Tulisan berikut adalah salah satu kritik terhadap konsep PPK yang disampaikan oleh Toby Carroll --yang dimuat dalam Majalah Prisma, Vol. 29, No. 3, Juli 2010, hal. 86--, sebagai alternatif perspektif dari yang selama ini disampaikan oleh pemerintah dan Bank Dunia sendiri...
Artikel ini dapat dilihat dan diunduh pada link berikut:
atau
Pembangunan
Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal:
Bank Dunia dan Program Pengembangan
Kecamatan di Indonesia*
Toby Carroll
Artikel
ini mencoba mengonseptualisasi ulang pasca-Konsensus Washington (PWC) dengan
tidak sekadar memfokuskan pada struktur-struktur kelembagaan dan ideologi yang
dikembangkannya, namun cara ia dikampanyekan di lapangan. Tujuannya adalah
untuk mengungkap perbedaanmendasar antara Konsensus Washington dengan PWC yang
selama ini cenderung diabaikan. Penulis memfokuskan pada Program Pengembangan Kecamatan
(PPK) di Indonesia yang didanai Bank Dunia. Program itu dianggap radikal karena
ia “Kuda Troya” baru untuk menanamkan sekaligus meneruskan norma-norma dan
praktik berorientasi pasar. Secara umum, inilah yang menjadi kunci perbedaan dalam
banyak analisis.
Orang yang
tertarik dan terkait dengan pembangunan berorientasi pasar telah banyak
membahas pasca-Konsensus Washington sejak akhir tahun 1990-an. Istilah “pasca-Konsensus
Washington” (post-Washington
Consensus) lazim
digunakan untuk merujuk paradigma dominan yang menjadi landasan praktik
pembangunan saat ini, terutama pen dekatan yang dikembangkan dan disebarluaskan
oleh Bank Dunia.[i] Di
sini dinyatakan, pemahaman kontemporer PWC, termasuk pemahaman yang kritis,
tidak banyak memberi tahu kepada kita mengenai cara ia dijalankan di lapangan,
dan karenanya, apa sebenarnya konsep itu.
Pendukung-pendukung
PWC ortodoks mendefinisikannya sebagai sesuatu yang berlawanan dengan
“fundamentalisme-pasar” Konsensus Washington.[ii]
Kritik terhadap PWC, sebaliknya, lebih banyak didominasi oleh
pernyataan-pernyataan dari para pendukung PWC yang bersifat menentukan, kerap
mempergunakan dokumen-dokumen seperti laporan tahunan Bank Dunia, World Development Report baik untuk mendefinisikan maupun
menilai perwujudan terbaru pembangunan berorientasi pasar.[iii]
Sumber-sumber tersebut telah memberi wawasan berharga yang membantu kami
menguraikan PWC atau paradigma pembangunan baru.[iv]
Namun demikian, fokus pada resep-resep tersebut telah mengurangi pemahaman
terhadap beberapa karakteristik pembeda terpenting dari PWC. Hal ini khususnya
berlaku bagi elemen-elemen utama agenda pembangunan baru yang dirancang untuk
menangani frustrasi besar neoliberalisme—hambatan-hambatan dalam menerapkan dan
melanjutkan reformasi pasar liberal.[v]
Artikel
ini banyak mengambil kontribusi para penulis yang dikutip di atas sebagai titik
awal memahami PWC dalam praktik. Namun, ketimbang memfokuskan secara langsung
pada resep-resep yang sama artinya dengan PWC, tulisan ini mengambil posisi bahwa
PWC mempromosikan bentuk baru tatapemerintahan pembangunan neoliberal—saya
menyebutnya neoliberalisme kelembagaan sosial (socio-institutional neoliberalism/SIN)—yang keduanya merupakan
setumpuk resep serta seperangkat
metode dan
mekanisme untuk membentuk medan politik di dunia terbelakang ke arah penegakan
dan kelangsungan masyarakat pasar liberal.
Kegunaan
konsepsi PWC terlihat tatkala kita memeriksa beberapa jenis proyek baru yang berasal
dari PWC. Ini karena membantu kita untuk memahami apa yang sebenarnya berubah, dari
sekadar fokus kelembagaan, dalam pergeseran dari Konsensus Washington ke PWC.
Memang, analisis seperti itu khususnya penting bagi proyek-proyek “sosial” yang
tampaknya berangkat dari penyesuaian struktural
(structural adjustment) sederhana Konsensus Washington.
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Indonesia yang didanai Bank Dunia,
dengan penekanan pada partisipasi warga setempat serta pilihan dalam alokasi
dana, merupakan sebuah contoh kasus sangat menarik. Pada satu tingkat, PPK mewakili
titik keberangkatan substansial dari pendekatan pembangunan neoliberal
sebelumnya. Namun, apa yang radikal tentang hal ini adalah cara di mana
reformasi neoliberal disampaikan pada intinya berusaha membangun kembali
kewargaan dari “bawah ke atas” (bottom up), yang tetap kompatibel dengan pasar liberal, dengan memakai
dana berbasis-utang untuk infrastruktur ekonomi dan sosial produktif sebagai insentif.
Pendek kata, para pendukung PPK menggunakan teknologi politik “pembangunan partisipatif”
sebagai alat pengantar yang jelas berbeda dan sementara waktu efektif untuk memperluas
hubungan sosial kapitalis dan lembaga-lembaga yang ditempatkan oleh ortodoksi pembangunan
untuk mengiringi hubungan semacam itu.
Bahwa dana
sejumlah US$ 1,6 miliar yang diperoleh PPK bisa menghindari banyaknya hambatan
politik yang mengganggu pelaksanaan bentuk-bentuk intervensi neoliberal sebelumnya
agaknya memerlukan perhatian kritis. Bagi program yang sangat banyak didanai oleh
utang untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia—sebuah negeri dengan
pendapatan nasional bruto per kapita US$ 1.280[vi]—dalam
kerangka pasar liberal, tanpa menyentuh titik-lemah paradigmatis liberal yang
berkaitan dengan kepemilikan alat produksi dan perjuangan kelas yang lebih
luas. Memang, proyek tersebut menggabungkan tugas penanggulangan kemiskinan
dengan proses teknis yang dirancang untuk menciptakan pasar kompetitif baru
dengan memberdayakan warga melalui transparansi dan akuntabilitas—perbaikan
kelembagaan baru yang utama dalam PPK. Dalam hal ini, program tersebut
bersesuaian di dalam batasan-batasan yang dapat diterima oleh program kerja dan
paradigma Bank Dunia yang melekat padanya, yang menurut pendapat Cammack telah
mendorong proletarisasi kaum miskin se-dunia.[vii]
Kami
mengangkat persoalan ini untuk memperluas pemahaman kita mengenai PWC dengan
menggarisbawahi unsur-unsur pokok SIN, dan khususnya potongan-potongan itu yang
menurut saya kurang mendapat perhatian daripada semestinya (metode dan
mekanisme yang ditujukan langsung pada rekayasa kewargaan pasar). Dengan
landasan ini, kita kemudian beralih ke PPK sebagai sebuah contoh operasional SIN,
untuk menunjukkan manfaat mengevaluasi PWC di luar konten preskriptifnya.
PPK
Sebagai Sebuah Contoh Neoliberalisme Kelembagaan-Sosial yang Antipolitik
Neoliberalisme
kelembagaan-sosial (SIN) berkembang sebagai jawaban terhadap krisis legitimasi
yang menjangkiti bentuk-bentuk kebijakan pembangunan neoliberal awal.[viii]
Ini menunjukkan konten preskriptif yang sama sekali baru, karena ditopang oleh
ekonomi kelembagaan baru (new
institutional economics/NIE),
dengan penekanan pada hubungan antara lembaga dan biaya transaksi.[ix]
Penekanan kelembagaan ini mengubah beberapa kebijakan Konsensus Washington
seperti privatisasi, dere gulasi, dan liberalisasi,[x]
dengan menempatkan fokus “pengembangan industri” dalam matrik pentingnya
kelembagaan khusus bagi operasi pasar (dipahami dalam istilah ortodoks sebagai “tata
pemerintahan yang baik”). Bahkan, dorongan kelembagaan ini khususnya telah
memilah-milah peran lembaga sosial dan memanfaatkan saham “modal sosial”
mereka.[xi]
Hal
terpenting, banyak bentuk SIN yang berkaitan dengan metode dan mekanisme
mutakhir diarahkan menuju pencapaian implementasi masyarakat pasar dan dijuluki
Jayasuriya sebagai “kewargaan pasar”[xii]—di
mana hak dan kewajiban warga dalam hubungan dengan negara pada dasarnya
dikondisikan oleh imperatif pasar. Di pusat arsitektur SIN diciptakan saluran-saluran
pengantar baru—perangkat yang membungkus isi ketentuan kelembagaan baru SIN.
Contohnya, Poverty
Reduction Strategy Papers, Country Assistance Strategies, Country Development
Partnership, serta
proyek dan program-program yang ditargetkan Bank Dunia. Perangkat pengantar ini
disampaikan oleh dan memasukkan bentuk-bentuk teknologi politik, seperti proses
partisipatif dan latihan konsultasi. Teknologi tersebut ditugaskan mengelola
tuntutan representasi politik yang memiliki potensi berseteru supaya tercapai
masyarakat monopolitik, yakni mencakup keadaan pasar yang kuat (yang membuat kegagalan
pasar dan bagian dari persediaan pasar yang dibutuhkan matriks kelembagaan) serta
persekutuan fleksibel secara politik di antara pelaku pasar yang tuntutan
satu-satunya adalah kesetaraan akses pasar.[xiii]
Umpamanya, proses partisipatif, yang
merupakan teknologi politik kunci dalam SIN, terkait dengan pemanfaatan koalisi
dukungan bagi reformasi, dengan menghadang masukan dari posisi yang berlawanan,
dan penyingkiran oposisi.[xiv]
Mereka juga memainkan sebuah peran
ideologis penting dalam menyebarluaskan gagasan-gagasan Bank Dunia tentang pembangunan
— yang kerap disebutnya “alih pengetahuan”. Poin sangat penting di sini adalah
mengatasi rintangan dalam menerapkan dan mempertahankan pasar liberal adalah
inti dari SIN. Memang, bersama pengaruh terbuka NIE, adalah perangkat pengantar
dan teknologi politik SIN yang paling membedakannya dari bentuk kebijakan
pembangunan neoliberal sebelumnya.
