur'an bukanlah suatu
persoalan yang mesti dipertengkarkan, baik ulama-ulama Syi'ah, ulama-ulama
Ahlus-Sunnah, maupun ulama-ulama aliran lain dalam Islam, semuanya mengakui
bahwa Ali-lah yang mengetahui paling lengkap tentang turunnya wahyu-wahyu Tuhan
kepada Nabi Muhammad, karena dialah yang mengikuti Nabi sejak permulaan
keangkatannya menjadi Rasul dan selalu berdampingan dengan Rasulullah sebagai
keluarga terdekat dalam segala keadaan. Disamping itu ia termasuk penulis-penulis
wahyu, yang ditunjuk oleh Nabi untuk mencatat tiap-tiap ada wahyu turun, baik
siang ataupun malam hari.
Sahabat-sahabat dalam masa Nabi banyak
yang sudah tahu menulis, dan kesenian menulis ini oleh Rasulullah sangat
diperkembangkan. Bangsa Arab yang sudah tinggi kebudayaan sebelum Islam, sudah
menggunakan huruf Hiri, suatu kota kebudayaan yang letaknya kira-kira tiga mil
dari Kufah, dekat Nejef sekarang ini, dan oleh karena itu dinamakan juga huruf
Kufi, begitu juga huruf Anbari, suatu kota dekat sungai Eufrat, tiga puluh mil
sebelah barat Baghdad, semuanya berasal dari kemajuan kebudayaan Arab Kindah.
Dari sebuah riwayat dari Ibn Abbas diterangkan asal-usul huruf ini masuk ketanah
Hajaz dari Yaman (Kindah), bahkan sejarah pemakaian huruf ini sampai kepada
Thari', kepada Khaflajan, penulis wahyu yang diturunkan kepada Nabi Hud.
Abu Abdullah az-Zanjani menerangkan
bahwa khat ini dimasukkan oleh Nabi Muhammad ke Madinah melalui orang-orang
Yahudi, yang mengajarkan anak-anak Islam menulis. Ada sepuluh orang diantara kaum
muslimin yang ahli dalam huruf ini diantaranya Sa'id bin Zaharah, Munzir bin
Umar, Ubay bin Wahab, Zaid bin Sabit, Raff bin Malik dan Aus bin Khuli. yang
kemudian ditambah dengan tawanan Badr, yang mengajarkan huruf-huruf ini kepada
anak-anak Islam.
Bahwa wahyu-wahyu yang turun kepada
Nabi ditulis dan dicatat orang merupakan mashaf simpanannya masing-masing
tidaklah mengherankan, karena ada empat puluh tiga orang yang ditugaskan menulis
wahyu itu dengan khat Nasakh, diantaranya yang termasyhur ialah Khalifah empat
Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, selanjutnya Abu Sufyan dengan dua anaknya
Mu'awiyah dan Yazid, Sa'id ibn Ash dan anaknya Isan dan Khalid, Zaid bin Sabit,
Zubair bin Awam Thalhah bin Ubaidillah. Sa'ad bin Abi Waqqs, Amir bin Fahiah,
Abdullah ibn Argam, Abdullah bin Rawahah, Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarah,
Ubay bin Ka'ab, Sabit ibn Qais, Hanzalah ibn Rabi', Syurahbil bin Hasanah, Ula
bin Hadrami, Khalid ibn Walid, Amr ibn Ash, Mughirah bin Syu'bah, Mu'aiqib bin
Abi Fatimah ad-Dausi, Huzaifah ibn Yaman, Huwaithib bin Abdul 'Uzza Al-Amiri,
baik dalam masa Nabi maupun sesudah wafatnya.
Meskipun demikian yang tetap mengikuti
Nabi dan yang dipercayanya adalah catatan dua orang, yaitu Zaid bin Sabit dan
Ali bin Abi Thalib. Demikian kata Az-Zanjani dan menambahkan, bahwa banyak
riwayat2 menerangkan, kedua orang itulah yang dengan sungguh-sungguh menghadapi
penulisan dari pengumpulan wahyu itu. Bukhari meriwayatkan dari Barra, bahwa
tatkala turun wahyu "tidak sama orang mu'min yang diam dengan mereka yang
menderita kemelaratan dan yang berjihad diatas jalan Allah" (Surat
An-Nisa). Nabi dengan segera berkata : "Panggil Zaid datang kepadaku,
membawa lah tinta dan tulang belikat unta", dan sesudah Zaid datang, ia berkata
: "Tulislah selengkapnya ayat ini " (Zanjani, hal. 20).
Dalam sebuah ceritera, Umar
diperingatkan orang bahwa adiknya Fatimah telah masuk Islam. Umar marah dan
pulang kerumahnya, didapatinya pada adiknya itu wahyu tertulis diatas perkamen
sedang dibacanya. Hal ini terjadi dikala Umar belum masuk Islam, dan karena membaca
wahyu yang tertulis itu, ia lalu masuk Islam. Semua itu menunjukkan, bahwa
Rasulullah menghendaki Qur'an itu ditulis dan penulisan itu sudah dimulai dalam
masa hidupnya dan dengan petunjuk serta pengawasannya.
Dalam masa Rasulullah Qur'an itu
ditulis diatas tulang-tulang, kepingan batu, potongan daun atau kain, acapkali
juga diatas kain sutera atau kulit kering dan diatas tulang belikat unta. Sudah
menjadi kebiasaan bangsa Arab menulis catatan demikian dan menamakannya "suhuf", bungkusannya
dinamakan „mashaf". Sahabat-sahabat penting mempunyai mashaf itu secara lengkap
atau tidak. Juga untuk Nabi diperbuat mashaf itu dan disimpan dirumahnya.
Muhammad ibn Ishak menerangkan dalam ,,Fihris"nya, bahwa Qur'an yang ditulis
dihadapan Rasulullah itu adalah diatas batu, tulang dan belikat unta. Bukhari
menerangkan, bahwa Zaid bin Sabit pernah mengatakan : „Kucari Qur'an itu dan
kukumpulkannya dari batu, tulang dan dari hafalan orang".
Al-'Isyasyi, seorang ahli Tafsir
Imamiyah, menerangkan dalam Tafsirnya, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berkata
: „Rasulullah mevvasiatkan kepadaku, bahwa sesudah kukuburkan dia aku tidak keluar
dari rumahku hingga aku menyusun Kitab Allah itu, yang tertulis pada pelepah
korma dan pada tulang belikat unta". Sebuah riwayat dari A l i bin Ibrahim
bin Hasyim Al-Qummi, seorang ahli Hadits Imamiyah yang termasyhur, menerangkan,
bahwa Abu Bakar Al'-Hadhrami pernah mendengar Abu Abdillah Ja'far bin Muhammad berceritera,
bahwa Nabi ada berpesan kepada Ali bin Abi Thalib : „Hai. Ali ! Qur'an itu ada
dibelakang tempat tidurku dalam suhuf, sutera dan kertas. Ambil dan susunlah
baik-baik, jangan engkau
hilangkan sebagaimana Yahudi
menghilangkan Taurat". Ali memungut Qur'an itu dan mengumpulkannya dalam
satu bungkusan kain kuning kemudian dicapnya.
Al Haris Al-Muhasibi menerangkan, bahwa
mengumpulkan Qur'an itu bukanlah suatu perbuatan bid'ah tetapi terjadi atas perintah
Nabi, dan juga meletakkan ayat-ayat pada tempatnya atas petunjuk Nabi sendiri.
Meskipun yang menulis wahyu banyak
dalam zaman Nabi, tetapi yang mengumpulkannya hingga lengkap merupakan mashaf
tidak berapa orang. Yang dianggap pengumpulan yang agak lengkap oleh
Muhammad bin Ishak ialah Ali bin Abi Tha}ib, Sa'ad bin Ubaid bin Nu'man Aï-Aus', wafat dalam perang Qadisiyah tahun 15. H. Abu Darda
Uwaimir bin Zaid, beroleh langsung dari Nabi, wafat tahun 32 H. Muaz bin Jalal
bin Aus, yang dinamakan Nabi imam ulama, wafat tahun 18 H., Abu Zaid Sabit ibn Zaid bin Nu'man, Ubay bin Ka'ab
bin Qais, seorang yang sangat dipuji Nabi2
bacaannya. mgl. Di Madinah th. 22 H, Ubaib
bin Mu'awiyah, dan Zaid bin Sabit, penulis
wahyu Rasulullah dan juru bahasanya, mgl. th. 45 H. Zaid bin Sabit adalah
seorang yang sangat dicinta oleh Nabi dan dihormati oleh Ahlil Baitnya.
Demikian bunyi satu riwayat tentang
mereka yang mengumpulkan Qur'an dalam masa Nabi, yang kurang sempurna
disempurnakan sesudah wafat Nabi. Banyak riwayat lain yang berbeda jumlah dan
namanya, tetapi Al-Khawarizmi berdasarkan keterangan Ali bin Riyah menerangkan,
bahwa yang lengkap mengumpulkan Qur'an dalam masa Rasulullah ialah Ali bin Abi Thalib dan Ubay bin Ka'ab.
