Oleh: Candra Kusuma
Beberapa tahun lalu ketika mulai agak banyak membaca
literatur mengenai pendekatan penelitian multi dan lintas disiplin, saya mendapati
satu istilah yang menarik, yaitu “wicked
problem.” (lihat dan ). Dari beberapa sumber, akhirnya saya
agak sedikit ada gambaran dan ingin berbagi mengenai “Masalah
Jahat” ini.
Pengertian Wicked Problems
Mengacu pada pandangan Spratt (2011:1),
gagasan tentang wicked problem
dapat dilacak kemuculannya sejak akhir 1960-an dan awal 1970-an (Churchman, 1967; Rittel and Weber, 1973).
Namun banyak ahli yang berpendapat bahwa istilah wicked
problem sendiri konon digunakan pertama kali oleh Horst W.J. Rittel (1972) seorang ahli perencanaan pembangunan
dari University of Berkeley (lihat Ritchey, 2011:1). Rittel dan mitranya, Melvin M. Webber, kemudian menulis satu karya monumental
tentang wicked problem yang dimuat dalam Policy
Sciences (1973) dengan judul “Dilemmas in a general theory of planning.”
Bagi
Rittel dan Webber, wicked problem
adalah masalah yang “jahat” namun bukan “jahat secara moral,” tetapi karena
tampaknya masalah-masalah tersebut selalu mampu menolak dan berkelit dari semua
upaya penyelesaian masalah yang biasa-biasa saja. Lebih jauh, masalah-masalah
tersebut juga akan berdampak sekaligus menuntut adanya perubahan di masyarakat
dan pemerintahan maupun lingkungan hidup (lihat juga Brown, 2010:4).
Karya mereka kemudian menjadi acuan
sekaligus sumber kritik dari para pemikir berikutnya dari berbagai kajian dan
karya ilmiah. Head & Alford (2008:5) diantaranya mencatat, bahwa pendekatan dan analisis tentang wicked problem sudah diterapkan sejak
era 1970-an sampai saat ini dalam beragam disiplin ilmu, mulai dari: ilmu
politik (Harmon & Mayer 1986,
Fischer 1993, Roberts 2000); manajemen sumber daya alam (Allen & Gould 1986,
Freeman 2000, Salwasser 2004); perencanaan kota dan kawasan (Innes & Booher
1999); dan penelitian cybernetics
(Conklin 2006). Karya lainnya yang juga merujuk pada gagasan Rittel dan Webber tentang wicked problem, diantaranya: Fitzpatrick (2003); Pemerintah Australia (2007; Head &
Alford (2008); Marback
(2009); Ayoub, Batres, dan Naka
(2009); Brown (2010); Menkhaus (2010); Kress & Young (2010); Carter (2011); Ritchey (2011); Howes & Wyrwoll (2012); Ferlie et.al. (2013); Xiang (2013); dan Game
(2013).
Dalam “Dilemmas…,” Rittel
dan Webber membedakan antara “tame or benign
problem(s)” (masalah yang “jinak”) dan wicked
problem. Mereka membedakan antara masalah yang dihadapi ilmuwan/akademisi maupun
teknisi dengan masalah yang dihadapi para perumus kebijakan publik/sosial: “The search for
scientific bases for confronting problems of social policy is bound to fail,
because of the nature of these problems. They are "wicked" problems,
whereas science has developed to deal with "tame" problems. Policy
problems cannot be definitively described” (Rittel & Webber, 1973:155). Bagi mereka, masalah sosial yang harus dijawab
oleh kebijakan sosial sangatlah kompleks dan sulit dipecahkan secara tuntas,
sehingga merupakan wicked problems: “Social problems are
never solved. At best they are only re-solved--over and over again” (Rittel
& Webber, 1973:160).
Dari hasil pengamatan
mereka mengenai kendala dalam perencanaan pembangunan dan perumusan kebijakan
sosial di pemerintahan Amerika Serikat, Rittel dan Webber (1973:161-167) menyimpulkan
bahwa ada sepuluh karakteristik wicked
problems tersebut, yakni bahwa: (1) There is no
definitive formulation of a wicked problem; (2) Wicked
problems have no stopping rule; (3) Solutions
to wicked problems are not true-or-false, but good-or-bad; (4) There is no immediate and no ultimate test
of a solution to a wicked problem; (5) Every
solution to a wicked problem is a "one-shot operation", because there
is no opportunity to learn by trial-and-error, every attempt counts
significantly; (6) Wicked problems do
not have an enumerable (or an exhaustively describable) set of potential
solutions, nor is there a well-described set of permissible operations that may
be incorporated into the plan; (7) Every wicked
problem is essentially unique; (8) Every
wicked problem can be considered to be a symptom of another problem; (9) The existence of a discrepancy representing
a wicked problem can be explained in numerous ways. The choice of explanation
determines the nature of the problem's resolution; (10) The planner has no right to be wrong.
