Menakar
Peluang Gagasan Demokrasi Asosiatif di Indonesia
Oleh: Candra Kusuma
Dikemas
ulang dari kumpulan tulisan “Renungan Depok” – Juli 2012
Pendekatan Empowered Participatory Governance (EPG)
Archon Fung dan Erik Olin Wright (2003)
mengajukan pendekatan Empowered Participatory Governance (EPG) yang merujuk
pada pengalaman di Chicago, Porto Alegre, West Bengal dan Kerala. EPG berperan sebagai
perantara (intermediary) antara warga dengan struktur formal negara, sebagai
institusional arena dimana warga dapat terlibat secara langsung dalam
pengambilan keputusan, yang umumnya muncul akibat adanya desakan dari
organisasi-organisasi gerakan sosial, yang bertujuan untuk mendukung upaya kontrol di
tingkat lokal, akuntabilitas pemerintahan, atau keadilan sosial. Asosiasi dapat menjalankan
peran sebagai pembentuk
(generative role) dari model EPG tersebut. Asosiasi juga dapat berperan
merekrut dan memobilisasi warga, serta melengkapi individu-individu dengan
kapasitas yang diperlukan dalam partisipasi politik, seperti memotivasi,
mendukung
informasi, dan meningkatkan keterampilan politik, melalui berbagai bentuk
pelatihan dan peningkatan kapasitas.
Fung (2003:523)
berpendapat bahwa asosiasi dapat berkotribusi dalam meningkatkan
kualitas representasi kepentingan warga terhadap lembaga perwakilan dan
pemerintah, dengan cara:
a) Meningkatkan
cara bagaimana kepentingan warga dapat terwakili (diperjuangkan oleh para
pembuat kebijakan) dan dituangkan dalam hukum dan kebijakan yang dibuat oleh
negara;
b) Menyediakan
saluran tambahan atau alternatif bagi individu-individu untuk mendesakkan
isu-isu publik yang menjadi perhatian mereka, misalnya melalui voting,
lobby, dan kontak langsung dengan pejabat pemerintah;
c) Melampaui
batas-batas wilayah administratif, atau wilayah pemilihan jika terkait dengan
anggota dan lembaga legislatif, sehingga lebih berpeluang dapat menyuarakan
aspirasi warga di daerah-daerah yang jarang dijangkau politisi atau program
pemerintah;
d) Lebih
berpeluang dapat lebih intensif melakukan desakan atau upaya mempengaruhi
kebijakan dibandingkan dengan saluran-saluran perwakilan formal;
e) Selain
meningkatkan kualitas keterwakilan, asosiasi juga meningkatkan kesetaraan
keterwakilan politik (equality of political representation), terutama
bagi masyarakat yang terpinggirkan;
Model yang
ditawarkan oleh Fung memang dibangun dari pengalaman negara-negara yang umumnya
berbentuk federal, dimana negara-negara bagian tersebut memiliki
kewenangan sangat besar dalam menentukan sendiri mekanisme perwakilan,
perencanaan dan penganggaran pembangunan di wilayahnya masingmasing. Sebagai contoh,
di Porto Alegre sebagai ibukota Negara Bagian Rio Grande do Sul
dengan penduduk 1,3 juta jiwa, pada tahun 1988 partai politik yang berkuasa yaitu
Workers’ Party atau Partido dos Trabalhadores (PT) yang beraliran “Kiri” dapat
menginisiasi sebuah mekanisme baru dalam perencanaan pembangunan dan
anggaran publik (participatory budgeting) melalui pembentukan
Regional Plenary Assembly di 16 region yang anggotanya terdiri dari perwakilan
pemerintah daerah dan perwakilan-perwakilan komunitas (representatives
of community) seperti asosiasi warga, asosiasi pemuda, organisasi olahraga,
termasuk organisasi pelaksana proyek kesehatan, transportasi, pendidikan, dan
lainnya. Mereka bertemu secara rutin untuk berdiskusi mulai dari mengevaluasi
program dan anggaran tahun berjalan/sebelumnya dan program dan anggaran untuk
tahun berikutnya (lihat Fung, 2003:10-12). Model representativeness
semacam
itu membuat warga dapat terlibat langsung dalam perencanaan dan pengawasan kebijakan dan
penganggaran publik.