Riwayat-riwayat menunjukkan, bahwa Ali
bin Abi Thalib adalah orang yang mula-mula menulis Qur'an menurut tertib turun
ayat, mencatat ayat mansukh terlebih dahulu dari nasikh dan memberikan catatan2
lain dalam mashafnya. Hal ini diceriterakan juga oleh Ibn Sirin.
Juga dibenarkan oleh Ibn Hajar, bahwa
Ali menyusun Qur'an menurut tertib turun ayat, beberapa waktu dibelakang wafat
Nabi Muhammad. Dalam kitab Syarh Al-Kafi Salih Al-Quzwini dari Ibn Qais
Al-Halali menerangkan, bahwa Ali bin Abi Thalib sesudah wafat Nabi tidak keluar
dari rumahnya karena menyusun Qur'an dan mengumpulkannya sampai selesai
semuanya. Kemudian ia menulis catatan ayat-ayat nasikh dan mansukh, ayat-ayat
mukhamah dan mutasyabih.
Kata Imam Muhammad bin Muhammad bin
Nu'man, salah seorang ulama Syi'ah terbesar, dalam kitabnya „Al-Irsyad",
bahwa Ali dalam mashafnya mendahulukan ayat-ayat mansukh dari ayat-ayat nasikh,
dan menulis ta'wil ayat-ayat serta tafsirnya dengan terperinci.
Syahrastani dalam mukaddimah Tafsirnya
menerangkan, bahwa semua sahabat sepakat ilmu Qur'an itu khusus buat Ahlil
Bait. Beberapa sahabat bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, apakah ilmu
pengetahuan
Qur'an hanya dikhususkan kepada Ahlil
Bait. Ali menjawab, bawa ilmu tentang Qur'an, masa dan sebab-sebab turunnya
begitu juga ta'wilnya, khusus buat Ahlil Bait, karena merekalah orang-orang yang
terdekat dengan Nabi Muhammad (Az-Zanjani, Tarikhul
Qur'an, Cairo. 1935. hal. 26).
-----
AHLI TAFSIR SYI'AH
(Hal.16-19)
Baik orang Syi'ah maupun orang ahli
Sunnah menganggap Ali bin Abi Thalib adalah ahli tafsir Qur'an yang pertama
dim. Sejarah Islam karena ia masih mendapati Nabi yang selalu memberi petunjuk dalam
pengertian dan ta'rif daripada wahyu-wahyu Tuhan yang mentaati paham manusia
biasa. Sudah kita katakan, bahwa Ali tidak saja berjasa mengawasi pengumpulan
ayat-ayat Qur'an, tetapi juga mempunyai pengetahuan tentang sejarah turunnya
ayat dan surat, tentang ayat hukum dan mutasyabih, ayat nasikh dan mansukh,
bahkan ada riwayat yang mengatakan, bahwa ia mempunyai enam puluh macam ilmu
Qur'an, dan sebagaimana yang sudah kita katakan, mashafnya penuh dengan
catatan2, seperti masih dapat dilihat beberapa lembar dari padanya dalam
perpustakaan di Nejef.
Seperti sudah kita terangkan bahwa Ali
bin Abi Thalib adalah salah seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan
tentang Qur'an, sedang Ibn Abbas yang menjadi murid A l i , pernah berceritera,
bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang sangat tahu tentang ilmu lahir dan
ilmu ghaib dari Al-Qur'an yang mulia. Sejarah hidup Ali tidak kita ulang lagi
disini.
Salah seorang dari Ahli Tafsir Syi'ah
adalah Ubay bin Ka'ab dari golongan Anshar. Sayuthi menghitungnya dalam
karangannya yang terkenal „Al-ltqan" termasuk jumlah sepuluh orang ahli tafsir dari sahabat kurun
pertama, dan Nabi sangat mencintainya. Ia meninggal tahun 30 H.
Abdullah bin Abbas adalah anak paman Nabi, yang sejak kecil sudah diramalkan
oleh Nabi menjadi seorang ahli ilmu Qur'an, dan juga yang oleh Sayuthi
dimasukkan sahabat sepuluh kurun pertama, yang hafal dan ahli Qur'an. Ada orang
mengatakan bahwa ia orang yang ahli tentang tafsir daripada Tabi'in Mekkah.
Tafsirnya sampai sekarang masih didapat orang dan terkenal dengan „Tafsir Ibn Abbas", ia meninggal th. 68 H . Orang-orang Syi'ah menganggap tafsir
itu mu'tamad dan banyak digunakan untuk menguatkan pendirian-pendiriannya.
Dari golongan Tabi'in sesudah itu kita
sebutkan nama-nama Maisam bin Jahya
at-Tamanar (mgl. 60 H.), seorang khatib Syi'ah yang
terkenal di Kuffah dan seorang ahli ilmu Kalam : Said bin Zubair (mgl.
94 H) yang pernah menyusun sebuah tafsir Qur'an dan banyak dipetik orang
pendapatnya. Abu Saleh Miran dari Basrah (mgl. sesudah abad pertama hijrah), murid Ibn Abbas, Thaus
Al-Yamani (mgl. 106 H). Juga murid Ibn Abbas, yang oleh Ibn Taymiyah, Ibn
Quthai bah dli sangat dipuji kecerdasannya dan dimasukkan kedalam golongan
sahabat Ali.
Kemudian dapat kita sebutkan sebagai
ahli-ahli yang ulung ialah Imam Muhammad al-Baqir (mgl. 114 H.), Ibn Nadim banyak
menyebutkan nama-nama kitabnya mengenai tafsir dan ilmu-ilmu Qur'an yang lain.
Abdul Jarud, seorang Syi'ah yang terkenal banyak meriwayatkan. sesuatu dari
Al-Baqir mengenai Qur'an. Tidak kurang pentingnya kita sebutkan nama Jabar bin Yazid Al-Ju'fï, yang menulis juga sebuah tafsir dan ia meninggal tahun 127
H. Suda Al-Kabir, nama yang sebenarnya Isma'il bin Abdurrahman, juga mempunyai
sebuah tafsir yang oleh banyak orang dijadikan sumber keterangan mengenai ilmu
Qur'an. Untuk jangan keliru kita bedakan antara Suda As-Saghir bukan seorang
Syi'ah dan Suda Al-Kabir adalah seorang ahli tafsir Syi'ah yang terkenal (mgl.
127 H).
Saya tidak ingin menyebutkan semua ahli
tafsir Syi'ah itu disini dengan perincian sejarah hidupnya, karena terlalu
banyak. Dari penyelidikan saya dan dibenarkan oleh beberapa keterangan Ahli
sejarah
Islam, ternyata orang-orang Syi'ah
banyak terkenal sebagai ulama dalam segala bidang, dan giat mengarang dalam
bermacam-macam ilmu sejak hari-hari pertama fatsu kurun pertama.
Terutama dalam ilmu Qur'an yang pada
waktu itu merupakan persoalan yang sangat penting, banyak terdapat
pengarang-pengarang Syi'ah yang tcrkemuka. Sedangkan selanjutnya sebagai ahli
tafsir kita sebutkan Abu Hamzah As
Samali. Tabi'in dan meninggal 150 H., Abu Jamadah As-Saluli (mgl. pada pertengahan abad ke II H.), Abu Ali Al-Hariri (mgl.
idem), Abu Alim bin Faddal, Abu Thalib bin Shalat (mgl. akhir abad ke-II), Muhammad bin
Khalil Al-Barqi (mgl. idem), Hisyam bin Muhammad
As-Said Al-Kalbi (mgl. 206 H), Al Waqidi
(mgl. 207 H.), Yunus bin Abdurrahman Ali Yatin,
Hasan bin Mahbub As-Sarrad (mgl. 224 H.), Abu Usman
Al-Mazani (mgl. 248 H.), Muhammad bin Mas'ud A/-Ayasyi, Farrad
bin Ibrahim, Ali bin Mahziar Al Ahwazi, Husain bin Said Al-Ahwazi, Hasan bin
Ahwazi, Hasan bin Khalid Al-Barqi Ibrahim
As-Saqafi meninggal 283 H. Ahmad bin Asadi, hampir semua keluarga Al-Qummi
mengarang tafsir. Al-]aludi, As-Suli, Al-Dlurjan', Al-Musawi, Ibn
Nu'man, At-Thusi,
At-Tabrasi, Ar-Rawandi (mgl. 573 H.) M-Fatital Asy-Syirazi (mgl. 948 H.), As-Sabzawari
(mgl. 910 H.), Azwari Al-Masyadi,
Al-Hamdani, Al-Bahrani (mgl. 1107 H.) Jawad
bin Hasan Al-Balaghi (mgl. 1302 H),
dll. masing-masing menerangkan tafsir Qur'an yang ditinjau dari segala sudut
ilmu. Ada yang lucu, kadang-kadang orang Salaf yang menamakan diri anti Syi'ah,
menggunakan tafsir Syi'ah dengan tidak mengetahui pengarangnya.
