Tulisan ini disarikan dari buku karya Subhabrata Bobby Banerjee yang berjudul Corporate Social
Responsibility: The Good, the Bad and the Ugly, khususnya pada bagian "Corporate social
responsibility: theoretical perspectives" (Pp.15-22)
Menurut Subhabrata Bobby Banerjee, pada masa sekarang korporasi atau perusahaan umum didefinisikan sebagai 'hubungan kontrak' antara
aktor-aktor rasional yang bertujuan memaksimalkan kekayaan. Fokusnya adalah
pada mengidentifikasi lembaga, pasar dan struktur pemerintahan yang dapat
menyelaraskan insentif atau kepentingan manajer dengan pemegang saham (Yingyi
dan Weingast, 1997). Munculnya tanggung jawab sosial perusahaan pada
pertengahan abad kedua puluh dapat dilihat sebagai upaya untuk berbuat baik (doing good to do good).
Namun, upaya ini tidak berarti diterima secara universal.
Beberapa kritikus melihat CSR sebagai 'gerakan ideologis' yang bertujuan untuk
melegitimasi kekuasaan perusahaan multinasional (Mitchell, 1989). Lainnya
melihat aktivitas CSR sebagai 'pencurian' oleh kelompok pemangku kepentingan
utama (key stakeholder) perusahaan, yaitu para pemegang saham, pelanggan dan
karyawan (Friedman, 1962).
Banerjee berpendapat bahwa ambiguitas mengenai konsep CSR
juga muncul banyak terminologi yang terkait dengan konsep tersebut, dan cukup membingungkan,
diantaranya: corporate citizenship,
etika perusahaan, tanggung jawab sosial perusahaan, filantropi perusahaan,
pemasaran sosial, pemasaran sosial dan keterlibatan perusahaan-komunitas, dll..
Di bagian ini Banerjee memberi contoh beberapa definisi
populer CSR, diantaranya:
- Perhatian dan respon perusahaan terhadap isu untuk dapat mencapai manfaat sosial bersama: “The firm’s consideration of, and response to, issues beyond the narrow economic, technical and legal requirements of the firm to accomplish social benefits along with the traditional economic gains which the firm seeks” (Davis, 1973: 312);
- Anggapan bahwa masyarakat --sampai tingkat tertentu-- juga dapat dianggap sebagai pemilik organisasi: “Encompassing the economic, legal, ethical and discretionary expectations that society has of organizations at a given point in time” (Carroll, 1979: 500);
- Tindakan yang berkenaan dengan kebaikan sosial di luar kepentingan perusahaan dan apa yang dituntut oleh hukum: “Actions that appear to further some social good beyond the interests of the firm and that which is required by law” (McWilliams and Siegel, 2001: 117);
- Cara sebuah organisasi melampauai kewajiban minimumnya: “The ways in which an organization exceeds the minimum obligations to stakeholders specified through regulation and corporate governance” (Johnson and Scholes, 2002:247);
- Harapan masyarakat terhadap perilaku perusahaan: “Societal expectations of corporate behavior: a behavior that is alleged by a stakeholder to be expected by society or morally required and is therefore justifiably demanded of a business” (Whetten et al., 2002: 374);
- Komitmen perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat: “A commitment to improve community well being through discretionary business practices and contribution of corporate resources” (Kotler and Lee, 2005: 3);
- Komitmen bisnis untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan bagi kepentingan perusahaan, karyawan dan keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup mereka: “The commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees, their families, the local community and society at large to improve their quality of life” (World Business Council, 2005);
- Perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan mereka secara sukarela: “A concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interactions with their stakeholders on a voluntary basis” (European Commission, 2005).
