"Ada Apa Dengan Bigot?"
(AADB: Bagian 1)
Oleh: Candra
Ada satu istilah yang belakangan ini cukup
sering muncul di media massa dan media sosial, yaitu Bigot dan Bigotry? Setahu saya itu bukan istilah
baru dalam ilmu psikologi dan sosiologi. Tapi dalam satu dua tahun ini istilah
tersebut rasanya makin sering digunakan oleh para pengamat, penulis dan
kritikus sosial-politik, dan juga bukan cuma di Indonesia, tapi juga di dunia. Kalau
diperhatikan, istilah ini juga hampir selalu disandingkan dengan banyak istilah
lain yang umumnya berkonotasi negatif, seperti prasangka, stereotype, rasisme, intoleransi, diskriminasi, konservatisme,
radikalisasi, dan bahkan terorisme.
Sebagai contoh, koran The Jakarta
Post pada 6 Desember 2016 mengangkat isu ini dengan judul “Bigotry haunts nation” sebagai
respon atas menguatnya aksi intoleransi oleh kelompok garis keras yang
mencerminkan meningkatnya konservatisme di Indonesia. Sementara di Amerika Serikat,
menjelang pemilihan Presiden di sana akhir tahun 2016 lalu, juga terbit sebuah
buku yang ditulis oleh John K. Wilson berjudul Trump Unveiled: Exposing the
Bigoted Billionaire. Wilson tampaknya berupaya mengingatkan publik AS
tentang sosok Trump yang disebutnya “narcissistic,
bigoted, even idiotic fool” setidaknya terkait dengan pernyataan dan agenda
politiknya yang kontroversial mengenai kaum kulit berwarna, imigran, dan
Muslim. Namun sejarah membuktikan bahwa dalam demokrasi rakyat juga bisa salah
dalam memilih pemimpin mereka sendiri.
Istilah tersebut memang tampaknya
belum lazim di Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring di situs http://kbbi.kemdikbud.go.id juga belum
memasukkan istilah itu. Jadi memang sulit untuk mencari padanan kata-nya dalam
Bahasa Indonesia. Sebagian orang mengartikan bigotry sebagai fanatisme, tapi
mungkin kurang tepat juga, jadi saya memilih untuk tetap menggunakan istilah
aslinya saja. Tidak heran pemahaman umum tentang bigot (sebagai subyeknya) dan
bigotry (sebagai perilakunya) pastinya juga tidak seragam. Pemahaman awal saya
tentang istilah itu ternyata juga tidak terlalu tepat benar. Sebelumnya saya
memahami istilah tersebut berkaitan dengan cara pandang dan sikap yang dari
satu atau sekelompok orang yang merasa dirinya paling penting dan benar, memandang
rendah dan salah pihak lain, serta menyampaikan pernyataan kebencian serta
bertindak diskriminatif, khususnya kepada pihak lain yang berbeda agama/keyakinan
saja. Dari sejumlah literatur yang saya baca kemudian, aspek-aspek yang
mempengaruhi perilaku bigotry tersebut ternyata sangat kompleks, terkait dengan
stereotype dan prasangka (prejudice) terhadap individu atau
kelompok lain yang berbeda ras, agama, gender, usia, dll. Jadi tidak semata
soal kebencian terhadap pemeluk agama yang berbeda saja.
Salah satu referensi yang menurut
saya penting dan menarik tentang bigot dan bigotry ini adalah buku berjudul The
Bigot: Why Prejudice Persist yang yang ditulis oleh Stephen Eric
Bronner pada tahun 2014. Broner menggambarkan karakteristik para bigot,
perilaku dan asal-usul mereka. Konteksnya sebagian besar memang di US dan
Eropa, tapi bisa membantu dalam memahami stuasi di Indonesia saat ini.
Menurut Bronner, asal-usul para bigot ini beragam, dan
dapat berasal dari kalangan apa saja. Mereka tidak selalu berkulit putih, tidak
selalu laki-laki, tidak selalu kaya, dan tidak selalu konservatif atau fasis. Mereka
umumnya berasal dari kelas menengah ke bawah, pemilik toko kecil, atau petani,
meskipun pekerja industri dan lainnya juga dapat menjadi rasis dan otoriter
dalam orientasi. Tidak setiap kelompok sosial atau strata memiliki semua
prasangka. Para bigot dalam satu kelompok sering menjadi sasaran prasangka dari
para bigot di kelompok lain. Namun tujuan
para bigot adalah selalu sama: untuk mengubah hidup, menghilangkan hak,
mengeksploitasi, dan menganiaya kaum sublatern serta menjadikannya obyek untuk mereka manfaatkan.