Sebagaimana dalam ilmu tafsir, kita
dapati pengarang-pengarang Syi'ah yang ulung dalam ilmu Qur'an yang lain,
misalnya dalam ayat-ayat hukum khusus mengenai mashaf Syi'ah seperti pengarang Al-Kalbi, (mgl.
146 H.), Ar-Rawandi (mgl. 573 H.), As-Sayuri (mgl. 792.), Al-Ardabli (mgl. 993
H.), Al-Kazimi (mgl. abad ke-II H). Astrabadi
(mgl. 1026 H.), Al-]azairi (mgl.
1151 H.), dll. yang kitabnya sekarang dipakai diseluruh dunia.
Juga dalam ilmu Qur'an lain terkenal
ulama2 Syi'ah misalnya mengenai ayat-ayat Mutasyabih, seperti Hamzah bin Habib (mgl. 156
H.), meskipun menurut Sayuti orang yang mula-mula mengarang dalam ilmu ini
ialah A)l-Kasa'i (mgl. 182 H.), kedua-duanya adalah juga ahli Qira'at Tujuh.
Kemudian terkenal namanya Muhammad bin Ahmad Al-Wazir (mgl. 433 H.), Ibn
Syahrassyaub al-Muzandra (mgl. 588 H.), dll.
Dalam Gharibul Qur'an adalah Aban Ibn Tughlab (mgl.
141 H.), Ada orang mengatakan Abu
Ubaidah (bukan Syi'ah), tetapi Abu Ubaidah meninggal
tahun 200H, kemudian dari masa Ibn Tughlab. Selanjutnya
yang mengarang dalam bidang ini ialah Muftadhall Salmah, Ibn Darid (mgl 321 H.), Abu
Hasan al-Adawi Asy-Syamsyathi (mgl.
permul. abad ke-IV), semuanya ulama Syi'ah.
Karangan-karangan mengenai Asbabun Nuzul dihari-hari
pertama juga diperbuat oleh golongan Syi'ah, seperti Ibn Abbas (mgl.
67 H), Muhammad bin Khalid ai-Barqi (mgl. akhir abad ke-IT H), Ibrahim
bin Muhammad As-Sakaji (mgl. 283 H) Abdul Azis bin Yahya al-Jaludi (mgl. 330 H), Ibnul Hijam dalam abad yang ke-IV juga
semuanya ulama Syi'ah.
Selanjutnya mengenai nasikh dan mansukh
juga yang mula-mula dan banyak mengarang orang-orang Syi'ah, seperti Abdurrahman al-Asam (abad ke-II), Ad-Damiri
(abad ke-Il), Ibn al Kadri mgl. 246 H) atau anaknya Hisyam (mgl. 207 H), Ibnal Fadhal mempunyai kitab nasikh dan mansukh, sebagaimana Al-Qummi,
baik Ahmad bin Muhammad maupun A l i bin Ibn Ibrahim, selanjutnya pengarang
Syi'ah yang pertama juga didalam bidang ini ialah Al-Jatudi (mgl.
330 H), dan Suduq bin Babuwaih al-Qummi (mgl. 381 H).
Dalam ilmu Majazul Qur'an yang
memulainya ialah ulama Syi'ah, seperti Ibn al-Mustanir (mgl. 206 H.), pendeknya
dalam segala bidang ilmu Qur'an, seperti ilmu mengenai pembagian Qur'an ilmu mengenai
perhentian membaca dan menyambung ayat Qur'an, ilmu mengenai wakaf, ilmu
mengenai i'rab, ilmu mengenai sejarah titik dan baris, ilmu mengenai fadilat
membaca Qur'an (ada yang mengatakan Ubai bin Ka'ab yang meninggal 30 H), ada
yang mengatakan Muhammad Idris Asy-Syafi'i (mgl. 204 H), ilmu bermacam-macam
qira'at ilmu tadwid, dan ilmu-ilmu lain mengenai kitab suci, yang terbanyak ditulis
oleh ulama-ulama Syi'ah dan mereka juga yang memulainya. Mengenai nama-nama
kitabnya saya tidak sebutkan disini, karena sangat banyaknya. Saya hanya
mempersilahkan saudara membacanya dalam kitab "A'yanusy Syi'ah", Jus
I, bahagian ke-2, halaman 53 – 74 (Beint, 1960).
HADITS DAN JA'FAR SHADIQ
(Hal.20-26)
Dalam uraian-uraian yang telah lalu,
telah kita jelaskan, bahwa kedudukan Imam Jafar As-Shadiq mengenai pendidikan
ulama2 Ahlul Hadits dan ahlul Ra'yi atau Ahlul Qiyas, yang lama-kelamaan merupakan
imam-imam mazhab yang terpenting seperti Malik bin Anas dan Abu Hanifah dll.
Mashaf-mashaf itu ada yang menggabungkan dirinya dalam ikatan Ahlus Sunnah, ada
yang dalam ikatan mashaf
Ahlul Bait, karena dalam hukum fiqh ingin
melanjutkan cara berfikir Imam Ja'far As-Shadiq, yang mereka namakan Fiqh
Al-Ja'far, dengan mengutamakan hadits-hadits riwayat Ahlul Bait atau perawi-perawi
dari ulama-ulama Syi'ah sendiri.
Dalam salah satu bahagian kita sudah
jelaskan, bahwa tidak kurang dari empat ratus orang muridnya yang mengarang
kitab-kitab fiqh menurut jalan ini. Usul fiqh untuk mashaf Al-Ja'far ini, yang
terkenal dengan pokok persoalan empat ratus, dikumpulkan dalam empat buah kitab
besar, yang masing-masing bernama Al-Kafi,
Al-lsttbsar, At-Tahzib dan Ma La Yahduruhul Fiqh. Inilah kitab-kitab hadits yang terbesar dan menjadi pokok
bagi ulama-ulama Syi'ah yang terkenal dengan Kitab
Empat sebagaimana terkenal dengan Kitab Enam dalam
pengumpulan hadits bagi penganut Ahlus Sunnah.
Imam Ja'far As-Shadiq sangat bijaksana
sekali dalam menciptakan ulama ulamanya, yang kemudian disiarkan keseluruh
negara Islam untuk membasmi keyakinan-keyakinan yang salah, memerangi sifat ilhad
dan zindiq, berdebat tentang aqidah yang tidak benar, mengalahkan firqah-firqah
yang menyeleweng dari ayaran Islam dalam masa pancaroba dan zaman kekacauan
politik dan agama itu. Ulama-ulamanya terdapat di Irak, Khurasan, Harnas, Syam,
Hadramaut, dll, terutama di Kufah dan Madinah dimana bibit keyakinan Syi'ah ini
sudah tertanam dan tumbuh dengan suburnya.
Imam Ja'far mempersiapkan ulama2
muridnya menurut pembawaannya masing2 dan menurut kebutuhan daerah. yang
mengirimkan utusan kepadanya. Oleh karena pengetahuannya sangat luas dalam segala
bidang, mudah baginya melakukan hal yang demikian itu. Ulama-ulamanya ada yang
diuntukkan mengajar, ada yang diuntukkan buat berdebat dsb.
Aban ibn Tughlab dikhususkan
pendidikannya untuk ilmu fiqh, dan diperintahkan duduk dalam mesjid memberi
fatwa kepada orang banyak dalam hukum fiqh, Hanaran bin A'yun ditugaskan
menjawab masalah-masalah yang bertali dengan ilmu Qur'an, Zararah bin A'yun untuk
berdebat dalam fiqh, Mu'min at-Thaq dalam masalah ilmu kalam, Thayyar dalam
perkara amal ketaatan, Hisyam bin Hakam
dalam berdebat mengenai immamah dan
i'tikad Syi'ah dsb. Maka mengalirlah orang-orang itu ketiap-tiap kota untuk
menghadapi manusia dan berda'wah menurut mashaf Ahlil Bait.
Tidak cukup tempat untuk menyebutkan
nama ulama-ulama itu satu persatu, serta sejarah perjuangannya. Meskipun
demikian beberapa tokoh terpenting akan kita bicarakan dibawah ini.
Aban bin Tughlab bin Rabah, yang digelarkan Abu
Sa'id al-Bakri al-Jariri (mgl. 141 H.), adalah
ulama yang sangat terhormat dalam kalangan Syi'ah. Ia pernah belajar pada Imam
Zainal Abidin, Al-Baqir dan As-Shadiq. Ia mempunyai majlis pengajaran khusus
dalam mesjid. Ia ulama fiqh Imamiyah yang terkenal menurut pendapat Yaqut, meriwayatkan
banyak hadits dari Ali bin Husain, Abu Ja'far dan Abu Abdullah, fasih bahasa
Arab, banyak mengetahui tentang pengertian Al-Qur'an, menurut Ahmad ibn Hanbal
boleh dipercayai benar ucapannya, seorang yang tinggi adabnya, hadits
riwayatnya banyak diambil oleh Muslim, Tarmizi, Abu Daud, An Nasa'i dan Ibn
Majah.
