“Demokrasi:
Antara Konsensus dan Disensus”
Candra Kusuma
Demokrasi minimalis umum dipahami hanya sebatas keikusertaan
warganegara dalam Pemilu. Jika demokrasi tidak ingin dipahami secara minimalis
sebagai demokrasi elektoral atau agregatif yang mengacu pada suara terbanyak
dalam voting atau Pemilu, maka proses
diantara dua Pemilu harus dilihat sebagai proses demokratis, yang menurut
Jurgen Haberman, harus dilalui dengan upaya deliberasi atas keputusan dan
kebijakan publik (F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang
Negara Hukum dan Ruang
Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas,
2009: 132). Proses deliberasi dengan jalan dialogis yang rasional
diantara para pihak secara setara dan terbuka, sampai dengan tercapainya konsensus
bersama.
Namun proses deliberasi dalam demokrasi konsensus tersebut
sesungguhnya tidaklah mudah untuk dilakukan jika mengikuti syarat dan prosedur
ideal yang dianjurkan Habermas dan kawan-kawannya. Menurut para pengkritik
teori demokrasi deliberatif, tidak semua warganegara memiliki kemampuan yang
layak dan memenuhi syarat untuk melakukan dialog secara rasional dalam sebuah
diskursus yang yang setara, yang akibatnya mereka menjadi tereksklusi dan
terpinggirkan dari ruang politik. Bahkan oleh sebagian pemikir lain, idealisasi
dari demokrasi konsensual tadi dipandang sulit dapat dicapai dan nyaris
mustahil untuk dapat dipertahankan untuk waktu lama dalam riil politik.
Kritik terhadap
demokrasi konsensus
Budiarto Danujaya dalam bukunya Demokrasi Disensus: Politik Dalam Paradoks (2012), --yang
dikembangkan dari disertasinya yaitu Demokrasi
Sebagai Politik Disensus (Utopia Koeksistensial di Era Paradoks) di
Departemen Filsafat Universitas Indonesia (2010)-- mengkritisi obsesi akan
konsensus dalam politik yang diusung oleh demokrasi konsensus. Keranjingan akan konsensus tersebut diyakini pada
akhirnya akan mereduksi daya hidup dan kreasi dari demokrasi itu sendiri.
Karenanya Danujaya menyodorkan konsep demokrasi disensus sebagai antithesis
dari kecenderungan berlebihan terhadap gagasan demokrasi konsensus.
Menurut Danujaya, dalam demokrasi konsensus setiap warga diasumsikan
sebagai individu yang merupakan agen rasional dan mandiri yang akan memberikan
respon yang seragam dalam menanggapi keadaan yang diasumsikan sama, --sejauh
tidak ada bias-- baik dalam bentuk hegemoni, delusi, ataupun parsialitas
informasi (2012: xxiii). Karenanya dalam menghadapi perbedaan dan konflik, maka
individu diyakini akan merespon dengan berupaya mencari kesepakatan atau
konsensus yang disepakati bersama. Konsensus ini dimaknai sebagai adanya
citarasa bersama (sensus communis
atau common sense). Konsensus politik
adalah kesepakatan politik yang sungguh mampu menggalang segenap warga atau mampu mewadahi aspirasi sebagian besar
warga, sehingga dapat diterima sebagai landasan bersama bagi segenap
masyarakat, dan mampu menjembatani perbedaan kepentingan, ideologi, maupun
doktrin komprehensif para pihak di dalamnya (2012: xix).
Danujaya mencatat bahwa demokrasi sebagai politik konsensus
mempercayai kesanggupan sistem politik tertentu dalam mengatasi perbedaan
akibat keragaman kepentingan, agama, ideologi dan doktrin komprehensif lainnya,
dan dapat mencapai sebuah kesepakatan politik yang relatif dapat dimufakati
bersama (2012: xvii). Ada dua aliran teori demokrasi konsensus ini, yaitu:
- Idealisasi kontrak sosial. Diantaranya yang diusung oleh John Rawls (antara lain lihat A Theory of Justice, 2000:14; Political Liberalism, 1996:192-193), yang menyatakan bahwa terlepas dari adanya kemajemukan, tetap ada kemungkinan untuk mencapai mufakat politik, asalkan masing-masing pihak yang terlibat bersikap nalar dalam upaya membangun landasan bersama (publik) melalui sebuah konsensus politik.