Dalam teori
politik, memang dibedakan antara sistem republik dan demokrasi. Sistem
demokrasi lebih dekat dengan apa yang dikenal sebagai demokrasi langsung (direct
democracy) di mana rakyat dapat secara langsung memberikan suara dan
mempengaruhi keputusan politik, seperti praktek politik di masa Athena Kuno atau Swiss
modern sekarang. Sementara dalam sistem republik, pada dasarnya rakyat
memilih sejumlah wakil dari mereka, sehingga rakyat secara tidak langsung
mempengaruhi keputusan atau kebijakan publik, dan kontrol atas pelaksanaan
kebijakan tersebut. Mezey (2008:2) membedakan antara sistem republik atau representatif
(representative democracy) dengan sistem demokrasi atau demokrasi
langsung. Salah satu cirinya adalah bahwa legislator (representatives)
bertanggungjawab atas apa yang mereka lakukan kepada konstituen yang
telah memilih mereka. Pertanggungjawaban (akuntabilitas) tersebut dapat
berupa: (a) Pertanggungjawaban sejak masa kampanye Pemilu, seperti tawaran
atau janji kampanye yang memang terkait langsung dengan kepentingan dan
kebutuhan konstituen; (b) Setelah Pemilu (misalnya terkait dana kampanye); dan
(c) Secara regular dalam masa jabatan legislator tersebut, seperti aspirasi
konstituen yang telah diperjuangkan, kebijakan yang dihasilkan, atau program pemerintahan yang terkait dengan
konstituen (mengenai akuntabilitas dan policy representation ini lihat
Mezey, hal. 134-138).
Dalam sebuah
laporannya, UNDP[1]
mencatat bahwa dalam sebuah negara demokratis adalah sebuah keharusan bagi
pemerintah termasuk lembaga legislative untuk secara rutin berkonsultasi,
berinteraksi dan saling bertukar gagasan dan informasi dengan publik, sehingga warga dapat
mengekspresikan preferensi dan memberikan dukungan atau penolakan terhadap kebijakan yang akan
atau telah berpengaruh
terhadap kehidupan mereka. Ketika warga dapat membuat kesepakatan-kesepakatan
dengan anggota legisltif yang telah mereka pilih, hal tersebut akan
memperkuat hubungan antara legislator dan konstituen dan member dukungan pada
legislator untuk dapat bersuara dan bertindak atas nama konstituen.
Hubungan legislator dan konstutien yang efektif akan berkontribusi terhadap
demokrasi dengan memperkuat koneksitas warga terhadap pemerintahan, dana dengan
menyediakan assessment kondisi dan kebutuhan sesungguhnya dari rakyat dalam
hal perumusan dan pelaksanaan program pembangunan.
Menurut UNDP,
legislator yang memiliki ikatan yang kuat dengan konstituennya --khususnya
yang dipilih dalam sistem Pemilu distrik (single-member districts)--,
umumnya lebih
berpeluang dapat dipilih kembali sekaligus dapat meningkatkan karier politik
mereka sendiri. Bagi konstituen, mereka memperoleh keuntungan bahwa gagasan
dan isu-isu yang mereka angkat dapat didengar dalam proses perumusan
kebijakan, atau setidaknya mereka memiliki perwakilan sekaligus pembela yang
bertindak atas kepentingan warga dan atas nama warga ketika akan/ada
kebijakan pemerintahan yang akan berpengaruh terhadap warga.
Dari hasil
studinya di berbagai negara tersebut, UNDP mencatat bahwa di banyak negara ada
sejumlah upaya yang dilakukan oleh institusi dan/atau anggota legislatif
dalam upaya menyediakan waktu, tempat dan sumberdaya untuk dapat berinteraksi
dengan konstituen mereka (constituency meetings) secara rutin dan
bermakna. Pada
intinya adalah bagaimana legislator dapat membangun sebuah pola komunikasi yang rutin dan mudah diakses
oleh konstituen. Beberapa pola yang umum digunakan seperti: (a) Membuka kantor atau sekretariat
tempat pertemuan
legislator dan konstituen, seperti dilakukan di Chili; (b) Legislator membuka
sekretariat atau tempat pertemuan di distrik pemilihannya, seperti di Polandia dan
Palestina; (c) Legislator menyiapkan staff dan sumberdaya pendukung yang
dapat membantunya secara rutin berkomunikasi dengan konstituennya;
(d) Dukungan dari anggaran publik bagi legislator untuk berkomunikasi
dengan konstituen di daerah pemilihannya, seperti di Amerika Serikat dan
Chili.
