‘Akhir Sejarah’
dan Konflik Dunia[1]
‘Akhir Sejarah’ versi Hegelian
Kutipan di atas oleh banyak pihak kerap dianggap mencerminkan ‘cara
pandang Barat’ (baca: Amerika Serikat) terhadap peta ideologi dan politik
internasional kala itu.[2]
Pertanyaan retoris Fukuyama mengenai ‘akhir sejarah’ sebagai judul papernya
yang berjudul ‘The End of History?’ menjadi pernyataan yang cukup
kontroversial.[3]
Terlebih ketika versi bukunya dipublikasi pada tahun 1992 dengan judul yang
terkesan lebih ‘meyakinkan’ dan provokatif, yaitu “The End of History and
the Last Man”.
Pernyataan Fukuyama bahwa sejarah telah berakhir telah memicu
banyak perdebatan. Dalam bukunya Fukuyama mengulas riwayat konsep sejarah
ideology dan sistem politik dunia, dengan mengajukan tesis mengenai ‘akhir
sejarah’ sebagai kemenangan demokrasi liberal. Gagasan dasar Fukuyama ditarik
dari ide awal tentang ‘Sejarah
Universal’ dari Immanuel Kant (“An Idea
for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View”, 1784). Kant
menyatakan bahwa sejarah manusia muncul menjadi perang yang kejam dan terus
menerus. Menurut Kant, sejarah akan memiliki titik akhir yaitu adanya kebebasan
manusia. Konsep ‘Sejarah Universal’ Kant tersebut kemudian dilanjutkan oleh
George Wilhelm Friedrich Hegel. Hegel menyatakan bahwa di ‘akhir sejarah’, pada
akhirnya masyarakat dan negara yang rasional-lah yang akan menjadi pemenangnya.
Pandangan Hegel tentang ‘akhir sejarah’ tersebut berbeda dengan apa yang
kemudian dinyatakan oleh Karl Marx sebagai penerus sekaligus pengkritik Hegel.
Dalam hal ini, Marx percaya bahwa negara liberal/kapitalis (akan) gagal
menyelesaikan pertentangan yang fundamental di dalam dirinya sendiri yaitu
konflik kelas antara borjuis dan proletariat.
Dalam bukunya, Fukuyama menyatakan bahwa ‘Sejarah’ bukan hanya
dimaknai sebagai rangkaian peristiwa buruk ataupun besar yang terjadi dan telah
selesai begitu saja dalam kurun waktu tertentu.[4]
Fukuyama memahami ‘Sejarah’ itu sendiri sebagai suatu proses evolusi yang
tunggal dan koheren, dan bahwa bahwa evolusi itu berujung
pada kebebasan di dunia atau berujung pada ideologi liberalisme. Jelaslah,
bahwa konsep sejarah yang digunakan Fukuyama lebih mengikuti pandangan Hegel
dibandingkan apa yang diyakini Marx.
Fukuyama kemudian menerapkan pemahamannya akan sejarah tadi ketika
memotret dan menganalisis perubahan politik internasional di akhir dekade
1980-an. Menurutnya,
manusia di Abad 20 dihantui oleh pesimisme akan masa depan dunia, baik akibat adanya dua peristiwa besar di
pertengahan abad 20, yaitu Perang Dunia I dan II, munculnya ideologi
totalitarian, hingga adanya ironi bahwa ilmu pengetahuan modern mampu
menciptakan senjata nuklir (yang dapat menghancurkan dunia) dan melahirkan industrialisasi
yang dapat menghancurkan lingkungan/ekosistem.
Secara garis besar, pesimisme itu muncul karena adanya krisis politik di abad
20 dan krisis intelektual dari rasionalisme Barat. Disisi lain,
masih ada secercah optimisme kala itu, bahwa pada
saatnya nanti ilmu pengetahuan modern
akan lebih menyejahterakan dan mampu membantu menanggulangi berbagai jenis
penyakit, dan bahwa akan muncul semakin banyak pemerintahan yang bebas dan
demokratis. Revolusi liberal dalam pemikiran ekonomi itu mengawali, dan atau
diikuti oleh adanya kebebasan aspirasi dalam bidang politik.
Menurut Fukuyama, pada akhirnya sejarah lebih berpihak pada kaum
optimis. Periode 25
tahun terakhir abad 20 merupakan momen dimana runtuhnya rezim kepemimpinan
diktator yang sebelumnya dianggap sangat kuat; baik mereka berasal dari
kalangan pemerintahan otoriter (yang didukung militer) atau rezim komunis yang
otoriter. Ini terlihat dari beberapa negara, mulai dari Amerika Latin ke Eropa
Timur, lalu dari Uni Soviet ke Timur Tengah dan Asia, dimana banyak negara memiliki
pemerintahan sangat kuat namun pada akhirnya mengalami keruntuhan juga. Pemerintahan otoriter yang didukung oleh
militer gagal mengendalikan kekuatan masyarakat madani. Sedangkan pemerintahan
komunis yang totalitarian memiliki kecenderungan sebaliknya, terlalu mengendalikan
penuh masyarakat madani.