Kombinasi
perangkat pengantar dan teknologi politik SIN memainkan fungsi penting, baik
dalam upaya menyelaraskan kembali negara dan masyarakat sepanjang garis
neoliberal maupun mengejar pengentasan kemiskinan ala liberal. Hal terpenting,
pendekatan ini menghindari titik-titik lemah paradigmatik seperti kelas dan
lokasi historis suatu negeri di dalam lingkup ekonomi politik global yang
secara analitis penting dalam desain program dan proyek, sekaligus mencoba
memperluas hu bungan sosial kapitalis. Alhasil, Cammack menuding komitmen
pengentasan kemiskinan (melekat dalam SIN) Bank Dunia sebagai “nyata di dalam
batas-batas”, namun “bergantung pada, dan sekunder untuk tujuan yang lebih
luas”: pengekalan kelembagaan dan prasarana lain yang diperlukan bagi akumulasi
kapitalis global dan transformasi hubungan sosial (proletarianisasi) yang
menyertainya.[xv]
Meskipun
seruan berulang-ulang para akademisi dan sejumlah kalangan memandang organisasi
semacam Bank Dunia sebagai nonmonolitik, bahkan sayap paling “progresif” dari organisasi
ini menunjukkan sikap konsisten dengan kritik pedas yang dilontarkan kepada SIN
dan proyek perluasan pasar liberal. Ini tidak lantas berarti bahwa secara
internal Bank Dunia bebas dari beberapa keanekaragaman dan kontestasi
intelektual. Namun, mereka yang memilih dan diterima bekerja dalam dunia
organisasi, terlepas dari politik pribadi mereka, harus melekat erat dalam
batasannya. Agen-agen tersebut (dipahami dalam istilah kontemporer sebagai
‘usahawan norma’ atau ‘agen perubahan’) tentu harus mengikuti dunia “pernyataan
dan pengucapan yang bisa diterima di tempat tinggal mereka”,[xvi]
dikondisikan sebagaimana dunia ini didefinisikan dengan jelas oleh
batasan-batasan ideologi hegemonik. Selanjutnya,
proyek Bank Dunia harus membagi-bagi kesatuan ikatan-negeri dengan rapi, difokuskan
pada intervensi di area khusus yang diidentifikasi sebagai wilayah yang
membutuhkan pembaruan, dijalankan selama jangka waktu tertentu dan memiliki
struktur pendanaan yang “cocok”. Pendek kata, Bank Dunia — kendati beberapa
eklektisisme dalam staf-nya — bertanggung jawab untuk proyek dan program-program
yang menunjukkan ketaatan sesuai dengan ideologi tertentu (neoliberalisme) dan selalu
memelihara kekakuan tertentu lainnya dalam desain mereka.
Program
Pengembangan Kecamatan yang didanai Bank Dunia, terkait dengan unit pembangunan
sosial Bank Dunia di Jakarta, terutama membantu menjelaskan hal ini. Program Pengembangan
Kecamatan khususnya menarik banyak perhatian karena perbedaannya tampak jelas
dengan proyek lain Bank Dunia – kualitas yang sama sekali tidak kecil dikaitkan
dengan usaha mereka yang berada di tengah proyek ini.[xvii]
Namun, bagi mereka yang secara kritis tertarik pada corak pembangunan
neoliberal, ada banyak hal yang menakutkan tampak tidak asing dalam program
itu. Memang, meski berpenampilan sebaliknya, dalam kenyataannya PPK banyak
meletakkan penekanan kelembagaan SIN seperti modal sosial dan tatakelola (governance) dalam praktik. Menyuarakan hal senada,
Tania Li menggambarkan tim pembangunan sosial Bank Dunia di Jakarta sebagai “pelopor
dalam mengubah konsep menjadi program intervensi”.[xviii]
Mengikuti Nikolas Rose, dan pengaruh yang tak dapat dihilangkan dari Foucault,
TM Li melihat PPK sebagai contoh “pemerintahan melalui komunitas”;[xix]
sebuah gagasan yang menurutnya mengandung banyak kecocokan dengan
neoliberalisme. Dari perspektif ini, PPK dipandang sebagai contoh program
pembangunan yang menampilkan masyarakat sebagai solusi untuk masalah-masalah tertentu
— walaupun solusi ini membutuhkan intervensi elite “pakar” yang diperhitungkan dengan
hati-hati untuk mengolah dan memanen manfaat nyata komunitas.[xx]
Dalam hal PPK, Li berpendapat bahwa para pakar menempatkan masyarakat di pusat
program besar dan mahal yang dirancang untuk memperbaiki kekurangan dan
kegagalan perencanaan tata pemerintahan di Indonesia, sembari mengabaikan “hubungan-hubungan
produksi dan alokasi yang tak setara”.[xxi]
Sebagaimana
terbukti kemudian, analisis PPK yang disajikan di sini memiliki timbang rasa signifikan
dengan kritik Li terhadap program itu, yang secara teguh mengikuti tradisi
Ferguson dan lainnya. Secara khusus, analisis ini melihat pentingnya
mengidentifikasi PPK sebagai suatu intervensi yang dirancang oleh pakar
tertentu yang beroperasi di dalam batasan operasional dan gagasan tertentu.
Namun, analisis saya terhadap PPK lebih banyak dikondisikan oleh garis silsilah
tertentu di dalam materialisme historis[xxii]
ketimbang Foucault, menggeser fokus ke arah pemahaman program itu sebagai
contoh evolusi politik neoliberalisme yang sedang berlangsung. Pendek kata,
artikel ini menekankan bagaimana upaya para “pakar” sebenarnya dikondisikan
secara substantif dengan ideology dan struktur, menghasilkan suatu program yang
pada dasarnya merupakan sebuah mekanisme penyampaian besar-besaran dan inovatif
untuk memperluas hubungan-hubungan sosial produksi kapitalis dan infrastruktur
(keras dan lunak) yang dibutuhkannya. Artikel ini meletakkan neoliberalisme
(sebagai proyek yang didorong oleh kepentingan modal) — dan bukan para pakar —
di tengah panggung analisis.
Dalam hal
ini, PPK berusaha mengubah pola perilaku di pelbagai tingkat masyarakat (mencoba
menormalisasi transparansi dan akuntabilitas serta memperdalam kompetisi) dengan
menggunakan ketentuan pendanaan bagi infrastruktur yang terkait dengan kegiatan
produktif dan kredit mikro pada aras lokal sebagai sebuah insentif. Perubahan
ini merupakan perhatian klasik SIN. Namun, pendekatan PPK dalam
mengantarkan reformasi yang membuatnya benar-benar berbeda dari mayoritas proyek
yang biasanya terkait dengan Bank Dunia (terutama wataknya yang sangat
inklusif, memberi kuasa pengambilan-keputusan pada aras desa dan memastikan
tingkat tinggi partisipasi perempuan). Dengan demikian, ketimbang memperhatikan
PPK sebagai sesuatu yang menyimpang dari anomali dalam neoliberalisme, atau
secara umum hanya cocok dengannya, analisis ini memandang PPK bersaing mencapai
posisi kepeloporan, yakni sebuah proyek yang sesungguhnya, setidaknya dalam jangka
pendek, memecahkan persoalan neoliberalisme paling berkanjang: pelaksanaan.
Pemerintah
Indonesia menggambarkan PPK sebagai sebuah proyek yang bertujuan mengurangi
kemiskinan dan memperbaiki tata pemerintahan di tingkat lokal perdesaan Indonesia.[xxiii]
Bagi Bank Dunia, yang menggolongkan PPK sebagai sebuah proyek pemberdayaan masyarakat/perlindungan
sosial, program itu digambarkan dalam makna lebih formal sebagai “perencanaan
partisipatif dan pengelolaan pembangunan di perdesaan melalui program luas
infrastruktur sosial ekonomi, (yang) juga akan memperkuat institusiinstitusi formal
dan informal tingkat lokal melalui pelibatan lebih besar dan akuntabilitas kebutuhan
dasar pembangunan”.[xxiv]
Program Pengembangan Kecamatan telah melewati beberapa
fase, masing-masing meluas secara signifikan dibanding fase sebelumnya. Versi percontohannya,
pada 1997, meliput dua puluh lima perdesaan, fase pertama dan utama (PPK 1)
mencapai 15.000 perdesaan dan sekarang mencapai lebih setengah dari seluruh
desa (sekitar 38.000) di Indonesia.[xxv]
Salah satu versinya pernah digunakan Bank Dunia di Aceh dan Sumatera Utara
untuk membantu lingkungan pascatsunami dan proyek serupa dibentuk kembali di
Afganistan, Timor Timur, dan Filipina.[xxvi]
Inilah proyek pembangunan masyarakat terbesar di Asia Tenggara,[xxvii]
dan menjadi contoh utama dari apa yang disebut Bank Dunia sebagai “scaling-up” — peningkatan pesat jumlah
program-program baru untuk mengurangi kemiskinan.