Rittel dan Webber berpandangan
bahwa wicked problem tidak memiliki formulasi yang pasti. Penyebab
wicked problem dapat
dijelaskan dengan berbagai cara. Masing-masing pihak sangat mungkin memiliki
pandangan berbeda tentang apa yang mungkin menjadi masalah, apa yang mungkin
menyebabkan hal tersebut, dan bagaimana mengatasinya. Karena tantangan pertama
adalah bagaimana merumuskan masalah dan kemudian mencari alternatif solusinya. Persoalannya,
setiap upaya untuk mencari solusi sekaligus dapat mengubah pemahaman mengenai
masalah tersebut. Selain itu, juga dipandang sulit untuk memastikan bahwa wicked problem dapat atau
telah benar-benar diselesaikan. Karena sulit atau bahkan tidak dapat
mendefinisikan masalah secara tunggal, maka akan sulit pula untuk bahwa masalah
tersebut telah diselesaikan. Proses pemecahan masalah berakhir ketika sumber
daya habis, atau para pemangku kepentingan kehilangan minat atas masalah
tersebut, atau terjadi perubahan atas realitas politik. Meskipun demikian,
Rittel dan Webber juga berpendapat bahwa berbeda dengan para ilmuan yang “boleh
salah,” para perumus kebijakan dan perencana “tidak boleh salah.”
Dalam gagasan
Rittel dan Webber, solusi untuk wicked problem yang tidak ada yang
bersifat benar-atau-salah, tapi baik-atau-buruk. Karena tidak ada kriteria yang
jelas untuk memutuskan apakah masalah teratasi, maka tantangannya adalah
bagaimana mendapatkan persetujuan dari semua pemangku kepentingan bahwa
resolusi yang dicapai sudah "cukup baik." Sangat mungkin penilaian
"cukup baik" itulah capaian terbaik yang bisa diperoleh. Masalahnya,
tidak ada tes atau uji akhir terhadap solusi atas wicked problem. Karena tidak ada penjelasan tunggal
mengenai wicked problem, maka tidak
ada satu cara untuk menguji keberhasilan resolusi yang diusulkan. Padahal setiap
wicked problem dapat
dianggap sebagai gejala dari masalah lain.
Beberapa ahli mengkritisi
pandangan awal dari Rittel dan Webber tadi, diantaranya Norton (2012:458-459)
yang berpendapat bahwa 10 karakteristik wicked
problem yang diajukan Rittel dan Webber cenderung berlebihan dan tumpang
tindih. Norton mensarikannya menjadi empat karakteriktik, yaitu: (a) Masalah-masalah dalam memformulasikan masalah
(gabungan dari karakteristik Rittel dan Webber nomor 1, 2, 3, dan 9); (b) Solusi-solusi yang
tidak dapat diperhitungkan (dari karakteristik
Rittel dan Webber nomor 2,
4, 6, dan 9); (c) Tidak ada pengulangan (dari karakteristik Rittel dan Webber nomor 25, 7 dan 10); (d) Bersifat terbuka
sementara (dari karakteristik
Rittel dan Webber nomor 2,
4 dan 8).
Sementara
Morris (2004) yang mengangkat isu wicked
problem di dunia bisnis, mengajukan lima karakteristik wicked problem,
yaitu: (1) Wicked problem sangat
tidak terduga dan dapat muncul dari manapun tanpa peringatan dan dapat dengan
cepat berubah menjadi krisis besar; (2) Wicked
problem tidak dapat diselesaikan dengan solusi lama; (3) Wicked problem tidak dapat diselesaikan
dengan cara yang sederhana, statis, atau berurutan; (4) Wicked problem biasanya tidak dapat diselesaikan oleh satu orang
yang bekerja sendirian karena mereka terlalu rumit; (5) Memecahkan wicked problem membutuhkan pencampuran
berbagai macam pengetahuan dan sudut pandang yang berbeda, dan metodologi
pemecahan masalah terstruktur sering dapat membantu.
