Tulisan
ini diambil dari buku karya Clark C. Gibson et.al. yang berjudul The Samaritan’s Dilemma: The
Political Economy of Development Aid (2005), pada bagian “What’s Wrong with Development Aid?” (hal. 3-18).
Menimbang Ulang Bantuan Pembangunan
Bantuan
pembangunan (development aid) selalu
menjadi isu yang hangat dan kerap dikaitkan dengan isu-isu besar lain seperti
pembangunan nasional, nasionalisme, kerjasama luar negeri, hutang luar negeri, neo-liberalisme,
dll. Menurut Gibson et.al., setelah berlangsung selama beberapa dekade, banyak
pembuat kebijakan, praktisi, akademisi, analis dan aktivis yang mempertanyakan
efektivitas bantuan pembangunan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
mengurangi kemiskinan, atau meningkatkan pembangunan sosial (Adam dan O'Connell
1999; Burnside dan Dollar 2000a; Cohen et al 1985;. Dollar dan Easterly 1999;
Easterly 2001, 2003; Martens et al 2002;. Tsikata 1998; Bank Dunia 1998). Sejaumlah
literatur menunjukkan bahwa di tingkat makro hanya ada sedikit bukti bahwa bantuan
pembangunan memang meningkatkan kondisi kehidupan. Sementara di tingkat mikro,
hanya ada beberapa program yang bertahan hidup lebih lama dari bantuan donor, yang
menjadi bahan ejekan bagi lembaga bantuan mengenai kepemilikan dan keberlanjutan
bantuan tersebut (Catterson dan Lindahl 1999; Edgren 1995; Elgstrom 1992; Putih
1992, 1998, 1999). Belakangan, banyak kritik yang juga justru muncul dari
kalangan “orang dalam” lembaga bantuan pembangunan tersebut.
Gibson
et.al. mengajukan pertanyaan mendasar: “Apa
yang salah dengan bantuan pembangunan?” Hampir setiap bagian atau proses
dari sistem bantuan telah dikritik, diantaranya: berkenaan dengan agenda
geopolitik donor; politik distributif di negara penerima; ikatan bantuan yang
mengikat bahwa pengadaan barang/jasa harus melibatkan perusahaan-perusahaan
swasta di negara donor; kendala birokrasi dan pengambilan keputusan di negara
penerima bantuan; jenis bantuan yang diberikan; jenis dan tingkat akuntabilitas
yang harus dipenuhi; dll.
Sejumlah
penelitian tingkat makro pada 1990-an hanya menemukan sedikit harmoni antara tingkat
bantuan dan perubahan yang diinginkan dalam indikator makro (Boone 1994;
Burnside dan Dollar 2000a; Devarajan dan Swaroop 1998; Dollar dan Svensson
2000; Easterly 2002b, 2003; Feyzioglu et al 1998;. Pack dan Pack 1993; Putih
1992; Bank Dunia 1998). Tidak semua hasil penilaian makro bersifat negatif, dan
banyak penilaian mikro menunjukkan hasil positif. Namun demikian, tampaknya
memang persepsi yang meluas bahwa bantuan pembangunan belum mencapai
efektivitas yang diharapkan.
Dalam
analisis Gibson et.al., pasca Perang Dingin lebih banyak tuntutan terhadap
kinerja pemerintah/negara donor dan lembaga keuangan multilateral, yang
memunculkan banyak konsep dan istilah baru. Contohnya adalah istilah "Pembangunan"
sebagai tujuan bantuan telah berubah menjadi "Pembangunan Berkelanjutan"
(diantaranya lihat Pemerintah Perancis 2002; Pemerintah Jepang 2002; OECD 2002;
PBB 2002; USAID 2000; WCED 1987). “Pembangunan Berkelanjutan” tampaknya
menuntut logika yang berbeda dari upaya pemberian bantuan yang konvensional seperti
pembangunan jalan dan pengiriman bantuan pangan. Pembangunan Berkelanjutan
memerlukan partisipasi yang lebih besar dari penerima bantuan, yang dalam
istilah beberapa lembaga donor, para penerima bantuan (recipients) menjadi pemilik (owners)
dari program/proyek tersebut.