Hal
penting, program tersebut dipandang (khususnya mereka yang terjalin erat dengan
program ini) sebagai sesuatu yang secara substantif berbeda dari “proyek-proyek
pembangunan baku”.[xxviii]
Ulasan singkat struktur PPK menggambarkan banyaknya perbedaan itu berasal. Di
sini, watak pengantar pembaruan adalah kuncinya. PPK menyediakan dana hibah sebesar
US$ 50.000-150.000 untuk tingkat kecamatan.[xxix]
Daftar umum yang mendapatkan pembiayaan PPK begitu panjang dan mencakup banyak
bidang. Namun, ada penekanan khusus yang ditujukan pada infrastruktur (ekonomi
dan sosial) yang dapat memfasilitasi output produktif dalam pasar.[xxx]
Dalam hal ini, Bank Dunia menyatakan PPK telah memiliki tingkat pengembalian internal
tinggi yang sebagian besar diperoleh dari perannya dalam memfasilitasi kegiatan
ekonomi baru dan pengetatan “kapasitas produksi terpendam/ditekan yang akhirnya
dapat disalurkan ke pasar lokal”.[xxxi]
Khususnya, program tersebut disanjung oleh Bank Dunia karena kapasitasnya dalam
memproduksi infrastruktur berbiaya-rendah (yang diklaim telah membangkitkan 39
juta hari kerja dan memfasilitasi ekspansi peluang usaha) dan “751 ribu
penerima pinjaman dan pengusaha yang berpartisipasi dalam kegiatan usaha dan penyaluran
kredit PPK “.[xxxii]
Hal
penting, PPK memasukkan proses “sosialisasi”, mengabarkan kepada orang mengenai
proyek itu dan menguraikan panjang lebar caranya beroperasi.[xxxiii]
Ini dianggap sebagai hal menentukan bagi keberlangsungan proyek tersebut,
menggambarkan pentingnya aturan yang sederhana (namun tegas) serta peran
sentral fasilitator dalam pelaksanaan proyek. Tahap sosialisasi PPK dipandang
sebagai tahap mendasar yang penting untuk mendukung “keberhasilan proses dan
kegiatan yang dilaksanakan pada tahap berikutnya”.[xxxiv]
Keberadaan berbagai forum itu amat penting dalam proses ini.[xxxv]
Awalnya, istilah tentang
PPK ditebar melalui lokakarya di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan, “untuk
menyebarluaskan informasi dan mempopulerkan program tersebut”.[xxxvi]
“Lokakarya tersebut melibatkan tokoh masyarakat, pejabat pemerintah daerah,
pers daerah, perguruan tinggi, dan organisasi nonpemerintah (ornop).[xxxvii]
Pertemuan-pertemuan kelompok, dusun, dan
desa, juga diselenggarakan untuk menebar informasi lebih lanjut mengenai PPK serta
“mendorong orang untuk mengajukan gagasan yang mendukung PPK”.[xxxviii]
Rapat-rapat
perencanaan selanjutnya dilakukan di tingkat dusun dan desa. Dalam pertemuan itu,
fasilitator dari tingkat dusun hingga desa dilibatkan untuk menyebar informasi
mengenai prosedur PPK dan mendorong pengajuan ide untuk pendanaan PPK. Pada
tahap ini, kaum perempuan juga mengadakan rapat sendiri untuk memutuskan
“proposal perempuan”.[xxxix]
Selanjutnya diadakan pertemuan desa membahas
proposal masing-masing warga desa. Proposal yang terpilih kemudian diangkat ke
forum kecamatan. Setiap desa mengajukan tiga proposal untuk dibahas dalam forum
kelurahan, salah satu proposal berasal dari “perempuan desa dan proposal kedua
diajukan oleh kelompok simpan pinjam perempuan”.[xl]
Semua itu kemudian dibahas di tingkat kelurahan. Proses verifikasi kelengkapan
persyaratan teknis masing-masing proposal juga dilakukan sebelum pemilihan
proyek. Itu dilakukan untuk menilai kelayakan ekonomis dan teknis proyek
bersangkutan, jumlah orang yang akan memperoleh manfaat dari proyek itu,
perencanaan biaya atau pengembalian pinjaman (bila melibatkan pinjaman),
tingkat partisipasi orang dalam proses penyusunan proposal, serta kontribusi masyarakat
setempat. Proposal tersebut kemudian dibahas dalam rapat kelurahan kedua untuk
menentukan urutan prioritas. Setelah ini, sekali lagi diadakan rapat desa,
proposal dipilih dan perjanjian hibah dirancang untuk proposal yang berhasil
lolos.[xli]
Hal
penting, persaingan di antara proposal individu adalah fitur utama PPK. Apabila
tidak dapat dicapai mufakat bulat, warga desa diberi kriteria untuk
memprioritaskan proposal tertentu, sering kali dengan bantuan seorang fasilitator
(dibahas lebih lanjut di bawah ini).[xlii]
Menariknya, unsur persaingan ini disorot dalam pertemuan warga desa di Jawa
Barat pada 2005 sebagai sebuah aspek tidak diinginkan dari proyek yang
seharusnya dihilangkan.[xliii]
Salah seorang peserta pertemuan juga mencatat bahwa menyusun prioritas proyek
adalah sulit, karena masing-masing desa mengklaim berada di peringkat
tertinggi, dengan proses tawar-menawar yang terjadi antardesa. Namun, bagi Scott
Guggenheim (mantan ketua tim program), konflik di dalam PPK bukanlah faktor
utama.[xliv]
Salah seorang yang pernah bergabung dengan Guggenheim mungkin sedikit lebih
hati-hati dengan menyatakan bahwa “mufakat di tingkat desa umumnya tercapai —
meskipun ada beberapa perselisihan”.[xlv]
Dikatakannya, tidak mengherankan jika fasilitator dan konsultan (hampir
semuanya orang Indonesia) menjadi sangat penting bagi pengelolaan dan
pengoperasian PPK — hal ini diperkuat oleh banyak orang yang pernah terlibat
dalam program itu.[xlvi]
Memang, barisan konsultan swasta sangat banyak (4.200 orang dalam PPK II)
dilibatkan di semua tingkatan sampai ke tingkat kecamatan untuk “melaksanakan
aspek-aspek teknis proyek itu”.[xlvii]
Selanjutnya, dua atau tiga orang fasilitator (setidaknya satu laki-laki dan
satu perempuan) dipilih untuk setiap desa yang berpartisipasi dalam PPK.[xlviii]
Semua berada di bawah binaan Badan Pengembangan Masyarakat, Departemen Dalam
Negeri Republik Indonesia, yang bertanggung jawab atas pengelolaan PPK
sehari-hari, untuk kepentingan Bank Dunia serta badan-badan pelaksananya.
Kementerian lain diwakili oleh tim koordinasi pemerintah, yang juga membantu
manajemen PPK, dan ada juga peran yang dimainkan di tingkat provinsi dan
kabupaten.[xlix]
Sebagian
besar proyek tersebut dibiayai oleh Bank Dunia. Sangatlah penting untuk memahami
struktur pembiayaan PPK, khususnya karena program itu memakai sebuah pendekatan
penanggulangan kemiskinan yang mengandalkan utang, di suatu negeri tempat 50 persen
penduduknya berpenghasilan kurang dari US$ 2 per hari (tahun 2002),[l]
dan lebih dari 6 persen utang pemerintah sebesar US$ 144 miliar (tahun 2006)
berutang kepada Bank Dunia.[li]
Pada aras Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia, PPK adalah kombinasi kredit
(pinjaman tanpa bunga) dan pinjaman berbunga.[lii]
Hal ini sendiri dianggap sebagai masalah besar oleh berbagai kalangan, mulai dari
birokrat senior yang sebelumnya terlibat dalam PPK hingga organisasi
nonpemerintah yang terkait dengan proyek itu.[liii]
PPK II, III dan IIIb memakai dana pinjaman berbunga dari International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD) maupun
dana pinjaman tanpa bunga dari International Development Association (IDA)
dengan berbagai tenggang jatuh tempo lima sampai sepuluh tahun.[liv]
Kontribusi
pemerintah pusat untuk proyek PPK pada dasarnya nol, meski kontribusi
pemerintah daerah dan masyarakat dimasukkan sebagai kontribusi Pemerintah
Indonesia.[lv] Dalam
struktur yang ada, dana Bank Dunia untuk PPK dipindahkan ke rekening khusus di Bank
Indonesia (bank sentral), kemudian ditransfer melalui Kantor Bendahara Negara sebagai
dana hibah ke rekening bersama untuk desa-desa di setiap kecamatan. Pengucuran dana
kemudian dikeluarkan berangsur dari rekening itu ke setiap desa dalam tiga
tahap (40 persen, 40 persen, dan terakhir sebesar 20 persen), jumlah yang
terakhir baru dikeluarkan setelah proses sertifikasi telah disetujui.[lvi]
Selain itu, setelah masing-masing porsi dimanfaatkan, desa harus melaporkan dan
menjelaskan kepada masyarakat desa bagaimana dana itu telah digunakan.
Kontribusi masyarakat pada PPK juga tinggi.[lvii]
Keunikan
PPK – terutama strukturnya yang memungkinkan desa memilih dalam lingkungan yang
kompetitif untuk apa dana tersebut digunakan – seharusnya lebih jelas untuk
mereka dengan pengetahuan mengenai pembangunan industri yang sepintas lalu
lebih rendah. Selain itu, ini menjauhkan banyak pemerintah yang tak biasa
menangani proyek besar Bank Dunia (pemerintah nasional bagaimanapun juga adalah
penerima jasa Bank Dunia). Pada dasarnya, apa yang membuat program itu sangat
berbeda terkait dengan reformasi pengantarnya. Walaupun terdapat beberapa fitur
lain yang mem bedakan PPK dengan proyek-proyek Bank Dunia lainnya (lihat di
bawah), adalah penting untuk
diperhatikan cara program tersebut menyesuaikan diri dengan sangat baik di
dalam reproduksi neoliberalisme dan reproduksi hubungan kapitalis pada umumnya.
