Baca

Baca

Selasa, 31 Maret 2015

"VOC di Nusantara Abad-17" - D.W. Davies



Sumber:
D.W. Davies (1961). A Primer of Dutch Seventeenth Century Overseas Trade. Springer.
Chapter VI tentang Indonesia (Hal.46-58)

---------------

Saya ingin berbagi sedikit tentang sejarah VOC di Nusantara ya... Ini ada kaitannya dengan cerita sebelumnya tentang sejarah VOC juga (lihat "VOC Punye Gaye..." )

Dalam buku ini, Davies menggambarkan ekspansi perdagangan luar negeri bangsa Belanda di abad ke ke-17 ke berbagai wilayah di seluruh belahan dunia, mulai dari daerah yang sekarang kita kenal sebagai Swedia, Russia, Baltik, Perancis, Spanyol, Mediteranian, China, Taiwan (Formosa), Philipina, Jepang, Malaka, Semenanjung Malaysia, India, Srilanka (Ceylon), Burma, Arabia, Persia, Australia, Guyana, Brazil, Amerika Serikat (New Amsterdam), Islandia, dan tentu saja Indonesia (East Indies).

Selama hampir satu abad (15 - 16), perdagangan bangsa Eropa dengan dunia Timur (Orient) dikuasai oleh Portugis. Komoditi utama yang dicari dan diperdagangkan kalau itu adalah lada dan rempah-rempah, yang dihasilkan di pulau-pulau Hindia. Saat itu kekuatan laut Belanda memang masih lemah. Penguasa dan para pedagang Belanda sudah cukup puas menajdi pembeli dari para pedagang Portugis. Belanda juga tidak tahu rute laut yang dapat membawa mereka ke Timur Jauh (Far East). Namun persaingan dan perang dagang khususnya antara Portugis dan Spanyol mempengaruhi akses Belanda terhadap komoditas dari Timur. Selama ini mereka banyak membeli dari para pedagang Portugis. Rempah-rempah menjadi langka dan semakin mahal.

Untung bagi Belanda,  ada banyak pelaut mereka yang menjadi awak kapal dan perusahaan dagang Portugis, dan punya pengalaman dengan Timur.  Diantaranya adalah Dirck Gerritszoon Pomp dan Jan Huygen van Linschoten. Dari pengalamannya sendiri ditambah dengan bantuan informasi dan cerita pengalaman dari Pomp, Linschoten berhasil menyusun dua buku penting bagi dunia perdagangan pelayaran Belanda, yaitu  Reysgeschrift (1595) dan Itinerario (1596). Reysgeschrift mengisahkan koleksi arah dan rute para pelaut dan pedagang Portugis. Sementara Itinerario banyak menggambarkan kondisi  dan kebiasaan masyarakat serta berbagai produk/komoditi yang ada di India, Ceylon dan Timur Jauh, serta menguraikan manfaat atau kegunaannya masing-masing komoditas tersebut dalam kehidupan manusia di Timur dan Eropa. Van Linschoten secara sistematis membahas pulau-pulau di Hindia Timur, khususnya  Timor, Maluku, kelompok Banda, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa.  

Linschoten mencatat, bahwa  kayu cendana banyak ditemukan di Timor; cengkeh di Maluku; pala dan fuli di Amboina dan Banda; lada, emas, perak, kuningan, batu mulia, tanaman obat, dan produk lainnya di Pulau Sumatera; berlian di Soekadana (pantai barat dari pulau Kalimantan); emas dan berlian di Kesultanan Sambas; cangkang kura-kura di Banjermasin di Kalimantan bagian Selatan; berbagai produk berharga, termasuk kulit kayu yang menghasilkan resin (benzoin) di Pulau Jawa, yang merupakan obat paling mahal dari Timur; dll.

Namun yang paling penting dari itu semua bagi Belanda adalah, bahwa dalam Itinerario tersebut Linschoten juga menggambarkan bagaimana situasi kekuatan, kapasitas dan pengaruh Portugis di Timur. Menurut Van Linschoten, kekuasaan Portugis di Timur sudah membusuk dan sangat rapuh. Dengan sedikit pukulan saja, kekuasaan Portugis akan runtuh di Timur. “Ibarat buah plum masak yang siap dipetik,” demikian perumpamaan Linschoten.

Dari cerita Linschoten tadi, yang senada dengan sumber-sumber yang beredar di kalangan pelaut lainnya, membuat para penguasa dan saudagar Belanda bertekad untuk merebut dominasi Portugis di Timur Jauh. Kekuatan laut yang tidak termanfaatkan, sulitnya memperoleh barang dagangan dari Timur, melemahnya kekuatan pesaing di wilayah sumber komoditi, dan peluang memperoleh keuntungan yang sangat besar, adalah motivasi utama yang mendorong hasrat tersebut.