Selain itu, para bigot mungkin saja tidak mengelompok dalam satu organisasi
tertentu, tetapi mungkin juga tersebar dan bergabung dengan berbagai partai
politik dan gerakan. Gaya dan pola mereka juga tidak selalu sama di setiap
zaman, namun cukup adaptif dan berubah menurut situasi sejarah yang ada pada
masa tertentu.
Para bigot ini juga jarang hanya memiliki satu target sebagai sasaran
kebencian mereka. Artinya target para bigot ini tidak spesifik pada satu
kelompok tertentu, namun dapat siapa saja yang danggap berbeda dengan mereka.
Satu kesamaan diantara mereka,
adalah adanya satu dorongan yang serupa
untuk mengarahkan kebencian terhadap pihak lain yang mengancam (atau dianggap
sebagai ancaman) terhadap hak istimewa, rasa eksistensialnya harga diri, dan
dunia (imajiner) yang mereka miliki selama ini. Dengan kata lain, dunia
bagi para bigot adalah dunia di mana mereka menjadi pemiliknya, memiliki hak
untuk mengaturnya, subyek paling penting dan memiliki hak-hak istimewa, atau
menjadi pewaris ajaran kebenaran berikut tafsir-tafsirnya. Kelompok atau pihak
lain diluar kelompok mereka (para “Other”)
adalah kaum subordinat atau sublatern yang status sosialnya lebih rendah
sehingga harus tunduk pada sistem dunia di mana para bigot ini “berkuasa.”
Di dunia mereka tersebut, para
bigot merasa nyaman, bahagia, dan bahkan dapat menunjukkan sikap ramah. Mereka
sering terlibat dalam tindakan-tindakan kebaikan kecil individual terhadap para
Other, yang kerap mereka pandang
sebagai bentuk dari tanggung jawab sosial (noblesse
oblige). Tapi sikap para bigot akan berubah setelah subaltern tersebut tidak
lagi menerima hegemoni mereka. Karenanya, reaksi berupa meningkatnya kebencian terhadap
kaum sublatern yang dianggap telah mengubah tatanan dunia mereka tersebut merupakan
sebagai konsekuensi logis dari sistem dunia di mana bigot berkuasa.
Di mata
para bigot, kelompok-kelompok sublatern menjadi satu ancaman luar biasa yang
mencakup segala hal. Para bigot berupaya memerangi kelompok-kelompok
sublatern tersebut dengan mempersempit peluang mereka, menolak untuk melihat
mereka seperti apa adanya mereka, dan mengidentifikasi mereka sebagai inheren
rendah dengan sifat-sifat tetap dan status tidak berubah. Dengan demikian para
bigot dapat mengkonstruksi pihak lain sesuai keinginannya sendiri, yang
sekaligus membangun jaringan stereotype yang membentuk citra tentang diri
mereka sendiri.
Dalam pandangan Bronner, para bigot adalah orang-orang yang dibatasi
oleh kerangka kognitif mereka sendiri, sekaligus menjadi tawanan dari prasangka
(prejudice) yang mereka ciptakan sendiri.
Untuk menjustifikasi klaim mereka atas dunia, para bigot memvalidasi diri
dengan menggunakan mitos, stereotip, dan standar ganda. Bronner menyebutnya
sebagai bentuk “konspirasi fetisisme.” Para bigot ini tidak mau dan tidak dapat
terlibat dengan orang-orang lain yang mempertanyakan opini mereka atau
menantang superioritas yang mereka miliki. Karena kerangka kognitif mereka yang
terbatas ini, pemahaman akan dinamika dunia modern pada para bigot juga menjadi
semakin sedikit. Pemahaman yang sedikit akan dunia tersebut justru membuat mereka
semakin merasa menjadi tidak aman. Akibatnya, pilihan untuk menjadi lebih
fanatik menjadi yang paling mungkin untuk diambil. Karenanya, tidak
mengherankan jika para bigot harus sering muncul dalam peran tradisional yang
terkait dengan komunitas organik imajiner: yaitu para true believer (taklid), para
elitis, dan chauvinis. Peran tradisional pada individu bigot ini tidak saling
eksklusif dan, pada kenyataannya, biasanya tumpang tindih. Artinya para bigot
dapat memainkan satu, dua atau sekaligus ketiga peran tersebut.