Diantara gurunya juga ialah Al-Hakam
bin Utaibah al-Kindi (mgl. 115 H), salah seorang perawi dalam Kitab Enam hadits
Ahlus Sunnah, Fudhail bin Umar al-Fuqaimi (mgl. 110 H, yang hadits Ahlus banyak
dipetik oleh Muslim dan Abu Ishaq Umar bin Abdullah al-Hamdani (mgl. 217 H.),
salah seorang ulama Tabi'in dan perawi Haditsdalam Kitab Enam.
Banyak muridnya tersiar dimana-mana dan
menjadi ulama-ulama besar. seperti Musa bin 'Uqbah al-Asadi (mgl. 141 H.),
salah seorang yang riwayat haditsnya banyak dimuat dalam Kitab Enam, Syi'bah bin
al-Hajjaj, Hammad bin Zaid al-Azadi, seorang ahli hadits yang terkenal (mgl.
197 H), mendapat pujian dari Ibn Mahdi dan Imam Ahmad tentang kejujurannya,
Sufyan bin 'Uyaynah, yang riwayat hidupnya sudah dimuat dimana-mana. Muhammad
bin Khazim at-Tamimi (mgl. 195 H), juga banyak digunakan orang riwayat hadits-haditsnya
termuat dalam kitab Enam oleh Ahmad Ibn Hanbal, oleh Ishak bin Rahuwaih, Ibn
Madani dan Ibn Mu'in, terutama hadits2-nya yang dihafalnya dari Al-A'masy, dan
Abdullah ibn Mubarak al-Hanzali (mgl. 181 H), seorang ulama besar yang sangat
dipercayai, pernah menyelidiki hadits dan menulisnya dari empat ribu ulama.
Semua ulama-ulama hadits ini dipuji
oleh Ibn Hajar dan Al-Khazraji dalam kitab-kitabnya yang terkenal.
Aban bin Tughlab menghafal tidak kurang
dari tiga ribu hadits dari Imam As-Shadiq, ahli dalam fiqh Al-Ja'fari atau
mashaf Ahlil Bait, termasuk tokoh Syi'ah yang terpenting. Atas pertanyaan Abu Balad,
Aban menerangkan, apa arti Syi'ah padanya. Katanya : "Syi'ah itu ialah
golongan manusia yang memegang kepada ucapan Ali, apabila tentang sesuatu
masalah dari Nabi dipertengkarkan orang sudah mempertengkarkan ucapan dan sikap
Ali ". (Asad Haidar, III; 57).
Diantara kitab-kitabnya ialah Gharibul Qur'an, mengenai
Kitabul Fadha'il Kitab Ma'anil Qur'an, Kitabul Qira'at
dan Kitabul Usul mengenai riwayat mashaf
Syi'ah, dan banyak lagi yang lain-lain sebagaimana
yang disebut dalam Fihra'at, karangan
At-Thusi.
Diantara ulama yang terbesar juga, kita
sebut Aban bin Usman al-Lu'lu'i (mgl. 200 H), berasal dari Kufah, pernah tinggal lama di Basrah,
banyak hadits-haditsnya mengenai syair, keturunan dan hari hari penting bangsa
Arab, berguru pada Abu Abdullah, Abdul Hasan, Musa bin Ja'far dll. Diantara
kitabnya, yang disebutkan orang disana-sini ialah Al-Mabda, Al-Mab'as, Al-Maghazi, Al-Wafah, As-Wafah, As-Saqifah
dan Ar-Ridah (baca Mu'jamul Udaba' 1.108 — 109, Lisa
nul Mizan I ; 24, Fihrasat At-Thusi, hal. 18 dll). Banyak sekali murid-muridnya
yang menyiarkan pahamnya kesana-kesini, tidak kita sebutkan disini seorang demi
seorang. Ulama-ulama Syi'ah yang lain dalam fiqh diantaranya Barid bin Ma'awiyah al'Ajadi (mgl. 150 H), sahabat Al-Baqir, dan As-Shadiq, ahli hadits
dan fiqh, mempunyai kedudukan istimewa dalam mashaf Ahlil Bait, termasuk
golongan enam orang yang sangat ahli dalam hukum fiqh, yaitu Zararah bin A'yun,
Ma'ruf bin Kharbuz, Barid Al-Ajali, Abu Basir al-Asadi, Fudhil bin Yassar dan
Muhammad bin Muslim At-Tha'ifi. Ia banyak meriwayatkan hadits dari Imam Baqir
dan Imam As-Shadiq, yang sangat memuji-muji dia. Barid adalah salah seorang
penulis yang terkenal dalam masa Imam As-Shadiq. Kemudian kita sebutkan pula Jamil bin Darraj an-Nakko'i termasuk sahabat Imam As-Shadiq dan anaknya Abu Hasan Musa,
banyak mengarang dan meriwayatkan hadits-hadits, begitu juga Jamil bin Salih al-Asadi, dicintai oleh Imam As-Shadiq dan anaknya Musa.
Lain dari pada itu juga kita sebutkan Hammad bin Usman (mgl. 190
H) dan Hammad bin Isa al-Juhni, kedua-duanya sahabat Imam As-Shadiq dan Imam Al-Kazim dan
kedua-duanya ahli fiqh dan hadits Ahlil Bait.
Tidak kurang pentingnya kita sebut Hubaid bin Sabit at-Kahili, berasal dari Kufah (mgl. 122 H), salah seorang dari pada
Tabi'in dan perawi Kitab hadits Enam, banyak meriwayatkan hadits dari Zainal Abidin,
Imam Al-Baqir dan anaknya As-Shadiq, begitu juga tidak kurang pentingnya kita
peringatkan Hamzah bin Thayyar, salah seorang ulama fiqh Syi'ah dan tokohnya dalam ilmu
kalam, memperdebatkan persoalan-persoalan yang menguntungkan mashaf Ahlil Bait,
banyak sekali murid-muridnya tersiar dimana-mana.
Meskipun demikian yang lebih penting
lagi kita bicarakan disini adalah dua tokoh ulama Syi'ah yang terbesar yang
dalam perkembangan paham mashaf Al-Ja'fari dalam segala bidang, yaitu Mu'min Thaq dan Hisyam bin Hakam.
Mu'min Thaq adalah Muhammad bin Ali bin Nu'man al-Bajali, berasal dari
Kufah, sahabat kental dari Imam Ja'far dan pencintanya. Mu'min Thaq adalah
gelarnya yang berarti mu'min yang serba sanggup,
demikian kesanggupannya dalam segala
ilmu, sehingga ia dapat mengalahkan Imam Abu Hanifah dalam banyak persoalan,
dan sehingga Abu Hanifah ini menamakannya Syaithan Thaq, sedang yang kesanggupannya luar biasa. Ulama-ulama Khawarij oleh Mu'min Thaq ini dikalahkan
semuanya, tidak ada seorangpun diantara mereka yang berdebat dengannya dapat
bertahan.
Hisyam pernah menemui Zaid Ibn Zainal
Abidin, Ali bin Husain Zainal Abidin, Ilmunya banyak sekali, terutama sangat
alim dim. Ilmu fiqh, ilmu kalam, hadits dan gubahan sajak. Ia sangat pandai
dalam berdebat dan menggunakan kata-kata, tajam pandangan dan pikirannya dalam
meninjau persoalan agama. Sambil berniaga ia mengunjungi banyak kota-kota Islam
dan menyiarkan mashaf Ahli Bait.
Sebagai contoh kita sebutkan perdebatan
antaranya dan Abu Hanifah.
Abu Hanifah : Apa hukum nikah mut'ah padamu ?
Mu'min Thaq : Halal.
Abu Hanifah :
Apakah boleh anakmu dan saudara-saudaramu bernikah mut'ah dengan orang
lain ?
Mu'min Thaq : Yang demikian adalah
sesuatu yang dihalalkan Tuhan, apa boleh buat. Tetapi
sobat bagaimana hukum bier
padamu ?
Abu Hanifah :
Halal.
Mu'min Thaq : Apakah engkau akan
girang, jika anakmu dan saudaramu menjadi pemabuk bier?
Mu'min Thaq menulis kitab berisi
perdebatan antaranya dengan Abu Hanifah. Meskipun isi buku itu merupakan
sendagurau dan penggeli hati tetapi berisi hukum-hukum fiqh dan cara berfikir
antara seorang ulama Ahluh-Ra'yi dengan ulama Ahlil Bait.
Ibn Nadim menyebut bahwa dia adalah
ulama kurun keempat, karena ia meninggal dalam tahun 385 H .