Kejatuhan
ideologi Kanan (fasisme/militerisme)
dan Kiri (komunisme) saat itu
menimbulkan pertanyaan mengenai saling keterkaitan diantara mereka, atau
semuanya terjadi tanpa sengaja dalam kurun waktu itu? Paska runtuhnya negara-negara tersebut,
demokrasi dijadikan pilihan untuk menata ulang kembali kehidupan masyarakat
meskipun situasinya saat itu masih labil bagi pemerintahan baru. Di sisi lain
prinsip demokrasi liberal dalam bidang ekonomi (pasar bebas) sudah menyebar ke
seluruh bagian bumi dan dianggap mampu untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya. Meskipun
demikian, Fukuyama juga mangakui bahwa bahkan di negara-negara demokrasi
liberal macam Amerika, Perancis, atau Swiss,
perubahan tersebut bukan berarti tanpa diikuti oleh adanya permasalahan
sosial yang serius, seperti ketidak adilan, bahkan kejahatan kemanusiaan.
Menurutnya, hal tersebut muncul sebagai akibat dari kurang
diindahkannya prinsip-prinsip dalam demokrasi modern, yaitu kemerdekaan dan
kesetaraan.
Demokrasi
Liberal dan perjuangan untuk pengakuan
Dalam bukunya Fukuyama memaparkan bahwa pemahaman Hegelian tentang makna demokrasi liberal
kontemporer berbeda secara signifikan dari pemahaman Anglo-Saxon yang merupakan
dasar teoritis liberalisme di negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat. Dalam
tradisi itu, pencarian untuk pengakuan itu harus ditundukkan pada kepentingan
pribadi yang tercerahkan - keinginan dikombinasikan dengan alasan - dan
khususnya keinginan untuk melindungi diri. Sementara Hobbes, Locke, dan para
Founding Fathers Amerika seperti Jefferson dan Madison percaya bahwa hak
merupakan alat untuk melestarikan ruang pribadi, di mana manusia dapat
memperkaya diri dan memuaskan jiwa mereka. Hegel juga melihat hak sebagai
tujuan dalam sendiri, karena apa memuaskan manusia terkait materi
kemakmuran pun sebagai proses pengakuan status mereka dan martabat. Dengan
revolusi Amerika dan Perancis, Hegel menegaskan bahwa sejarah berakhir karena
kerinduan yang telah mendorong proses sejarah- perjuangan untuk pengakuan-kini
masyarakat telah puas yang ditandai oleh pengakuan universal dan timbal
balik. Tidak ada hal baru yang diatur lembaga-lembaga sosial untuk
memuaskan perjuangan untuk pengakuan. Karenanya tidak ada perubahan historis
yang lebih progresif.
Disisi lain, Fukuyama berpendapat bahwa manusia percaya bahwa mereka memiliki nilai tertentu, dan ketika
orang lain memperlakukan mereka seolah-olah mereka bernilai kurang dari itu,
mereka akan marah. Sebaliknya, ketika manusia gagal untuk hidup sesuai dengan kesadaran mereka sendiri
bernilai, mereka merasa malu, dan ketika mereka dievaluasi dengan benar sesuai
dengan proporsi nilai mereka, mereka merasa bangga. Keinginan untuk
pengakuan, dan emosi yang menyertai kemarahan, malu, dan kebanggaan, adalah
bagian dari kepribadian manusia penting untuk kehidupan politik. Menurut
Hegel, mereka adalah apa yang mendorong seluruh proses sejarah.
Atas dasar itu, Fukuyama beragumen bahwa jika manusia tidak
lebih dari sekedar memiliki keinginan
dan alasan, mereka akan puas tinggal di negara-negara otoriter seperti Franco-Spanyol, atau Korea Selatan atau Brazil di bawah
kekuasaan militer. Namun manusia nyatanya juga memiliki kebanggaan mereka sendiri, thymotic
(spirit) dalam diri, dan ini membuat mereka untuk menuntut
pemerintahan demokratis yang memperlakukan mereka seperti orang dewasa daripada
anak-anak, mengakui otonomi mereka sebagai individu bebas. Komunisme
digantikan oleh demokrasi liberal adalah karena adanya kesadaran
bahwa demokrasi liberal menyediakan suatu bentuk pengakuan
akan kemanusiaan. Pemahaman tentang pentingnya
keinginan untuk mendapatkan pengakuan sebagai motor sejarah memungkinkan kita
untuk menafsirkan banyak fenomena seperti budaya, agama, pekerjaan,
nasionalisme, dan perang.
‘Akhir
Sejarah’ dan potensi bangkitnya authoritarian baru
“The broad acceptance of liberalism,
political or economic, by a large number of nations will not eliminate
differences between them based on culture, differences which will undoubtedly
become more pronounced as ideological cleavages are muted”
(Francis
Fukuyama. The End of History and the Last Man. 1992. p. 233)
Fukuyama
berkeyakinan bahwa di akhir sejarah, tidak ada pesaing serius yang tersisa bagi
ideologi demokrasi liberal. Dimasa-masa sebelumnya, demokrasi liberal memang
kerap dianggap inferior dibanding sistem politik monarki, aristokrasi, komunis,
dll. Namun saat ini, kecuali di dunia Islam, tampaknya telah menjadi konsensus
umum bahwa demokrasi liberal telah diterima sebagai bentuk pemerintahan paling
rasional. Pertanyaannya, mengapa pertumbuhan/transisi demokrasi di
negara-negara yang menganutnya juga mengalami banyak hambatan?