Realitas di Indonesia
Sistem perwakilan komunitas
dalam perencanaan dan penganggaran publik seperti yang ditemukan di
Kerala tidak ada di
Indonesia. Kalaupun perwakilan masyarakat dilibatkan dalam Musrenbang
misalnya, hal tersebut sekedar bentuk konsultasi publik, sementara keputusan akhir
tetap ada di tangan institusi pemerintahan. Selain itu, terkait dengan representativeness di Indonesia,
sistem pemilihan umum yang digunakan tampaknya memang sejak awal telah beresiko
menciptakan adanya
jarak antara politisi/anggota legislatif dengan konstituen. Secara teoritik,
sistem distrik
(single-member constituency atau single-member-district) sesungguhnya
memberi peluang lebih besar bagi terbangunnya kedekatan antara politisi dan
konstituen, karena dari tiap distrik hanya ada satu wakil yang juga umumnya harus
berasal dari distrik tersebut. Karena kecil atau tidak terlalu besarnya
distrik maka biasanya ada hubungan atau kedekatan antara kandidat dengan
masyarakat di distrik tersebut. Diasumsikan kandidat lebih mengenal masyarakat
maupun kepentingan yang mereka butuhkan. Selain itu, sistem ini juga akan
mendorong partai politik untuk melakukan penyeleksian yang lebih ketat dan
kompetitif terhadap calon yang akan diajukan untuk menjadi kandidat dalam
pemilihan.[2]
Sementara pada
sistem proporsional terbuka seperti yang digunakan di Indonesia saat ini, lebih
mengutamakan adanya proporsi atau perimbangan keterwakilan antara jumlah
penduduk dengan kursi di suatu daerah pemilihan.[3]
Meskipun dianggap
dapat lebih menyelamatkan suara pemilih dan menguntungkan partai dengan suara
lebih sedikit, namun calon-calon anggota legislatif yang dimunculkan
sangat banyak, dan dimungkinkan bukan politisi yang memang berasal dari
daerah tersebut. Akibatnya, antara pemilih dengan kandidat tidak ada kedekatan
secara emosional. Pemilih tidak atau kurang mengenal kandidat, dan kandidat juga
tidak mengenal karakteristik daerah pemilihannya, masyarakat pemilih dan
aspirasi serta kepentingan mereka. Selain itu, kandidat lebih memiliki keterikatan
dengan partai politik sebagai saluran yang mengusulkan mereka. Diasumsikan,
kandidat yang terpilih mungkin tidak akan memperjuangkan dengan gigih
kepentingan pemilih karena tidak adanya kedekatan emosional tadi.[4]
Meskipun
demikian, bahkan para anggota legislatif atau legislator di negara-negara yang sudah
lebih awal menggunakan sistem demokrasi sekalipun tidak lepas dari
kritik. Kritik tersebut, antara lain: (a) Banyak legislator yang terlalu
bergantung pada
opini publik (dari media) dibandingkan apa yang sungguhsungguh terjadi di
konstituennya; (b) Banyak legislator yang terputus hubungannya (disconnected)
dari konstituen yang seharusnya mereka wakili; (c) Banyak legislator yang
terlalu dipengaruhi oleh kelompok-kelompok kepentingan; (d) Ada pula yang
mengkritik bahwa secara alamiah model demokrasi representatif memang kurang
mampu mengambil peran sentral dalam proses penyusunan kebijakan
publik (lihat Mezey, 2008:xi).
Model atau pola
yang diulas UNDP tadi sesungguhnya juga sudah banyak dilakukan di
Indonesia. Banyak anggota legislatif (khususnya di DPR) yang membuka kantor
atau sekretariat komunikasi di daerah pemilihannya. Secara formal juga ada
mekanisme dukungan dana/sumberdaya bagai anggota DPR dan DPRD untuk
melakukan reses ke konstituennya. Selain yang sifatnya formal (pertemuan yang
dirancang khusus), banyak pula politisi atau anggota legislatif yang mencoba
mengembangkan pola-pola komunikasi informal dengan konstituennya.
Thamrin (2009) dalam sebuah laporan untuk LGSP-USAID Indonesia
mencatat sejumlah inovasi yang dilakukan anggota dan lembaga legislatif di
beberapa daerah dalam upaya meningkatkan transparansi, partisipasi dan
keterhubungan antara anggota legislatif dan konstituennya. Meskipun demikian
laporan tersebut juga memberi catatan mengenai tidak jelasnya mekanisme dalam
UU mengenai Susunan dan Kedudukan Anggota DPR, DPRD dan DPD, dan UU
mengenai Pemerintah Daerah dalam hal pertanggungjawaban anggota
DPR/DPRD terhadap konstituen.[5]
Berbeda dengan pemerintah daerah yang secara reguler diwajibkan memberikan
laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat, DPRD dan masyarakat, namun
terhadap intsitusi dan anggota legislatif di pusat dan daerah justru tidak ada
mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, bahkan kepada konstituen di daerah pemilihannya
sendiri sekalipun.
