“Milan Kundera dan Social
Amnesia di Indonesia”
Candra Kusuma
Saya ingat betul, buku ini saya beli di Gramedia –
Bandung pada bulan Juni 2000. Terjemahan dari novel karya Milan Kundera berjudul
“Kitab Lupa dan Gelak Tawa” ini memang pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Bentang pada Mei 2000. Jadi barangkali saya
termasuk rombongan awal pembacanya saat itu. Tentu saja saya ingat hal ini
bukan karena saya memang punya ingatan kuat, tapi semata karena dulu saya
terbiasa menulis tanggal dan tempat pembelian
buku. Maklum saja, karena memang kapasitas fiskal yang terbatas, dulu rasanya perlu
perjuangan yang sangat besar untuk dapat membeli buku baru setiap bulannya.
Diantara semua karya Milan Kundera, novel ini tampaknya
memang yang paling berpengaruh. Versi Inggrisnya berjudul “The Book of Laughter and Forgetting”. Saya sendiri baru dapat
membaca versi Inggris-nya yang diterbitkan HarperPerennial (1996)
beberapa tahun lalu. Buku ini pula membuat Kundera menjadi warga buangan seumur
hidup. Diterbitkannya buku ini di luar negeri, membuat pemerintah Ceko mencabut
kewarganegaraan Ceko-nya pada tahun 1979. Namun akibat tekanan politik yang
dialami di tanah airnya sendiri, Kundera
dan istrinya sesungguhnya sudah menjadi exile
di Perancis sejak tahun 1975.
Novel ini sesungguhnya adalah kumpulan cerita pendek,
dengan tema sentral mengenai kekuasaan politik. Namun ketika berbicara tentang
kekuasaan, Milan Kundera tidak sedang berbicara tentang kekuasaan pada umumnya.
Ia bicara tentang kekuasaan yang disalahgunakan. Kekuasaan yang cenderung korup
dan menindas. Dia tengah mencela totalitarianisme sebagai bentuk pelecehan
kekuasaan yang mengancam kemanusiaan. Tidak heran, jika kemudian salah satu bagian
yang paling banyak dikutip orang dari novel ini adalah ucapan salah satu tokoh
di dalamnya: “The struggle of man against
power is the struggle of memory against forgetting” (Milan Kundera, 1996:4).
Bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan
lupa.
Tema yang diangkat dalam novelnya ini memang tidak lepas
dari kisah hidup penulisnya sendiri. Milan Kundera lahir di Brno, Cekoslowakia
tahun 1929. Tepat setelah Perang Dunia II, Milan Kundera masuk menjadi anggota
Partai Komunis Ceko. Namun ketika terjadi pengambilalihan Praha tahun 1948, --
yang pada saat itu ia masih mahasiswa— Kundera memutuskan untuk keluar dari
Partai tersebut. Ia kemudian bekerja sebagai buruh dan musisi jazz, untuk
kemudian mengabdikan diri sepenuhnya pada kesusastraan dan film. Ia memang menjadi
profersor di Prague Institute for Advanced Cinematographic Studies. Ia menulis
kumpulan cerita berjudul “Laughable Loves”
di Praha sebelum tahun 1968.
Setelah invasi Rusia buan Agustus 1968, ia kehilangan
pekerjaannya dan buku-bukunya dicekal. Namun bintangnya justru bersinar di
tempat lain. Novelnya yang berjudul “Life
is Elsewhere” menjadi novel asing terbaik di Perancis tahun 1973. Sementara
novel lainnya berjudul “The Farewell
Party” menjadi novel asing terbaik di Italia tahun 1976.
Dalam novel ini tampaknya Kundera ingin bercerita bahwa
invasi informasi yang bertubi-tubi mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di
sekitar kita telah membuat manusia menjadi familiar dan akhirnya permisif
dengan berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang menimbulkan kerusakan dan
kejahatan sosial dan kemanusiaan. Singkatnya, manusia menjadi gampang lupa
dengan berbagai tragedi kemanusiaan yang justru terjadi akibat perbuatan
manusia lainnya. Dalam salah satu bagian Kundera menulis:
“Dalam masa ketika
sejarah masih bergerak secara perlahan, peristiwa-peristiwa begitu sedikit dan
jarang terjadi dan dengan mudah diingat. Peristiwa-peristiwa itu membentuk latar
belakang umum bagi adegan-adegan petualangan yang mendebarkan dalam kehidupan
pribadi. Dewasa ini sejarah bergerak dengan kecepatan tinggi. Sebuah peristiwa
sejarah, meskipun segera terlupakan, menerangi pagi berikutnya dengan embun
kebaruan. Tak ada lagi latar belakang – latar belakang itu kini menjadi petualangan
itu sendiri, sebuah petualangan yang mengambil tempat di hadapan latar belakang
kebanalan kehidupan pribadi yang telah diterima begitu saja.” (Milan
Kundera, 2000:10-11)
Beruntung, pada novel terjemahan Indonesia-nya,
dilampirkan juga sebagian hasil wawancara Philip Roth (General Editor of the
Penguin Books, 1974-1989) dengan Kundera, di mana ada banyak hal
yang dapat dipelajari dari cerita di balik novel ini. Dari wawancara tersebut,
saya menangkap kesan bahwa Kundera mengangkat tema “Lupa” yang berkaitan dengan
berkurang atau bahkan hilangnya ingatan kolektif (collective memory) suatu masyarakat atau bangsa akan masa lalunya.