Gagasan
demokrasi liberal berarti mengedepankan tindakan politik rasional, dimana
komunitas sebagai keseluruhan memperoleh jaminan kebebasan yang diatur oleh
konstitusi dan hukum dasar dalam kehidupan publiknya. Meskipun demikian di
banyak tempat banyak manusia yang kehilangan kontrol atas kehidupannya, tidak
hanya secara pribadi namun juga dalam kehidupan politiknya. Alasan mengapa
demokrasi liberal tidak dapat berlaku universal atau menjadi stabil setelah
memperoleh kekuasaan, adalah terletak pada tidak lengkapnya hubungan atara
rakyat/warga dengan negara. Negara adalah bentukan dari kehendak politik,
sementara rakyat adalah ada dari kehendak moral komunitas.
Negara memaksa
dirinya berada di atas rakyat. Namun keberhasilan dan stabilitas demokrasi
liberal tidak dapat bergantung pada pelaksanaan mekanis prinsip-prinsip
universal dan hukum, namun tergantung pada tingkat konformitas antara rakyat
dan negara. Ada kebutuhan akan pengakuan, atau ‘values’. Keinginan akan
pengakuan tersebut, paling kuat berasal dari hasrat akan pengakuan agama dan
kebangsaan (nasionalisme). Keduanya menyangkut martabat (dignity) dan kesucian (sacred)
yang dapat menumbuhkan fanatisme, obsesi dan tuntutan kuat akan ‘keadilan’.
Sehingga ketika ketika terjadi konflik yang dipicu atau mengatasnamakan
keduanya akan jauh lebih mematikan dibandingkan dengan penyebab konflik
lainnya, misalnya konflik akibat perebutan materi atau kekayaan.
Fukuyuma berpendapat
bahwa nilai dan budaya di masyarakat dapat menjadi faktor penghambat
perkembangan demokrasi yang stabil, yaitu: (a) Tingkat dan karakter akan
kesadaran nasional, etnis dan rasial; (b) Agama; (c) Struktur sosial yang
timpang; (d) Kebebasan atau ketidaktergantungan terhadap negara. Sementara,
kekuatan demokrasi seringkali ditentukan oleh faktor-faktor pendahulu yang
menopangnya, seperti berkembangnya budaya liberal dimana misalnya kebebasan
berbicara dan berserikat serta partisipasi politik telah tumbuh terlebih
dahulu, maka akan memperkuat demokrasi yang terbangun.
Fukuyama
memandang keseragaman sebagai hal penting dalam perkembangan industrialisasi,
kapitalisme dan demokrasi liberal. Ekonomi modern dalam bentuk proses
industrialisasi yang diarahkan oleh ilmu alam modern, adalah memaksa
homogenisasi umat manusia dan menghancurkan berbagai budaya didalamnya. Jika
proses homogenisasi ekonomi ini terhenti maka proses demokratisasi juga akan
mengalami masa depan yang tak pasti. Konflik ideologis saat Perang Dingin dapat
diselesaikan ketika salah satu pihak atau keduanya dapat berkompromi pada isu
politik tertentu seperti mengenai Tembok Berlin, atau ketika ada pihak yang
ideologinya ditinggalkan para pendukungnya semula (mengalami proses
deligitimasi). Tetapi bahkan perbedaan budaya diantara negara-negara kapitalis
liberal sendiri bukanlah satu hal yang mudah diatasi, misalnya perbedaan budaya
natara USA, Jepang atau negara-negara lainnya. Keberhasilan kapitalisme di tiap
negara akan juga ditentukan oleh perilaku ekonomi dan etos kerja warganya
masing-masing.
Dalam dunia
kontemporer, akan tetap dapat ditemukan adanya fenomena ganda. Disatu sisi ada
peningkatan homogenitas manusia akibat ekonomi dan teknologi modern, dan adanya
perluasan gagasan bahwa kesadaran rasional adalah satu-satunya basis legitimasi
dari pemerintahan di seluruh dunia. Disisi lain, terjadi di berbagai tempat
perlawanan terhadap homogenitas tersebut, dan pernyataan kembali (yang sebagian
besar terjadi di tingkat sub-politik) identitas kultural yang pada akhirnya
memperkuat penghalang yang telah ada antara rakyat dan negara.
Meskipun
alternatif yang sistematis dari demokrasi liberal belum ditemukan saat ini,
alternatif bentuk-bentuk baru authoritarian yang belum dikenal sebelumnya mungkin
akan muncul di masa depan. Authoritarianisme baru baru tersebut akan dibuat
oleh dua kelompok berbeda, yaitu:
(a)
Mereka yang karena alasan budaya mengalami kegagalan ekonomi terus
menerus. Fenomena ini memunculkan doktrin non liberal (illiberal) akibat kegagalan ekonomi, seperti terjadi dimasa lalu.