Sedangkan
Camillus (2008:2-4), yang mengadaptasi pendekatan Rittel dan Webber dalam sejumlah
penelitiannya terkait wicked problems di
perusahaan-perusahaan raksasa, kemudian menyimpulkan bahwa karakteristik wicked problems, adalah: (a)
Masalahnya melibatkan banyak pemangku kepentingan dengan nilai-nilai dan
prioritas yang berbeda; (b) Akar masalah sangat kompleks dan kusut; (c) Masalah
tersebut sulit untuk segera dapat diatasi, karema berubah pada setiap upaya
untuk mengatasinya; (d) Tantangan atau asalah yang dihadapi tidak memiliki
preseden; (e) Tidak ada yang menunjukkan jawaban yang tepat untuk masalah ini.
Untuk “memperjelas kerumitan” dari wicked problem, Howes dan Wyrwoll (2012:30) mengutip Kreuter et al.
(2004) yang membandingkan antara tame
dengan wicked problem dari paparan
awal Rittel dan Webber di atas, sbb.:
Menurut
Head dan Alford (2008:5) pada akhirnya wicked problem dapat dipandang terkait dengan pluralisme sosial (beragam kepentingan
dan nilai-nilai dari para pemangku
kepentingan), kompleksitas kelembagaan, dan ketidakpastian ilmiah (fragmentasi
dan kesenjangan dalam pengetahuan). Sementara Ritchey (2011:20) menyimpulkan bahwa wicked problems memanglah
kompleks, dinamis, tidak jelas, ambigu, serta terkait erat dengan isu-isu
moral, politik dan professional yang kuat. Sifatnya sangat subyektif,
bergantung pada cara pandang pemangku kepentingan yang terlibat. Bahkan secara
dramatik Marback
(2009:399) menggambarkan wicked problems sebagai: “‘vicious’ (like a circle) or ‘tricky’ (like
a leprechaun) or ‘aggressive’ (like a lion, in contrast to the docility of a
lamb).”
Terkait dengan kebijakan
sosial/publik, Churchman
(1967:141) mensarikan pandangan Rittel dan Webber bahwa wicked problem mengacu pada tingkat masalah-masalah dalam sistem
sosial yang sulit diformulasikan (ill-formulated),
di mana informasi yang ada dipandang membingungkan, serta ada banyak klien dan
pengambil keputusan yang memiliki nilai-nilai (dan juga kepentingan) yang
berbeda bahkan bertentangan, dan di mana konsekuansi di seluruh sistem yang
benar-benar membingungkan. Dalam bahasa yang lebih ringkas, Head
(2008:103-104) menyimpulkan bahwa wicked
problem mucul jika ada masalah yang memiliki tingkat kompleksitas, ketidakpastian,
dan penyimpangan yang tinggi (high levels of complexity,
uncertainty, and divergence).
Camillus
(2008:1-2) mengingatkan bahwa persoalannya adalah bukan pada tingkat kesulitan
dari masalah tersebut, namun bahwa cara penyelesaian masalah yang biasa,
standard an rutin tidaklah mampu menyelesaikan masalah tersebut: “Wickedness
isn’t a degree of difficulty. Wicked issues are different because traditional processes can’t resolve them.” Dalam hal ini, Spratt (2011:3) mempertajam pandangan Rittel dan Webber dan
banyak penulis sebelumnya. Menurutnya, banyak masalah (problems) sesungguhnya memiliki kedua unsur, baik dari karakter “jinak”
(tameness) maupun “jahat” (wickedness). Mungkin saja masalah tersebut dapat dirumuskan secara jelas, namun
dalam implementasinya ternyata penuh dengan kompleksitas. Spratt memberi contoh
masalah-masalah yang dihadapi dalam pembangunan, di mana didalamnya terdapat memerlukan
keterlibatan unsur pengetahuan ilmiah
dan teknik, geografi, budaya, masalah perbedaan sumber daya dan kekuatan, yang
dkombinasikan dengan tatangan masalah yang saling terhubung, sehingga membuat
masalah-masalah dalam pembangunan menjadi cukup “wicked.”