Banerjee kemudian menyimpulkan beberapa tema kunci dari
definisi CSR tersebut, yakni:
- CSR menyiratkan semacam komitmen, melalui kebijakan dan tindakan perusahaan. Perspektif operasional CSR ini tercermin dalam kinerja sosial perusahaan, yang dapat dinilai dengan bagaimana suatu perusahaan mengelola hubungan sosial, dampak sosial dan hasil dari kebijakan dan tindakan CSR mereka (Wood, 1991). Pelaporan sosial dan audit sosial adalah contoh bagaimana perusahaan dapat menilai kinerja sosial mereka. The Body Shop adalah contoh dari sebuah perusahaan dengan profil CSR tinggi meskipun kekhawatiran tentang kebenaran dari beberapa praktik tanggung jawab sosial perusahaan (Entine, 1995);
- Menurut definisi ini kegiatan CSR harus tidak sebatas melaksanakan kewajiban hukum dan dapat melampaui 'kewajiban minimum' yang harus dipenuhi perusahaan. Karenanya, sebuah perusahaan yang memenuhi persyaratan hukum lingkungan dalam hal emisi misalnya, belum tentu juga merupakan sebuah perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial, karena hal tersebut semata hanya mematuhi aturan hukum semata. Namun jika perusahaan itu dapat memberikan kontribusi atas sumber daya perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti menyediakan penitipan anak gratis bagi karyawan atau menurunkan emisi di luar persyaratan hukum, maka tindakan ini dapat disebut bertanggung jawab secara sosial;
- Kegiatan CSR adalah bersifat diskresi dan tidak dapat dipaksakan oleh pengadilan hukum. Diskresi dimaksud dapat dimaknai sebagai kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri dalam situasi yg dihadapi, di mana aturan hukum yang ada tidak mengaturnya secara ketat, tidak lengkap atau tidak jelas. Perusahaan yang melaksanakan CSR melakukannya secara sukarela mengikuti kode etik di tingkat lokal, regional, nasional dan internasional, namun hal tersebut tidak mengikat secara hukum dengan cara apapun. Dan akhirnya, konseptualisasi 'masyarakat' dan 'sosial', yang menjadi inti dari konsep CSR di tahun 1970-an tampaknya telah menyempit menjadi hanya 'stakeholder' saja, dengan asumsi bahwa para pemangku kepentingan akan mewakili kepentingan masyarakat, dan ada harapan bahwa perusahaan akan menanggapi kepentingan tersebut.
Sejumlah model, kategori dan taksonomi telah dikembangkan
dalam upaya untuk mendefinisikan CSR, diantaranya oleh Carroll (1979). Dia
menggambarkan tiga elemen yang merupakan model kinerja sosial perusahaan yaitu:
(a) definisi dasar CSR; (b) berbagai bidang sosial yang perusahaan memiliki
tanggung jawab; dan (c) berbagai respon perusahaan terhadap masalah sosial.
Kategori CSR yang terkait dengan tanggung jawab ekonomi,
hukum, etika dan diskresioner dari perusahaan tersebut telah berpengaruh dalam
memahami sifat dan jenis kewajiban bahwa bisnis harus bermanfaat bagi masyarakat.
Kategori CSR didasarkan pada peran penting dalam evolusi kepentingan mereka.
Tanggung jawab sosial yang mendasar bagi setiap perusahaan bisnis dalam
kerangka kerja ini adalah berupa tanggung jawab ekonomi, yaitu “untuk
memproduksi barang dan jasa yang masyarakat inginkan dan menjualnya untuk
keuntungan.”
Tanggung jawab dan peran lain yang diharapkan dilaksanakan
oleh perusahaan sesungguhnya dibingkai dari asumsi mendasar ini, yaitu bahwa sambil
beroperasi mencari keuntungan, perusahaan diharapkan untuk mengikuti semua
hukum yang diperlukan, dan mereka diharapkan untuk berperilaku etis di area
yang tidak atau belum diatur oleh hukum. Sementara tanggung jawab ekonomi dan
hukum pada umumnya dianggap yang jelas, namun untuk tanggung jawab etis dan
diskresi umumnya tidak didefinisikan dengan baik, dan opini tentang kesesuaian
dua tanggung jawab yang terakhir tadi sangat beragam, mulai dari anggapan CSR
sebagai tindakan 'subversif' (dalam istilah Milton Friedman), sampai pada
pemenuhan atas permintaan dari corporate
citizen.
Carroll juga berusaha untuk mengklasifikasikan berbagai
masalah sosial yang harus coba diatasi oleh bisnis/perusahaan. Isu-isu sosial
berbeda untuk jenis perusahaan dan industri yang berbeda, dan juga dapat berubah
seiring waktu. Contoh isu-isu sosial yang muncul di berbagai tingkat perhatian
selama bertahun-tahun ini diantaranya adalah isu mengenai keamanan produk,
pelestarian lingkungan, pengembangan masyarakat, keragaman karyawan dan
kesehatan dan keselamatan kerja.
Sebuah bisnis tidak dapat diharapkan mampu mengatasi seluruh
masalah yang dihadapi masyarakat. Karenanya perusahaan perlu mengidentifikasi isu-isu
tertentu di mana tanggung jawab yang berbeda dapat memberikan dampak positif.