Arus kebangkitan fundamentalisme Islam menyentuh hampir semua negara di dunia
dengan populasi Muslim yang besar, dapat dilihat sebagai respon masyarakat
Muslim pada umumnya dalam menjaga martabat (dignity)
mereka ketika berhadapan dengan Barat-non Muslim. Bentuk lainnya, adalah
seperti yang terjadi di masyarakat Afro Amerika di USA, yang merasa
dinomorduakan secara sosial, ekonomi dan politik; dan
(b)
Mereka yang sukses dalam
‘perlombaan’ kapitalisme. Ideologi liberal justru berbalik (spun out) bagi mereka mendapatkan
dirinya tertatih-tatih secara budaya
dalam kompetisi ekonomi. Sumber potensial authoritanisme baru mungkin justru
berasal dari mereka yang memperoleh sukses luar biasa dalam ekonomi kapitalis,
misalnya dari masyarakat elit Asia yang menggabungkan ekonomi liberal dengan
authoritanianisme paternalistik, mengingat budaya tersebut masih kental di
banyak negara Asia.
‘Konflik
adalah abadi’
“While all other aspects of the human social
environment-religion, the family, economic organization,
concepts of political legitimacy-are subject
to historical evolution,
international relations is regarded as
forever identical to itself: ‘war is eternal’.”
(Francis
Fukuyama. The End of History and the Last Man. 1992. p. 246)
Dalam ilmu
politik khususnya hubungan internasional dikenal adanya Teori Realis. Teori ini
berangkat dari asumsi bahwa rasa tidak aman, agresi, dan kemungkinan perang itu
bersifat permanen dalam sistem negara internasional, serta bahwa kondisi tersebut
tidak dapat diubah karena pada dasarnya berakar dari dalam sifat manusianya
sendiri. Dengan tidak adanya kedaulatan internasional, setiap negara akan
memilki potensi terancam oleh negara lain, dan tidak memiliki penangkal atas
rasa tidak aman tersebut kecuali dengan memperkuat persenjataan untuk
mempertahankan diri. Konsekuensinya, semua negara akan berusaha memaksimalkan
kekuasaan mereka relatif terhadap negara lain. Persaingan dan perang yang tak
terelakkan dari produk-produk sistem internasional bukan bergantung pada sifat
negara itu sendiri, tetapi karena adanya karakter anarki dari sistem negara
secara keseluruhan. Karenanya, politik
internasional bukanlah mengenai interaksi manusia yang kompleks dan secara
historis juga berkembang, sebagaimana perang juga bukanlah akibat adanya
benturan nilai-nilai. Dalam pendekatan ‘bola billiard’, sedikit pengetahuan
mengenai apakah sistem internasional bersifat bipolar atau multipolar sudah
cukup untuk menentukan kemungkinan akan perang atau damai.
Kritik terhadap
gagasan kaum Realis tadi adalah bahwa mereka hanya melihat sumber
konflik/perang hanya dari struktur pada sistem negara saja, dan mencoba
menyingkirkan semua pertimbangan politik internal. Masalahnya, kaum Realis
hanya melihat sistem namun tidak memperhatikan unit-unit yang membentuk sistem
tersebut. Berbeda dengan pandangan kaum Realis, Rosseau menyatakan bahwa pada
dasarnya manusia cenderung mencari kedamaian, ingin dapat menjalankan hidup
tanpa tergantung pada pihak lain. Karenanya, anarki yang asli justru
menghasilkan perdamaian. Sifat manusia tersebut akhirnya juga termanifestasikan
dalam hubungan dengan kelompok/negara lain.
Menurut
Fukuyama, sesungguhnya para pemikir realis awal seperti Morgenthau, Kennan,
Niebhur dan Kissinger telah mempertimbangkan beberapa karakter internal dari
negara dalam analisis mereka, sehingga dapat memberikan penjelasan yang lebih
baik dibandingkan para ahli yang muncul belakangan. Menurut mereka, konflik
didorong oleh keinginan untuk dominasi, dan bukan karena interaksi mekanik dari
‘sistem bola bilyar’. Meski demikian, kaum realis umumnya cenderung didorong
untuk memberi penjelasan yang sangat tereduksi mengenai perilaku negara ketika
membahas mengenai politik internal.
Tampaknya
Fukuyama berpandangan, bahwa paham demokrasi liberal mengurangi kecenderungan
agresi diantara sesama penganutnya. Basis dari karakter anti perang dalam
masyarakat liberal adalah nyata dalam pengelolaan hubungan damai (peaceful relation) antara mereka. Negara
demokrasi liberal dapat saja berperang dengan negara non demokrasi liberal.
Tetapi diantara sesama mereka, negara-negara demokrasi liberal tampaknya
memiliki niat yang lebih sedikit untuk tidak percaya atau ingin saling
mendominasi. Fukuyuma melihat bahwa persepsi tentang ancaman asing tampaknya
bukan ditentukan secara ‘objektif’ oleh posisi negara di dalam sistem negara,
tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh ideologi apa yang dominan.
Fukuyama juga
berpendapat bahwa nasionalisme adalah fenomena modern karena menggantikan
hubungan antara bangsawan dengan petani/budak. Namun nasionalisme tidak
sepenuhnya rasional, karena kesadaran itu berlaku hanya pada penduduk atau
kelompok etnis tertentu. Kesadaran nasionalisme bukanlah pada martabat manusia
secara universal, tapi pada martabat kelompoknya saja. Pengakuan akan
nasinalisme tertentu menimbulkan potensi konflik dengan kelompok lain yang juga
mencari pengakuan atas martabat mereka sendiri. Karenanya, nasionalisme dapat
menggantikan ambisi suatu dinasti atau agama sebagai basis bagi imperialisme.
