Oleh: Candra Kusuma
Di tulisan sebelumnya telah diulas mengenai latar belakang dan pengertian wicked problems (lihat ). Di bagian ini akan dibahas pandangan para ahli mengenai upaya mengatasi wicked problem tersebut.
Balint (2011:31)
memetakan kondisi yang berbhubungan dengan wicked
problems dengan mengacu pada uraian Rittel dan Webber (1973):
Namun, tentu saja orang
berbeda dengan cara pandang terhadap dunia, nilai-nilai, pengetahuan dan
pengalaman yang berbeda akan memilih masalah dan cara pemecahan masalah yang
berbeda pula (Spratt, 2011:3). Demikian pula respon terhadap wicked problems, di mana preferensi
pribadi, latar belakang, pengalaman pendidikan, dan afiliasi organisasi yang
berbeda akan membentuk cara setiap orang dalam mendefinsikan, menarik hubungan
sebab-akibat, dan menawarkan solusi atas wicked
problems (Roberts,
2000:13).
Roberts melihat pentingnya metode lain yang juga diperlukan dalam
mengatasi wicked problems, yaitu: otoritatif dan kompetitif. Menurut Roberts,
pendekatan otoritatif dapat berguna untuk mengatasi wicked problem
ketika kekuasaan untuk memilih definisi yang sesuai dari wicked problem dan
solusinya terletak di tangan beberapa orang, atau dapat diberikan kepada
kelompok atau badan yang dapat mengambil tindakan. Unsur penting dalam
pendekatan ini adalah bahwa para pemangku kepentingan terkait dengan dan/atau
dipengaruhi oleh masalah setuju untuk mengijinkan sekelompok orang untuk
mengelola wicked problem tersebut (Komisi Pelayanan Publik - Pemerintah
Australia, 2007). Sementara dalam hal pendekatan kompetitif/persaingan, Roberts
melihat pendekatan ini berguna ketika kekuasaan (power) tersebar dan
diperebutkan. Dipandang perlu diciptakan situasi menang-kalah (a
win-lose situation).
Pendekatan ini bermanfaat karena dapat mendorong inovasi dan
penciptaan ide-ide baru dapat terjadi, serta penggunaan potensi sumber daya
yang efisien dalam menangani masalah.
Selain itu, Roberts juga berpendapat bahwa pendekatan kolaboratif dapat
berguna dalam wicked problem ketika ada kondisi di mana kekuasaan (power)
tersebar tapi tidak diperebutkan diantara para pihak (power-holder) yang
terlibat dalam upaya mengatasi maslaah tersebut. Pendekatan kolaboratif Roberts
mengambil perspektif menang-menang (win-win perspective) dan
berbagai pemangku kepentingan yang terlibat dalam bersama-sama memilih definisi
potensial dan solusi untuk wicked problems. Untuk masalah pembangunan, power
sering diperebutkan, namun pendekatan kolaboratif menawarkan pendekatan peningkatan
persaingan dalam bekerja, namun pada saat yang sama melindungi mereka yang
kurang mampu menggunakan kekuasaan mereka untuk memperoleh sumber daya yang
mereka butuhkan.
Dalam hal ini, Head dan
Alford (2008:5) mengingatkan bahwa bahwa upaya untuk mengatasi wicked problems seringkali justru
memunculkan konsekuensi yang tak terduga, karena baik ketidakstabilan masalah
atau pemilihan metode yang tidak tepat, seperti jika mengandalkan otoritas top-down yang hanya akan menyentuh
masalah permukaan dan tidak menyelesaikan akar masalahnya. Karena, menurut Ritchey (2011:20),
wicked problems adalah kompleks dan
memerlukan perencanaan dan kebijakan masalah sosial dan organisasi dalam jangka
panjang.
Ada banyak pendapat
mengenai bagaimana cara menangani –dan jika dapat menyelesaikan-- wicked problems ini. Camillus (2008:4-7)
berpendapat bahwa strategi yang perlu dikembangkan adalah dengan cara: (a)
Melibatkan pemangku kepentingan, pendapat dokumen, dan berkomunikasi; (b)
Tentukan identitas perusahaan; (c) Fokus pada tindakan; (d) Mengadopsi
orientasi "feed-forward".
Sementara Fien dan Wilson (2014) mengembangkan gagasan dari Grint (2008)
yang membedakan tiga jenis masalah dan dengan strategi pemecahannya
masing-masing, yaitu: (a) Critical
problem, yang diatasi dengan komando; (b) tame problem, yang dapat diatasi
dengan manajemen; dan (c) Wicked problem,
yang diatasi dengan kepemimpinan (leadership),
yang didalamnya terkadung unsure kolaborasi, karakter dan komitmen (continuity of commitment).