Ceritanya ini tidak dapat dilepaskan dari pengalamannya sendiri menyaksikan
invasi Rusia ke Ceko pada tahun 1960-an, dimana terjadi apa yang saya sebut
sebagai Rusianisasi yang beriringan dengan upaya De-Cekoisasi.
“…Lupa… Inilah masalah pribadi
manusia yang besar, kematian sebagai hilangnya diri. Tapi apakah diri ini? Diri
adalah keseluruhan dari segala sesuatu yang kita ingat. Jadi, yang membuat kita
takut pada kematian bukanlah hilangnya masa depan, melainkan hilangnya masa
lalu. Lupa merupakan sebentuk kematian yang hadir dalam kehidupan… Bangsa yang
kehilangan kesadaran akan masa lalunya perlahan-lahan akan kehilangan dirinya.”
Kundera melihat bahwa bangsanya sendiri di Cekoa telah
dibius oleh janji-janji akan surga dunia. Sementara ideologi dan praktek
kekuasaan totalitarianisme adalah justru yang akan membungkam kebebasan rakyatnya
sendiri.
“Totalitarianisme bukan hanya
neraka, tetapi juga impian akan surga – mimpi klasik mengenai sebuah dunia, di
mana setiap orang akan hidup dalam kerukunan, disatukan oleh keyakinan dan kemauan
bersama yang tunggal, tanpa rahasia antara satu sama lainnya… Jika
totalitarianism tidak mengeksploitir arketip-arketip ini, yang tersimpan jauh
dalam diri kita dan berakar kuat dalam semua agama, ia tidak akan pernah dapat
menarik begitu banyak orang, terutama selama masa-masa awal keberadaannya.
Sekali impian mengenai surga itu mulai berubah menjadi kenyataan, disana-sini
mendadak bermunculan orang-orang merintangi jalannya. Dengan demikian, para
pemimpin surga harus membangun gulag kecil di sebelah Eden. Seiring dengan
berjalannya waktu, gulag ini pun tumbuh semakin besar dan sempurna, sementara
surga yang berada di tengahnya semakin kecil dan menyedihkan.”
Menurut Kundera, totalitarianisme menjadikan sebuah
masyarakat dan bangsa lupa akan masa lalu dan curiga pada pemikiran kritis.
“…Totalitarianisme, yang
melepaskan orang dari memori dan, karenanya, menjauhkan mereka ke dalam bangsa
anak-anak. Semua totalitarianisme melakukan ini. Dan mungkin segenap abad teknik
kita melakukan ini, dengan pemujaannya pada masa depan, pemujaannya pada masa
muda dan kanak-kanak, ketidakpeduliannya pada masa lalu dan kecurigaannya pada
pemikiran. Di tengah masyarakat anak-anak yang tak berbelaskasihan, seorang
dewasa yang dilengkapi memori dan ironi akan merasa seperti Tamina di pulau
anak-anak.”
Sementara “Gelak Tawa” bagi Kundera adalah ibarat koin bersisi
dua. Tawa adalah perlambang yang mewakili dua kubu yang bersebarangan, yaitu
tawa kaum fanatik dan kaum skeptis.
“…manusia menggunakan manifestasi
fisiologis yang sama –gelak tawa— untuk mengekspresikan dua sikap metafisis
yang berbeda… Gelak tawa antusias dari pada malaikat yang fanatik, yang begitu
yakin akan arti penting dunia mereka, sehingga mereka siap menggantung siapa
saja yang tidak ikut bergembira bersama mereka. Dan gelak tawa yang lain, yang
berbunyi dari sisi berseberangan, memproklamirkan bahwa segala sesuatunya sudah
tidak punya makna, bahwa bahkan upacara pemakaman pun menjadi menggelikan dan
grup seks hanyalah pantomim komikal belaka. Kehidupan manusia dibatasi oleh dua
jurang: fanatisme di satu sisi, dan skeptisisme absolut di sisi lain.”
Bagi Kundera, senyum dan humor adalah pembeda sekaligus
bentuk perlawanan terhadap totalitarinisme dan segala bentuk upaya penghilangan
ingatan kolektif suatu masayarakat atau bangsa. Senyum dan humor adalah
kemanusiaan yang perlu dipelihara diantara dunia jargon, janji, mimpi,
disiplin, penyeragaman, dan kekerasan pikiran dan fisik yang menjadi instrumen
standar yang digunakan semua penguasa
otoriter dan totaliter.