Tuntutan yang terlalu kuat dari nasionalisme dapat membuat banyak masyarakat
demokratis menjadi gagal dalam mewujudkan hak universal secara efektif
berdaarkan kewarganegaraan pada isu ras atau antar etnis.
Dalam hal ini
Fukuyama berpandangan bahwa sejauh nasionalisme dapat dikurangi ‘ketajamannya’
(defanged) dan dimodernisasi
sebagaimana pada agama, yaitu dimana individu dapat menerima nasionalisme yang
terpisah namun tetap mengakui derajat yang sama pada pihak lainnya, maka rasa
nasionalisme sebagai alasan/dasar bagi imperialisme dan perang dapat berkurang.
Jika nasionalisme ingin dikurangi kekuatan politisnya, maka harus dibuat
menjadi toleran seperti pada agama (di Eropa). Kelompok-kelompok nasional dapat
mempertahankan bahasa dan rasa identitas mereka secara terpisah, tetapi
identitas tersebut diekspresikan terutama dalam bentuk budaya dan bukan
politik. Paska perang dingin banyak kelompok etnik yang sebelumnya diabaikan
suaranya mulai muncul menuntut pengakuan. Dalam prediksi Fukuyama, meskipun di
Eropa modern posisi agama dan nasionalisme menjadi jauh lebih toleran, namun
bukan berarti Eropa bebas sama sekali dari konflik berbasis nasionalisme dimasa
depan. Negara-negara yang telah ada akan diganggu dari bawah oleh klaim dari
kelompok berbasis lebih kecil kesamaan bahasa yang menginginkan pengakuan untuk
berdiri sendiri.
Dua Dunia:
‘History’ dan ‘Post-History’
Fukuyama
memprediksi, bahwa politik kekuasaan masih akan terus berlangsung di
negara-negara non demokrasi liberal. Awal perkembangan industrialisasi yang
lebih belakangan dan nasionalisme di Dunia Ketiga di satu sisi akan
mengakibatkan perbedaan perilaku yang tajam diantara banyak negara Dunia
Ketiga, dan tumbuhnya demokrasi industrial di sisi yang lain.
Fukuyama juga
memprediksi bahwa di masa depan dunia akan terpolarisasi diantara negara-negara
‘post-history’ dan yang masih
terjebak dalam ‘history’. Dalam dunia
‘post-history’, interaksi antar
negara akan lebih bersifat ekonomik, dan aturan-aturan lama mengenai kekuasaan
politik akan berkurang relevansinya. Artinya, dalam demokrasi multipolar dan
didominasi kekuatan ekonomi, sebuah negara tidak membuat negara lain merasa
terancam dan terpaksa harus meningkatkan kewaspadaan dan kekuatan dari ancaman
agesi. Negara-negara akan tetap ada, tetapi nasionalisme yang terpisah akan
berdamai dengan liberalism dan akan mengekspresikan dirinyalebih banyak dalam
wilayah pribadinya saja. Rasioanalitas ekonomi akan mengikis fitur tradisional
mengenai kedaulatan, yang akan menyatukan pasar dan produksi. Sementara, dunia
‘history’ masih akan terbelah oleh
beragam konflik agama, nasional dan ideologis tergantung pada tahap
perkembangan negera-negara tertentu yang bersangkutan, dimana aturan-aturan
lama politik kekuasaan masih berlaku. Negara bangsa akan terus menjadi lokus
utama dari identifikasi politik. Garis batas antara ‘post-history’ dan ‘history’
berubah dengan cepat dan tidak mudah digambarkan.
Dalam banyak
hal, dunia ‘history’ dan ‘post-history’ akan bersifat pararel
tapi terpisah, dengan interaksi yang relatif kecil diantara mereka. Namun
Fukuyama juga berpandangan bahwa masih akan ada benturan diantara kedua dunia
itu, seperti dalam hal: (a) Perebutan sumber energi, yaitu minyak/gas; (b)
Imigrasi; (c) Pertanyaan mengenai ‘tatanan dunia’ itu sendiri. Akibat masih
adanya potensi konflik dan kekerasan di negara-negara di dunia ‘history’ yang juga dapat mengancam
wilayah lain, negara-negara ‘post-history’
akan memformulasikan upaya pencegahan berbasis teknologi, seperti nuklir, misil
dan senjata kimia maupun biologis. Tapi tatanan dunia juga berkembang dalam
kerjasama untuk mengatasi ancaman kerusakan lingkungan misalnya. Dalam hal ini negara
‘post-history’ memiliki kepentingan
baik untuk melindungi diri dari ancaman dari luar, maupun untuk mempromosikan
demokrasi di negara ‘history’.
The ‘First Man’ dan the ‘Last Man’
Di bagian akhir
bukunya, Fukuyama mempertanyakan masa depan demokrasi itu sendiri. Menurutnya,
meskipun ancaman terhadap demokrasi liberal dari kekuatan authoritarianisme,
teokrasi, nasionalisme yang tidak toleran dan sejenisnya masih berlangsung,
namun dimasa depan tidak ada ancaman serius dari luar terhadap demokrasi. Ancaman
sesungguhnya justru berasal dari dalam demokrasi itu sendiri. Apakah demokrasi
dapat berkembang terus, makin stabil dan menjadi makin mandiri, ataukah akan
mengalami pembusukan dari dalam seperti yang terjadi pada komunisme?