- Proses ideal. Diantaranya adalah teori demokrasi deliberatif yang diusung Jurgen Habermas (“The Public Sphere: An Encyclopedia Article,” dalam Blaug dan Schwarzmantel ed., Democracy: A Reader, 2001), dan Seyla Benhabib (Democratic and Difference: Contesting the Boundaries of the Political, 1996), yang percaya bahwa kapasitas rekonstruktif dalam sistem politik akan mampu mencapai konsensus, asalkan dikelola lewat proses yang deliberatif, dalam arti adanya dialog yang mendalam dan hati-hati, bebas, terbuka serta rasional, sehingga memungkinkan kritik-diri berkelanjutan (Danujaya, 2012: xvii-xviii). (Catatan: Ulasan singkat tentang teori demokrasi deliberatif diantaranya lihat http://haicandra.blogspot.com/2014/03/belajar-teori-demokrasi-dari-mas.html).
Danujaya mengutip kritik yang diajukan oleh Nicholas Rescher (Pluralism: Againts the Demand for Consensus,
1995: 188-189), yang berpendapat bahwa orientasi metodis dari praksis demokrasi
konsensus pada dasarnya lebih bertumpu pada pengupayaan bersusah-payah
berkelanjutan untuk mencapai kesepakatan aktual dengan cara memaksimalkan
jumlah individu yang menyetujui tindakan atau kebijakan yang akan ditempuh (Danujaya,
2012: xix). Karenanya, kedua pendekatan ideal tersebut (baik idealisasi kontrak
sosial maupun proses ideal) memerlukan banyak prasyarat dan tidak senantiasa dapat
diwujudkan.
Demokrasi
disensus: cara pandang berbeda terhadap keberagaman dan oposisi
Danujaya banyak merujuk pada filsafat politik dari Ernesto Laclau,
Chantal Mouffe dan Nicholas Rescher dalam merumuskan tafsirnya atas konsep
demokrasi konsensus dan mengkontekskannya dalam politik kontemporer di
Indonesia. Dalam hal ini, paradigma disensus memandang setiap warga sebagai
individu yang unik (sebagai suatu ‘unikum’)
dan berbeda dengan individu lain, yang tidak dapat terjembatani apalagi
terleburkan dalam hubungannya dengan indivud-individu lain, sehingga mengakibatkan
adanya otonomi radikal dalam korelasi tersebut (Danujaya, 2012: xxiii).
Kontras dengan pandangan para pemikir demokrasi konsensus, para
pemikir yang memandang demokrasi sebagai
politik disensus justru tak mempercayai kesanggupan sistem politik untuk
menggalang konsensus. Laclau dan Mouffe (dalam Hegemony and Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic Politic,
1994: 127) berpendapat bahwa masyarakat tak mungkin dapat mewujud sebagai
identitas utuh dan terpadu, karena masyarakat senantiasa berada di arena
politik (Danujaya, 2012: xix).
Danujaya menyitir pandangan Mouffe (dalam The Democratic Paradox, 2000: 101) yang membedakan antara konsep
‘politikal’ dan ‘politik.’ Menurut Mouffe, ‘politikal’ terkait dengan dimensi
antagonisme yang inheren dalam relasi antarmanusia, karena merupakan perwujudan
ketegangan relasional antara kami dan mereka, yang selalu menandai relasi sosial,
termasuk politik. Sementara ‘politik’ merujuk pada rangkaian praktik, wacana,
dan institusi yang berusaha menegakkan tertib tertentu dan mengorganisasikan
kondisi manusia yang hidup saling berdampingan dan dipengaruhi oleh dimensi
‘politikal’ tadi, sehingga juga cenderung antagonistis. Politik bertujuan
menciptakan kesatuan dalam konteks konflik dan keberagaman. Masalah krusial
dalam politik adalah mengubah relasi ‘kami dan mereka’ agar yang bersifat
‘kawan dan lawan’ menjadi lebih sekedar ‘kawan dan seteru’ (friend - adversary). Upaya menselaraskan
tersebut bukan bertujuan menghapus antagonisme namun lebih sebagai upaya
menyediakan koridor yang dapat menselaraskan antagonisme tersebut agar sejalan
dengan prinsip-prinsip demokrasi pluralistik (Danujaya, 2012: xx).