Para
ahli juga mulai meneliti keterkaitan antara analisis tingkat mikro dan makro
yang dapat membantu peningkatan hasil dan manfaat bantuan pembangunan (Hermes
dan Lensink 1999). Mereka tidak ingin hanya menyalahkan adanya praktek korupsi
terhadap bantuan (baik dari pihak donor, sektor swasta, atau penerima). Beberapa
analis mengalihkan fokus mereka terhadap pengaturan kelembagaan bantuan
(Easterly 2003; Martens et al, 2002.). Dalam pandangan ini, hasil yang buruk
terkait dengan bantuan dapat diprediksi dari preferensi individu yang terlibat
dalam pemberian dan pengelolaan bantuan, dan insentif yang dihasilkan oleh cara
di mana sistem bantuan itu sendiri terstruktur (Brautigam dan Knack 2004).
Dengan kata lain, pendekatan yang cukup banyak dikembangkan belakangan ini
adalah analisis institusional (institutional analysis).
Lima konsep kunci dalam analisis institutional terhadap
bantuan pembangunan
Gibson
et.al. coba menelaah klaim
dari banyak lembaga donor saat ini yang menyatakan bahwa penerima bantuan (recipients) perlu menjadi
"pemilik" bantuan terbut agar bantuan pembangunan dapat
berkelanjutan. Mereka melakukan eksplorasi terhadap dasar-dasar konseptual dari
lima istilah kunci terkait klaim tersebut, yakni: lembaga, insentif, pengembangan
(dan bantuan pembangunan), keberlanjutan, dan kepemilikan.
1. Institusi
Institusi
dapat mengubah insentif (dorongan) individu. Insentif kemudian dapat mendorong
individu untuk bertindak dengan cara tertentu, yang mengarah ke interaksi yang
mempengaruhi produktivitas dan keberlanjutan upaya bantuan pembangunan.
Douglass North mengusulkan pentingnya memisahkan konsep “organisasi” dengan “institusi.”
Menurutnya, organisasi dapat dianggap sebagai "kelompok individu yang
terikat oleh kepentingan yang sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu"
(North, 1990:5). Organisasi demikian tim individu yang terlibat dalam tindakan
kolektif untuk menghasilkan hasil yang bersama-sama dihargai. Organisasi
sederhana dapat dianalisis sebagai situasi tindakan yang terpisah.
Sementara
inti dari banyak banyak definisi “institusi” adalah berkenaan dengan gagasan
tentang batasan-batasan yang dirancang secara manusiawi (humanly designed constraints) (Hodgson 2004). Dengan membatasi
perilaku, institusi meningkatkan prediktabilitas interaksi manusia dan dengan
demikian memungkinkan beberapa kegiatan yang sebelumnya tidak ada atau dianggap
tidak mungkin. Aspek kunci dari semua institusi adalah aturan bersama mereka
mengenai apa tindakan yang harus diambil, aya yang tidak, atau apa yang boleh
dalam keadaan tertentu (Crawford dan Ostrom 2005; E. Ostrom 2005). Dengan
demikian hal tersebut juga akan berkaitan dengan
aturan/hukum/perundang-undangan (yang ditegakkan atau diawasi oleh pihak
tertentu, dan ada mekanisme sanksi sesuai aturan yang berlaku), dan norma-norma
yang berlaku (mengenai apa yang boleh dan tidak boleh, yang pelanggaran atasnya
akan dikenai sanksi sosial, dll.).
Pada
akhirnya, institusi juga mendorong individu/kelompok merancang strategi atau
rencana aksi berdasarkan persepsi mengenai manfaat atau biaya yang mungkin akan
mereka terima jika tujuan tercapai.
2.
Insentif
Kebanyakan
definisi insentif mengandung dua komponen, yaitu stimulus eksternal dan
motivasi internal. Dalam analisis kelembagaan, istilah ini mengacu pada imbalan
dan hukuman yang akan diterima berkaitan dengan tindakan mereka dan orang lain.