Tidak ada kesepakatan universal tentang isu-isu sosial apa yang perlu ditangani
oleh bisnis/perusahaan. Banyak perusahaan mulai meninggalkan atau mengurangi
model bantuan filantropi dan amal (charity),
karena meskipun dapat memberikan citra positif, namun tidak terkait langsung
dengan bisnis inti perusahaan dan kepentingan mereka untuk meraih keuntungan
ekonomi. Karenanya banyak perusahaan besar terlibat dalam isu-isu sosial namun
tetap melekatkannya dengan kepentingan ekonomi perusahaan (Carroll, 1979; Wood,
1991). Hal tersebut merupakan asumsi yang mendasari teori tanggung jawab sosial
perusahaan, dan juga merupakan pandangan dominan para praktisi CSR. Sebuah
survei dari inisiatif sosial yang dilaksanakan oleh 23 perusahaan menemukan
bahwa, sementara inisiatif yang ditargetkan untuk masyarakat, karyawan dan
pelanggan, mereka juga terkait dengan bisnis inti perusahaan (Kotler dan Lee,
2005). Beberapa inisiatif, seperti pemasaran sosial perusahaan, juga dirancang
untuk memberikan manfaat keuangan khusus untuk perusahaan. Sebagai contoh, sebuah
perusahaan asuransi mengembangkan, membiayai dan melaksanakan kampanye
keselamatan kebakaran yang komprehensif, dengan asumsi bahwa hal itu akan
meningkatkan profitabilitas melalui berkurangnya klaim asuransi akibat
kebakaran.
Selain mengidentifikasi berbagai tanggung jawab sosial dan
isu-isu sosial yang dihadapi korporasi, perusahaan harus memutuskan bagaimana
ia akan mengatasi masalah yang timbul dari tanggung jawabnya. Frederick (2006)
membedakannya menjadi dua, yaitu: (a) CSR-1
atau “tanggung jawab sosial” yang memiliki dasar normatif mengenai apa yang
harus dilakukan oleh perusahaan; dan (b) CSR-2
atau “tanggung jawab sosial perusahaan yang berkaitan dengan kapasitas
perusahaan untuk merespon tekanan sosial” yang memberikan fokus yang lebih
strategis dan manajerial mengenai masalah apa yang dipilih untuk ditangani oleh
perusahaan dan tindakan apa yang diperlukan untuk mengatasinya.
Dari uraian tadi, dapat dikatakan bahwa strategi CSR dapat
reaktif, defensif atau responsif (Sethi, 1979). Seperti dinyatakan oleh Carroll
(1979), model kinerja sosial perusahaan yang dia ajukan tidak menetapkan
seberapa jauh suatu perusahaan harus berperan dalam mengatasi masalah sosial,
tetapi dengan posisi kewajiban etis dan diskresi dapat berupa 'kerangka ekonomi
dan hukum yang rasional' yang memungkinkan manajer untuk mengembangkan
perencanaan dan mendiagnostik alat pemecahan masalah.
Perkembangan selanjutnya model Carroll juga mengidentifikasi
prinsip-prinsip CSR, proses tanggap sosial perusahaan dan hasil dari perilaku
perusahaan (Wartick dan Cochran, 1985; Wood, 1991). Prinsip CSR dapat
beroperasi pada tingkat, institusi, organisasi dan manajerial yang berbeda.
Pada tingkat kelembagaan CSR berfokus pada legitimasi bisnis di masyarakat
bersama dengan kewajiban bisnis untuk masyarakat dan bahwa masyarakat dapat menerapkan
sanksi pada bisnis yang gagal memenuhi kewajibannya.
Menurut “Hukum Besi Tanggung Jawab”' (Iron Law of Responsibility), masyarakat memberikan legitimasi dan
kekuatan pada dunia bisnis atau perusahaan, namun jika masyarakat menilai bahwa
bisnis/perusahaan tidak menggunakan kekuasaan tersebut dengan cara yang bertanggung
jawab, maka mereka akan cenderung kehilangan legitimasi dan kekuasaan itu
(Davis, 1973: 314). Namun, pandangan ini agak naif karena tidak mengakui bahwa legitimasi
sesungguhnya adalah sesuatu yang diperebutkan, dan norma-norma legitimasi
merupakan hasil dari hubungan kekuasaan. Sistem ekonomi, pemerintah dan lembaga
sering menentukan apa yang dianggap 'sah' (legitimate)
dan kekuatan tersebut tidak dapat dengan mudah hilang. Sementara pelanggan,
karyawan, pemegang saham dan pemerintah mungkin dapat “menarik legitimasi,”
memaksa perusahaan untuk mengubah pendekatan mereka. Pilihannya adalah mencoba
menjadi lebih baik, atau binasa.
