Book Club
“Semua kisah pasti punya akhir. Itulah saat
kita menghela nafas dan menutup buku, mungkin sembari duduk di kursi dan
meletakkan telapak tangan kita pada sampul buku, momen yang disambut oleh
perasaan melankolis. Di satu sisi, kita puas kalau sang penulis berhasil
membereskan berbagai masalah, menciptakan frase yang patut dikenang, dan
memberi ganjaran atas pilihan moral sang tokoh utama yang menuruti kata
hatinya. Tapi kita juga sedih karena petualangan telah berakhir.
Kadang saat kita tahu bahwa hanya tinggal
beberapa halaman yang tersisa, kita membaca dengan lebih lambat, menikmati
setiap kata, menunda apa yang tidak terhindarkan. Tokoh-tokoh yang telah kita
kenal dan cintai tidak lagi menjadi bagian dari hidup kita. Keadaan ini bisa
meninggalkan semacam kerinduan dalam hati kita. Mungkin kita akan membuka buku
itu kembali dan membacanya sambil lalu, mencari kalimat-kalimat kesayangan kita
untuk kembali membangkitkan perasaan-perasaan yang kuat itu. Tapi gairah
membaca itu tak pernah bergejolak dengan kekuatan yang sama pada bacaan kedua.
Sama halnya dengan hidup. Kita bergegas
melalui hari-hari yang diberikan, tak sabar ingin terlibat dalam aneka konflik
dan gairah, memaksa dan menaklukkan, dan melihat bagaimana akhir segalanya.
Saat mendadak titik akhir itu terlihat, kita terkejut. Kita menunda, kelabakan
menikmati setiap momen. Cahaya matahari bersinar lebih cerah, senyuman tampak
lebih lembut, dan kita mendengarkan kata-kata cinta dengan keseriusan yang
menyentuh hati, kalau tidak malah menghancurkan hati…”*
-----
Saya menyukai tiga alinea di atas.
Rasanya saya pernah –beberapa kali— mengalami situasi serupa demikian. Mungkin
disitu nikmat dan indahnya membaca, atau lebih tepatnya dapat membaca bahan
bacaan yang bagus. “Pernah menemui pengalaman
serupa?”
Tentu saja bukan saya penulisnya.
Alinea tersebut adalah bagian dari “Epilog”
dalam novel karya Marie Alice Monroe** yang berjudul The Book Club: Kisah Lima Wanita, dan diterbitkan oleh VioletBooks
pada tahun 2014 lalu. Novel ini merupakan terjemahan dari versi asli dalam
Bahasa Inggris-nya yang berjudul The Book
Club, dan diterbitkan pertama kali tahun 1999 oleh Harlequin.
-----
Weekend lalu saya membaca buku ini, yang saya beli beberapa bulan
sebelumnya, di akhir 2014. Saya ingat, awal melihat sampulnya di toko buku, saya
agak ragu, karena khawatir buku ini terlalu “perempuan,” atau sejenis buku motivasi atau pengumbar
kata-kata bijak saja. Namun saat membaca sinopsis pada sampul belakangnya, saya
merasa ada yang bisa saya pelajari dari kisah para tokohnya. Selain juga,
saya tertarik dengan tema buku ini, yakni persahabatan diantara para anggota
kelompok membaca (book club atau reading group).
Berbeda dengan Monroe –sang penulis—
yang dalam kehidupan nyata juga menjadi anggota dari beberapa book club, saya belum pernah bergabung
dengan kelompok diskusi buku macam itu. Kalaupun pernah terlibat dalam diskusi
buku, biasanya terkait dengan buku akademik atau yang bertema sosial-politik,
sehingga lebih merupakan ajang “senam otak” dibandingkan medium berbagi rasa.
Sementara bagi para tokoh dalam
buku ini, book club bukan hanya tempat
bertemu dan berbagi perspektif mengenai tema, alur, kisah para tokoh dalam
buku, namun juga menjadi ruang untuk berbagi pengalaman hidup dan saling
menguatkan. Bahkan, pemilihan tema dan judul buku yang akan didiskusikan, juga dapat
disesuaikan dengan konteks kondisi emosional dari para anggota club sendiri.
“Terus terang saya iri…”
-----
Dalam arus kehidupan modern
dengan segala kebutuhan ekonomi, rutinitas, dan terbatasnya ruang dan
kesempatan bersosialisasi secara langsung, maka membuat atau terlibat dalam book club adalah rasanya sebuah
pengalaman yang sangat mewah, yang mungkin hanya dapat dinikmati oleh
segelintir kaum berpunya, kalangan
sastrawan/seniman, dan/atau sekedar mereka yang memang punya banyak waktu luang
dan kebetulan bertemu dengan kawan yang punya minat sama.
Belum lagi, butuh keberanian untuk
berbagi hati, dan bukan sebatas kognisi, diantara sesama anggota book club. Entahlah, bisa jadi karena
itu lebih banyak perempuan yang yang terlibat dalam book club (“Apa iya?”). Dibandingkan
laki-laki, bisa jadi perempuan memang lebih punya kemampuan dan keberanian
untuk berbagi rasa diantara kawan atau sahabat mereka sendiri.
“Benarkah...?”
-----
Endnote:
*Dalam
versi Inggris-nya, sebagai berikut:
“All stories come
to an end. That moment when we sigh and close the book, perhaps sit back in our
chair and rest our palm over the cover, is met with quixotic emotions. On the one
hand, we’re satisfied if the author successfully tied up loose ends, turned a
memorable phrase and rewarded the hero’s moral choice with his heart’s desire.
Yet we’re alsosaddened that the adventure is over.
Sometimes when we
see that we only have a few pages left we slow down, savoring each word,
staving off the inevitable. The characters we’ve come to know and love are no
longer part of our lives. This can leave us with a certain longing. Perhaps we’ll
open the book again and skim through it, searching out favorite passages to
kindle again those powerful emotions. But the passion is never stirred quite as
strong the second time around.
So it is with
life. We rush through the days that we’re given, eager to engage in the conflicts
and passions, to push through and conquer and see how it all ends. When
suddenly the end is in sight, we’re surprised. We stall, frantically savoring
each moment. The sun shines brighter, the smiles appear more tender and we
listen for words of love with an urgency that would be poignant if it were not
so heartbreaking.”
**Monroe
termasuk dalam daftar penulis laris di New York Times dan USA Today. Pernah
memperoleh beberapa penghargaan yaitu Award
for Writing (dari South Carolina Center for Book), International Fictioan
Award for Green Book, dan RT Book Reviews Lifetime Achievement Award.