Untuk itu,
Fukuyama menelaah akar dari konsep demokrasi itu sendiri, khususnya dengan
menganalisis konsep ‘manusia pertama’ (the
first man) dari Hobbes, Locke, Rousseau, and Hegel. Sifat manusia
digambarkan dalam keadaan alamiah, yang bukan dalam pengertian sejarah manusia
primitif, namun semacam eksperimen dalam pikiran untuk mengupas aspek-aspek
kepribadian manusia yang hanya merupakan produk konvensi, dan untuk mengungkap
karakteristik yang umum manusia sebagai manusia. Jika dapat disederhanakan, konsep
‘the first man’ mengacu pada manusia
yang membangun kesadaran dan mencari pangakuan.
Apakah
masyarakat dari sebuah negara demokrasi liberal kontemporer mampu memenuhi
kebutuhan akan ‘pengakuan’ itu secara penuh? Masa depan demokrasi liberal dan
kemungkinan munculnya ideologi alternatif lainnya ditentukan oleh jawaban
pertanyaan tersebut. Fukuyama mengemukakan dua respon secara umum. Yang
pertama, pandangan Kiri menyebutkan bahwa penghargaan universal dalam demokrasi
liberal masih timpang akibat munculnya ketidakadilan dalam bidang ekonomi dan
sistem tenaga kerja yang tidak pro-buruh. Tidak adanya jalan keluar alternatif
yang pro-kesejahteraan rakyat menyebabkan terjadinya diskriminasi, yang salah
satu bentuknya adalah eksklusi sosial.
Dengan menggunakan pemikiran Nietzshe,[5] Fukuyama mengemukakan
pandangan Sayap Kanan bahwa sejarah demokrasi ini berawal dari terjadinya
Revolusi Perancis yang menelurkan ide kesetaraan. Nietzsche sendiri berpendapat
bahwa secara tipikal demokrasi liberal sangat identik dengan ‘last man’ yang telah dibesarkan oleh proses modernisasi
dan mau berkorban demi kepuasan dirinya atau sebuah pengakuan.[6] Mengadopsi pemikiran tersebut,
Fukuyama berpendapat bahwa menjadi sangat sulit bagi manusi yang hidup dalam
masyarakat demokratis untuk mempertanyakan satu masalah/dilema moral yang nyata serius dalam kehidupan
publik. Penyebabnya adalah karena moralitas melibatkan perbedaan antara ‘yang
lebih baik’ dan ‘lebih buruk’ serta ‘yang baik’ dan ‘yang buruk’, yang
karenanya dapat dianggap melanggar prinsip toleransi dalam demokrasi. Inilah
mengapa ‘the last man’ menjadi kurang
terlibat dengan persoalan publik dan menjadi lebih peduli atas semua untuk
kesehatan dan keselamatan pribadinya saja, karena itu dianggap tidak
kontroversial.
Kesimpulan
Dari lebih 400
halaman buku ‘The End of History and the
Last Man’, kami menyimpulkan ada empat gagasan utama yang disampaikan
Fukuyama terkait dengan isu konflik, yaitu:
1. Gagasan mengenai ‘kebebasan manusia’ dianggap telah berhasil
mengalahkan gagasan dominasi/penguasaan manusia (authoritarianism). Pada pertengahan 1940-an, demokrasi liberal
(USA, dkk.) bersama komunisme (Rusia) berhasil melumpuhkan ideologi Kanan
(fasisme Jerman dan Jepang) dalam perang terbuka, dan akhir 1980-an / awal
1990-an demokrasi liberal mengalahkan komunisme (Blok komunis/Eropa Timur)
dalam ‘perang dingin’. Merujuk pada konsep Hegel mengenai sejarah yang akan
berujung pada kemenangan kebebasan manusia, Fukuyama berpandangan bahwa ‘akhir
sejarah’ adalah saat itu (berakhirnya perang dingin), dan demokrasi liberal
sebagai pemenangnya adalah “the final
form of human government”.
2. Namun Fukuyama juga mengakui bahwa kehidupan berlanjut, dan
konflik akan tetap ada. Musuh ‘baru’ bagi demokrasi liberal bukanlah ideologi
tertentu seperti dimasa sebelumnya, namun faktor-faktor berkenaan dengan
pengakuan akan budaya, agama dan nasionalisme. Tidak atau belum semua
negara/golongan menerima demokrasi liberal sebagai pilihan sistem politik yang
paling rasional dan mampu membawa kebaikan bagi semua pihak. Salah satu
golongan tersebut menurut Fukuyama adalah dunia Islam. Golongan lain adalah
negara-negara Dunia Ketiga (yang gagal dalam menjalan kapitalisme) ataupun
negara yang meskipun berhasil dalam mempraktekkan kapitalisme namun terjebak
dalam budaya tertentu, seperti kapitalisme-paternalistik di beberapa negara
Asia.