Tingkat intensitas yang mereka
mainkan bervariasi sesuai dengan keadaan dan selubung psikologis tiap individu.
Tapi mereka semua rentan terhadap
fanatisme, di mana sikap itu yang memberikan para bigot perasaan dan keyakinan bahwa
mereka selalu berada di “jalan yang benar.” Tanpa itu, tindakan bermain
peran yang mereka lakukan menjadi tidak masuk akal sama sekali. Sebagai true beliver sejati, para bigot mengaku
mendengar suara Tuhan, dan dengan itu mereka mengutuk pihak lain yang tidak,
atau menafsirkan sebaliknya. Sebagai kaum elitis, mereka merasa tahu segala hal,
dan dengan demikian bersikeras bahwa mereka lebih unggul dibanding orang-orang
dari ras, etnis maupun orientasi gender yang berbeda. Sementara dalam peran sebagai
chauvinis, mereka menganggap sikap mereka itu sebagai ekspresi otentik dari
komunitasnya.
Sebagian bigot mengklaim bahwa mereka menerima wahyu ilahi yang membenarkan
superioritas mereka. Sebagian bigot lainnya masih merasa perlu membuat argumen
lain yang mendukung klaim superioritas mereka tersebut. Namun bagi para bigot dari
jenis chauvinis hanya membutuhkan sebuah narasi yang mereka buat untuk membenarkan
dan melayani kepentingan diri mereka sendiri. Narasi tersebut didorong oleh
nostalgia masa lalu, atau, umumnya, oleh bentuk masa lalu tertentu yang dibayangkan
oleh para bigot. Ini adalah narasi di mana pihak lain (“Other”) menghilang,
atau, eksploitasi dan diskriminasi yang diderita pihak lain itu menghilang.
Menambah penganiayaan pada lain itu hanya akan merusak narasi.
Bronner berpendapat bahwa prasangka para bigot kepada pihak lain itu merupakan
prasangka negatif, karena bersifat permusuhan, merusak, dan ganas. Prasangka
tersebut merupakan kristalisasi dari banyak hal
buruk (sadar atau tidak sadar) yang didasari oleh ketakutan akan
kehilangan hak istimewa mereka, yang kemudian diinternalisasi dalam pemikiran
dan tindakan mereka. Mereka yang terlibat dalam prasangka negatif tersebut umumnya
adalah individu dengan masalah psikologis yang khusus. seperti obsesif,
narsisis, dll. Setiap bigot memiliki neurosis atau ketidakseimbangan mental mereka
sendiri, ataupun konflik dengan keluarga, kerabat, teman, lingkungan
sosial, darta pengaturan geografis, memiliki target khusus dari kebenciannya.
Meskipun para bigot gemar menggertak, namun sesungguhnya ego mereka sangat
rapuh. Mungkin hal
ini yang menjelaskan mengapa mereka dapat merasa bahagia di rezim fasis atau
otoriter. Namun, menurut Bronner, ternyata para bigot ini juga dapat bertahan
dalam sistem demokrasi perwakilan dan bahkan dalam sistem pemerintahan dengan
partisipasi masyarakat lokal yang luas. Para bigot bersedia untuk bergabung
dengan gerakan apapun, apakah itu konservatif, fasis, liberal, sosialis, atau
komunis. Dimanapun mereka berada, para bigot akan memainkan peran reaksioner
yang sama dalam kehidupan publik.
Namun demikian, para
bigot-pun dapat merasa frustasi terhadap dunia. Rasa frustrasi para bigot tersebut
dapat dipahami, karena para intelektual, ahli, politisi, dan pihak luar lainnya
tampaknya tidak menghormati pendapat dan tradisi para bigot tersebut. Bagi para
bigot, musuh-musuh mereka adalah kaum ateis, orang asing, homoseksual, dan pelaku
subversif lainnya yang semuanya selalu mencari cara untuk mengubah tatanan dunia
di mana para bigot merasa nyaman dan berpangaruh. Sementara, masyarakat terbuka
(open society) juga dapat mengancam
hegemoni para bigot. Karenanya, para bigot kemudian terlibat dalam politik yang
berupaya mempersempit ruang publik. Partisipasi harus dibatasi bagi kaum Other yang tidak seperti dan bukan
bagian dari kelompok mereka. Semua pihak lain yang tidak seperti mereka dianggap
hanya akan bersekongkol melawan keberadaan
dan kepentingan para bigot belaka.