Tujuan
PPK
Kita telah
melihat bagaimana PPK beroperasi; ini menjelaskan banyak hal yang berbeda dengannya
dibanding proyek dan program-program lain yang didanai Bank Dunia. Juga penting
untuk ditekankan apa sebenarnya tujuan PPK. Hal ini sangat relevan untuk menunjukkan
bagaimana PPK jatuh ke dalam SIN.[lviii]
Pada satu sisi, PPK tampaknya sebagian besar menyangkut penyediaan
infrastruktur dengan biaya rendah (dan lebih) untuk perdesaan. Namun, ini jauh
lebih ambisius dan politis daripada sekadar penyediaan infrastruktur berbiaya
rendah. Program Pengembangan Kecamatan pada intinya adalah sebuah proyek yang
membersitkan fokus perluasan-pasar SIN tentang tata kelola pemerintahan, modal
sosial, desentralisasi, dan mengantarkan reformasi melalui pembangunan partisipatif
dan insentif/pengungkit penyediaan infrastruktur dan barang-barang lain. Dengan
kata lain, PPK berupaya menyampaikan infrastruktur produktif yang dibutuhkan
ekonomi pertanian dan institusi yang dirancang rapi untuk memfasilitasi fungsi
ekonomi semacam ini dengan lebih efisien dan merata.
PPK
bersifat politis sekaligus ambisius, program ini dirancang untuk mewujudkan
struktur kelembagaan tertentu dalam lingkungan pasca-Orde Baru.[lix]
Dalam hal ini, PPK terkait dengan intepretasi ulang gagasan kewargaan, sebagian
dengan menciptakan permintaan bagi perubahan perilaku (yaitu, berusaha untuk
menanamkan norma-norma transparansi dan akuntabilitas), menggunakan
insentif/pengungkit untuk mendorong proses tersebut. Dalam hal ini, memperbaiki
tata kelola pemerintahan lebih dari sekadar memproduksi infrastruktur berbiaya rendah
adalah output utama PPK. Tania Li, menulis tentang tim pembangunan sosial Bank
Dunia di Indonesia (yang terjalin erat dengan PPK), mencatat ini pemujaan
terhadap tata kelola pemerintahan melebihi isu-isu lain:
Kendati tim pembangunan sosial Bank
Dunia tidak menunjukkan bahwa perencanaan yang tidak memadai dan kegagalan tata
kelola pemerintahan adalah satu-satunya sumber kemiskinan,
kedua hal itu menjadi satu-satunya sumber yang diambil oleh tim sebagai basis
program anti-kemiskinan yang sangat besar dan mahal. Menafikan hubungan yang sulit
diperbaiki — hubungan-hubungan produksi dan alokasi yang tak setara terutama di
antara mereka — adalah faktor intrinsik untuk konstruksi masyarakat sebagai
sasaran intervensi.[lx]
Hal
penting dalam kaitannya dengan obsesi tata kelola ini, PPK lebih banyak bekerja
di seputar pemerintahan. Sebagaimana dikatakan salah seorang staf Bank Dunia,
saat program itu “dijual” kepada pemerintah sebagai inisiatif penanggulangan
kemiskinan (yang menyenangkan pemerintah), sebenarnya ini menjauhkan pemerintah.[lxi]
Sedikit diceritakan di sini adalah cara desain proyek yang menggunakan
kecamatan untuk memintas lembaga-lembaga politik yang ada dengan membuat atau
membangun kembali lembaga-lembaga politik dan sosial yang sebelumnya tidak ada.
Kutipan dari Guggenheim menjelaskan mengapa hanya tingkat kecamatan yang
dipilih sebagai fokus proyek PPK:
Kecamatan tampaknya menguntungkan
untuk beberapa alasan tambahan di atas dan di luar aksesibilitasnya bagi warga desa. Karena kecamatan
bukan satuan pemerintahan yang sepenuhnya otonom, maka kecamatan tidak punya
wewenang anggaran dan perjanjian sendiri. Ini berarti pengumpulan kepentingan komersial
dan politik yang dimiliki kubu pemerintah di tingkat kabupaten jauh lebih lemah
dibanding di kecamatan. Kecamatan juga memiliki persyaratan untuk
“mengoordinasi” pembangunan desa melalui dewan
kecamatan yang mencakup seluruh kepala desa, tetapi karena kecamatan tidak
memiliki anggaran sendiri untuk berinvestasi, sebagian besar dewan kecamatan
hanya bertemu sekali atau dua kali setahun. Terakhir, karena warga desa saling
bersaing mendapatkan dana PPK di setiap pertemuan kecamatan,
kami berharap, ini akan mendorong semacam negosiasi dan kerja sama langsung yang
akan menjadi dasar untuk membangun kembali lembaga-lembaga supra-desa
horisontal yang dihancurkan atau diabaikan oleh Orde Baru.[lxii]
Dokumen
informasi proyek terbaru (PID—Project
Information Document)
untuk PPK III juga mengungkapkan fokus program pada “tata kelola pemerintahan”,
dan dari mana konsep ini berasal, khususnya pengertian pengaruh neoliberal menyangkut
modal sosial. “Pemberdayaan Masyarakat dan Tata Pemerintahan Daerah” adalah
bagian kunci pertama yang tercakup dalam dokumen ini. Ini mengacu kembali ke serangkaian
studi yang dilakukan Bank Dunia dan berbagai lembaga pemerintah yang memiliki dampak
permanen pada bentuk PPK.[lxiii]
Menurut PID, studi Lembaga Tingkat Lokal (LLI) “mengidentifikasi adanya
kesenjangan di dalam tatapemerintahan lokal di sebagian besar daerah perdesaan
di Indonesia”.[lxiv]
Penggabungan semua pengertian yang diperoleh dari studi-studi ini ke dalam PID
menegaskan kurangnya kepercayaan dan dialog, yang terkait dengan perkembangan
situasi sekarang dan hambatannya terhadap efisiensi ekonomi. PID juga
menunjukkan perhatian pada implementasinya—yang terkait dengan penyebaran SIN—serta
beberapa perhatian neoliberal terhadap
modal
sosial:
Kesenjangan ini biasanya muncul dalam
bentuk kurangnya kepercayaan, apatis, dan dialog berkualitas rendah dalam
hubungan dengan pembangunan. Model pembangunan yang dipaksakan dari luar dan
yang tidak mengenali masalah inti dari pemerintahan daerah membatasi
kemungkinan keberhasilannya sendiri. Bukti akar masalah ini dapat
dilihat dalam masalah yang dilaporkan secara universal menyangkut miskinnya
standar pembangunan konstruksi infrastruktur publik dan pemeliharaan desa-desa
Indonesia, jelas kecilnya tanda-tanda kepemilikan lokal (oleh komunitas).
Akibatnya, sumber daya sosial dan ekonomi tidak digunakan dengan baik, terutama
yang berkaitan dengan pengurangan kemiskinan perdesaan.65[lxv]
Implikasinya
adalah tata pemerintahan yang buruk menyebabkan kurangnya modal sosial (dalam
hal ini kurangnya kepercayaan) yang, pada gilirannya, dipandang sebagai
penjelasan miskinnya infrastruktur. Kurangnya kepercayaan dan masalah korupsi
di lingkungan pasca-Orde Baru (yang benar-benar nyata), digunakan
untuk membenarkan sebuah “program perbaikan” pemerintahan, yang dianggap seolah-olah
menjadi akar penyebab situasi Indonesia.[lxvi]
Khususnya,
dalam kaitannya dengan hubungan antara modal sosial dengan PPK, studi LLI, yang
mengidentifikasi “kesenjangan tata- pemerintahan” dan yang merupakan pelopor berpengaruh
terhadap PPK, adalah bagian dari studi multinegara yang lebih luas tentang
modal sosial dan ide-ide Robert Putnam—seorang figur berpengaruh yang “memberi
angin” pada modal sosial sehingga lebih dikenal di Bank Dunia sebagai daya
tarik PWC pada pertengahan sampai akhir tahun 1990-an.[lxvii]
Penelitian LLI menemukan hal-hal khusus lainnya yang menekankan potensi di
dalam masyarakat, yang hasilnya
dapat dilihat mempengaruhi PPK dan yang menyebarkan kesukaan tertentu untuk inkarnasi
modal sosial Putnam. Sebagai contoh, salah satu temuan menunjukkan bahwa proyek-proyek
yang dimiliki masyarakat bekerja lebih baik dibandingkan proyek-proyek
pemerintah atau LSM, memiliki tingkat partisipasi masyarakat miskin dan
perempuan yang lebih besar, di samping masukan yang signifikan lebih banyak
dari penduduk desa. Temuan lain menunjukkan fokus multitujuan dari organisasi masyarakat
yang bersifat jangka panjang dibandingkan dengan organisasi proyek pembangunan sementara.
Temuan lebih lanjut menunjuk ke pemutusan antara kapasitas pengorganisasian masyarakat
dan pemerintah, dan bahkan mengilustrasikan manfaatnya pada masyarakat yang
“memiliki kepemimpinan kuat dan seseorang yang bisa memainkan peran sebagai
fasilitator untuk berbagi informasi, meminta prosedur penyelesaian sengketa,
dan membantu penduduk desa menemukan bantuan dari luar ketika diperlukan”.[lxviii]
Benang merah antara temuan-temuan tersebut dengan PPK sudah jelas. Singkatnya,
apa yang terjadi adalah diagnosis masalah-masalah tertentu (melalui penelitian
LLI), dengan pengobatan teknis tertentu (memperbaiki kelembagaan PPK)—sebuah
obat yang mengabaikan masalah ekonomi-politik kemiskinan yang lebih besar di Indonesia.
“Pembangunan
Sosial” sebagai Kuda Troya Neoliberalisme?