3. Fukuyama berpendapat bahwa saat ini dunia akan terbagi dua, yaitu
negara-negara yang masih terjebak pada ‘history’
(yang belum menjalankan demokrasi liberal) dan negara-negara ‘post-history’, yang terpisah secara
pararel. Gejolak terutama masih akan banyak terjadi di negara-negara ‘history’, meskipun negara-negara ‘post-history’ juga masih akan berkutat
dengan persoalan pemenuhan kesejahteraan warganya. Konflik antar kedua dunia
masih akan terjadi terkait sejumlah isu, seperti akses ke sumberdaya/energi dan
imigrasi.
4. Sementara, individu manusia akan lebih banyak berkonsentrasi pada
pemenuhan kebutuhan dan keselamatan, dan pada kepuasan serta terpenuhinya
pengakuan atas dirinya sendiri. Sementara moralitas akan menjadi urusan privat
dan bukan sesuatu yang perlu diangkat ke publik.
Tanggapan atas gagasan-gagasan utama Fukuyama tersebut,
sebagai berikut:
1. Sebagai penganut kapitalisme dan penganjur demokrasi liberal, sah
saja jika Fukuyama berpendapat bahwa fenomena perubahan politik yang radikal di
blok Komunis sebagai kemenangan bagi kapitalisme dan demokrasi liberal. Namun
menyebutnya sebagai ‘akhir sejarah’ menurut kami merupakan pernyataan yang
berlebihan. Blok Komunis bukan runtuh akibat ‘serangan langsung’ (perang) dari
‘Blok Demokrasi Liberal’, karena sesungguhnya kedua pihak sama-sama takut
dengan potensi kerugian dari bentrokan langsung di era senjata nuklir, kimia
dan biologis ini, sebagai satu-satunya alasan terciptanya ‘Perang Dingin’
selama lebih dari empat dekade. Blok Komunis lumpuh ketika rakyat di
negara-negara penganutnya menganggap komunisme telah ‘merampas kebebasan
mereka’ dan gagal memberikan kesejahteraan pada mereka (terdelegitimasi).
Dalam hal ini kami bersepakat dengan Fukuyama
bahwa pengakuan akan kebebasan manusia adalah penting. Namun pada faktanya,
kebebasan (baik politik dan ekonomi) di negara-negara demokrasi liberal juga
belum sepenuhnya terpenuhi. Ekslusi sosial, kemiskinan, pengangguran, dan
berbagai bentuk masalah sosial lainnya masih terjadi di USA dan Eropa. Artinya,
persoalan pemenuhan kebebasan dan pengakuan atas manusia masih menjadi persoalan
yang nyata ada, dan mungkin sulit untuk sepenuhnya dihilangkan. Sementara, di
Rusia dan negara-negara bekas Eropa Timur yang telah menjadi lebih liberalpun,
masih ada penganjur dan kelompok masyarakat yang merindukan atau pro komunis.
Selain itu di sejumlah negara Amerika Latin, malah muncul pemimpin-pemimpin
yang kritis terhadap demokrasi liberal dan kapitalisme. Ungkapan bahwa
‘keyakinan dan ideologi tidak akan pernah sungguh-sungguh mati’ mungkin ada
benarnya. Ideologi yang melemah saat ini dapat saja bangkit lagi di kemudian
hari dan mengancam demokrasi liberal sebagai ideologi dominan saat ini.
Meminjam istilah Asvi Warman Adam seorang sejarawan dari LIPI, fenomena
melemahnya Blok Komunisme di akhir 1980-an /awal 1990-an dapatlah disebut hanya
sebagai watershed,[7]
sebagai tanda atau pembatas zaman saja.
Selain itu, pendapat bahwa demokrasi liberal
sebagai “the final form of human
government” mengesankan bahwa demokrasi liberal sebagai konsep/model yang
sudah final/selesai. Pernyataan Fukuyama mengenai penyeragaman ideologi politik
demokrasi liberal juga mencerminkan pendekatan modernis yang menganggap proses
perubahan bersifat linier dan seragam. Padahal, menurut kami, sangatlah sulit
menyebut demokrasi sebagai konsep dan praktek sebagai satu yang seragam di
negara-negara penganutnya. Perdebatan dan eksperimen mengenai demokrasi baik di
bidang politik maupun ekonomi masih terus berlangsung. Menganggap demokrasi
sebagai konsep yang sudah selesai justru akan membusukkan gagasan demokrasi itu
sendiri. Dan bukankah gagasan komunisme sendiri juga runtuh justru ketika dia
berubah menjadi dogma yang anti kritik?
2. Pernyataan Fukuyama bahwa faktor budaya, agama dan nasionalisme
sebagai faktor pemicu konflik yang utama setelah selesainya ‘pertempuran
ideologi’ mengesankan bahwa sudah tidak ada lagi tarik menarik kepentingan
politik dan perdebatan mengenai model pengelolaan ekonomi baik di level
nasional maupun internasional. Kecurigaan terhadap budaya, agama dan rasa
kebangsaan pihak lain menunjukkan bahwa watak chauvinis yang menganggap diri
mereka lebih unggul nyatanya masih cukup kuat di masyarakat Barat.
