Candra Kusuma
ZAMAN PERANG. Baru melihat
sampul dan belum lagi membaca bukunya saja, penulis buku ini sudah
memaksa saya merenung. Gambar foto yang ada di sampul bagian depannya, bagi saya sudah
bercerita cukup banyak. Pada gambar itu, tampak seorang laki-laki dari bangsa kita yang mengenakan pakaian sipil dan kopiah
hitam. Meskipun badannya terlihat lebih kecil dibanding orang-orang yang dihadapinya, dengan percaya diri dia berbicara sambil bertolak pinggang dihadapan sekumpulan tentara bule berseragam militer. Mungkin saja tidak ada yang
kenal atau sudah tidak ada yang ingat lagi siapa lelaki kecil tersebut. Pada bagian
keterangan sampul, hanya disebutkan bahwa foto itu diambil di wilayah
Perkebunan Ramawati-Sukabumi, pada saat proses evakuasi TNI ke daerah republik di tahun 1948. Si laki-laki kecil itu ternyata seorang perwira TNI, dan para lawan
bicaranya adalah perwira pasukan Belanda dan seorang pemantau berkebangsaan Perancis.
-----
Oleh penulisnya, Hendi Jo*, buku ini diberi judul Zaman Perang: Orang Biasa dalam Sejarah Luar Biasa. Ada 28 kisah di dalamnya. Seluruhnya merupakan hasil riset swadaya yang dilakukannya sendiri. Berbekal potongan informasi sejarah yang didapatkannya sejak kecil, Hendi mencoba melacak detil-detil kisah tersebut, baik melalui penelusuran referensi buku dan dokumen sejarah, juga dengan menggali pendapat para sejarawan dan cerita langsung dari para pelaku sejarah itu sendiri. Kisah-kisah tersebut adalah sebagian dari tulisan Hendi yang sebelumnya pernah dimuat dalam berbagai media cetak dan online, yang kemudian dipilih dan dikompilasi ulang menjadi buku ini. Kalau terkesan terlalu banyak kisah yang berasal dari Jakarta dan Jawa Barat, bisa jadi dipengaruhi oleh unsur "keswadayaan" itu tadi, mengingat penelusuran sejarah lokal di daerah-daerah lain tentunya juga memerlukan energi dan biaya yang tidak ringan.
Pada intinya, menurut Hendi, buku ini mencoba
mengangkat kisah mengenai sumbangan “orang-orang biasa” di tengah peristiwa
luar biasa. Hendi memang menyebut para orang kecil pelaku sejarah yang sebagian
kecil muncul dalam kisah yang diangkatnya ini sebagai sekedar para “figuran”
saja. Dalam sebuah diskusi tentang buku ini di Jakarta pada 29 Mei 2015 lalu, Hendi menegaskan hal tersebut. Menurutnya: “Sejarah kita dibangun oleh elit. Selama ini kita selalu mengatakan bahwa negara kita didirikan oleh Soekarno-Hatta-Syahrir-Tan Malaka. Tapi orang lupa bahwa di balik orang-orang besar itu ada orang-orang kecil yang mengabdikan diri kepada upaya pendirian bangsa ini begitu militant.”
Saya sepaham dengan Hendi. Di panggung sejarah, tampaknya hanya sutradara dan para aktor utama saja yang kemudian menjadi terkenal dan dianggap berjasa. Selebihnya hanya menjadi figuran, atau bahkan “stuntman" alias pemeran pengganti yang harus babak belur dan berdarah-darah tapi tetap dianggap sepi keberadaannya.
Saya sepaham dengan Hendi. Di panggung sejarah, tampaknya hanya sutradara dan para aktor utama saja yang kemudian menjadi terkenal dan dianggap berjasa. Selebihnya hanya menjadi figuran, atau bahkan “stuntman" alias pemeran pengganti yang harus babak belur dan berdarah-darah tapi tetap dianggap sepi keberadaannya.
-----
Saya bukan ahli sejarah. Tapi setelah membaca
Zaman Perang berikut pernyataan Hendi
tadi, saya lantas teringat beberapa literatur yang juga mengangkat tema dan
melakukan pendekatan yang kurang lebih senada dengan yang telah dilakukan Hendi ini. Diantaranya adalah sebuah buku yang
ditulis oleh Wayne Ph. Te Brake pada tahun 1998, berjudul Shaping History: Ordinary People in European Politics, 1500-1700.
Lokus buku ini memang Eropa, tapi perspektif yang digunakannya menurut saya segaris
dengan Zaman Perang.