Namun
demikian, kita harus berhati-hati, agar tidak menggambarkan modal sosial di PPK
hanya sebagai perpanjangan pekerjaan fungsional Bank Dunia. Memang, hubungan
antara modal sosial, PPK, dan Bank Dunia harus ditandai dengan cara yang lebih
bernuansa kekinian, yang mengungkapkan banyak hal tentang politik internal Bank
Dunia dan bagaimana penyesuaian neoliberal dihasilkan. Bagi Guggenheim, modal
sosial (istilah dan konsep) khususnya sangat berguna untuk orang yang bekerja
dalam pembangunan sosial di dalam Bank Dunia dalam rangka berbicara dengan kelompok
yang berkuasa di Bank itu—para ekonom—di luar skeptisisme pribadinya vis-avis dengan konsep tersebut.[lxix]
Dalam sebuah lingkungan yang didominasi oleh kelompok kekuasaan tertentu di
dalam Bank Dunia (para ekonom), suatu bahasa tertentu membantu personil unit
pembangunan sosial untuk mewujudkan tujuan-tujuan mereka, yang tanpa itu mungkin
akan menghadapi banyak perlawanan. Menariknya, penggunaan modal sosial ini
bertemu dengan gambaran Harriss tentang cara beberapa praktisi pembangunan
melihat konsep tersebut sebagai “Kuda Troya” untuk mengubah agenda pembangunan
neoliberal dari “dalam”.[lxx]
Berbicara
dengan orang-orang di dalam unit pembangunan sosial Bank Dunia di Indonesia, orang
akan mendapat kesan bahwa ada dorongan untuk menciptakan perubahan di dalam Bank
Dunia. Pertanyaannya adalah, apa yang sangat berbeda tentang proyek ini
sehingga orang-orang mau terlibat dengan (PPK)? Pada intinya, jawabannya
terkait dengan kebijakan penyalurannya,
yang membawa kita kembali memperhatikan SIN dalam pelaksanaannya dan juga
menunjukkan kendala mengubah neoliberalisme dari dalam. Sementara unsur pemerintahan
dalam PPK menunjukkan fokus yang lebih luas (terutama di luar dokumen resmi)
atas kewarganegaraan dibandingkan penggunaan yang khas Bank Dunia, Harriss menunjukkan
bahwa konsep seperti itu masih tetap kompatibel dengan proyek Bank Dunia yang
lebih luas, khususnya dalam wacana modal sosial dan bahasa pengiringnya yaitu
pengembangan masyarakat, pemberdayaan, dan partisipasi. Perlu mengutip
kesimpulan Harriss atas hubungan ini dengan sedikit panjang lebar karena
benar-benar relevan dengan pertanyaan apakah PPK berbeda sebagai proyek
tatapemerintahan:
Intinya, untuk tujuan diskusi ini,
titik-tekannya ada pada pemikiran bahwa pembangunan saat ini begitu dikaitkan
dengan ‘tatapemerintahan yang baik’, yang dimaksudkan untuk pemerintahan yang
transparan dan akuntabel, yang bekerja dalam kerangka hukum yang jelas dan
konsisten, misalnya akan menyediakan kondisi untuk pasar yang
efektif dan efisien. Dalam konteks inilah ide-ide tentang ‘masyarakat sipil’,
‘desentralisasi’, ‘partisipasi’ dan akhir-akhir ini—dalam beberapa hal ratu
dari ini—adalah ‘modal sosial’ yang telah diterima luas. Ide dasarnya adalah melalui
‘partisipasi’ dalam asosiasi lokal ‘sukarela’ (yang dapat–secara
salah—disamakan dengan ‘organisasi-organisasi nonpemerintah’) orang-orang ‘diberdayakan’ dalam
‘masyarakat sipil’ (didefinisikan sebagai wilayah sukarela daripada asosiasi
askriptif, yang terletak di luar negara, keluarga, dan kekerabatan). Masyarakat
sipil yang dinamis… bertindak baik sebagai pemeriksa utama aktivitas dan
badan-badan negara, dan sebagai semacam penghubung antara masyarakat dengan
pemerintah. Sebuah masyarakat sipil yang kuat harus mengandung perluasan negara...
dan akan membentuk ‘tata-pemerintahan yang baik’ (yaitu, ‘demokratis’, yang berarti
pemerintah responsif, akuntabel, dan transparan). Diharapkan juga, bahwa dalam konteks
semacam itu masyarakat sipil yang kuat akan secara luas mendukung kebijakan ekonomi
yang berorientasi pasar.... Seluruh rangkaian gagasan tersebut digulirkan
secara khusus untuk melawan pembangunan gaya lama yang ‘top-down’,
yang dipandang sudah gagal. Ini adalah perpanjangan ‘konsensus Washington’ yang
dulu dan bukan suatu pemikiran ulang yang radikal (mungkin ‘pasca’-konsensus
Washington, tapi tidak ’melewati’).[lxxi]
Konsekuensinya,
PPK seharusnya lebih dianggap sebagai model garda depan SIN, daripada semacam
anomali radikal di dalamnya.
Sentimen
ini lebih lanjut diterima ketika melihat fokus pengawasan dan pemantauan yang
dibangun di dalam proyek, elemen penting untuk menghasilkan bentuk disiplin transparansi
pasar tingkat lokal yang transparan. Apa yang diupayakan di dalam PPK adalah
penciptaan pasar kewarganegaraan yaitu partisipasi pasar individu di dalam
suatu sistem pengawasan dan pemantauan untuk menanamkan pasar yang lebih
“ideal” di mana—kembali ke dua cabang ilmu ekonomi kelembagaan baru—biaya transaksi
lebih rendah dan informasi mengalir bebas.[lxxii]
Terdapat aspek pemantauan internal maupun eksternal terhadap PPK. Pemantauan internal
didasarkan pada suatu Sistem Informasi Manajemen, yang dikelola oleh tim
pengawasan nasional yang mengumpulkan informasi seputar PPK dan melaporkan
tentang kemajuannya.[lxxiii]
Secara eksternal, Asosiasi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) dan LSM
independen tingkat provinsi dikontrak untuk memantau PPK, kontrak yang memungkinkan
AJI mengunjungi situs PPK agar mereka dapat menulis artikel di koran nasional
dan regional terkait proyek tersebut.[lxxiv]
Dalam pengaturan ini jurnalis dianggap sebagai suatu saluran untuk memberitakan
kegiatan pemantauan para LSM dan kelompokkelompok masyarakat sipil lainnya.[lxxv]
Selain itu, banyaknya rapat desa dan pengawasan pengadaan bahan baku juga
penting.
Penekanan
pada transparansi dan pemantauan ini, yang memang menjadi fokus tata pemerintahan
PPK yang lebih luas, jelas berhubungan dengan penanganan korupsi. Korupsi tentu
saja meluas di Indonesia, baik menurut Bank Dunia maupun yang pada umumnya.[lxxvi]
Cara PPK menangani korupsi dalam program yang
sedang berjalan adalah sesuatu yang dengan tajam ditunjukkan oleh Guggenheim, terutama
dalam kaitannya dengan tindakan bagaimana menghadapi proyek-proyek pembangunan lainnya
yang sebelumnya dijalankan oleh Bank Dunia.[lxxvii]
Di tempat lain, ia lebih lugas menyatakan bahwa desain prinsip untuk
proyek-proyek pembangunan berbasis masyarakat (seperti PPK) perlu sederhana dan
penegakan hukumnya harus tegas: “Tough love” (sikap sayang tapi disiplin) merupakan satu-satunya cara untuk
menghentikan beberapa kesalahan kecil menjadi kerusakan yang luas untuk proyek pembangunan
berskala besar”.[lxxviii]
Ini bukan
sekedar kata-kata—Guggenheim menunjukkan contoh korupsi di Sumatera Utara, yang
daripada (diberikan kesempatan untuk) ‘lain kali lebih baik’, kabupaten
tersebut justru digugurkan dari proyek.[lxxix]
Persyaratan neoliberal, kemudian, telah bergerak turun dari tingkat nasional ke
lokal.[lxxx]
Namun, terlepas dari pemantauan dan pengawasan terhadap aspek-aspek PPK, dari
sudut pandang beberapa penduduk desa, korupsi dapat dipastikan masih menjadi masalah
di dalam PPK dan fasilitator disorot sebagai pelaku potensial di tingkat desa.[lxxxi]
Mereka mengatakan, dibandingkan dengan proyek lainnya, proyek ini tampaknya
memiliki reputasi yang jauh lebih baik dalam hal tingkat korupsi.[lxxxii]
Namun masalah yang jelas di sini adalah apakah gaya intervensi pemerintahan
neoliberal di tingkat lokal, digabungkan dengan perluasan pasar, harus menjadi
salah satu dorongan utama untuk mengatasi kemiskinan. Selain itu, pertanyaan
yang tersisa seperti sejauh mana kemungkinan menciptakan dan mempertahankan perubahan
signifikan dalam tata pemerintahan dalam lingkungan yang ekonomi dan politiknya
sangat asimetri (terutama sekali setelah pembiayaan program-program seperti PPK
berakhir dan meninggalkan utang). Terkait inti pertanyaan keberlanjutan
reformasi dan PPK, Guggenheim mengakui bahwa pencapaian proyek PPK dapat
dijungkirbalikkan (can
be overturned).[lxxxiii]
Di luar
isu korupsi, namun masih terkait dengan itu dalam beberapa cara, PPK berupaya mendukung
pemerintahan dalam hubungannya dengan areal SIN penting lainnya—desentralisasi,
di mana Bank Dunia telah mendukungnya selama beberapa waktu.[lxxxiv]
Hadiz, seperti halnya Harriss, telah mencatat hubungan antara desentralisasi
dan jenis “pembangunan sosial” yang terkait PPK,
Secara signifikan, ‘desentralisasi’,
bersama dengan ‘masyarakat sipil’, ‘modal sosial’ dan ‘tata pemerintahan yang
baik’, telah menjadi suatu bagian integral dari istilah neo-institusionalis kontemporer,
terutama untuk aspek-aspek yang dimaksudkan dapat menarik perhatian lebih besar
pada pembangunan ‘sosial’.[lxxxv]
Fokus
kewarganegaraan PPK merupakan hal penting—khususnya unsur-unsurnya yang berusaha
menanamkan norma-norma perilaku tertentu dan tuntutan untuk membantu mengisi kekosongan
kelembagaan yang ditinggalkan oleh perginya Orde Baru yang sentralistik itu. Ketika
ditanya tentang potensi PPK untuk mempengaruhi kewarganegaraan dan kemungkinan selanjutnya
dalam perubahan politik di tingkat yang lebih tinggi, Guggenheim sangat ingin mengungkapkan
bahwa inilah maksud sebenarnya dari proyek tersebut:
Yah, semacam itulah gagasan di
belakangnya, kan [mempengaruhi jenis kewarganegaraan dan memfasilitasi
perubahan politik]? Bukannya [proyek ini] bisa mencapai perubahan tsb.