Bagi para bigot, ini adalah pertempuran dari perang suci melawan “dunia lain” di luar kelompok
mereka. Menurut Bronner, sebagai kelompok yang sebelumnya merasa sebagai
penerima hak istimewa sosial (privielege),
para bigot sekarang memandang dirinya sebagai pecundang, atau sebagai pemenang yang
tengah dikepung oleh para musuhnya. Tak jarang ditemukan di mana para bigot
kemudian menggunakan peristiwa imajiner yang mereka bayangkan untuk mendakwa
seluruh ras, agama, kebangsaan, atau kelompok gender tertentu. Kebutuhan para
bigot untuk mencari alasan dan pembenaran adalah satu hal yang tak berujung: semua
hal selalu selalu tentang mereka dan tidak pernah tentang pihak lain atau korbannya.
Para bigot memandang diri dan kelompok mereka sebagai pusat dunia. Karenanya, apa
yang dialami oleh subaltern dianggap tidak relevan. Para bigot selalu menuntut
lebih. Bagi mereka sudah waktunya untuk "bergerak" dan
"mendapatkan lebih” dari apa yang sudah mereka miliki saat ini, yaitu
pengaruh dan dominasi.
Dalam hal ini, Bronner melihat
bahwa para bigot tak segan memutabalikkan
sejarah, mengaburkan kebutuhan untuk tanggung jawab etis, dan berusaha untuk
membasmi perbedaan antara korban dan penganiaya. Relativisme fabrikasi
menyediakan para bigot sebuah "pseudo-orientasi dalam masyarakat
terasing." Ini memberinya lapisan toleransi dan membenarkan
ketidakpedulian parokial untuk nasib sublatern dan budaya lain, dan apa yang
bisa dipelajari dari mereka.
Bronner
menyimpulkan, bahwa secara umum para
bigot adalah kaum relativis tapi bukan pluralis. Perbedaan ini penting,
karena meskipun mungkin sama-sama menentang gagasan bahwa satu kebenaran
tunggal akan menunjukkan jalan ke surga, namun ada perbedaan pandangan mengenai
alternatifnya. Pluralisme menganggap lembaga liberal dan cita-cita yang
universal akan memungkinkan individu untuk membuat penilaian yang masuk akal
tentang budaya lain dan itu berarti bersedia menerima gaya hidup yang berbeda
dengan apa yang diyakini dan dilakukannya sendiri. Sementara para bigot
berbeda pandangan mengenai hal tersebut. Karena perhatian mereka sesungguhnya hanyalah
bagaimana mempertahankan keunggulannya mereka sendiri, dan menemukan alibi
kreatif untuk semua kegagalan atasnya.
Karena itu, bagi Bronner, para bigot sesungguhnya menderita defisit identitas dan rasa kurang percaya diri. Karenanya, dalam setiap pertemuan
dengan pihak lain mereka selalu merasa harus terus-menerus mengkonfirmasi
prasangka pra-reflektif dan keunggulan mereka sendiri. Mereka merasa harus
selalu dapat menjadi pihak yang mendiktekan segalanya, tidak peduli apakah pada
saat itu mereka tengah membela sesuatu yang legal atau ilegal, tindakan kekerasan
atau persuasi, atau bahkan gagasan reformasi maupun revolusi. Para bigot adalah
partisan yang bercokol tidak hanya pada organisasi tertentu saja. Pada satu
ketika mereka melontarkan slogan-slogan nasionalis, namun pada waktu lain justru
menyatakan solidaritas internasional dengan ras kulit putih. Kadang-kadang ia
akan mendukung negara kesejahteraan, namun kadang juga tidak. Satu saat para
bigot dapat muncul sebagai kaum elitis, yang arogan dan mengutuk massa, namun
di saat yang lain mereka memainkan kartu populis yang mengamuk terhadap kaum
liberal perkotaan, para bankir internasional, dan mengutuk intervensi pihak
asing. Uniknya, seperti yang terjadi pada Kluk Klux Klan (KKK) di Amerika dan Nazi
Jerman, para bigot ini juga dapat muncul sebagai elitis dan populis sekaligus.