“Saya mempelajari nilai humor
selama masa teror Stalin. Saya berusia dua puluh tahun waktu itu. Saya selalu
bisa mengenali orang yang bukan Stalinis, orang yang tidak perlu saya takuti,
hanya melalui caranya tersenyum. Rasa humor adalah tanda pengenal yang layak
dipercayai. Sejak itu, saya takut pada dunia yang kehilangan rasa humornya.”
Bangsa Indonesia
mengidap Social Amnesia?
Tema yang diangkat Milan Kundera dalam novelnya ini
sangat dekat dengan konsep social amnesia yang dipopulerkan oleh Russel Jacoby dalam bukunya “Social
Amnesia: A Critique of Contemporary Psychology” (1975). Social
amnesia digunakannya untuk menyebut kondisi “a collective forgetting by a group of
people” atau masyarakat yang lupa secara kolektif. Kondisi ini dapat
diakibatkan oleh adanya paksaan (forcible
repression) atas ingatan, perubahan kondisi ataupun akibat cepatnya perubahan-perubahan
yang terjadi.
Dalam masyarakat yang mengalami social amnesia, masa lalu bukanlan sesuatu yang cukup bermakna dan
penting untuk menjadi pertimbangan dalam menilai dan menjalani hari ini, dan
dalam merancang masa depan. Hidup adalah untuk “masa depan” dan tidak peduli
dengan apa yang terjadi kemarin dan apa yang harus dikorbankan hari ini.
Membaca novel Milan Kundera sangat mudah karena
konteksnya sangat dekat dengan apa yang telah dan tengah terjadi di masyarakat
dan bangsa Indonesia. Di Indonesia saat ini memang tidak terjadi invasi fisik
oleh bangsa lain yang memaksakan satu ideologi tertentu. Namun represi memang bukan
barang baru disini. Adanya bagian dari masyarakat Indonesia sendiri yang gemar
memaksakan keinginan dan keyakinannnya sendiri, menginginkan adanya disiplin
ketat dan penyeragaman pikiran, yang jika perlu dilakukan dengan kekuatan dan
kekerasan, juga bukan sesuatu yang asing di negara ini. Adanya kekuasaan yang
otoriter, pembunuhan politik, penculikan, pelarangan, sensor, korupsi,
manipulasi, konspirasi, sesungguhnya adalah juga bagian dari sejarah di sini.
Manusia memang mungkin bisa mati berdiri jika terus
mengingat semua yang pernah diketahui dan dialaminya. Dapat lupa adalah
manusiawi, perlu untuk dapat tidur nyenyak dan dapat tetap menjaga kewarasan. Namun,
ada banyak hal mendasar menyangkut kehidupan bersama sebagai masyarakat dan
bangsa yang tetap perlu diingat dan menjadi dasar dalam menentukan langkah hari
ini dan esok. Sementara, tekanan hidup sehari-hari mungkin memang gampang membuat
manusia menjadi lupa dan permisif. Atomisasi kehidupan membuat persoalan yang
menimpa orang lain, seburuk apapun, sejauh tidak terkait langsung dengan
dirinya, dianggap bukan menjadi bagian dari persoalannya. Bahkan, persoalan
buruk yang terjadi di masa lalu yang secara langsung dialaminyapun, mungkin coba
dilihatnya lagi dengan cara berbeda, sehingga itu kemudian menjadi “bukan
persoalan” lagi. Entah dengan rasionalisasi, ataupun kompensasi, banyak hal
kemudian menjadi terlupa. Dengan kondisi tersebut terjadi secara massif, maka
terbentuklan apa yang disebut Russel Jacoby tadi sebagai social amnesia.
Pada akhirnya, di masyarakat atau bangsa pengidap social amnesia ini, orang yang terbukti korupsi di masa lalu tetap mungkin bisa tetap
menjadi pejabat publik. Orang-orang yang disangka sebagai pelanggar HAM di masa
lalu mungkin bisa jadi Presiden. Bahkan mungkin, pelaku trafficking dan paedofil di masa lalu suatu saat bisa jadi Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak di masa depan.
Semoga saja tidak… atau ternyata kita memang suka membiarkan
bangsa ini menjadi bangsa yang tidak saja menderita social amnesia akut, tapi juga menjadi bangsa yang bodoh dan gila…
-------------------------
Referensi:
-
Milan
Kundera. The Book of Laughter and
Forgetting. Translated from the French by Aaron Asher. HarperPerennial.
1996.
-
Milan
Kundera. Kitab Lupa dan Gelak Tawa.
Bentang. 2000.
-
Russel Jacoby. Social
Amnesia: A Critique of Contemporary Psychology. Transaction Publishers. 1975.