sendirian, tetapi di negara pertanian besar, model reformasi politik standar bersifat
sangat top-down:
Anda memiliki konstitusi, kemudian Anda memiliki parlemen, kemudian mereka
mulai menetapkan serangkaian peraturan, akhirnya mereka sampai di provinsi dan
kemudian di suatu tempat di sana, mereka menghantam desa-desa …. Di … Timor
Timur, Indonesia, dan Afghanistan, saya pikir sama sekali tidak ada pertanyaan
bahwa model bottom-up
sudah mempengaruhi politik nasional.[lxxxvi]
Memang,
salah satu peran kunci PPK adalah memperkuat pemerintah daerah dan lembaga masyarakat
untuk mendukung perbaikan pemerintahan Indonesia pasca-Orde Baru. Di sini,
partisipasi dan pemberdayaan—dua sifat penting PPK dan SIN yang lebih
umum—dimaksudkan untuk memainkan peran yang menentukan. Partisipasi di sini
berarti melebihi apa yang dilakukannya pada sebagian besar proyek-proyek Bank
Dunia. PPK sangat partisipatif dan inklusif. Namun paragraf berikut ini terkait
pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam PPK tampaknya membawa kita
kembali dengan cepat ke gagasan neoliberal yang terkenal menyangkut
pemerintahan yang berasosiasi dengan Bank:
Dalam hal keuntungan program,
penduduk desa mengatakan mereka mendapatkan akses yang lebih besar terhadap
pasar, sekolah, fasilitas kesehatan, ketersediaan sanitasi yang bersih, dan
kesempatan ekonomi lainnya. Ada juga bukti peningkatan perbaikan tata
pemerintahan lokal dan praktik pemberdayaan masyarakat di banyak daerah PPK.
PPK memberikan efek berganda pada pendekatan pembangunan di tingkat masyarakat.
Sebagai contoh, desa menyelenggarakan pemerintah daerah lebih akuntabel dan
menuntut transparansi yang lebih besar dalam program lain yang disponsori
pemerintah. Penduduk desa memindahkan prosedur PPK dan keterampilan manajemen
keuangan untuk proyek-proyek pembangunan lainnya. Semua perubahan ini
mensinyalkan kemajuan bertahap dalam pemberdayaan masyarakat dan pening katan
minat dan peran pemerintah daerah dalam menjawab kebutuhan masyarakat.[lxxxvii]
Tentu
saja, perbaikan pendidikan, fasilitas kesehatan, dan sanitasi adalah hal yang
sangat diinginkan, seperti infrastruktur lainnya yang lebih murah dengan
kualitas layak. Tapi tak satu pun darinya hadir secara gratis dalam program PPK,
sehingga pertanyaan yang tertinggal adalah apakah program fokus-mikro yang
mahal dengan tujuan makro dapat menghasilkan perbaikan jangka panjang, yang
berarti bahwa unsur-unsur ini lebih dari sekadar hal-hal yang tidak
berkelanjutan. Pertanyaan juga masih tersisa menyangkut
keberlanjutan program perbaikan kelembagaan dan juga tekanan pengaruhnya. Sebagai
contoh, masalah yang terus bergelayut terkait penangkapan elit dan penyuapan diakui
terjadi di dalam PPK.[lxxxviii]
Lebih jauh lagi, orang-orang seperti Vedi Hadiz, telah memberikan gambaran
suram tentang desentralisasi secara lebih luas, menimbulkan pertanyaan menyangkut
kapasitas PPK dalam memberikan dampak terhadap hubungan sosial tertentu ke
dalam kejelasan yang tajam:
Desentralisasi dan demokratisasi di
Indonesia telah ditandai dengan muncul dan menyebar luasnya pola-pola baru,
termasuk desentralisasi korupsi, didominasi oleh pejabat-pejabat pemangsa
lokal, berkembangnya politik uang dan konsolidasi para bandit politik. Dalam konteks
Indonesia, pertanyaan utama yang harus ditanyakan, karena itu, adalah siapa yang
paling diuntungkan dari desentralisasi dan sistem demokrasi jenis ini? Tidaklah
sulit mengidentifikasi penerima manfaatnya. Pada umumnya, mereka adalah
individu dan kelompok yang sebelumnya berfungsi sebagai operator-operator lokal
dan para birokrat sisa Orde Baru—dari yang kecil sampai ukuran menengah, namun
secara politik adalah para koneksi
bisnis yang berambisi besar, juga sederetan mantan antek dan penegak rezim.[lxxxix]
Jadi, di
saat PPK memiliki ambisi besar di bidang tata pemerintahan, ia juga menghadapi rintangan
berat, variasi dari rintangan-rintangan yang dihadapi oleh setiap proyek
lembaga pembangunan neoliberal.
Kesimpulan
Artikel
ini telah menegaskan argument bahwa untuk memahami PWC harus dilihat dari luar
konteksnya. Secara khusus, posisi ini berpendapat bahwa salah satu perbedaan
paling penting antara konsensus Washington dengan PWC terkait dengan reformasi
cara penyalurannya. Kasus PPK menunjukkan pentingnya memahami pergeseran ini.
PPK merupakan proyek pembangunan neoliberal yang berbeda tapi tetap
saja proyek neoliberal, dan banyak hal dari apa yang berbeda dari program ini
berasal dari pendekatannya untuk memperluas, dari “bawah ke atas”, institusi
dan infrastruktur pasar liberal.
Ini adalah
upaya sangat politis untuk membangun dan mereformasi lembaga-lembaga demi pasar
di seputar pemerintah, sementara mengabaikan poros penyebab struktural penting atas
ketidaksetaraan dan kemiskinan, menggemakan banyak keprihatinan yang sudah diisyaratkan
oleh Ferguson dalam karyanya tentang Lesotho dan “mesin antipolitik”— sebuah
mesin yang mahir dalam “mendepolitisasi
segala
sesuatu yang ia sentuh, dimana-mana menghapus realitas politik dari pandangan, sambil
menjalankan, hampir tidak terasa, operasi politiknya sendiri dengan
sungguhsungguh” (Ferguson, 1990:xv). Isu-isu tata pemerintahan yang dipilih
dalam PPK sebagai fokus utama reformasi, menggunakan dana dari proyek-proyek
tertentu sebagai daya tarik yang menggantung di hadapan masyarakat miskin dalam
upaya untuk mengabadikan norma-norma neoliberal seperti kompetisi,
transparansi, dan akuntabilitas. Kalau pendekatan proyek seperti ini dianggap
sejalan dengan struktur pendanaan program berbasiskan utang, PPK menampilkan
kesetiaannya pada paradigma dominan yang telah begitu signifikan menentukan
bentuknya. Ini mungkin menjelaskan kenapa PPK (dan “proyek saudaranya”, seperti
program KALAHI-CIDDS di Filipina), meskipun menjadi proyek-proyek pembangunan sosial,
telah diterima di dalam ortodoksi pembangunan.
Program-program
sosial baru yang berkembang dalam PWC pantas terus menerus mendapat perhatian
kritis, terutama mengingat potensi mereka untuk menjadi norma dibanding hal
“lainnya” di dalam SIN. Dalam hal ini, fokus perdesaan PPK, bersama dengan
target proyek “adik” perkotaannya, yakni Proyek Kemiskinan Perkotaan, kini
telah menjadi dasar bagi program nasional pengembangan masyarakat di Indonesia
yang bertujuan menghapuskan kemiskinan— suatu program yang akan menuntut pemerintah
daerah untuk jatuh pada isu-isu seperti kesehatan, pendidikan, dan masalah-masalah
pertanian. Selanjutnya, PPK terutama (walaupun tidak seluruhnya) populer di
berbagai tingkatan dalam masyarakat Indonesia, dan para pendukungnya bisa
membuat klaim besar terkait relatif rendahnya tingkat korupsinya dan muramnya
penyediaan infrastruktur serta elemen lainnya—hal-hal yang pasti suka
didengarkan oleh mereka-mereka yang bekerja di institusi-institusi mapan sektor
pembangunan.
Sementara
untuk menilai dengan konkret kemampuan PPK untuk membebaskan orang miskin dari
belenggu kemiskinan masih agak lama, kerangka kerja yang melandasi bentuknya sekarangpun
sudah jelas dan jelas pula berasal dari bangunan SIN. Kerangka kerja ini
dirancang untuk mengurangi kemiskinan, tetapi dengan prasyarat yang
diidentifikasi oleh Cammack, seperti kerja Bank Dunia pada umumnya, yaitu bahwa
program harus “bersyarat pada dan sekunder bagi” suatu usaha perpanjangan
hubungan-hubungan sosial kapitalis serta membuat kelembagaan yang dianggap
diperlukan untuk itu. Meski banyak kehebohan mengelilingi proyek seperti PPK
dan pembangunan berbasis komunitis secara lebih umum. Tetapi pertanyaan-pertanyaan
yang menggantung tentang apa yang ditangani dan tidak ditanganinya, tanpa juga
melupakan struktur pendanaan program (berbasiskan utang), menunjukkan bahwa ada
alasan yang tepat untuk berpikir bahwa solusi kemiskinan justru akan ditemukan di
lain tempat.•
*Saya mengucapkan terima kasih
kepada Garry Rodan, Kasnishka Jayasuriya, Teresita del Rosario, Shahar Hameiri
dan dua orang pengulas yang tidak ingin disebut namanya atas komentar mereka
terhadap versi awal artikel ini. Setiap kekeliruan dan kesalahan tentu menjadi
tanggung jawab penulis. Penggunaan istilah “Kuda Troya” di sini adalah plesetan terhadap
pengamatan John Harriss tentang cara bagaimana beberapa praktisi pembangunan
mencoba menggunakan konsep modal sosial untuk mengubah agenda pembangunan
neoliberal dari dalam.