Penulis lain, Roberts (2000) mengusulkan tiga cara mengatasi
wicked problems, yakni: (a) Otoritatif;
(b) Kompetitif; dan (c) Kolaboratif. Menurutnya, efektivitas dari semua upaya
menangani wicked problem akan
tergantung pada tingkat keruwetan masalah, jumlah pemangku kepentingan, dan
bagaimana kekuasaan didistribusikan di antara mereka. Secara umum, semakin
besar jumlah pemangku kepentingan, dan seimbang kekuasaan dan pengambilan
keputusan didistribusikan, model kolaboratif adalah yang paling tepat untuk
mengatasi wicked problem tersebut.
Conklin (2005; yang
dikutip Spratt, 2011:7) berpendapat bahwa untuk mengatasi wicked problem diperlukan pendekatan
belajar-tindakan (action-learning
approach). “Wicked problems demand an opportunity-driven approach; they
require making decisions, doing experiments, launching pilot programs, testing
prototypes, and so on. Study alone leads to more study, and results in the
condition known as ‘analysis paralysis,’… we can’t take action until we have
more information, but we can’t get more information until someone takes action” (Conklin, 2005:10). Dengan
kata lain, upaya menangani wicked problem
melibatkan proses uji coba, di mana ada siklus “tindakan-informasi-tindakan”
didalamnya.
Contoh dari pendekatan
dan kebijakan dalam upaya mengatasi wicked
problem diantaranya dapat dilihat pada pengalaman Pemerintah Australia
(2007:35-36). Dari kacamata pemerintah atau lembaga publik, mereka memandang
upaya menangani wicked problems harus
dilihat lebih sebagai seni (art) dan bukan persoalan teknis semata. Karenanya
setidaknya dibutuhkan beberapa pendekatan berikut:
- Holistik, tidak berpikir parsial atau linier. Hal ini berkaitan dengan kemampuan berpikir untuk menangkap gambaran besar, termasuk hubungan timbal balik antara berbagai faktor penyebab yang mendasari wicked problem. Hal ini diperlukan untuk dapat memahami kompleksitas, interkoneksi dan ketidakpastian.
- Pendekatan inovatif dan fleksibel. Caranya antara lain dengan: meninvestasika sumber daya dalam inovasi seperti pengembangan R & D di sektor swasta; mengaburkan perbedaan antara pengembangan kebijakan dan pelaksanaan program; dan berfokus pada menciptakan organisasi belajar;
- Kemampuan untuk bekerja melintasi batas-batas institusi. Wicked problem melampaui kapasitas satu organisasi untuk dapat memahami, menanggapi, dan menangani mereka. Kerjasama antar institusi termasuk pelibatan masyarakat dan sektor swasta menjadi penting;
- Meningkatkan pemahaman dan merangsang perdebatan tentang penerapan kerangka akuntabilitas. Kerangka akuntabilitas diperlukan untuk mempertahankan tingkat akuntabilitas yang dapat diterima, dan meminimalkan sebanyak mungkin hambatan untuk inovasi dan kolaborasi;
- Efektif melibatkan para pemangku kepentingan dan masyarakat dalam memahami masalah dan mengidentifikasi solusi yang mungkin. Jika resolusi wicked problem membutuhkan perubahan dalam cara orang berperilaku, perubahan ini tidak dapat mudah dikenakan pada orang-orang. Perubahan perilaku yang lebih kondusif untuk berubah jika masalah dipahami, dibahas dan dimiliki secara luas oleh orang yang perilakunya menjadi sasaran untuk perubahan;
- Perlunya keterampilan inti tambahan. Pendekatan tim multi-disiplin adalah cara praktis untuk mengumpulkan semua keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk mengatasi wicked problem;
- Pemahaman yang lebih baik tentang perubahan perilaku oleh para pembuat kebijakan. Alat kebijakan tradisional seperti undang-undang, hukuman dan peraturan, pajak dan subsidi umumnya akan membentuk bagian inti dari strategi keseluruhan untuk mencapai luas, perubahan perilaku yang berkelanjutan. Namun, efektivitas mereka dapat menjadi terbatas tanpa beberapa alat tambahan dan pemahaman tentang bagaimana melibatkan masyarakat dalam perubahan perilaku kooperatif tersebut;
- Fokus dan/atau strategi yang komprehensif. Upaya mengatasi wicked problem membutuhkan respon yang terkoordinasi dan memerlukan upaya berkelanjutan dan/atau sumber daya untuk membuat kemajuan;
- Mentoleransi ketidakpastian dan menerima kebutuhan untuk fokus jangka panjang. Keberhasian mengatasi masalah jahat membutuhkan penerimaan luas dan pemahaman, termasuk dari pemerintahan, bahwa tidak ada perbaikan cepat dan bahwa tingkat ketidakpastian atas solusi untuk wicked problem juga perlu ditoleransi. Upaya mengatasi masalah tersebut membutuhkan waktu dan sumber daya dan mengadopsi pendekatan inovatif dapat mengakibatkan kegagalan, atau kebutuhan untuk perubahan kebijakan atau penyesuaian.