Diantara kitab-kitab yang dikarangnya
ialah mengenai persoalan Imamah, Ma'rifat, penolakan terhadap Mu'tazilah
mengenai Imam Mafdhul, mengenai kehidupan Thalhah, Zubair dan Aisyah, mengenai penetapan
wasiat, sebuah kitab yang bergelar "Kerajaan dan jangan kerjakan".
Sebagaimana sudah kita katakan bahwa ia
termasuk orang yang sangat dicintai oleh Imam As-Shadiq, yang pernah berkata :
"Ada empat orang manusia yang kucintai hidup dan matinya, yaitu Barid bin
Mu'awiyah al-Ajali, Zararah bin A'yun, Muhammad bin Muslim dan Abu Ja'far
al-Ahwal".
Gelaran senda gurau Syaitan Thaq oleh
Abu Hanifah kepada Muhammad Al-Bajali oleh musuh-musuhnya disiar-siarkan secara
sebaliknya sehingga musuh-musuh Syi'ah memakai nama-nama itu untuk membuktikan
kesesatannya.
Belum dapat kita tutup karangan ini
sebelum kita sebutkan Hisyam bin Hakam,
al-Kindi (mgl. 197 H), lahir di Kufah, beberapa waktu
berdagang di Baghdad, kemudian ditinggalkannya usahanya dan pergi belajar
kepada Imam As-Shadiq sampai menjadi seorang alim dan sahabat Imam Musa
Al-Kazim.
Hisyam adalah seorang yang banyak
sekali pengetahuannya tentang mashaf-mashaf dalam Islam, sangat luas ilmunya
dalam filsafat, seorang ahli ilmu kalam Syi'ah yang ulung, seorang yang petah
lidahnya dalam mempertahankan persoalan imamah bagi Syi'ah. Zarkali mengatakan,
bahwa Hisyam bin Hakam adalah seorang ahli hukum fiqh, ahli ilmu kalam dan
manthik. Dr. Ahmad Amin mengatakan bhw. Hisyam bin Hakam adalah tokoh ilmu
kalam Syi'ah terbesar, murid dari Ja'far As-Shadiq seorang yg tidak dapat
dipatahkan alasannya, sehingga Imam As-Shadiq, pernah memuji kêpribadiannya :
"Hai Hisyam, engkau selalu dikuatkan pendapatmu dgn.
roh suci". Imam Ridha mengatakan : "Moga2 Allah memberi rahmat kepada
Hisyam, karena ia adalah seorang hamba yang salih". Harun ar-Rasyid memuji
Hisyam demikian : "Lidah Hisyam lebih dapat menghancurkan jiwa manusia daripada
seribu pedang".
Tatkala ia mendekati Imam As-Shadiq,
orang besar ini segera melihat bahwa Hisyam seorang yg cerdas otaknya, seorang
ikhlas dan seorang yang beriman, oleh karena itu lalu dididiknya Hisyam sampai menjadi
seorang besar dalam ilmu pengetahuan menurut mashafnya, seorang tokoh filsafat,
seorang yang bersih aqidahnya, yang dapat mempertahankan mashaf Ahlil Bait dari
pada serangan-serangan aliran-aliran Islam lain yang memusuhinya, yaitu
aliran-aliran yang sudah banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani.
Hisyam ahli dalam ilmu fiqh, hadits dan
tafsir, dan banyak meriwayatkan hadits-hadits dalam segala bidang hukum.
Didalam kitab-kitab hadits dan fiqh banyak disebutkan riwayatnya, diantara lain
oleh As-Sirfi, Al-Ajali, Al-Yaqthain dll. Ia banyak sekali mengarang kitab2 dalam
segala bidang ilmu, diantara lain, sebagaimana yg. Disebutkan oleh Ibn Nadim,
mengenai imamah, mengenai falsafat, mengenai penolakan terhadap orang2 zindiq,
penolakan-penolakan terhadap musuh Syi'ah, mengenai Jabariyah dan Qadariyah
dll. yang tinggi nilai dan mutunya.
Yang lebih aneh tentang dirinya ialah
bahwa ia dapat membawa dirinya diterima oleh Harun ar-Rasyid dan oleh golongan
Syi'ah. Untuk mengetahui, betapa hati-hati ia mengeluarkan pendapat-pendapatnya
agar orang-orang mengerti tetapi tidak
tersinggung perasaannya, kita sebut suatu percakapan antara Harun ar-Rasyid
dengan Hisyam sebagai dibawah ini :
Harun ar-Rasyid : Hai
Hisyam, tahukah engkau bahwa Ali pernah mengadukan Abbas
kepada
Abu Bakar?
Hisyam : Sungguh ada.
Harun ar-Rasyid : Mana yang
lazim terhadap sahabatnya, Ali-kah atau Abbas ?
(Hisyam sadar akan dirinya,
bahwa persoalan ini untuk memancing sikapnya. Jika ia mengatakan Abbas yg zalim
ia dianggap menghinakan Rasyid, Jika ia mengatakan Ali yang zalim ia merusakkan
keyakinannya sebagai orang Syi'ah. Kemudian Hisyam berfikir dan mengeluarkan
pendapatnya).
Hisyam : Kedua-duanya tidak zalim.
Harun ar-Rasyid : Jika
tidak ada yang zalim, bagaimana masuk di 'akal, kedua-duanya
datang
mengadu pada Abu Bakar ?
Hisyam :
Boleh saja daulat tuanku. Dua orang malaikat pernah mengadu
nasibnya kepada Nabi Daud,
sedang tak ada seorang diantaranya yang zalim, tetapi kedua-duanya ingin hendak
memperingatkan suatu kejadian. Demikian pula Abbas dan Ali datang kepada Abu
Bakar, datang hendak memperingatkan suatu kejadian, sedang keduaduanya tidak
ada yang zalim.
Jawaban ini rupanya sangat mendapat
penerimaan pada Khalifah Harun ar-Rasyid, dan oleh karena itu ia termasuk orang
yang disenanginya, meskipun dalam bathinnya ia tetap mencintai Ali dan
keturunannya.
Demikian beberapa patah kata tentang
keistimewaan Hisyam sebagai ulama terbesar dan tokoh terpenting dalam mashaf
Ahlil Bait. Ia dicintai oleh ulama-ulama dari aneka mashaf dan aliran, baik
oleh musuh maupun oleh kawannya. Tuduhan-tuduhan
Jahiz, dan dibelakang ini Dr. Ahmad Amin, bahwa Hisyam bin Hakam adalah
penganut aliran Rifdhi dan membenci semua sahabat Nabi, oleh golongan Syi'ah
tidak dapat diterima. Yang jelas adalah, bahwa Hisyam mencintai Ahlil Bait dan
menyiarkan kecintaan ini dalam ajaran-ajarannya.
-----
KEDATANGAN ISLAM DI NUSANTARA
(Hal.27-30)
Kedatangan Islam di Nusantara sama
dengan waktu kedatangan orang-orang Syi'ah ketempat ini, baik sebagai pedagang,
maupun sebagai pengembara atau ahli da'wah, baik memakai nama Arab, maupun
sudah merupakan keturunan orang-orang Persia atau India.
Dr. C. Snouck Hurgronje menceriterakan
dalam bukunya "De-Islam in Nederlandcsh-Indie" Serie II, No. 9 dari
"Groote Godsdiensten" tentang masuknya Islam ke Nusantara sebagai
berikut:
Tatkala raja Mongol Hulagu dalam thn.
1258 M. menghancurkan Baghdad yang lebih daripada lima abad lamanya merupakan
Ibu negeri kerajaan Islam, kelihatan seakan-akan kesatuan kerajaan-kerajaan Islam
itu lenyap. Hanya setengah abad sebelum kejadian yang penting itu berlaku,
Islam dengan secara tenang berkembang dan masuk kepulau-pulau Nusantara dan
sekitarnya. Perkembangan ini tidak dicampuri oleh sesuatu usaha Pemerintah mana
juapun. Negara-negara pesisir Sumatera, seluruh Jawa, keliling pantai Borneo
dan Sulawesi, begitu juga beberapa banyak pulau-pulau kecil yang lain,
satu-persatu dimasuki oleh Islam, terutama dengan usaha saudara-saudara Islam atau
orang-orang Islam yang ingin memperoleh tempat tinggal yang baru, datang dari
daerah sebelah Barat. Usaha itu dibantu pula oleh anak negeri yang sudah masuk
Islam didaerah pesisir, sebagian turut menyiarkan da'wah agama itu kedaerah
pedalaman, dan sebahagian lagi pergi berlayar menyiarkan keyakinannya yang baru
itu ke pulau-pulau yang terdekat, baik secara damai maupun secara jihad.