Rangsangan ekternal dapat berupa hasil yang diterima atau biaya yang harus dibayar,
rasa hormat yang diperoleh dari orang lain, mendapatkan keterampilan atau pengetahuan
baru, dll., yang dapat mempengaruhi beberapa jenis perilaku (Spiller dan
Tommasi 2004). Donor menggunakan berbagai rangsangan eksternal dalam upaya
mereka untuk mengubah perilaku pejabat dan penerima manfaat di negara-negara
penerima. Beberapa donor dapat menarik atau mengalokasikan uang tambahan untuk
mengubah insentif. Donor lainnya mungkin membantu menciptakan lembaga yang
kemudian akan memberikan insentif untuk beberapa jenis tindakan.
Imbalan
dan hukuman dapat memotivasi individu untuk mengambil tindakan yang produktif
bagi semua yang terlibat. Namun ada juga insentif negatif, yang dapat menyebabkan individu menghindar untuk terlibat
dalam hasil yang saling produktif, atau untuk mengambil tindakan yang umumnya
berbahaya bagi orang lain (de Soto 2000). Sayangnya, mereka yang dituduh melakukan
reformasi kelembagaan juga menghadapi keterbatasan pengetahuan dan insentif.
Semua lembaga adalah lembaga yang tidak sempurna (Eggertsson 2005).
Banyak
insentif yang terlibat dalam program bantuan internasional melibatkan penambahan
dana untuk anggaran pemerintah sehingga dapat mendorong lebih banyak belanja
dan kegiatan di domain-domain yang donor anggap penting. Pelatihan tambahan,
bantuan teknis tambahan, dan peluang wisata ke luar negeri adalah contoh
perubahan bantuan kelembagaan yang didanai yang menghasilkan penghargaan dan
mengubah perilaku. Analisis kelembagaan dapat membantu menentukan apakah
perubahan jangka pendek tersebut adalah nyata, apakah mereka kongruen dengan
tujuan donor, apakah perubahan positif dalam perilaku terjadi, dan apakah
mereka berkelanjutan.
3. Pembangunan,
Bantuan Pembangunan dan Kerjasama Pembangunan
Individu
dan kelompok kerja di bidang pembangunan memperdebatkan makna dari konsep
"pembangunan" dan "bantuan pembangunan." Umumnya
pembangunan dilihat sebagai suatu proses di mana individu, melalui desain dan
penggunaan lembaga-lembaga di berbagai tingkatan, meningkatkan kesejahteraan
mereka dengan jalan memecahkan lebih banyak masalah tindakan-kolektif secara
lebih efektif (lihat Shivakumar 2005).
Pemerintah
Swedia dan SIDA (lembaga bantuan internasional milik pemerintah Swedia) telah
mendefinisikan pembangunan (melalui bantuan pembangunan) dengan cara memetakan
enam hasil yang berbeda, yaitu: (a) pertumbuhan ekonomi; (b) ekonomi dan
kesetaraan sosial; (c) kemandirian ekonomi dan politik; (d) perkembangan
demokrasi; (e) kepedulian terhadap lingkungan; dan (f) kesetaraan antara
perempuan dan laki-laki (Sida 1997). Keenam tujuan ini diharapkan menghasilkan tjuan
ketujuh dan "tujuan keseluruhan" dari bantuan pembangunan Swedia,
yaitu pengentasan kemiskinan.
4.
Keberlanjutan
Konsep
kunci lain terkait bantuan pembangunan adalah “berkelanjutan.” Menurut Bell dan
Morse (1999), berpendapat bahwa konsep pembangunan berkelanjutan hanyalah
slogan kosong untuk istilah normatif yang digunakan terutama untuk tujuan politik.