Cakupan Masalah Wicked Problems
Dalam hal ini, para penulis,
peneliti, ahli dan institusi memiliki pandangan yang beragam mengenai masalah
yang dapat diidentifikasi sebagai wicked
problems, diantaranya: Perubahan iklim, korupsi, pengangguran,
hutang nasional, resesi, terorisme, penurunan kualitas ekologi, kekurangan
makanan dan air; keterbatasan pelayanan kesehatan, dll. (Ackoff, 1974; Conklin,
2006; Horn dan Webber, 2007); Perubahan
iklim, kegemukan, masalah penduduk asli dan penurunan kualitas lahan (Pemerintah
Australia, 2007); penurunan kualitas lingkungan, terorisme, kemiskinan dan
bisnis dalam perusahaan-perusahaan besar (Camillus, 2008); studi mengenai komposisi (composition
studies)
terkait media digital (Marback, 2009); AIDS dan pelayanan kesehatan
(Lazarus, 2010); Nilai-nilai
individual dalam hubungannya dengan nilai dan budaya organisasi (Martin dan
Murray, 2010); Negara yang rapuh, kolaps dan gagal (state fragility, collapse and failure) (Menkhaus, 2010);
Masalah-masalah dalam pembangunan (Spratt, 2011); Terorisme, demokrasi di rezim negara authoritarian, kebijakan imigrasi
nasional, kejahatan dan kekerasan di sekolah (Ritchey, 2011);
Globalisasi (Carter,
2011); Pertanian dan ketahanan pangan berkelanjutan (Van Latesteijn dan
Rabbinge, 2012); Sistem informasi (Gleasure,
2013); Masalah agrikultur (Sayer dan Cassman, 2013); Perdagangan
internasional (Ramalingam, Laric dan Primrose, 2014); Standarisasi
informasi penelitian (Riechert dan Dees, 2014); Proses penuaan yang sehat dan
aktif (Riva et.al., 2014).
Selain itu ada pula beberapa karya yang khusus
mengangkat kasus wicked problems di
Indonesia, meskipun memang masih sangat terbatas, diantaranya adalah: Wicked problem dalam mengurangi kejahatan dan korupsi di Indonesia (Roberts, 2012); Wicked problem dalam intervensi promosi
praktek reflektif lulusan pendidikan desain grafis di Indonesia (Karnita, Woodcock
dan Super, 2013); Wicked problem dalam Reformasi pengelolaan asset
negara di Indonesia (Mardiasmo (2012); Kerumitan dalam perencanaan dan
implementasi kebijakan terkait upaya Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) di Indonesia (Moeliono, et.al.,
2014).
Namun
rentang masalah yang dianggap sebagai wicked
problems ternyata oleh sejumlah ahli lainnya dipandang sangat luas, tumpang
tindih, dan kurang tepat untuk dapat saling diperbandingkan. Sebagai contoh,
menyandingkan antara stradarisasi informasi penelitian dan studi tentang
komposisi dengan perubahan iklim dan terorisme sebagai sebuah perbandingan yang
seimbang, kemudian dikritik sebagai tidak “apple
to apple.”
Diantaranya
adalah Levin et.al. (2012:124-126), yang
memperkenalkan istilah “super wicked problems.” Bagi Levin dan kawan-kawannya, super wicked problems tentu bukanlah dan
lebih dari sekedar wicked problems “biasa”
pada umumnya. Secara spesifik mereka menyebutkan bahwa perubahan iklim (climate change) sebagai masalah yang
layak disebut sebagai super wicked
problems. Ada empat fitur dari super
wicked problems yang mereka ajukan (hal. 127-129), yaitu: (a) Waktu terbatas. Jika tidak segera diambil tindakan strategis, maka
masalah akan semakin akut, memiliki terlalu banyak dampak, atau terlalu
terlambat untuk dihentikan; (b) Mereka
yang mencari untuk mengakhiri masalah adalah juga yang menyebabkan hal tersebut.
Semua orang yang peduli yang mencoba mengurangi masalah perubahan iklim
sesungguhnya juga telah berkontribusi menciptakan masalah tersebut; (c) Tidak ada otoritas pusat. Kurangnya otoritas terpusat memiliki
dampak di berbagai tingkat dalam kasus perubahan iklim karena tanggapan
memerlukan koordinasi bukan hanya antara negara-negara, diri mereka dalam
berbagai situasi yang berbeda, tetapi juga di berbagai sektor ekonomi dan
subsistem kebijakan di berbagai tingkat politik; (d) Kebijakan yang tidak
rasional. Berbagai hambatan organisasional, sumber daya, prioritas, dll.
membuat para pengambil keputusan tidak dapat membuat kebijakan jangka panjang
yang konsisten dalam mengatasi masalah tersebut. Kebijakan tersebut menjadi
hanya berjangka pendek dan tidak rasional jika dibandingkan dengan urgensi
masalah yang ada.
(Bersambung)