“Sarah Palin dan Hebohnya Memilih Capres dan Cawapres di Indonesia”
Candra Kusuma
Jelang Pemilu
di Amerika Serikat tahun 2008, Partai Republik sibuk menggodog nama-nama
Cawapres yang akan mendampingi Capres hasil Konvensi Partai Republik, John McCain.
Sang Capres sendiri sudah sejak awal mengadang-gadang kawan lamanya yaitu Senator
Demokrat dari Connecticut Joe Lieberman sebagai Cawapresnya. Lieberman sendiri menyebut dirinya sebagai Independent Democrat, karena dalam banyak hal dia merasa banyak kesamaan gagasan dengan kalangan Republik. Lieberman adalah seorang Demokrat yang paling hawkish di Senat AS (Heilemann dan Halperin, 2010:285). Namun, tim pemenangan Pemilu di Partai Republik mengganggap Lieberman punya kelemahan, yaitu sikap politiknya
yang pro-choice dikhawatirkan
justru akan menjauhkan para pemilih tradisional Republik. Selain itu, Partai
Republik juga merasa agak keteteran dalam hal pengumpulan dana kampanye dari
publik. Maklum saja, lawan mereka dari Partai Demokrat kala itu adalah sang rising star yaitu Barack Obama, yang
didampingi oleh veteran politik Joe Biden sebagai Cawapres.
Para penasehat
inti dari tim kampanye McCain kemudian memandang perlunya Republik memiliki
Cawapres yang dapat membalik keadaan dan merubah irama kompetisi. Pilihan
kemudian jatuh pada Sarah Palin, yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur
Alaska (2006), dan pernah menjadi Walikota Wasilla (dua periode, 1996 dan
1999). Palin terpilih sebagai perempuan kedua yang menjadi Cawapres di AS, dan
yang pertama dari Partai Republik.
Sebagai sarjana
jurnalistik dari Universitas Idaho dan mantan Miss Wasilla Beauty Peagant,
Palin memiliki kemampuan yang luar biasa ketika ketika tampil di depan publik. Meskipun
banyak media mencitrakannya sebagai “perempuan cantik yang tidak memiliki
pengetahuan dan pengalaman politik yang memadai” , akibat blunder yang ditimbulkannya pada saat wawancara langsung dengan
sejumlah media. Pada akhirnya pasangan McCain dan Palin memang gagal menjadi
Presiden dan Wapres AS 2008-2012. Namun kehadiran Palin kemudian dipandang
cukup berhasil memberi nuansa baru bagi Partai Republik dan Pemilu di AS secara
umum. Bahwa perempuan, masih muda (kala itu berusia 44 tahun), hanya politisi
lokal, bukan lulusan universitas utama, punya lima anak dan juga seorang
pengusaha, juga dapat tampil secara cukup memadai sebagai seorang politisi
tangguh di tingkat nasional.
Itulah inti cerita
dari film berjudul “Game Change” yang
diproduksi tahun 2012. Saya sendiri baru dapat menontonnya pada tahun 2013
lalu. Film ini dibintangi oleh artis cantik Julianne More sebagai Palin (diantaranya
pernah membintangi film Hannibal dan Hunger Games), Woody Harrelson sebagai ahli strategi kampanye Steve Schmidt,
dan Ed Harris sebagai Capres Partai Republik John McCain. Film ini diangkat
dari buku berjudul “Game Change: Obama
and the Clintons, McCain and Palin, and the Race of a Lifetime” yang
ditulis oleh John Heilemann and Mark Halperin (2010). Buku ini, bersama buku “Sarah
Palin: A Biography” karya Carolyn Kraemer Cooper (2011), baru
saja sempat saya baca kembali sepintas minggu ini.
Hebohnya memilih Capres dan Cawapres dalam
Pemilu 2014 di Indonesia
Saya bukan ahli
politik, apalagi perbandingan sistem politik. Tetapi sebagai rakyat, saya
merasa bahwa pada Pemilu 2014, Indonesia jauh lebih heboh dibandingkan Amerika
Serikat, dalam hal memilih Cawapres dalam Pemilunya masing-masing. Dari dua
atau tiga kubu politik yang kemungkinan akan bertarung dalam Pilpres nanti,
sampai saat ini (17 Mei 2014), belum ada satu pasanganpun yang sudah jelas dan
pasti siapa Cawapresnya, sementara batas akhir pengajuan nama Capres dan
Cawapres ke KPU adalah tanggal 20 Mei 2014. Akibat tidak ada satupun partai
yang memperoleh 25 persen suara sah dalam Pemilu
Legislatif atau memperoleh paling sedikit 20 persen kursi DPR, partai politik dengan suara terbanyakpun harus mencari
dukungan suara dari partai-partai lainnya. Repotnya, partai-partai “koalisi”
tersebut saling berebut mengajukan nama Cawapres dari partainya sendiri, dan
cenderung merajuk bahkan mengancam keluar dari “koalisi” jika mereka tidak
dilibatkan penuh dalam menentukan Cawapres tersebut.
Sebagai
sama-sama penganut presidential system,
tampaknya Amerika Serikat jauh lebih simple
dalam urusan memilih Capres dan Presiden. Sistem Dua Partai di sana membuat
urusan memilih Capres dilakukan dengan konvensi di internal partai, untuk
selanjutnya Capres terpilih tersebut dapat memilih siapa Cawapres yang akan
mendampinginya. Dalam film “Game Change”
tadi, digambarkan bagaimana setelah McCain menyetujui nama Sarah Palin yang
diajukan oleh tim suksesnya untuk menjadi Cawapres, maka McCain sendiri yang kemudian
langsung menelepon Palin di Alaska, dan malam itu juga Palin langsung terbang menemui
McCain di markas kampanyenya.
Jadi apa mau
dikata, di Indonesia semua hal bisa diatur, disesuaikan dan dicocok-cocokkan. Meskipun
menganut presidential system, di
Indonesia berlaku juga sistem multi partai yang menurut banyak ahli
sesungguhnya lebih cocok digunakan dalam sistem partementer. Bahkan sejak
sepuluh tahun lalu, mulai dikenal adanya istilah “koalisi partai” dan “partai
oposisi”, yang juga tidak dikenal dalam sistem presidensial. Akibatnya, bangsa
kita sibuk menjadikan Pemilu sebagai ritual berkala untuk memilih orang saja,
dan bukan sibuk mendebatkan apa gagasan yang ditawarkan untuk membangun bangsa
ini.
-----------------------------------
Referensi:
· John Heilemann and Mark Halperin. Game Change: Obama and the Clintons, McCain
and Palin, and the Race of a Lifetime. HarperCollins. 2010.
· Carolyn Kraemer
Cooper. Sarah Palin: A
Biography. Greenwood Biographies. 2011.