Pemerintah
donor umumnya mengadopsi definisi yang luas seperti yang diberikan dalam
Laporan Brundtland: "Pembangunan berkelanjutan berusaha untuk memenuhi
kebutuhan dan aspirasi masa kini tanpa mengorbankan kemampuan untuk memenuhi
masa depan" (WCED 1987: 40; untuk Jepang, lihat JICA 2001 ; untuk Inggris,
lihat _http: //dfid.gov.uk, untuk Amerika Serikat, lihat USAID 2004: 80). Meskipun
pada kenyataannya ada banyak variasi makna terhadap istilah ini, bahkan di
dalam satu lembaga/pemerintah donor sendiri. Gibson et.al. banyak mengambil
contoh dari beragamnya pengertian pembangunan berkelanjutan di dalam SIDA
sendiri, yang diantaranya menggambarkan adanya perbedaan penekanan, antara
orientasi pada hasil program/proyek, dan orientasi pada proses program/proyek
tersebut. Dalam buku ini Gibson et.al. memaknai pembangunan berkelanjutan pada
lamanya efek dari bantuan pembangunan (longevity
of development aid’s effects).
Gibson
et.al. berpendapat bahwa “berkelanjutan” tidak berarti setiap proyek harus
dilanjutkan tanpa batas. Dalam hal ini setiap proyek, program, dan modalitas
lainnya harus dipandang hanya sebagai sarana dalam upaya untuk mencapai tujuan
jangka panjang dari bantuan pembangunan.
5.
Kepemilikan
Pada
beberapa dekade awal dari bantuan pembangunan di seluruh dunia, ada anggapan
bahwa donor harus memimpin dalam merancang dan melaksanakan program dan proyek
(Morss 1984). Pada awal 1990-an, ada kesadaran bahwa kondisi tersebut telah
membuat donor merampas peran penerima bantuan sebagai pemilik program dan
proyek. Ketikabantuan dianggap “milik” donor, maka sangat logis jika program
yang dirancang lebih banyak menguntungkan mereka saja (Brunetti dan Weder 1994;
Johnson dan Wasty 1993; OECD 1992; van de Walle dan Johnston 1996; Wilson dan
Whitmore 1995). Padahal, menurut para ahli, tanpa rasa kepemilikan tersebut
akan membuat penerima bantuan tidak memiliki komitmen yang cukup untuk
memastikan bahwa program benar-benar direalisasikan, dan dapat bertahan serta
memberikan dampak jangka panjang . Kritik telah mendesak lembaga donor untuk
mendorong jenis pengembangan kelembagaan yang meningkatkan kemampuan
kepemilikan penerima manfaat atau melanjutkan jenis bantuan pembangunan
berkelanjutan.
Menanggapi
meningkatnya kesadaran akan pentingnya kepemilikan, banyak lembaga pembangunan
telah secara resmi mengadopsi ide-ide yang berkaitan dengan kepemilikan
penerima bantuan pembangunan. USAID (2000) membahas gagasan
"kemitraan" di mana "tugas
utama harus dilakukan oleh negara tuan rumah, bukan donor." Badan
pembangunan Jepang bahwa kepemilikan "berkaitan
dengan kebutuhan untuk negara-negara berkembang untuk menganggap primer
tanggung jawab dan peran dalam menangani masalah…"(JICA 2001). OECD
percaya bahwa "kemitraan" adalah kunci dalam membuat bantuan lebih
efektif: "Kemitraan semakin
didasarkan pada prinsip membantu pemerintah dan rakyat negara-negara berkembang
memperkuat kapasitas mereka untuk mengarahkan inisiatif pembangunan mereka
sendiri. . . pendekatan kemitraan mengakui pentingnya sektor swasta yang
dinamis, kepemilikan lokal, dan partisipasi masyarakat sipil "(2002:
66). Sida juga telah menempatkan kepemilikan di pusat filosofi diungkapkan
bantuan donor. Menurut Sida, pemilik proyek adalah "pihak yang meminta dukungan dan yang bertanggung jawab atas perencanaan
dan pelaksanaan proyek, dengan memiliki, misalnya, organisasi dan staf untuk
tugas. Pemilik proyek mendanai sebagian, seringkali sebagian besar, dari biaya
proyek"(1997c: 15).