Menurut para pemikir teori demokrasi disensus tersebut, perbedaan
antara ‘aku’ dan pihak lain (the other,
yang dalam bahasa Indonesia umum diterjemahkan sebagai ‘liyan’) tidak sepenuhnya dapat direduksi dan dijembatani. Perbedaan
tersebut akan senantiasa ada. Keikutsertaan para pihak dalam keputusan politik
bukan hanya bersifat senantiasa sementara, melainkan juga senantiasa terbuka
terhadap kemungkinan artikulatif baru, sehingga sekedar merupakan batu pijak menuju ketegangan
disensual selanjutnya (Danujaya, 2012: xxi).
Rescher (1995: 189) berpendapat bahwa orientasi metodis dari
praksisnya bertumpu pada ‘agoni disensual’
yaitu pengupayaan bersusah payah berkelanjutan untuk menampik ketaksepakatan
yang kelewat tajam sehingga menghambat ketercakupan dalam keikutsertaan
sementara itu dengan cara terus-menerus meminimalisasi kadar dan jumlah
ketaksetujuan pada kebijaksanaan yang ditempuh. Relasi yang coba dibangun
adalah lebih merupakan ‘hegemoni yang senantiasa terbuka’ (open-ended hegemony), dan bukan sebagai ‘konsensus yang senantiasa
terbuka’ (open-ended consensus) (Danujaya, 2012: xxii).
Antagonisme tersebut merupakan konsekuensi bawaan dari keragaman
sebagai sifat dasar relasi sosial yang tidak saja kompleks tapi juga penuh
kepentingan seperti relasi politik, sehingga selalu menghambat setiap upaya
mencapai ‘objektivitas sosial’ yang menjadi basis bagi tercapainya konsensus
politik (Danujaya, 2012: xxv). Namun, mengandaikan dapat ditiadakannya disensus
dalam relasi sosial politik justru dapat berbahaya karena akan menutup ruang
konstitutif politik demokrasi, yaitu jarak yang senantiasa ada antara konsensus
dan disensus, juga antara keputusan dan posibilitas perbedaan-perbedaan sebagai
konsekuensi keragaman (Danujaya, 2012: xxvii). Dengan kata lain, orientasi pada
konsensus mengandaikan adanya politik yang monosemi (bermakna tunggal),
sementara realitas politik senantiasa terbuka sebagai polisemi (bermakna
banyak).
Politik disensus memperlihatkan bahwa sebagai sebuah fenomena
spasial, politik adalah ajang perebutan artikulatif manusia-manusia konkrit
yang hidup dan nyata, sehingga antagonisme relasional adalah sebuah keniscayaan
yang tak dapat dielakkan. Karenanya, keberadaan oposan bukan saja merupakan
konsekuensi relasional wajar belaka, melainkan bahkan antagonisme laten pada
sekutu atau kawan politik sekalipun juga wajar saja, karena sekedar perwujudan
alteritas dan diskursivitas keliyanan masing-masing individu sebagai agen
sosial belaka (Danujaya, 2012: 415).
Hasrat berlebih pada konsensus mendorong ke arah unipolaritas
(politik satu kubu) yang menghadirkan ‘dilema politik tanpa seteru’ (Mouffe,
2000: 108-127). Kondisi tersebut pada akhirnya justru merugikan politik
demokrasi karena mengebiri kapasitasnya sendiri untuk melakukan perbaikan dan
pengembangan diri secara terus menerus, yang hanya dapat terlaksana jika ada
dinamika ketegangan kreatif dalam relasi antar anasir yang berbeda atau
bertentangan akibat adanya perbedaan kepentingan dan perbedaan artikulatif di
dalamnya (Danujaya, 2012: xxxi).