Batu-batu nisan yang bertulis, yang
memuatkan ceritera-ceritera lama dalam kalangan anak negeri, begitu juga
catatan-catatan yang ditinggalkan oleh seorang Venesia, Marco Polo, dari abad
ke-XIII, begitu juga kisah pelayaran dari seorang peninjau Arab, Ibn Bathuthah,
yang masih tersimpan sejak abad ke XIV, menerangkan kepada kita akan adanya
sebuah kerajaan Islam di Sumatera Utara, bernama Pasé. Tentang masuknya Islam ke
Minangkabau, ke Palembang, ke Jambi dan kedaerah-daerah pesisir yang lain dari
pulau itu, tidaklah kita ketahui pada permulaannya dengan kenyataan-kenyataan
yang dapat kita percaya. Tentang kedatangan Islam di Jawa, akan kita bicarakan nanti
dibawah ini.
Di Jawa kejatuhan kerajaan Hindu
Majapahit kira-kira dalam th. 518 M., merupakan hasil yang gilang-gemilang bagi
perjuangan yang gigih oleh mubaligh anak neger; sendiri, yang umumnya dinamakan
Wali Sembilan (Wali Songo). Dalam abad ke-XVI itu juga telah berdin di Jawa
kerajaan-kerajaan Islam Mataram, Banten dan Cirebon, yang meng-Islamkan seluruh
rakyatnya.
Tentang pengetahuan mengenai masuknya
agama baru ini ke pulau-pulau yang lain, kita umumnya hanya mempunyai sumber-sumber
penerangan yang berasal dari anak negeri semata-mata, yang tefdiri dari
dongeng-dongeng mengenai tempat kejadian sejarah, begitu juga beberapa
kejadian-kejadian dan beberapa silsilah yang tidak lengkap. Isinya daripada
dongeng-dongeng yang menceriterakan tentang orang-orang masuk Islam itu hampir
semuanya ada bersamaan. Seorang Wali Islam, biasanya datang dari negeri asal
Islam, negeri Arab, mendapat mimpi diberi perintah oleh Nabi Muhammad, untuk berangkat
dengan segera kesuatu daerah orang khafir, yang tidak berapa jauh letaknya dari
tempat itu. Kedatangannya ke negeri tersebut biasanya sudah diumumkan kepada
beberapa orang penduduknya, baik dengan mimpi atau dengan tanda alamat yang
lain. Wali itupun berangkatlah, dan perjalanannya terjadi dalam sekejap mata,
tak ada suatu rintangan-pun yang menghalanginya, gunung tidak lautpun tidak
merintangi perlawatannya. Dengan keajaiban yang luar biasa, melebihi sihir2
orang khafir itu, wali yang suci itu dengan segera dapat mengembangkan ajaran
Nabi Muhammad dan memperbanyak pemeluknya. Maka seketika itu juga
berduyun-duyunlah orang-orang kafir itu datang menemui wali yang suci itu untuk
bersama-sama mengerjakan Sembahyang secara Islam.
Ceritera yang demikian itu berakhir,
bahwa ajaran Islam dengan segera berkembang ditempat itu, baik dengan berjihad
atas jalan Allah maupun dengan da'wah yang dilakukan secara damai.
Demikian kata Dr. C. Snouck Hurgronje.
Tentang cara berkembang Islam di
Nusantara dan bangsa mana yang mula-mula membawanya kemari, ia menerangkan sbb.
:
Jauh sebelum lahir Islam sudah banyak
datang orang-orang dari Hindustan yang mencari tempat tinggal (kolonisasi) di
Jawa dan pulau-pulau yang terletak disekitarnya, serta membawa peradaban yang
disiarkannya ditempat-tempat itu.
Sesudah orang-orang Hindu masuk Islam,
maka orang-orang Hindu yang Islam ini meneruskan jalan penghidupan yang sudah
ditempuh dahulu itu. Orang-orang inilah yang mula-mula memperkenalkan Islam
kepada bangsa-bangsa kita diseluruh Nusantara. Kedalam orang-orang Hindu ini,
termasuk orang-orang Syi'ah, meskipun memakai nama Persia atau Hindu, seperti
nama Ar-Raniri, terambil dari perkataan Render di India, tetapi ia adalah
seorang dari ulama Ahlil Bait. Baca karangan Dr. Tujimah. Selanjutnya dapat
kita jelaskan, bahwa barangkali mungkin sebelum kedatangan ke Nusantara, mereka
sudah pernah ada ditengah-tengah bangsa-bangsa Islam yang lain, dan mungkin pula
sudah bertempat tinggal dahulu disalah satu daerah Nusantara, tetapi belum
memperlihatkan pengaruh yang berarti tentang keyakinan baru itu. Maka dengan
jalan itu dengan mudah Islam tersiar di Nusantara, karena orang-orang kita
disebelah Timur ini telah mempelajari agama Hindu pada orang-orang Hindu yang
sebelumnya datang kemari. Penduduk Jawa dan Sumatera tidak begitu sukar
menyesuaikan diri dengan kehidupan orang Hindu dan agama Hindu.
Segala ceritera, bahwa didalamnya
digambarkan kejadian-kejadian yang semasa dengan Nabi atau dengan
khalifah-khalifahnya sebagai yang terdapat disalin dalam bahasa Melayu
(Indonesia), mungkin sudah banyak menyimpang dari pada kejadian-kejadian yang
sebenarnya. Kedalam masyarakat Islam Nusantara dengan jalan itu sudah dimasukkan
pengaruh-pengaruh aliran, misalnya pengaruh Syi'ah, sebagaimana yang terdapat
didaerah-daerah pesisir Malabar dan koromandel juga terdapat di Nusantara
seluruhnya. Meskipun dikatakan Islam disitu
diajarkan menurut Ahli Sunnah, tetapi pemeriksaan menunjukkan, bahwa banyak
masalah-masalah sehari-hari yang dipecahkan menurut mashaf Syi'ah. Lain dari pada itu terdapat disana disini paham Sufi menurut
Mashaf Hululiyah atau Wihdatul Wujud, sementara waktu terdapat pula dalam
Iapisan rakyat rendah takhayul-takhayul yang tidak sedikit banyaknya.
Semua kejadian itu menunjukkan, bahwa
Islam di Nusantara pada zaman Purbakala itu tidak diterima langsung dari orang
Arab Perhubungan dengan Mekkah dan Madinah baru mulai terbuka dalam abad yang
ke-VII, dan pada ketika itu terjadilah hubungan yang langsung antara kedua kota
suci itu dengan penduduk Nusantara, yang naik haji dan belajar disana, meskipun
terkenal dengan nama masyarakat 'Jawa" yang tidak sedikit jumlahnya.
Orang-orang inilah yang boleh dianggap mula-mula mempelajari Islam pada sumber
daerah tempat lahirnya Nabi Muhammad. Mereka yang pulang ketanah airnya tidak
sedikit kemudian membuka tantangan terhadap ajaran-ajaran dan cara berfikir,
yang dimasukkan orang-orang sebelumnya melalui Hindustan mengenai Islam,
sebagaimana kemudian kedatangan orang- orang Arab dari Hadramaut ke Nusantara
membawa pengaruh dalam cara meyakini Islam dan berfikir.
-----
BILAKAH MASUK ALIRAN SYI'AH KE NUSANTARA
(Hal.31-34)
Diatas sudah saya kemukakan pendapat
penulis-penulis Barat dan Timur tentang masuk agama Islam ke Nusantara, yang
dalam kalangan Mubaligh-mubaligh Islam itu terdapat Ahlil Bait atau orang2 Syi'ah.
Persoalan ini sudah saya kupas waktu
diadakan "Seminar mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia", yang
diadakan pada tanggal 17 sampai 20 Maret 1963 di Medan, dan pidato saya
mengenai
persoalan tersebut, yang berjudul
"Berita tentang Perlak dan Pasai" dimuat dalam sebuah risalah besar
yang diterbitkan oleh panitia Seminar, terutama dibawah pimpinan M . Said.
Selain dari saya bicarakan tentang mubaligh-mubaligh Islam dizaman purbakala
itu, yang terdiri dari pada orang-orang Arab, Persia dan India saya jelaskan,
bahwa kebanyakan dari pada mubaligh-mubaligh itu pada waktu tersebut memang
berasal dari pada orang-orang, yang mengunjungi Aceh, dan Malaka, memasuki
Nusantara dari Persia dan India, meskipun banyak diantaranya telah menggunakan
nama-nama negeri-negeri tempat lahirnya di Persia dan di India itu. Dalam
uraian saya itu saya telah mengambil beberapa kesimpulan, yaitu : 1. Islam ke
Indonesia mula pertama di Aceh, tidak mungkin d;daerah lain; 2. Penyiar Islam
pertama di Indonesia tidak hanya terdiri dari saudagar India dan Gujarat, tetapi
juga terdiri dari mubaligh-mubaligh Islam dari bangsa Arab; 3. Diantara mashaf
pertama dipeluk di Aceh ialah Syi'ah dan Syafi'I; 4. Pemeriksaan yang teliti
dan jujut akan dapat menghasilkan tahun yang lebih tua untuk sejarah masuknya
agama Islam ke Indonesia.