- Fokus pada outcomes/systems thinking. Dianggap perlu untuk keluar dari cara berpikir lama yang fokus pada input, proses atau output. Dengan metode systems thinking mendorong cara berpikir yang memerlukan pertimbangan tidak hanya dari hasil tetapi juga dari seluruh rantai, atau lebih tepatnya jaringan ('web'), input, proses dan output yang tidak hanya melibatkan apa yang ada dan terjadi di internal institusi namun juga proses tambahan atau paralel yang terjadi di luar organisasi, dalam organisasi lain atau dalam masyarakat yang lebih luas. Tujuannya adalah untuk mencari, dalam cara yang relatif komprehensif, faktor-faktor yang dapat berkontribusi pada sifat dari masalah yang jahat, atau memberikan kontribusi alternatif untuk yang sedang dibahas.
- Kolaborasi dan koordinasi. Kerja kolaboratif terjadi antara berbagai jenis mitra dan memiliki bnayak bentuk (Kickert et al 1997; Wondolleck & Yaffee 2000; Mandell 2001; Agranoff dan McGuire 2003; Goldsmith & Eggers 2004; Imperial 2004). Kolaborasi dapat terjadi antara dua atau lebih organisasi pemerintah (dalam level pemerintaha yang sama atau berbeda), atau antara organisasi pemerintah dan perusahaan swasta dan/atau organisasi/komunitas/non-profit/sukarela. Hubungan kolaboratif dapat meningkatkan pemahaman dan kemampuan dalam mengatasi wicked problems karena ada gabungan pengetahuan diantara para pihak yang terlibat, yang dapat terjadi dalam tiga cara, yaitu: (a) Adanya jaringan kerjasama dapat meningkatkan pemahaman yang lebih baik akan sifat masalah (nature of the problem) dan penyebabnya, karena keterlibatan para pihak yang luas dapat memberikan beragam wawasan mengenai masalah tersebut; (b) Kerja sama meningkatkan kemungkinan bahwa solusi sementara untuk masalah ini dapat ditemukan dan disepakati, bukan hanya karena jaringan yang lebih luas menawarkan wawasan lebih banyak, tetapi juga karena lebih besar kerjasama meningkatkan kemungkinan pihak yang beragam (yang mungkin memiliki kepentingan berbeda mengenai masalah tersebut) dapat sampai pada pemahaman yang sama tentang apa yang harus dilakukan; (c) Memfasilitasi implementasi solusi, bukan hanya karena pihak lebih mungkin untuk menyepakati langkah-langkah selanjutnya, tetapi juga karena memungkinkan saling penyesuaian antara mereka karena ada kemungkinan muncul masalah lain ketika coba mengimplementasikan gagasan solusi dalam praktek.
Sementara itu, Ramalingam, Laric dan
Primrose (2014:11) berpendapat bahwa ada kesenjangan kompleksitas (complexity
gap) di berbagai sektor
dan konteks, baik yang berkaitan dengan kajian ilmiah maupun siklus kebijakan. Adopsi
dan adaptasi dari berbagai disiplin ilmu berbeda coba diterapkan dalam upaya
mengatasi wicked problems dalam
kehidupan nyata.
Dari uraian di atas ada beberapa hal
penting yang dapat ditangkap. Bahwa wicked
problem adalah masalah yang sangat komplek, yang perlu dicermati secara holistik,
direspon dengan kebijakan multi institusional dan melibatkan para pihak, yang
dalam prosesnya melibatkan uji coba dalam siklus “tindakan-informasi-tindakan”
yang panjang, dan selama proses tersebut dibutuhkan kajian/penelitian yang
komprehensif (bukan mono-disipliner). Perdebatan selanjutnya adalah apakah wicked problem ini membutuhkan pendekatan multi, inter, atau
trans-disipliner.