Menunggu
Sang GODOT
Di suatu kampung, hiduplah dua orang sahabat,
ESTRAGON dan VLADIMIR. Keduanya sama-sama telah lama hidup dalam kemiskinan dan
ketidakpastian. Selain itu, keduanya juga sama percaya akan datangnya Sang GODOT
yaitu “SANG SATRIA PININGIT” yang akan memperjuangkan nasib mereka kaum
papa, dan mengangkat harkat dan derajat kampung mereka menjadi kampung yang gemah
ripah loh jinawi dan disegani segenap kampung lainnya di kolong langit ini.
Sudah sejak lama keduanya menunggu kedatangan GODOT
di bawah sebatang pohon kering di sebuah kelokan jalan di ujung kampung. Entah
sudah berapa musim berganti, dan berapa kali PEMILU diselenggarakan. Tetapi
GODOT yang mereka tunggu-tunggu tak jua nampak batang hidungnya. Namun
demikian, sesungguhnya mereka juga tidak pernah mengetahui rupa sebenarnya dari
Sang GODOT itu sendiri. Pernah satu ketika mereka kedatangan POZZO sang tuan
tanah kaya bersama sang budak pengiringnya LUCKY, yang salah sangka mereka kira
adalah Sang GODOT itu sendiri.
Sesungguhnya, keduanya telah sejak lama merasa
jenuh menunggu Sang GODOT. Namun mereka masih terus menggantung harapan karena percaya
dengan informasi yang disampaikan oleh orang yang mengaku sebagai suruhan Sang
GODOT, bahwa majikannya -- Sang GODOT-- akan datang ESOK HARI. Berulang kali
pula mereka terpikir untuk pergi dari tempat itu, namun harapan akan datangnya
Sang GODOT itu nyatanya telah menjadi obsesi dan ilusi yang membelenggu
kaki-kaki mereka sendiri.
Dalam jenuh penantian tersebut, sambil tetap
menunggu Sang GODOT, muncul gagasan aneh dari ESTRAGON -- yang disetujui
VLADIMIR -- untuk menggantung diri mereka sendiri di batang pohon kering tempat
selama ini mereka duduk di bawahnya. Namun sama seperti gagasan untuk pergi
dari tempat itu yang selalu tertunda, gagasan tentang bunuh diri bersama itupun
tidak pernah terlaksana. Keduanya larut dalam perdebatan dan saling berbantahan
mengenai prosedur menggantung diri: Apakah pohon kering itu sanggup menopang
berat mereka?; Siapa yang lebih dulu harus menggantung dirinya?; Dengan alat
apa mereka dapat menggantung diri dengan sukses: apakah dengan tali sepatu atau
ikat pinggang?; dsb.
Sementara itu, beberapa saat ke depan, akan tiba
hari PEMILU yang kesekian dari penantian keduanya akan Sang GODOT. Seperti pada
PEMILU yang sudah-sudah, entah kenapa keduanya selalu memiliki selera akan
calon pemimpin yang berbeda. Diam-diam, tanpa memberi tahu siapapun, -- karena buat
mereka pilihan dalam PEMILU memang sifatnya selalu rahasia --, ESTRAGON merasa
lebih suka pada SALAH SATU PASANGAN, sementara VLADIMIR lebih bersimpati pada PASANGAN
LAINNYA. Tetapi, keduanya kesulitan untuk memutuskan, apakah akan terus
menunggu Sang GODOT, atau menggantung
diri bersama di pohon kering, ataukah NANTI akan datang ke TPS untuk ikut memilih
dalam PEMILU. Namun yang pasti, entah bagaimana, keduanya sama merasa dan
sepakat bahwa kedua pasangan peserta PEMILU kali inipun pastinya bukanlah Sang
GODOT alias SATRIA PININGIT yang mereka nantikan selama ini.
…
ESTRAGON: “Jika kita berpisah? Itu mungkin lebih baik
bagi kita.”
VLADIMIR: “Kita akan gantung diri besok. (Jeda.)
Kecuali Godot datang.”
ESTRAGON: “Dan jika dia datang?”
VLADIMIR: “Kita akan
diselamatkan.”
…
VLADIMIR: “Baiklah? Apakah kita akan pergi?”
ESTRAGON: “Ya, mari kita pergi.”
Mereka
tidak bergerak.
…
Sampai
hari ini tak seorangpun yang tahu apakah keduanya masih duduk di bawah pohon
kering itu menunggu Sang GODOT, ataukah
sudah menggantung diri, atau sudah pergi berpisah mencari jalan hidupnya
masing-masing. Juga tidak ada yang tahu apakah saat PEMILU mereka tetap
mendukung dan memilih pasangan Capres dan Cawapres idolanya masing-masing, atau
telah berubah pilihan, atau malah justru tidak pernah datang ke TPS sama
sekali.
Tidak
ada seorangpun yang tahu…
-------------------------------
Sumber:
Kisah ini saya tafsirkan, terjemahkan
dan adaptasi secara semena-mena dari karya Samuel Beckett yang berjudul “Waiting for Godot: Tragicomedy in 2 Acts.” Versi aslinya ditulis dalam
bahasa Perancis “En attendant Godot” (1958-1959). Kisah ini dipentaskan pertama
kali pada tanggal 5
Januari 1953 di the Théâtre de Babylone, Paris. Sementara di Indonesia, Rendra
bersama Bengkel Teater-nya telah mementaskan
drama yang absurd ini pada tahun 1970.