Selain itu, gagasan mengenai penyeragaman
sistem ekonomi dan pelemahan budaya, agama dan nasionalisme secara mendasar
dapat juga dianggap sebagai kontradiksi dengan prinsip pengakuan akan
kemanusian dan kebebasan menentukan pilihan yang dianjurkan penganut demokrasi
liberal. Meskipun kami juga bersepakat bahwa pemahaman akan pruralisme dan
penyelesaian sengketa dan konflik secara damai penting untuk dikedepankan.
3. Terkait dengan point 2 dia atas, dapat dilihat adanya kontradiksi
dari respon Barat terhadap persoalan-persoalan dunia. Pasca perang dingin,
kekuatan politik menjadi jauh lebih dominan ada di pihak Barat. USA kemudian
menjadi kekuatan utama dan kerap berperan sebagai ‘polisi dunia’. USA kerap
menjadi pihak yang menentukan benar-salah atau boleh-tidaknya suatu tindakan
internasional di lakukan. Kebijakan ‘preemptive
war’, serbuan US dan Sekutu ke Irak, dukungan NATO atas perang saudara di
Libya, penolakan USA terhadap tuntutan keanggotaan Palestina di PBB, menguatnya
kekuatan rasisme terhadap imigran, dan lainnya (seperti juga disinyalir oleh
Fukuyama sendiri), mengindikasikan bahkan USA dan Eropa tidak telah
sungguh-sungguh terlepas dari jebakan ‘history’
dan menjadi negara ‘post-history’ sebagaimana
diklaim Fukuyama. Negara ‘post-history’
sebaliknya justru dapat menjadi ancaman bagi negara lain. Konflik dapat berawal
dari kebutuhan Barat akan sumberdaya yang sebagian besar ada di negara-negara
yang mungkin menurut mereka masih berada di era ‘history’.
4. Demokrasi liberal mendorong manusia yang fokus pada kepentingan
dan urusannya sendiri, tidak perlu bersikap kritis terhadap problem moral
maupun sistem yang berlangsung. Individu yang rasional, individualis, moderat,
dan tidak agresif dianggap yang cocok hidup di era ‘post-history’. Kami meragukan bahwa memang yang demikian itu
merupakan bagian dari kebebasan manusia dan penghargaan dan pengakuan terhadap
kemanusiaan? Ketika peran negara diminimalisir dalam kapitalisme,
individualisme lebih dihargai dan kepedulian/solidaritas dicurigai sebagai
ancaman bagi kebebasan manusia, lantas siapa yang harus bertanggungjawab dan
berusaha mengatasi masalah-masalah
sosial (ekonomi dan politik) yang ada?
[1] Disusun oleh
Candra Kusuma, Julia Kalmirah, Nazirin Aziz dan Whisnu Yonar, 6 Oktober 2011.
[2] Dapat
dipahami, karena pada saat tulisan tersebut dimuat dalam The National Interest
tahun 1989, Yoshihiro Francis Fukuyama (Ph.D dalam ilmu politik dari Harvard)
bekerja sebagai Deputi Direktur pada State Departement Pemerintah AS.
Sebelumnya, penulisnya bekerja sebagai analisis pada RAND yaitu sebuah
perusahaan kontraktor/konsultan riset strategis yang banyak mengerjakan proyek-proyek
kajian dari Pemerintah AS.
[3] Paper ‘The End of history?’ dimuat di The National Interest (Summer
1989) muncul pada konteks situasi ketika terjadi perubahan politik yang radikal
di negara-negara Blok Komunis (Rusia dan Eropa Timur) pada tahun 1989. Peristiwa
paling monumental di tahun itu adalah ‘Revolusi Damai’ di Jerman Timur, dan
penghancuran Tembok Berlin.
Singkatnya, rakyat di Blok Komunis menuntut agar dilakukan perubahan sistem
politik dan ekonomi dari komunisme yang selama lebih dari 40 tahun ‘dipaksakan’
berlaku pada mereka.
[4] Dalam satu kesempatan wawancara di sebuah televisisi
di tahun 1992, Fukuyama mengistilahkan bahwa akhir sejarah yang dimaksudkannya
bukanlah seperti pemahaman umum bahwa seluruh kehidupan telah berakhir. Namun
sejarah dengan hurus ‘S’ besar, sebagai konsep dari satu tahap dari proses
evolusi peradaban masyarakat.
[5] Nietzsche menggunakan istilah ‘the last man’ untuk menyebut konsepnya tentang ‘budak yang jadi
pemenang’. Dia mengkritisi ajaran Kristen, dan menganggap demokrasi sebagai
suatu bentuk ‘Kekristenan sekuler’. Kesetaraan semua orang di hadapan hukum
adalah realisasi Kristen yang ideal tentang kesetaraan dari semua orang yang
percaya Kerajaan Surga.
[6] Menurut Nietzsche, makhluk
hidup tidak bisa sehat, kuat, atau produktif, kecuali dengan hidup dalam
cakrawala tertentu, yaitu, menetapkan nilai-nilai dan keyakinan yang
benar-benar mereka terima dan tidak kritis terhadap keyakinan tersebut.
[7] Asvi Warman Adam dalam ‘1965: Orang-orang di balik Tragedi’, 2009:ix.
------------------------------
Judul : The End of History and the Last Man
Penulis : Francis Fukuyama.
Tahun
: 1992