Dari kajiannya mengenai perkembangan masyarakat Eropa, Brake (1998:2) berpendapat bahwa orang-orang biasa (ordinary
people) sesungguhnya pernah menjadi aktor politik yang berpengaruh, jauh
sebelum diciptakannya sistem demokrasi parlementer seperti yang kita kenal saat ini. Para orang
biasa tersebut menurutnya juga memiliki kemampuan untuk membentuk dan mewarnai
sejarah mereka sendiri. Sejarah itu mungkin berbeda atau bahkan tidak ada dalam
sejarah resmi yang ditulis oleh para pujangga dan sejarawan resmi kerajaan, negara
atau gereja. Inilah yang oleh para sejarawan kemudian disebut sebagai “sejarah
sosial” (social history). Dalam hal
ini Brake mengutip pandangan Charles Tilly yang menyebutkan bahwa sejarah
sosial adalah sejarah tentang orang-orang biasa yang terlibat dalam sejarah
besar: “social history is concerned with
how ordinary people actively ‘lived the big changes’ in history” (Tilly, “Retrieving European Lives,” dalam Reliving the Past: The Worlds of
Social History, ed. Olivier
Zunz, 1985:11).
Dalam pandangan Tilly, seluruh proses politik, diplomasi, perang, perekonomian dan kebudayaan, merupakan bentuk dari hubungan
sosial (social relationships). Karenanya,
social history adalah juga social relationships. Berkembangnya social history, adalah untuk menantang
sejarah politik yang sebelumnya bersifat makro (skala nasional dan internasional) dan dimonopoli oleh negara (statecraft and national politics).
Karenanya, pendekatan social history lahir untuk menjembatani antara pengalaman skala kecil atau individual, dengan
sejarah yang bersifat makro tadi. Pendekatan yang digunakan adalah "history from below,” yaitu mengumpulkan
dan mengolah sejarah kecil tadi (individual biography) menjadi semacam sejarah
kolektif (collective biography) suatu masyarakat.
Setelah
meneliti sejarah perkembangan Eropa, Charles Tilly dan Yves-Marie Bercé
menemukan bahwa berbagai konflik dengan kekerasan dan pemberontakan adalah juga
merupakan bentuk dari aspirasi politik. Sejak itu tema mengenai “aksi kolektif”
atau “kekerasan kolektif” maupun kerusuhan (riot) dan “protes” menjadi kajian
tersendiri yang dikembangkan oleh para pengusung aliran social history (Brake:1998:5). Tantangannya kemudian adalah pada bagaimana dapat mengumpulkan data dan merekonstruksi potongan-potongan sejarah kecil (microhistory) dari bagian peristiwa
besar yang pernah terjadi. Langkah yang diambil adalah dengan memfokuskan diri
pada orang-orang biasa (ordinary people) yang dipandang sebagai aktor politik juga. Selanjutnya,
para peminat dan ahli sejarah aliran “social
history” ini kemudian banyak mempertanyakan dan menggugat sejarah versi resmi
atau yang mereka sebut sebagai "official
story" tadi (Brake, 1998:4).
Saya melihat, upaya Hendi merekam "sejarah orang-orang biasa" ini sejalan dengan pendekatan Tilly tadi. Jika Tilly meneliti konflik dengan kekerasan dan pemberontakan sebagai arena ekspresi dan artikulasi politik para ordinary people di Eropa, maka Hendi memfokuskan perhatian pada peran dan kontribusi ordinary people dalam perang kemerdekaan di Indonesia.
Saya melihat, upaya Hendi merekam "sejarah orang-orang biasa" ini sejalan dengan pendekatan Tilly tadi. Jika Tilly meneliti konflik dengan kekerasan dan pemberontakan sebagai arena ekspresi dan artikulasi politik para ordinary people di Eropa, maka Hendi memfokuskan perhatian pada peran dan kontribusi ordinary people dalam perang kemerdekaan di Indonesia.
-----
Di antara
semua kisah dalam Zaman Perang, saya
paling tertarik dengan riwayat Haji Prawatasari, yaitu seorang menak atau bangsawan Sunda dari Cianjur yang menjadi penentang VOC pada
sekitar awal tahun 1700-an. Meskipun cakupan pemberontakan cukup luas --sampai ke sebagian kawasan Jawa Tengah saat ini--, namun
nama Prawatasari sangat kurang dikenal dibandingkan Pangeran Diponegoro yang pemberontakkannya baru meletus 100 tahun lebih kemudian. Kisah lain yang juga
baru buat saya adalah mengenai sosok Jenderal Moestopo yang ternyata merupakan
seorang perwira tinggi tentara yang sangat nyentrik dan terkadang menimbulkan
kekesalan bagi para anak buah dan atasannya.