Sebagai keterangan ad 1. ialah karena
Aceh itu merupakan pelabuhan yang pertama disinggahi kapal-kapal layar yang
masuk ke Nusantara dari Hadramaut dan Gujarat. dan kemudian meneruskan
pelayarannya ke Malaka, diantaranya ada yang berlayar ke Cina, seperti Marcopolo,
Ibn Batuthah, dan Soelaiman, (Lih. "Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh", karangan
Sayydd Alwi bin Thahir Al-Haddad, (Jakarta, 1957; hal. 9 dst. ) seorang Arab pelancong yang terkenal, dan sebaliknya
kapal-kapal ini mengangkut orangorang dari Nusantara dari Aceh ke Mekkah,
sehingga oleh karena itu Aceh itu dinamakan "Aceh Serambi Mekkah".
(Nama "Aceh tanah rencong"
adalah nama yang diberikan pada daerah ini dalam masa peperangan dengan
Belanda). Begitu juga jemaah Haji yang datang dari Jawa atau dari daerah
Indonesia Timur, berkumpul dulu di Aceh, dan dari sana barulah berangkat dengan
kapal-kapal Gujarat itu ke Arab. Di Kuala Aceh masih terdapat sebuah kampung yang
bernama "Kampong Jawa", yang didalamnya tidak terdapat seorangpun,
yang berasal dari Jawa.
ad. 2. Mengenai keadaan mubaligh-mubaligh
dari Arab ke Indonesia, diantara kitab-kitab sejarah yang dikarangkan oleh Nabi
ketimuran Belanda, banyak juga diceritakan dalam kitab "De Hadramieten in
Ned. — Indie", karangan S.A. Al-Attas, dan kitab-kitab lain, yang saya
ceriterakan kembali secara ringkas dalam kitab "Sejarah Hidup A.W-
Hasyim", pada waktu saya membahas gerakan "Ar-Rabithah Al-Alawiyah"
dan gerakan "Al-Irsyad".
Keterangan yang lebih tua mengenai
kedatangan mubaligh dari Persia dan India ke Nusantara, dapat kita baca dalam
penyelidikan, yang dilakukan oleh dua ahli sejarah, yaitu Sayyid Moestafa
At-Thabathaba'I dan Sayyid Dhiya' Shahab yang terjadi sekitar bulan November 1960,
berjudul "Hubungan Kebudajaan Indonesia — Iran" (Haulal 'Alaqatith
Thaqafiyah Baina Iran wa Indonesia), yang diterbitkan dalam th. 1339 oleh
"The Iranian Cultural Office Jalan Budi Kemuliaan 4 A Jakarta —
Indonesia".
Diantara lain ia berkata :
"Dekat Surabaya terdapat sebuah
kota Gresik namanya, sebuah kota yang bersejarah di Jawa Timur. Di kota itu
kami lihat bekas-bekas yang sudah tidak terurus dan kuburan lama dari penyebar-penyebar
Islam dan Alim Ulama, diantaranya kuburan Maulana Malik Ibrahim, yang wafat
dalam th. 822 H. atau 1419 M. Beliau adalah boleh jadi seorang Iran asal dari
Kashan.
Dr. H.J de Graaf dalam bukunya "Geschiedenis van Indonesia", hal. S7, menulis a.1. : Malik Ibrahim dalam mulut rakyat
disebut "Orang Barat" ia ternyata masih dipandang sebagai seorang
asing sangat boleh jadi seorang pedagang Persia asal dari Gujarat, yang masih
belum begitu menjadi kaulanegara di Jawa, sehingga masih perlu didatangkan batu
nesan dari negara asalnya seperti yang telah terjadi dengan raja-raja kecil di
Sumatera Pantai Utara.
Ketika saya melihat-lihat dan
jalan-jalan diantara kuburan- kuburan itu, sedang matahari akan masuk,
keperaduannya, disebelah Barat, teringatlah saya akan kata-kata Imam Zainul
Abidin, yang dalam bahasa Indonesianya k.1. seperti berikut:
"Tangan malaikat telah mencabut
beberapa nyawa -dari abad ke-abad dan merobah duma ini dan membenamkan dalam
tanah dari' mereka yang saya kenal. Bermacam-macam orang itu semua diantar
kannya kedalam tanah. Hai jiwa, sampai
kapankah kau bersandar atas kehidupan dan atas dunia ini dan kau perhaiikau
kemakmurannya saya ? Apakah engkau tidak menarik pclajaran dari masa yang lalu
dan ingat akan beribu-ribu orang yang; sudah tertutup oleh tanah dan
sahabat-sahabatmu yang telah dipindahkan kedunia baka ? Lihatlah ummat-ummat
yang lalu, zaman-zaman yang lampau, raja-raja yang kejam, dihancurkan oleh
zaman, dihapus oleh mati, tanpa bekas didunia, dan hanya diceritanya saja yang
masih ada. Mereka semua menjadi tulang, hancur lebur dalam tanah, rumah-rumah
dan istana-istananya menjadi kosong "
Di kota Gresik kami bertemu dengan
salah seorang yang terkenal, yaitu Sayyid Hasyim Asegaff. Dengan beliau kami
banyak berbicara tentang soal-soal Syi'ah dan buku-bukunya.
Kuburan-kuburan penyebar Islam yang
dulu dan ulama-ulama yang banyak terdapat di Indonesia.
Di Sumatera Utara umpamanya dulu ada
kuburan raja-raja dan penyebar Islam dll., tetapi banyak yang sudah hilang.
Suatu pandangan yang menyedihkan.
Diantara ulama-ulama Iran yang ada
kuburannya ialah Sayyid Syarif Khair bin Amir Ali Istrabadi, yang wafat dalam
th. 833 H. dan Na'ina Husain al-Din. Diatas kuburan Na'ina Husain al-Din ini
terdapat tulisan Persia, syair Muslihuddin Sa'id.
Setelah saya kembali dari Surabaya saya
berniat untuk mempelajari soal-soal ini. Saya cari keterangan-keterangan di
perpustakaan-perpustakaan dan dimusium-musium dan saya mendapat tulisan Dr.
H.K.J. Cowan tentang kuburan ini, yang membuktikan bekas-bekas kebudayaan Iran
dan bahasa Iran dikepulauan ini.
Karangan Dr. K.H.J. Cowan yang dimaksud
oleh kedua penyelidik Islam Ath-Thabathaba'i dan Dhiya Shahab ini berjudul
"A Persicm Inscription in Nort
Sumatra", yang dimuat dalam Majalah
"Tijdschrift voor Taal-, Land en Volkendunde, Deel LXXX, 1940". Pedagang-pedagang
Iran dan India sering kali datang kenegeri Indonesia. Ahli sejarah juga
menyebutkan bahwa dipasar-pasar Banten Lama banyak terdapat pedagang Iran dan
Khorasan (bangsa Iran juga), yang mendagangkan batu-batu berharga dan
obat-obat. Orang-orang Arab dan Iran melintasi lautan kepulau-pulau ini dalam
abad ke-X untuk berdagang dan menyiarkan agama Islam.
Pelayaran itu bertambah banyak ke
Tiongkok pada zaman raja Chu ïsang, dan dipasar-pasar Pasai di Sumatra banyak
terdapat pedagang-pedagang asing. diantaranya orang-orang Iran. Dalam sejarah disebutkan
bahwa kapal-kapal dari Timur Jauh telah mengunjungi teluk Persia dan sudah
tentu kapal-kapal itu menyinggahi kota-kota kedua pesisir pantai teluk itu.
-----
RAJA-RAJA DARI KETURUNAN SYI'AH ATAU AHLIL BAIT DI NUSANTARA
(Hal.35-39)
L-W-C- van den Burg, dalam bukunya,
"Le Hadramaut et les Arabs et India", mengatakan : "Adapun hasil
yang nyata dalam penyiaran agama Islam adalah dari orang-orang golongan Sayyid
dan Syarif. Dengan perantaraan mereka, agama Islam tersiar diantara raja-raja Hindu
di Jawa dan suku-suku yang belum beragama. Selain dari mereka ini, ada juga
penyiar-penyiar Islam itu datang dari Arab Hadramaut…".
Sayed Alwi bin Tahir Al-Haddad, memberi
komentar atas keterangan ini dalam kitabnya "Sejarah Perkembangan Islam di
Timur Jauh" (Jakarta, 1957), bahwa agama Islam tersiar dan berkembang di
Sumatera sedikit demi sedikit, sebagaimana tersiarnya Islam di Malabar dan
Koromandel, dan diantara penyiar-penyiar agama Islam yang terkenal, banyak
sekali diantara mereka adalah suku Sayid (Alawi). Pengarang ini mengemukakan,
bahwa An-"Nihyatul Arab Fi Fununil Adab" dan Al-Dimasyqi, dalam
kitabnya "Nuchbatuddahr Fi Ajaib el bar war bahr", pernah menyebut
tempat-tempatnya tersyiar agama
Islam pada hari-hari pertama itu, yaitu
dipulau-pulau "Hindia Timur" sampai ke India, dipulau Surandib
(Sailan), antara Saribazah (Sri Wijaya) di Sumatera, dan Kelah (Kedah) di
Semenanjung Melayu dan terus kepulau Zabaj atau Ranj (Kalimantan).