Singkatnya, orientasi berlebih pada konsensus justru cenderung
akan membuat demokrasi menafikan keragaman (pluralitas) yang ada di masyarakat.
Dalam pandangan ini, ‘pluralism agonistic’
memiliki dua wajah, yaitu: (a) Di satu sisi, menjadikan politik sebagai
perjuangan untuk merawat antagonisme relasional sebagai upaya terus membangun
mekanisme kontrol, koreksi dan koreksi sehingga demokrasi dapat terus menerus
meremajakan gagasan, manusia dan lembaganya; (b) Di sisi lain, menjaga agar
antagonisme tersebut tidak menjadi liar dan senantiasa berada dalam koridor
demokrasi pluralis (Danujaya, 2012: 415-416).
Demokrasi disensus di Indonesia
Jacques
Rancière dalam Dissensus: On Politics and Aesthetics (2010:
38), menyatakan: “The essence of politics is dissensus.” Bahwa inti dari politik adalah manifestasi dari disensus. Menurutnya,
disensus bukanlah konfrontasi antar kepentingan-kepentingan atau opini-opini.
Akan tetapi merupakan manifestasi dari kesenjangan atas hal-hal yang masuk
akal. Manifestasi tersebut membuat apa yang sebelumnya dianggap tidak rasional
untuk eksis, justru dapat menyuarakan eksistensinya. Bagi Rancière, inilah
alasan mengapa politik tidak dapat diletakkan dalam kerangka model tindakan
komunikatif (communicative action)
yang menjadi dasar bagi konsep demokrasi deliberatif seperti yang ditawarkan
Habermas dan kawan-kawan, di mana mereka yang dipandang tidak mampu
berdiskursus secara ‘benar’ maka dianggap tidak layak untuk terlibat dalam
politik.
Penegasan akan
pentingnya disensus juga disampaikan Donny Gahral Adian (Dosen
Filsafat Politik di Universitas Indonesia) dalam artikelnya yang berjudul Demokrasi Tanpa Suara di Harian KOMPAS tanggal 25 Januari 2013. Adian berpendapat bahwa disensus
adalah sebuah keniscayaan, karena konsensus sangat sulit dicapai dalam politik, dan kalaupun bisa namun sifatnya hanya sementara
saja. Dalam artikel tersebut Adian menulis: “Satu
hal yang paling sulit dipenuhi oleh politik adalah konsensus. Konsensus dalam
politik adalah momen yang selintas datang. Demokrasi disesaki oleh momen-momen
konsensus yang tidak pernah mengabadi. Sebab, dalam demokrasi, disensus adalah
kodrat sehingga konsensus dibuat untuk dibatalkan.” Barangkali dapat
dikatakan bahwa disensus dan konsensus sesungguhnya adalah sebuah siklus dalam politik.
Karenanya, menurut Danujaya, perlu ada perubahan paradigma di mana
politik perlu lebih dilihat sebagai sebuah upaya pengelolaan konflik, dan
demokrasi sebagai politik disensus. Menurutnya, perlu ada kesadaran historis
bahwa bangsa Indonesia telah berulang kali mengalami krisis multidimensi, yang
diantaranya disebabkan oleh berlebihannya dalam menerapkan politik harmoni dan
demokrasi konsensus. Semua pihak perlu menyadari bahwa jargon-jargon politik
demokrasi dalam paradigma konsensus, baik secara teoritis maupun praksis,
terbukti mudah diselewengkan untuk melakukan pemusatan kekuasaan sehingga
gampang tergelincir menjadi eksesis menuju totalitarian (Danujaya, 2012: xxxv).