Contoh-contoh
dari laporan LGSP-USAID memberikan informasi bahwa tidak semua anggota
legislatif di daerah enggan atau takut bertemu konstituennya dan hanya
menggunakan dana publik untuk kepentingannya sendiri. Namun dari sejumlah referensi
yang ada, persepsi dan preferensi warga terhadap anggota dan lembaga
legislatif pada faktanya masih belum banyak bergeser dari situasi yang disebutkan
terakhir tadi. Dalam situasi demikian, asosiasi warga sangat berpeluang dan
sekaligus diharapkan untuk dapat mengambil peran lebih besar dalam
memberdayakan warga sekaligus anggota dan lembaga legislatif di daerah melalui
praktik-praktik langsung bersama kedua pihak tersebut.
Hambatan dan
peluang
Hambatan dari
gagasan institusionalisasi pendalaman demokrasi berupa devolusi peran
negara/pemerintah yang didesentralisasikan kepada institusi warga membutuhkan
kemauan baik dari kekuatan civil society maupun --dan terutama-- pemegang
kekuasaan politik yang ada, seperti yang terjadi di Porto Alegre dan Kerala.
Prasyarat tersebut yang belum ada di Indonesia. Gagasan dan konsep desentralisasi masih
bertarung pada pada tataran internal struktur pemerintahan dan birokrasi: dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah (melalui pelimpahan sejumlah kewenangan dan Dana
Perimbangan), dan belakangan
dari pemerintah daerah ke pemerintah desa (melalui Alokasi Dana Desa). Gagasan
mengenai devolusi peran negara/pemerintah dan perencanaan serta
pengelolaan bersama anggaran publik antara pemerintah dan civil society
tampaknya belum
lagi masuk dalam wacana mainstream pendalaman demokrasi di Indonesia.
Bentuk konkret dari akses publik terhadap anggaran publik masih dalam skema
hibah atau bantuan sosial dari pemerintah kepada organisasi kemasyarakatan
saja.
Dengan kata
lain, gagasan demokrasi asosiatif seperti dibayangkan Fung dan kawan-kawan
masih memerlukan jalan cukup panjang untuk dapat direalisasikan di Indonesia,
karena belum berkembang wacana mengenai konsep dan model intermediary
institutions seperti
dibayangkan Fung. Selain itu, tidak ada kekuatan politik besar (pemerintah atau partai politik
dan civil society) yang menjadi pelopor untuk menginisiasi model tersebut
seperti yang terjadi di Porto Allegre dan Kerala. Mengacu pada pendapat Cohen dan
Rogers (2005,yang dikutip Fung, 2003:535) dan Baber (1984, yang dikutip Fung, 2007: 448-450), ada
prasyarat yang
perlu dipenuhi, yaitu adanya institusional reforms yang memungkinkan
asosiasi-asosiasi
warga dapat berpartisipasi secara kooperatif dengan para pejabat publik dan
birokrasi dalam merumuskan kebijakan dan menjalankan administrasi publik. Dalam
pandangan peneliti, institusionalisasi dan legalisasi “ruang bersama perencanaan dan
pengelolaan sumberdaya publik” antara pemerintah dan CSO tersebut memang
harus dilakukan oleh pemerintah, namun inisiatif awal untuk mendorong dapat
dibangunnya ruang tersebut tampaknya memang harus dimulai dari tekanan civil
society sendiri.
[1] Sumber: http://mirror.undp.org/magnet/Docs/parliaments/notes/Constituency%20Relations%205%20.htm, diakses 23 Juni 2012.
[2] Lihat “Modul 1 Pemilih Untuk Pemula” dari KPU, Sumber: http://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1b.pdf , diakses 23 Juni 2012.
[3] UU No. 8 Tahun
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada Pasal 5 menyebutkan:
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka; (2) Pemilu untuk memilih anggota
DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.
[4] Lihat “Modul 1 Pemilih Untuk Pemula” dari KPU, Sumber: http://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1c.pdf , diakses 23 Juni 2012.
[5] UU No. 22
tahun 2003 pada Pasal 351 Butir (k.) menyebutkan bahwa anggota DPRD kabupaten/kota
memiliki kewajiban untuk “memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis
kepada konstituen di daerah pemilihannya”. Sementara pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah pada Pasal 45 menyebutkan bahwa Anggota DPRD mempunyai kewajiban
yang salah satunya pada Butir (g.) yaitu “memberikan
pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wujud
tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya”.