Ditempat-tempat tersebut berakarlah
agama Islam itu, dan sebagai akibatnya tegaklah kerajaan-kerajaan kecil yang
merupakan pemerintahan.
Menurut sejarah keturunan sultan2 Brunai
yang dimuat dalam the Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic
Society di Singapore No. 1 sampai 5 thn. 1878 — 1880, yang disimpan di Raffles
Library, dikatakan bahwa penyiar-penyiar agama Islam disana terdiri dari suku
Sayid Syarif yang terikat dengan keluarga sultan-sultan di pulau-pulau
Filipina.
Dalam sejarah Serawak juga dikatakan
bahwa Sultan Barakat berasal dari keturunan Sayidina Hussein bin A l i ("A
History of Serawak under two whit Rajabhs" S. Baring Gould, Raffles
Library, Singapore).
Demikianlah terdapat riwayat raja-raja
disekitar Mindanau, di Manila, dan di Sulu. Di Pontianak sampai sekarang masih
terdapat keturunan raja-raja dari suku Al-Gadri. dalam silsilah, bahwa nenek moyang
Sultan-sultan Brunei, Sulu dan Mindanau adalah kakak beradik dari pada
keturunan Syarif Ali Zainal Abidin, keturunan Nabi Muhammad yang pindah dari
Hadramaut, Arab Selatan ke Johor, Malaya Selatan dan berkembang disekitar
daerah ini.
Diatas sudah diterangkan raja-raja di
Aceh, yang nisannya menyebut gelar Al-Malik atau Raja, misalnya ada nisan yang
terdapat di Blang Me, pada kuburan Al-Malik Al-Kamil (mgl. 7 Jumadil Awal 607
H/1210 M). Disampingnya terdapat kuburan Ya'cub, saudara misannya, yaitu
seorang Panglima yang meng-Islamkan orang-orang Gayo dan beberapa suku di
Sumatera Barat (mgl. 15 Muharram 630H/1237, M.)- Kemudian terdapat disana
kuburan Al-Malik As-Salih, yang sudah dibicarakan diatas oleh Thabathaba'i dan
Dr. Cowan, dengan nama Na'ina Husamuddin atau Husainnuddin (saya juga pernah
melihat kuburan ini, dan saya tidak membaca "Naina", tetapi huruf
yang sudah rusak ini saya lebih yakin membaca "Maulana", (mgl. 8
Ramaddan 696 H./1296 M). Maulana atau Malfi biasa digunakan di India untuk
sahib-sahib atau orang-orang istimewa pengetahuan Islamnya atau kekuasaannya.
Al-Haddad, dan dalam terjemah Indonesia
Dhiya Shahab, mengatakandalam karangannya tersebut diatas, bahwa sesudah Sultan
Al-Malik As-Salih ini memerintah pula anaknya Sultan Muhammad Al-Zahir (mgl. 12
Julhiyyah 726 H /1325 M ). Sesudah sultan ini memerintah pula anaknya bernama
Sultan Ahmad bin Muhammad Al-Zahir. Kuburannya terdapat di Meunasah Meucet didesa
Blang Me, yang pada waktu hidupnya bergelar Abi Zainal Abidin (mgl. 4 Jumadil
akhir 809 H /1406 M.), dan kemudian anaknya pula yang bergelar Ali Zainal Abidin
(mgl. 811 H/1408 M.), yang sesudah mangkat digantikan oleh Abdullah Salahuddin
dan isterinya Buhaya binti Zainal Abidin.
Kuburan-kuburan di Aceh terdapat
bertabur pada beberapa tempat sekitar Gedung dan Baju, Meunasah Mancang, Blang
Me, Pase, Samudra, dll.
Al-Haddad berpendapat, bahwa
keluarga-keluarga inilah merupakan asal-usul raja-raja Brunei, Cermin Lama,
Serawak dan negerinegeri yang takluk padanya, juga raja-raja Sulu, Sibuh
(Subuh), Mindanau dan Kanawi yaitu pulau yang boleh jadi yang dinamakan dalam kitab-kitab
lama dalam bahasa Arab "Al-Alawiyah" dan menurut paham kami dari
karangan Dr. Nageeb Saliby dalam bahagian tentang kepulauan-kepulauan yang
banyaknya kira-kira seribu tujuh ratus pulau dimana disebut negeri-negeri. Ia
berkata : "Jajahan yang terbesar ialah pulau Kanawi dimana berdiam seorang
Syarif Alawi yang terkuat dipulau itu".
Nama Al-Alawiyah dipulau itu disebut
oleh pengarang "Nuchbatud dahr".
Selain di Aceh, yang raja-rajanya dalam
susunan sejarah Pemerintah Aceh terdapat juga, gelar-gelar Sayyid dan Syarif,
seperti Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (1699/1702 ML). Syarif Lam Tui (1702
- 1903 M), Syarif Syaiful Alam (1815 - 1820 M), juga terdapat didaerah-daerah
lain di Sumatera golongan Ahlil Bait ini turut memerintah, misalnya di
Palembang dengan silsilah yang panjang, seperti Tuan Fakih Jamaluddin yang
bermakam di Talang Sura (1161 M.), yang ternyata, bahwa nama-namanya yang
lengkap adalah Syayid Jamaluddin Agung bin Ahmad bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad,
seterusnya sampai kepada Syaidina Husain. Dalam silsilah ini disebut bahwa
Jamaluddin Akbar. itu mempunyai tujuh orang anak, tetapi yang disebut
keturunannya ialah dari Zainul Akbar, yang menurunkan raja-raja Palembang,
Pangeran-pangeran dan raden-raden di Palembang, Sunan Giri dan Sunan Ampel. Ada
orang berpendapat bahwa raden itu berasal dari perkataan Arab
"ruhuddin" (jiwa agama) yang kemudian menjadi gelar bangsawan dari
orang Jawa.
Sebuah silsilah yang terdapat di
Banyuwangi, Jawa, juga bersamaan dengan silsilah yang terdapat di Palembang.
Dengan demikian, melalui penyiaran
agama kita dapati darah-darah Ahlil Bait ini bertabur dan bercampur dengan
darah raja-raja Nusantara, baik diseluruh daerah Malaysia, termasuk yang
terpenting
Malaya, maupun di kepulauan Indonesia,
baik di Ambon, dimana sampai sekarang terdengar nama Sayid Parintah, yang mengatur
pemberontakan Patimura terhadap Belanda, maupun di Borneo dan Sulawesi,
Halmahera, bahkan sampai ke Irian
Barat. Terutama di Jawa, dalam masa da'wah Wali Sembilan (Wali songo), banyak
sekali campuran darah Ahlil Bait ini dengan anak negeri dan sultan-sultan dan
raja-raja dari zaman, Mataram Islam.
-----
BAHAN BACAAN
- Prof.
Dr. H. Aboebakar Aceh : "Syi'ah, Rasionalisme dalam Islam", (Semarang,
1972).
- Prof.
Dr. H . Aboebakar Aceh : "Sejarah Al-Qur'an" (Surabaya - Malang,
1956 eet. ke-IV).
- Abdul
Hafid Faragli : "Ahlul Bait fi Misr", (Cairo Desember 1974).
- Asad
Haidar : "Al-Imam as-Shadiq wal Mazahilil Arba'ah", (hal. 216 -
218).
- „Haditsuts
Tsaqalain", 1952 M. Penerbitan „Darut Taqrib bainal Mazahibil
Islamiyah".
- Muhammad
Abdul Baqi : „As-Sa'ral Anwal Fil Islam".
- Hakim
An-Naisaburi : "Ma'rifah Ulumul Hadits".
- Abu
Abdullah Az-Zanjani : "Tarikhul Qur'an."
- Dr.
C. Snouck Hurgronje : "De Islam in Nederlancsh-Indie", Serie II,
No. 9, dari "Groote Godsdiensten".
- Sayyid
Alawi bin Thahir Al-Haddad : "Sejarah Perkembangan Islam di Timur
Jauh", Jakarta, 1957.
- Dr.
H. J. de Graaf : "Geschiedenis Van Indonesia", (hal. 87).
- Dr.
K.H.J. Cowan : "A Persian Inscription in Nort Sumatra" dimuat Dalam
Majallah "Tijdschrift Voor Taal, Land en Vilkendunde, Deel LXXX,
1940".
- L.W.C.
Van den Burg : Le Hadramaut et les Arabs et India".