Konflik yang sedang berlangsung antara masyarakat adat dan
perusahaan multinasional berkenaan dengan lahan dan sumber daya di Afrika,
Amerika Selatan dan Asia adalah contoh dari perebutan klaim legitimasi dari
pembangunan ekonomi. Sebuah tambang uranium misalnya adalah bentuk sah
pembangunan yang sesuai dengan norma-norma segmen tertentu dari masyarakat. Namun
kelompok-kelompok masyarakat lainnya kemungkinan justru melihatnya sebagai
tindakan yang tidak memiliki legitimasi jika dilihat dari perspektif budaya,
norma-norma sosial dan ekonomi mereka (Banerjee, 2000). Cara pandang Barat mengenai
'ekonomi', 'sosial' atau 'budaya' dapat sangat berbeda dengan cara pandang dan
adat masyarakat, dan dapat menjadi sumber dari banyak konflik antara masyarakat
adat, pemerintah dan perusahaan multinasional. Parameter yang digunakan dalam menentukan
apa yang dianggap sebagai sah (legitimate)
kadang-kadang ditentukan oleh sistem aturan dan pengecualian yang tidak sejalan
dengan cara pandang dan kepentingan kelompok marjinal dalam masyarakat.
Banerjee mengutip Preston dan Post (1975) serta Wood (1991)
yang menyatakan bahwa prinsip tanggung jawab publik beroperasi pada tingkat
organisasi di mana perusahaan bisnis yang “bertanggung jawab publik, untuk
hasil yang berkaitan dengan area primer dan sekunder keterlibatan mereka dengan
masyarakat”. Prinsip tanggung jawab publik dirancang untuk membuat keprihatinan
sosial yang lebih besar menjadi lebih relevan dengan menyediakan parameter
perilaku untuk organisasi berdasarkan pada isu-isu yang berkaitan dengan
kegiatan dan kepentingan perusahaan. Namun, tanggung jawab sosial juga
dipandang harus relevan dengan kepentingan organisasi (Wood, 1991) dan di
situlah letak masalahnya: yaitu ketika ini tanggung jawab 'publik' didefinisikan
dan dibingkai oleh prinsip-prinsip legitimasi yang lebih besar. Apa yang
terjadi jika prinsip-prinsip organisasi ternyata bertentangan dengan
prinsip-prinsip kelompok lain dalam masyarakat? Bagaimana seharusnya organisasi
mengelola konflik tersebut? Anehnya, literatur yang luas mengenai CSR cenderung
tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kekuasaan yang terkait dengan prinsip
kelembagaan dan organisasi dalam menangani masalah-masalah sosial.
Menurut Banerjee, pada tingkat manajerial prinsip
kebijaksanaan manajerial berfokus pada pilihan strategis, keputusan dan
tanggung jawab pribadi dari manajer dalam mencapai tujuan sosial kelembagaan
dan organisasi. Menurut Wood (1991: 698), manajer aktor moral. Dalam setiap
domain tanggung jawab sosial perusahaan, mereka diwajibkan untuk menerapkan opsi-opsi
kebijaksanaan yang tersedia, menuju hasil yang bertanggung jawab secara sosial.
"Kesalahan manajer sebagai 'aktor moral" mudah diungkapkan oleh
gagasan Foucault mengenai subyektifikasi (subjectification),
modus yang mengungkapkan bagaimana manajer menjadi subyek yang mengamankan
makna dan realitas mereka melalui identifikasi perasaan tertentu mengenai hubungan
mereka dengan perusahaan (Knights, 1992). Peran individu manajer dalam
mengakomodasi kepentingan stakeholder
adalah standar pada tingkat yang lebih tinggi, dan praktek pada tingkat ini
diatur dan diselenggarakan oleh wacana organisasi dan kelembagaan. Apakah
manajer benar-benar memiliki kebebasan sejati untuk membuat keputusan yang
bertanggung jawab secara sosial?
Beberapa penulis membedakan antara masalah 'sosial' dan
isu-isu 'stakeholder'. Diantaranya
adalah Baron (2001) yang membedakan antara “CSR altruistik” di mana perusahaan melakukan
aksi sosial tanpa mengharapkan adanya keuntungan ekonomi (financial return), dan “CSR strategis,” di mana kegiatan CSR juga
diarahkan untuk dapat memberikan keuntungan
bagi perusahaan. Dalam sebuah penelitian yang menilai manfaat keuangan CSR,
Hillman dan Keim (2001) membedakan antara “CSR stakeholder” yang berkorelasi dengan kinerja keuangan, dan “CSR sosial” yang tidak terkait dengan hal
tersebut. Menurut Clarkson (1995), sebagian masyarakat menentukan apa yang
menjadi masalah sosial, dan perwakilan pemerintahan memberlakukan undang-undang
yang tepat untuk melindungi kepentingan sosial. Oleh karena itu, yang perlu
dicari tahu adalah apakah isu sosial itu ada ketentuan hukum dan perundang-undangannya
ataukah tidak. Karena, isu-isu lingkungan, kesehatan dan keselamatan,
kesempatan yang sama menjadi isu-isu sosial karena hukum/undang-undang
mengaturnya demikian. Jika hal tersbut tidak ada dalam undang-undang, maka masalah
ini hanya menjadi 'isu stakeholder' saja, yang hanya ditangani di tingkat
perusahaan (Clarkson, 1995).