Persoalannya kemudian adalah “Bagaimana
caranya untuk dapat mengelola disensus tersebut agar tetap ‘berada dalam
koridor demokrasi pluralis’ seperti yang disitir Danujaya (2012: 416)
sebelumnya?.” Dari berbagai pendapat para pemikir tersebut, ada beberapa
prinsip yang dapat menjadi acuan, yaitu:
(a) Koeksistensial
(pengakuan atas keberadaan pihak lain serta keberagamannya, dan kehendak untuk
hidup berdampingan tanpa saling mengganggu), dan dialog yang terbuka serta
memberi ruang partisipasi dan transparansi bagi publik untuk terlibat dan
mengawasi proses politik dan pemerintahan;
(b) Agonisme, yang diperlukan
agar tidak melihat politik secara hitam putih dan konstan, sehingga kurang
menyadari pentingnya oposisi sebagai pembanding dan kontrol dalam sistem
demokrasi. (Danujaya, 2012: 416);
(c) Kepastian dan
penegakan hukum atau aturan main yang ‘disepakati’ menjadi panduan dalam
kontestasi politik;
(d) Jika mengacu
pada teori demokrasi, maka hal tersebut akan kembali pada praksis dari civic virtue atau keutamaan publik yang dianut dan menjadi panduan
hidup untuk menjadi warganegara yang baik (good
citizen), juga sebagai pemimpin yang baik (good leader), dan negarawan yang baik (good statesman). Pada saat itu, kebebasan dan kepentingan individu –sebagaimana
dianjurkan oleh demokrasi liberal-- mesti mampu diubah menjadi prinsip kebaikan warganegara
(diantaranya lihat Donny Gahral Adian, Demokrasi
Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme, 2010: 118). Bisa jadi, civic virtue inilah sesungguhnya yang
mampu menjadi landasan utama untuk membangun koridor bagi demokrasi pluralis
dalam mengelola siklus disensus dan konsensus tersebut.
Sebagai contoh aktual, yaitu terkait dengan sengketa Pilpres 2014
yang tengah terjadi saat ini. Ketika hasil quick
count oleh lembaga-lembaga survey politik dan real count oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas hasil perhitungan suara
pemilih telah gagal mencapai konsensus yang dapat diterima semua pihak, maka sesungguhnya
mekanisme disensus-lah yang harus dioperasikan. Meskipun menjadi catatan --dan
masih menjadi perdebatan-- mengenai pernah dikeluarkannya pernyataan
mengundurkan diri dari proses Pemilu oleh salah satu pasangan Capres dan
Cawapres, namun langkah yang ditempuh pasangan tersebut yang mengadukan kasus
sengketa Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) tetaplah perlu dihormati, sebagai penerapan
dari prinsip koeksistensial yang disinggung sebelumnya. Langkah hukum tersebut --meskipun
mungkin menyebalkan bagi sebagian orang-- adalah yang paling sesuai dengan mekanisme
hukum yang ada terkait upaya penyelesaian sengketa Pilpres dan Pemilu pada
umumnya. Langkah politik lain juga masih dimungkinkan, sejauh tidak menggunakan
intimidasi dan kekerasan baik terhadap institusi penyelenggara Pemilu maupun
kubu pesaingnya.
Hasil keputusan MK nantinya mungkin tidak akan memuaskan sebagian
pihak. Dalam kondisi demikian, civic
virtue dari semua pihak --khususnya pihak yang kalah-- pada akhirnya yang
akan menentukan dan paling mampu menggiring ke arah konsensus yang baru, yaitu
menerima keputusan hukum siapapun pihak/kubu yang dinyatakan sebagai pemenang
Pilpres. Selain itu, bagi kubu yang kalah, masih ada ruang yang sama mulianya
dalam demokrasi dan sejalan dengan prinsip ‘agonisme’ tadi, yaitu untuk
berperan sebagai kontrol atau ‘oposisi’ bagi pemerintahan terpilih yang baru
nanti.
------------------------
Sumber:
- Budiarto
Danujaya. Demokrasi Disensus:
Politik Dalam Paradoks. Gramedia Pustaka Utama. 2012.
- Donny Gahral Adian. Demokrasi Substansial: Risalah
Kebangkrutan Liberalisme. Penerbit Koekoesan. 2010.
- Donny Gahral Adian. Demokrasi
Tanpa Suara. KOMPAS. 25 Januari 2013.
- F.
Budi Hardiman. Demokrasi
Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas.
Kanisius. 2009.
- Jacques Rancière. Dissensus: On Politics and Aesthetics. Edited and translated
by Steven Corcoran. Continuum. 2010.