-----
Dari kacamata pembaca buku, menurut saya,
upaya Hendi mengangkat “history from
below” mengenai peran para “ordinary
people” sangatlah patut dihargai. Namun beberapa kisah yang muncul menurut
saya agak sulit untuk sepenuhnya disebut sebagai orang-biasa saja, setidaknya
karena pangkat dan kedudukannya secara strata sosial bukan termasuk rakyat
kebanyakan. Contohnya antara lain kisah tentang bangsawan Cianjur bernama
Prawatasari, maupun kisah Jenderal Moestopo tadi. Beberapa yang saya anggap
dapat mewakili sosok orang biasa, diantaranya kisah tentang para pelaut yang
membajak sebuah kapal perang Belanda bernama De Zeven Provincien. Atau kisah
tentang pembantaian rakyat dan para pejuang di Takokak-Cianjur.
Namun, menurut saya, buku ini sangat penting dan menarik untuk dapat menjadi pembanding, penyeimbang atau pelengkap dari versi sejarah resmi yang dibuat oleh pemerintah dan pemegang kuasa lainnya. Membaca dan mempelajari sejarah kecil ini --petite histoire, menurut lidah Perancis--, juga dapat membantu untuk lebih mengenal dan memahami konteks sosial dan historis dari berbagai daerah di Indonesia. Bisa jadi, kita tinggal cukup lama di suatu tempat atau kerap melewati jalan dengan nama tertentu atau nama seseorang, namun sama sekali tidak tahu tentang apa, siapa serta mengapa nama-nama tersebut digunakan. Menyajikan kisah sejarah secara “ringan” tentunya diharapkan juga lebih mampu menarik perhatian masyarakat khususnya kaum muda dan anak-anak mengenai “social history” dari masyarakat dan bangsa kita sendiri. Termasuk diharapkan dapat membangkitkan kepedulian terhadap nasib para pelaku sejarah (baik yang masih hidup maupun sudah meninggal) dan situs-situs perjuangan mereka, yang tampaknya juga menjadi perhatian yang coba diberikan Hendi, sebagai bagian dari perjalanannya sebagai jurnalis sejarah.
Namun, menurut saya, buku ini sangat penting dan menarik untuk dapat menjadi pembanding, penyeimbang atau pelengkap dari versi sejarah resmi yang dibuat oleh pemerintah dan pemegang kuasa lainnya. Membaca dan mempelajari sejarah kecil ini --petite histoire, menurut lidah Perancis--, juga dapat membantu untuk lebih mengenal dan memahami konteks sosial dan historis dari berbagai daerah di Indonesia. Bisa jadi, kita tinggal cukup lama di suatu tempat atau kerap melewati jalan dengan nama tertentu atau nama seseorang, namun sama sekali tidak tahu tentang apa, siapa serta mengapa nama-nama tersebut digunakan. Menyajikan kisah sejarah secara “ringan” tentunya diharapkan juga lebih mampu menarik perhatian masyarakat khususnya kaum muda dan anak-anak mengenai “social history” dari masyarakat dan bangsa kita sendiri. Termasuk diharapkan dapat membangkitkan kepedulian terhadap nasib para pelaku sejarah (baik yang masih hidup maupun sudah meninggal) dan situs-situs perjuangan mereka, yang tampaknya juga menjadi perhatian yang coba diberikan Hendi, sebagai bagian dari perjalanannya sebagai jurnalis sejarah.
-----
*Hendi Jo, jurnalis kelahiran Cianjur tahun
1975. Kuliah di FISIP Unas –Jakarta, dan pernah bekerja di sejumlah LSM dan
media cetak/online. Sejak 2008 menjadi jurnalis lepas, dengan fokus pada
penelusuran dan penulisan sejarah, politik, sosial dan keagamaan di sejumlah
media. Hendi juga merupakan pendiri dan pengelola situs Arsip Indonesia ( www.arsipindonesia.com ).
------
Sumber:
- Wayne Ph. Te Brake (1998). Shaping History : Ordinary People in European Politics, 1500-1700. University of California Press.
- Charles Tilly (1985). “Retrieving European Lives,” dalam Reliving the Past: The Worlds of Social History, ed. Olivier Zunz, University of North Carolina Press.
- “Sejarah Orang Kecil, Pilar Bangsa Yang Besar,” http://www.ahlulbaitindonesia.or.id/berita/sejarah-orang-kecil-pilar-bangsa-yang-besar/