Para
bigot dapat saja berubah atau berpindah partai, namun para true believer, elitis, dan chauvinis masih terus bergumul dengan
konstituen tradisional yang sama. Mereka masuk ke dalam bentuk-bentuk gerakan
evangelis berkembang dan kelompok penjaga moral, pendukung teori ekonomi "menetes
ke bawah" (“trickle down” economics)
dan menentang konsep negara kesejahteraan, sekaligus sambil terus menyuarakan
hyper-nasionalisme.
Penyebab para bigot dapat
menggeser dan mengubah pandangan mereka dengan begitu mudahnya adalah karena,
pada akhirnya, mereka sesungguhnya tidak
memiliki pandangan spesifik sama sekali, kecuali semua yang sejalan dengan
kepentingan dan prasangka yang saling memperkuat di dalam diri/kelompok mereka
sendiri. Karenanya, para bigot tidak layak untuk berbicara tentang teori
sosial --yang mengintegrasikan berbagai elemen menjadi visi global dan koheren
masyarakat dan sejarah--. Para bigot justru akan mendistorsi teori-teori sosial
tersebut. Bagi para bigot, segala hal
dapat diterima atau ditolak sesuai dengan
kebutuhan ideologis mereka pada saat tertentu.
Dari hasil pengamatannya, Bronner
melihat bahwa pada masa modern saat ini,
para bigot telah melakukan mutasi besar-besaran. Taktik politik dari para
bigot telah berubah dan retorika inflamasi yang sebelumnya cukup ampuh melukai
pihak lain sekarang ini tidak lagi cukup efektif untuk memenuhi tujuan mereka.
Kultus terhadap pemimpin tunggal juga telah hilang, dan kerinduan para bigot
terhadap perubahan rezim sebagian besar telah mereka sembunyikan. Namun,
menurut Bronner, para bigot adalah makhluk yang tangguh. Mereka tahu bagaimana cara
menyembunyikan hasrat terdalam mereka. Para
bigot yang tidak dapat lagi dengan mudah diidentifikasi dari sikap atau
ciri-ciri psikologis tertentu, atau bahasa bermuatan intoleransi tertentu. Kata-kata
dapat melukai, tapi kerusakan yang ditimbulkan dari kebijakan tertentu dapat
lebih parah lagi. Prasangka tidak dibatasi oleh apa yang orang rasakan atau katakan,
tetapi apa yang sebenarnya mereka lakukan. Hal tersebut memiliki dimensi ekonomi
seperti halnya dimensi budaya dan politik. Hal tersebut terutama terjadi saat
ini ketika ada banyak bentuk kamuflase bagi
para bigot baik melalui media massa maupun lembaga politik tertentu,
seperti munculnya Tea Party beraliran ultra konservatif di AS.
Para bigot selalu waspada dengan perkembangan modernitas yang ada saat ini. Karena dalam modernitas terkait erat dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan, teknologi, dan rasionalitas instrumental, yang pada akhirnya akan mengkritisi segala hal yang sebelumnya hanya didasarkan pada iman atau prasangka tertentu saja. Dalam modernitas apa yang pernah diselimuti mitos dan kegelapan sekarang berpotensi menjadi terbuka dan memperoleh cahaya. Namun para bigot juga dapat masuk dalam modernitas, misalnya dalam hal pengguaan metode ilmiah seperti juga yang digunakan oleh para pengkritik mereka, seperti yang ditunjukkan oleh NAZI Jerman. Meskipun demikian para bigot tidak pernah sepenuhnya merasa nyaman dalam menggunakan ilmu pengetahuan untuk mendukung prasangka mereka tersebut.
Para bigot selalu waspada dengan perkembangan modernitas yang ada saat ini. Karena dalam modernitas terkait erat dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan, teknologi, dan rasionalitas instrumental, yang pada akhirnya akan mengkritisi segala hal yang sebelumnya hanya didasarkan pada iman atau prasangka tertentu saja. Dalam modernitas apa yang pernah diselimuti mitos dan kegelapan sekarang berpotensi menjadi terbuka dan memperoleh cahaya. Namun para bigot juga dapat masuk dalam modernitas, misalnya dalam hal pengguaan metode ilmiah seperti juga yang digunakan oleh para pengkritik mereka, seperti yang ditunjukkan oleh NAZI Jerman. Meskipun demikian para bigot tidak pernah sepenuhnya merasa nyaman dalam menggunakan ilmu pengetahuan untuk mendukung prasangka mereka tersebut.