Hingga akhirnya, demikian Davies mengisahkan, pada tahun 1594 di Martin Spil, sebuah kedai anggur di Warmoesstraat-Amsterdam, bertemulah sembilan saudagar utama untuk membahas kemungkinan membentuk perusahaan dagang yang akan merebut surga komoditas di Timur.  Akhirnya mereka bersepakat membentuk “Company for Far Places” yang memiliki misi melakukan perjalan ke Timur Jauh. Perusahaan ini kemudian memesan empat kapal besar –sejenis yang biasa digunakan dalam pelayanan ke Brasi dan Mediterania--, yang kemudian diisi dengan berbagai barang dagangan dari Eropa seperti kain wol, linen, selimut, kelambu, gelas, cermin, amber, aneka ornamen, barang besi, pisau, gembok, helm baja, dan kulit binatang yang keras (cuirasses), dll., yang nantinya akan dijual atau di barter dengan komoditas di Timur. Para pemegang saham di perusahaan ini kemudian memilih salah seorang dari mereka sebagai penanggungjawab ekspedisi ini, yaitu Cornelis de Houtman, yang dianggap cukup punya pengetahuan tentang dunia Timur dari pengalamannya bekerjasama dengan pedagang/pelaut Portugis. Sementara kepala navigator untuk pelayaran adalah Pieter Dirckszoon Keyser.

Harapan mereka sangat tinggi, tapi 15 bulan pelayaran mereka dari Belanda sampai Banten sangat berat, karena cuaca buruk, perkelahian, kurangnya disiplin dan penyakit. Di Banten mereka diterima dengan curiga oleh orang-orang Portugis, namun disambut baik oleh orang Jawa, dan para pedagang Cina serta India. Barang dagangan yang mereka bawa dari Belanda laku keras. Namun masalah sesungguhnya ada di tim ekspedisi Belanda sendiri. Pieter Dirckszoon Keyser mati misterius, dan Cornelis de Houtman terbukti bukanlah pemimpin yang baik. Setelah terjadi pertengkaran dengan penduduk lokal dan bangsa Portugis, akhirnya mereka angkat kaki dari Banten. Satu kapal kekurangan awak dan terpaksa ditinggalkan. Dengan tiga kapal mereka bersusah payah kembali ke Belanda. Dari 248 awak, hanya tersisa 89 saja. Barang di kargo yang mereka bawa pulang juga tidak sebanding dengan semua ongkos ekspedisi yang telah dikeluarkan.


Meski rugi secara ekonomi, namun ekspedisi De Houtman telah melipatgandakan keyakinan Belanda bahwa Timur memang sangat menjanjikan, serta mendongkrak kepercayaan diri mereka bahwa  mereka tahu dan mampu mencapai wilayah itu, atau bahkan untuk sekaligus menguasai sumber komoditas di sana. Ekspedisi kedua dilaksanakan tak lama kemudian, yang disponsori  “Company for Far Places” dan perusahaan baru lainnya, dibawah komando Laksamana Jacob Corneliszoon van Neck. Ekspedisi kali ini sangat sukses, dan berhasil memberi keuntungan lebih dari 400%. Terlebih Neck juga berhasil membangun hubungan baik dengan Banten dan para penguasa di Kepulauan Rempah-rempah.

Dampaknya jelas, makin banyak saudagar yang mau menanam modal, dan para pelaut yang tertarik ikut ekspedisi ke Timur. Menurut Davies, pada tahun 1598 saja ada 5 ekspedisi dengan armada sebanyak dua puluh dua kapal meninggalkan Belanda untuk Timur Jauh.  Sebelum pembentukan East India Company tahun 1602, seluruhnya ada 15 ekspedisi lagi. Tidak semua ekspedisi berhasil dan menguntungkan. Secara rata-rata keuntungannya tidak pernah sangat besar. Namun hasilnya secara umum dianggap cukup mengesankan,  ketika ada banyak individu yang terlihat kaya dan makmur dari keterlibatan mereka dalam ekspedisi tersebut.