[i] Lihat, misalnya, Ben Fine, “Neither the Washington Consensus nor
the Post-Washington Consensus”, dalam Ben Fine, Costas Lapavitsas dan Jonathan
R Pincus (eds.), Development
Policy in the 21th Century: Beyond the post-Washington Consensus (London dan New York:
Routledge, 2003), hal. 1-27; Ben Fine dan P Rose, “Education and the
Post-Washington Consensus’, dalam Ben Fine, Costas Lapavitsas dan Jonathan R
Pincus (eds), Development
Policy in the 21th Century: Beyond the post-Washington Consensus (London dan New York:
Routledge, 2003), hal. 155-181; Ben Fine, Costas Lapavitsas dan Jonathan R Pincus
(eds.), Development
Policy in the 21th Century: Beyond the post-Washington Consensus (London and New York:
Routledge, 2003); Jonathan R Pincus dan Jeffrey A Winters, “Reinventing the
World Bank”, dalam Jonathan R Pincus dan Jeffrey A Winters (eds.), Reinventing
the World Bank (Ithaca, New York: Cornell University Press, 2002), hal. 1-25;
Joseph Stiglitz, “Towards a New Paradigm for Development: Strategies, Polices
and Processes”, dalam HJ Chang (ed.), Joseph
Stiglitz and the World Bank: the Rebel Within (London: Anthem,
2001), hal 57-93; Joseph Stiglitz, “More Instruments and Better Goals: Moving
Towards a Post-Washington Consensus”, dalam in HJ Chang (ed.), Joseph Stiglitz
and the World Bank: The Rebel Within (London: Anthem Press, 2001), hal. 17-56;
Joseph Stiglitz, “Information and the Change in the Paradigm in Economics”,
Nobel Prize Lecture, Stockholm (8 December 2001); Joseph Stiglitz, “PostWashington
Consensus Consensus”, dalam Initiative for Policy Dialogue (New York: Columbia
University, 2004).
[ii] Lihat, Stiglitz, “Towards a New Paradigm …”; Stiglitz, “More
Instruments and Better Goals…”; Stiglitz, “Information and the Change …”.
[iii] Lihat, Paul Cammack, “What the World Bank Means by Poverty
Reduction and Why it Matters”, dalam New Political Economy 9 (2), 2004, hal.
189–211; Fine et
al.,
Development
Policy in the 21th Century…; Pincus dan Winters,Reinventing the….
[iv] Dalam artikel ini, istilah pasca-Konsensus Washington dan
paradigma pembangunan baru digunakan secara bergantian.
[v] Sebuah tulisan baru yang sangat baik menilai PWC dan caranya
membongkar topik tersebut adalah Porter dan Craig’s yang dopengaruhi oleh perspektif
Polanyian; lihat, D Porter dan D Craig, Development Beyond Neoliberalism:
Governance, Poverty Reduction and Political Economy (London and New York:
Routledge, 2006).
[vi] World Bank, World Development Report 2007 (Washington, DC: The
World Bank, 2006), hal. 288.
[vii] Cammack menggambarkan proses ini sebagai landasan untuk
mempersenjatai kaum miskin dalam keterlibatan mereka ke dan tunduk pada pasar
kerja kompetitif serta penciptaan suatu kerangka kerja dari dalam kelembagaan
untuk mempertahankan akumulasi kapitalis global, sementara secara bersamaan
membangun legitimasi proyek melalui partisipasi dan suatu agenda pro kaum miskin;
lihat, Cammack, “What the World Bank Means by Poverty Reduction…”, hal. 190.
[viii] Lihat, Toby Carroll, “The Politics of the World Bank’s
Socio-institutional Neoliberalism”, Disertasi PhD, Murdoch University, Perth,
Australia, 2007; Toby Carroll dan Shahar Hameiri, “Good Governance and
Security: The Limits of Australia’s New Aid Programme”, dalam Journal of
Contemporary Asia 37 (4), 2007, hal. 413.
[ix] Lihat, Douglass C North, Institutions, Institutional Change
and Economic Performance (New York: Cambridge University Press, 1990); Douglass C North,
“Economic Performance through Time”, dalam American Economic Review 84 (3), 1994, hal.
359–368.
[x] Lihat, John Williamson, “What Washington Means by Policy Reform”,
dalam John Williamson (ed.), Latin American Adjustment: How Much has Happened? (Washington, DC:
Institute for International Economics, 1990).
[xi] Lihat, Ben Fine, “The World Bank’s Speculation on Social
Capital”, dalam Jonathan R Pincus dan Jeffrey A Winters (eds.), Reinventing
the World Bank (Ithaca, New York: Cornell University Press, 2002), hal. 203-221;
Ben Fine, “The Social Capital of the World Bank”, dalam Ben Fine, Costas
Lapavitsas and Jonathan R Pincus (eds.), Development
Policy in the 21th Century: Beyond
the
post-Washington Consensus (London dan New York: Routledge, 2003), hal. 136-154; John Harriss,
Depoliticizing
Development (London:
Anthem Press, 2002).
[xii] Kanishka Jayasuriya, “Economic Constitutionalism, Liberalism and
the New Welfare Governance”, Seri Kertas Kerja Asia Research Centre (Perth:
Murdoch University, 2005), hal. 5.
[xiii] Richard Robison, “Neo-liberalism and the Market State:What is the
Ideal Shell?”, dalam Richard Robison (ed.), The
Neo-Liberal Revolution: Forging the Market State (Basingstoke dan New
York: Palgrave Macmillan, 2006), hal. 5.
[xiv] Lihat, Toby Carroll, “Attempting Illiberalism: The World Bank and
the Embedding of Neoliberal Governance in the Philippines”, dalam Richard Robison
dan Wil Hout (eds), Governance
and the Depoliticisation of Development (Abingdon: Routledge, 2009).
[xv] Cammack, “What the World Bank Means by Poverty Reduction…”, hal.
190.
[xvi] James Ferguson, The Anti-Politics Machine (Cambridge dan New
York: Cambridge University Press, 1990), hal. 18.
[xvii] Lihat, misalnya, Sebastian Mallaby, The World’s
Banker: A Story of Failed States, Financial Crises and the Wealth and Poverty
of Nations (New
York: Penguin Press, 2004), hal. 202-206.
[xviii] Lihat, TM Li, “Government through Community: The Social
Development Program of the World Bank in Indonesia”, International Law and Justice
Working Paper no. 2006/2 (New York: New York University School of Law, 2006).
[xix] TM Li, The Will to Improve (Durham, NC dan London: Duke
University Press, 2007), hal. 230-269.
[xx] Li, The Will…, hal. 232.
[xxi] Li, The Will…, hal. 238-239.
[xxii] Pada khususnya, teori konflik sosial, materialism baru dan
beberapa pendekatan Gramscian.
[xxiii] Ministry of Home Affairs, Community Development Agency, KDP
National Secretariat and National Management Consultants, “Kecamatan Development
Program, Phase 1: 1998–2002, Final Report” (Jakarta: Ministry of Home Affairs,
2002), hal. 8.
[xxiv] Lihat, World Bank, “Indonesia Second Kecamatan Development
Program Project Information Document”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/2001/01/18/000094946_0101170531251/Rendered/PDF/multi0page.pdf
(diakses Januari 2006); World Bank, Indonesia Project Brief, 3rd Edition
(Jakarta: The World Bank, 2003), hal. 38.
[xxv] Scott Guggenheim, Tatag Wiranto, Yogana Prasta, dan Susan Wong
“Indonesia’s Kecamatan Development Program: A Large-Scale Use of Community
Development to Reduce Poverty”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/2004/12/03/000090341_20041203153406/Rendered/
PDF/307790IND0KDP0cty0devt01see0also0307591.pdf (diakses Oktober 2005); World
Bank, “Indonesia: Kecamatan Development Project 3B”, dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/NEWS/0“contentMDK:20411876<“menuPK:34471<“pagePK:34370<“piPK:34424<“theSitePK:4607,
00.html (diakses Januari 2006).
[xxvi] Lihat, Li, “Government Through Community…”, hal. 2; World Bank,
“Indonesia’s Debt and World Bank Assistance”, dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0“content
DK:20994026<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSitePK:226309,00.html (diakses
Maret 2009).
[xxvii] Lihat, Scott Guggenheim, “Crises and Contradictions: Understanding
the Origins of a Community Development Project in Indonesia’. Culture and
Public Action”, dalam http://www.cultureandpublicaction.org/bijupdf/guggenheim.pdf
(diakses Oktober 2005), hal. 2.
[xxviii] Poin ini juga disampaikan pada saya oleh beberapa staf Bank di
dalam unit pembangunan sosial; lihat, Scott Guggenheim, “Crises and
Contradictions: Understanding the Origins of a Community Development Project in
Indonesia’. Culture and Public Action”, dalam http://www.cultureandpublication.org/bijupdf/guggenheim.pdf
(diakses Oktober 2005), hal. 4-6.
[xxix] Lihat, World Bank, “‘Indonesia Kecamatan Development Program”,
dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0“content
MDK:20026524<“menuPK:287113<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSitePK:226309,00.html
(diakses Januari 2006).
[xxx] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”,
hal 8.
[xxxi] Lihat, World Bank, “‘Indonesia Kecamatan Development Program”,
dalam http://web. worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0“contentMDK:20026524<“menuPK:287113<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSitePK:226309,00.html
(diakses Januari 2006).
[xxxii] Lihat, World Bank, “‘Indonesia Kecamatan Development Program”,
dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0“contentMDK:20026524<“menuPK:287113<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSitePK:226309,00.html
(diakses Januari 2006).
[xxxiii] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”,
hal. 8.
[xxxiv] World Bank, Kecamatan Development Program 2 Operational Manual (Jakarta: The World
Bank, 2004), hal. 16.