Para bigot tidak menyukai
konsep universal dan kriteria objektif dalam membuat penilaian ilmiah. Menurut
Bronner, para bigot lebih suka menggunakan prasangkanya sebagai pembenaran
ilmiah, contohnya dengan membuat referensi phrenology
–yaitu studi tentang struktur tengkorak yang digunakan untuk menentukan
karakter dan kapasitas mental seseorang--, atau dengan menekankan pentingnya
atribut fisik tertentu, sifat-sifat yang diwarisi, eugenika –filsafat sosial yang berpandangan bahwa untuk memperbaiki
ras manusia makan orang-orang yang sakit atau catat harus disingkirkan--, dan
hirarki antropologis. Karenanya, ilmu genetika memiliki daya tarik tertentu bagi
para bigot dalam usaha mereka untuk menjelaskan tentang kecerdasan atau
kreativitas, meskipun sesungguhnya tidak ada bukti untuk membenarkan adanya
hubungan sebab-akibat antara biologi dan prestasi sosial.
Para bigot yang selalu merasa alergi mengenai gagasan tentang
mengubah sesuatu dari yang tak terlihat menjadi terlihat, dari yang tak
terlukiskan menjadi sesuatu yang diskursif, dan dari sesuatu yang tidak
diketahui menjadi sesuatu yang dapat dipahami. Kalaupun dilakukan sebuah kajian
atau penelitian, para bigot hanya akan
mengambil kebenaran yang sesuai dengan prasangka dasar mereka saja.
Karenanya, menurut Bronner, semua bentuk observasi dan bukti, hipotesis dan
kesimpulan, konfirmasi dan validasi akan diseleksi sedemikian rupa oleh para
bigot, dan digunakan untuk membenarkan apa yang oleh Cornel West telah disebut
"pengecualian diskursif" (“the discursive exclusion”).
Meski mungkin tidak diakui secara terbuka, para bigot sesungguhnya adalah orang-orang
oportunis, karena selain prasangka, mereka
sesunggunya tidak memiliki keyakinan inti yang kukuh. Sebagai contoh,
meskipun pada prinsipnya mereka mendukung ketidaksetaraan dan ide kompetisi, namun
sikap itu hanya berlaku ketika mereka berada di atas (posisi yang diuntungkan)
atau, ketika mereka percaya bahwa mereka berada di atas. Mereka akan menolak
ide kompetisi tersebut ketika mereka menemukan bahwa diri mereka berada di
bawah (posisi yang tidak diuntungkan). Kompetisi
dipandang baik hanya jika itu menguntungkan mereka. Ketika tidak, para
bigot akan bersikeras bahwa pesaing atau lawan mereka telah melakukan kecurangan,
dan bahwa lawan mereka itu telah menipu yang merupakan sifat bawaan dari etnis,
kebangsaan, atau ras mereka.
Bronner
menyimpulkan, bahwa dengan segala bentuk
kamuflase yang mereka lakukan, para true
believer, elitis, serta chauvinis tampaknya memang cocok sempurna dan
cenderung akan terintegrasi dengan arus utama (neo) konservatif. Dalam hal ini, prasangka mereka telah
disamarkan untuk mendapatkan legitimasi, dan mungkin mereka bahkan tidak lagi
menyadari ke-bigotry-an mereka sendiri. Kemunafikan
dicampur dengan kepercayaan, dan oportunisme berkelindan dengan keyakinan.
Tapi para bigot ingat siapa diri mereka sesungguhnya. Bronner mengingatkan,
bahwa dengan dogmatisme agama, sikap elitisme anti-demokrasi, dan pemahaman
sempit tentang masyarakat, para bigot masih berupa menunjukkan bahwa mereka
juga adalah para pejuang revolusioner untuk kosmopolitanisme, kebebasan
politik, dan kesetaraan sosial.
Referensi:
- Bronner, Stephen Eric (2014). The Bigot: Why Prejudice Persist. Yale University Press, New York.
- Wilson, John K. (2016). Trump Unveiled: Exposing the Bigoted Billionaire. OR Books, New York.
- The Jakarta Post (2016). “Bigotry haunts nation,” Friday, December 6, 2016, http://www.thejakartapost.com/news/2016/12/09/bigotry-haunts-nation.html