Sampai akhirnya para petinggi dan saudagar Belanda merasa mereka dapat secara sistematik mengeksloitasi Timur untuk sepenuhnya keuntungan mereka. Langkah cerdas pertama yang dilakukan adalah mengurangi persaingan di internal perusahaan/pedagang Belanda sendiri.  Berbagai perusahaan tersebut kemudian bergabung dalam Vereenigde Oost Indische Compagnie atau VOC.  Badan pengawas yang mengendalikan VOC adalah sebuah dewan direksi  yang berjumlah tujuh belas orang (diambil dari sejumlah kota Belanda), yang kemudian lebih dikenal sebagai “The Seventeen." 

Akibatnya, kapal-kapal dan pedagang Portugis kewalahan menghadapi armada dagang Belanda yang lebih terorganisir ini. Davies mengutip Sebagai B.H.M. Vlekke yang dalam catatannya menyebutkan bahwa hanya dalam waktu tiga tahun setelah ekspedisi  de Houtman, kapal-kapal Belanda telah muncul di lepas pantai Barat Sumatra dan sekitar Aceh, mengunjungi  Jawa dan Maluku, terlihat di lepas pantai timur laut Kalimantan, di dekat Manila, menjelajahi pantai Siam dan Indo-China, dan berusaha untuk membangun hubungan perdagangan dengan Canton. Bahkan mereka telah berada di Jepang pada tahun 1600, membuka perwakilan perdagangan di Ceylon pada tahun 1602, dan menjelajahi pantai Australia di tahun 1605.

Basis perdagangan Belanda di Timur awalnya adalah Banten , dan kemudian Batavia atau sebelumnya disebut Jacatra (di Jawa). Dari Batavia, Belanda mengendalikan seluruh kekuatan atas jaringan pos perdagangan dan lokasi pengolahannyanya mulai dari Arab dampai Jepang. Sejak awal secara tegas mereka menunjukkan tekad untuk dapat membangun monopoli perdagangan di Timur, dengan menerapkan kebijakan pelarangan keterlibatan negara Eropa lainnya (terutama Inggris dan Portugis) dalam perdagangan antara East India dan Eropa, serta  pengadaan komoditas sebagian besar lalu lintas antar negara timur  yang sebelumnya dikuasai pedagang lokal.

Davies mengutip analisis Linschoten mengenai bagaimana melemahnya kekuatan laut Portugis sekaligus telah mempercepat kekalahan perdagangan komersial mereka. Namun ada sebab lainnya dari perkembangan peta kekuatan tersebut, yaitu juga karena kekejaman para pelaut dan serdadu Portugis kepada penduduk asli yang ternyata telah menimbulkan rasa antipasti di kalangan bangsa-bangsa Timur. Selain itu, pelaut Belanda adalah juga prajurit  yang lebih terampil, sehingga bentrokan bersenjata antara dua kekuatan hampir selalu dimenangkan oleh Belanda.  Kecepatan para penjelajah Belanda menyebarkan jaring kekuatan ekonominya tampaknya memang berbanding lurus dengan berkurangnya kekuatan Portugis di Timur.

Namun, menurut Davies, situasinya berbeda dengan Inggris, karena seperti halnya dengan Belanda, mereka juga ingin menjadi penerus kekuasaan perdagangan Portugis di Timur. Namun pada pelaut dan pedagang Inggris tidak memiliki armada pengangkut dan sumber daya keuangan untuk bersaing dengan Belanda.  Awalnya memang ada semacam kesepakatan dagang antara Belanda (VOC) dan Inggris (East India Company  - EIC). Namun pada masa Gubernur Jenderal  Jan Pieterszoon Coen (1618-1623, dan 1627 – 1629), Belanda cukup percaya diri untuk mengusir Inggris. Awalnya adalah dengan membuat “proyek bersama skala besar” sehingga Inggris (yang saat itu lebih miskin) kesulitan terlibat aktif dalam kerjasama dagang tersebut.  Kerjasama itu berakhir tahun 1623. Selanjutnya Coen melakukan apa yang disebut “pembataian Amboina” (eksekusi sejumlah opsir Inggris di sekitar Ambon), dan dilanjutkan dengan serangan Coen atas armada Inggris yang diantaranya dapat merebut 7 kapal mereka. Inggris tersingkir, dan akhirnya hanya memiliki kaki di Singapura (Tumasik) saja.


Menjadi penguasa yang memonopoli sumber komoditas berharga sekaligus mendominasi  jalur perdagangan di  Timur juga memberi keuntungan lebih pada Belanda. Mereka menjadi pengendali lalu lintas perdagangan antara bangsa-bangsa di Timur, yang ternyata volume dan keuntungan jauh lebih besar daripada yang dilakukan dengan bangsa Eropa saja.


Selanjutnya…, silakan baca bukunya ya…  J