[xxxv] World Bank, Kecamatan Development Program 2 Operational…, hal. 16.
[xxxvi] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”,
hal. 7.
[xxxvii] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”,
hal. 7.
[xxxviii] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”,
hal. 7.
[xxxix] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”,
hal. 7.
[xl] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”,
hal. 7.
[xli] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”,
hal. 9.
[xlii] Dalam suatu wawancara dengan seorang pejabat Departemen Dalam
Negeri, yang sangat positif terhadap PPK, elemen kompetitif digunakan sebagai
salah satu prinsip utama PPK (bersama dengan transparansi, desentralisasi,
berpihak pada orang miskin, dan berkelanjutan); wawancara dengan staf
Kementerian Dalam Negeri, 2005.
[xliii] Ketika saya tanyakan pada mereka apa yang bagus dari proyek itu,
orang-orang menyatakan bahwa keterlibatan komunitas merupakan hal positif
sehingga, berdasarkan kenyataan kurangnya dana di daerah tersebut, bentuk
bantuan apapun dari pemerintah atau Bank Dunia secara umum akan disambut baik;
pertemuan di Jawa Barat, 2005.
[xliv] Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005.
[xlv] Wawancara dengan Victor Bottini, 2005.
[xlvi] Wawancara dengan Victor Bottini, 2005; wawancara dengan Tatag
Wiranto, 2005; wawancara dengan Richard Gnagey dan Prabowo Ekasusanto, 2005.
[xlvii] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”,
hal. 9.
[xlviii] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”,
hal. 9.
[xlix] Peran Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional)
digantikan oleh “badan perencanaan dan pembangunan daerah; lihat, Guggenheim et al., “Indonesia’s
Kecamatan Development Program…”, hal. 9.
[l] World Bank, World Development Report 2007, hal. 288, 290.
[li] Lihat, World Bank, “Indonesia’s Debt and World Bank Assistance”,
dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EAST
ASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0“contentMDK:20994026<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSitePK:226309,00.html
(diakses Maret 2009).
[lii] Dana Bank, dalam US$, dalam anggaran PPK I, II dan III adalah
sebagai berikut (akurat hingga November 2003): PPK I, $ 275 juta; PPK II, $ 320,2
juta; PPK III, $ 249,8 juta; lihat, Guggenheim, et al., “Indonesia’s Kecamatan
Development Program…”, hal. 25. Dalam informasi proyek terbaru untuk PPK III,
jumlah yang didanai Bank dinayatakan sebesar US$ 246.4 juta; lihat, World Bank,
“Updated Project Information Document, Indonesia: Third Kecamatan Development Project”,
dalam http://www-wds. worldbank.org/servlet/WDSCon-tentServer/WDSP/IB/2005/07/13/000090341_20050713092136/Rendered/PDF/329420PID1079156.pdf
(diakses Januari 2006), hal. 17.
[liii] Wawancara dengan Gunawan Sumodiningrat, 2005; wawancara dengan
Rahadi Wiratama, 2005.
[liv] Lihat, World Bank, “Indonesia’s Debt and World Bank Assistance”,
dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0“contentMDK:20994026<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSitePK:226309,00.html
(diakses Maret 2009); World Bank, “Indonesia: Kecamatan Development Program:
Supplemental Credit”, dalam http://www-ds.worldbank.org/external/default/main?pagePK=64193027
& piPK=64187937 & the SitePK=523679 & menu PK= 64187510 &
search Menu PK=64187283&siteName=WDS&entity ID=000094946_00111505394221
(diakses Januari 2006); World Bank, “Indonesia Second Kecamatan Development Program
Project Information Document”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/2001/01/18/000094946_0101170531251/Rendered/PDF/multi0page.pdf
(diakses Januari 2006); World Bank, “Indonesia: Kecamatan Development Project
II (KDP II)”, dalam http://web.worldbank.
org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/
INDONESIAEXTN/0“content MDK:20026607<“menuPK:287113<“
pagePK:141137<“piPK:141127<“
the Site PK:226309,00.html (diakses Januari 2006); World Bank, “Indonesia:
Third Kecamatan Development Project”, dalam http://web.worldbank.
org/WBSITE/EXTERNAL/NEWS/0“contentMDK:20117081<“menu PK:34471<“pagePK: 40651<“piPK:40653<“theSitePK:4607,00.html
(diakses Januari 2006); World Bank, “Indonesia: Kecamatan Development Project
3B”, dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/NEWS/0“contentMDK:20411876<“menu
PK:34471<“pagePK:34370<“piPK:34424<“theSitePK:4607,00.html (diakses
Januari 2006).
[lv] Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005.
[lvi] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”,
hal. 9.
[lvii] Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”,
hal. 12.
[lviii] Guggenheim mencatat bahwa ia melihat proyek tersebut sebagai
suatu contoh yang memungkinkan penerapan tujuan progresif di dalam paradigma
neoliberal; wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005.
[lix] “Orde Baru” adalah istilah yang diberikan untuk tiga dekade
pemerintahan Presiden Suharto.
[lx] Li, “Government through Community…”, hal. 9.
[lxi] Wawancara dengan salah seorang staf Bank Dunia, 2005.
[lxii] Guggenheim, “Crises and Contradiction…”, hal. 21.
[lxiii] Li, “Government through Community…”, hal. 14.
[lxiv] World Bank, “Updated Project Information Document, Indonesia:
Third Kecamatan Development Project”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentSer
ver/WDSP/IB/2005/07/13/000090341_2005071 3092136/ Rendered/
PDF/329420PID1P079156.
pdf (diakses Januari 2006), hal. 1.
[lxv] Lihat, World Bank, “Updated Project Information Document,
Indonesia: Third Kecamatan Development Project”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/2005/07/13/000090341_20050713092136/
Rendered/PDF/329420PID1P079156.pdf (diakses Januari 2006).
[lxvi] Li, “Government through Community…”, hal. 9.
[lxvii] Anthony Bebbington, Scott Guggenheim, dan Michael Woolcock, “The
Ideas–Practice Nexus in International Development Organizations: Social Capital
at the World Bank”, dalam Anthony Bebbington, Michael Woolcock, Scott
Guggenheim, dan Elizabeth Olson (eds.), The Search
for Empowerment — Social Capital as Idea and Practice at the World Bank (Bloomfield, CT:
Kumarian,
2006), hal. 1-27; Guggenheim, “Crises and Contradiction…”, hal. 17.
[lxviii] Guggenheim, “Crises and Contradiction…”, hal. 18.
[lxix] Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005.
[lxx] Harriss, Depoliticizing…, hal. 81.
[lxxi] Harriss, Depoliticizing…, hal. 78-79.
[lxxii] Dalam dokumen informasi proyek terbaru untuk PPK III, bahasa
informasi pendekatan teoritik terhadap NIE dibuktikan dalam salah satu areal pemerintahan
yang hendak ditangani oleh PPK; lihat, World Bank, “Updated Project Information
Document, Indonesia: Third Kecamatan Development Project”, dalam
http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/
IB/2005/07/13/000090341_20050713092136/Rendered/PDF/329420PID1P079156.pdf
(diakses Januari 2006), hal. 1.
[lxxiii] World Bank, “Updated Project Information Document, Indonesia:
Third Kecamatan Development Project”, dalam http://www-wds.worldbank.org
/servlet/WDSContentSer ver/WDSP/IB/2005/07/13/000090341_200 50713092136/
Rendered/
PDF/329420PID1
P079156. pdf (diakses Januari 2006), hal. 20-21.
[lxxiv] Wawancara dengan Rahadi Teguh Wiratama, 2005. Rahadi Wiratama
dari LP3ES, suatu LSM berbasis Jakarta yang merupakan rekanan PPK, menganggap
pemantauan media ini sebagai hal penting. Wiratama menyarankan bahwa sistem ini
sukses dan unik, meskipun dia merasa tidak cukup banyak jurnalis melakukan
pekerjaan itu; lihat juga, Guggenheim, “Crises and Contradiction…”.
[lxxv] World Bank, “Updated Project Information Document, Indonesia:
Third Kecamatan Development Project”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/2005/07/13/000090341_20050713092136/
Rendered/
PDF/329420PID1P079156.
pdf (diakses Januari 2006), hal. 20.
[lxxvi] Transparansi Internasional menempatkan Indonesia pada posisi 137
(dari 158 negeri) atas indeks persepsi korupsinya di tahun 2005; lihat,
Transparency International, “Corruption Perception Index 2005”, dalam
http://www.transparency.org/policy_and_research/surveys_indices/cpi/2005
(diakses Januari 2006).
[lxxvii] Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005.
[lxxviii] Scott Guggenheim, “B-Span Video Presentation”, Disajikan pada
Konferensi Scaling
up Poverty Reduction: A Global Learning Process, Shanghai, 25–27 Mei
2004.
[lxxix] Guggenheim, “B-Span Video…”.
[lxxx] Li, “Government through Community…”, hal. 11.
[lxxxi] Pertemuan di Jawa Barat, 2005.
[lxxxii] Wawancara dengan Tatag Wiranto, 2005; pertemuan di Jawa Barat,
2005.
[lxxxiii] Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005.
[lxxxiv] Vedi R Hadiz, “Decentralization and Democracy in Indonesia: A
Critique of Neoinstitutionalist Perspectives”, dalam Development
and Change 35
(4), 2004, hal. 706.
[lxxxv] Hadiz, “Decentralization and Democracy in Indonesia…”, hal. 700.
[lxxxvi] Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005.
[lxxxvii] Ministry of Home Affairs, Community Development Agency, KDP
National Secretariat and National Management Consultants, “Kecamatan Development
Program, Phase 1: 1998–2002, Final Report” (Jakarta: Ministry of Home Affairs,
2002), hal. 10.
[lxxxviii] Larry Chavis, “Decentralizing Development”, Kertas Kerja (Chapel
Hill, NC: University of North Carolina Chapel Hill, 2006), hal. 10.
[lxxxix] Hadiz, “Decentralization and Democracy in Indonesia…”, hal. 711.