Candra Kusuma
“Kapten Woodes Rogers tercengang melihat
Batavia yang dinilainya sebagai salah satu kota paling menyenangkan di seluruh
dunia! Kota itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal Abraham van Riebeck. Di dalam
benteng kokoh yang mengelilingi Batavia, tampak bangunan-bangunan yang rapi;
lingkungannya asri dengan berbagai pohon buah, bebungaan, air mancur dan
patung-patung hias…”
Demikian dikisahkan
oleh Frieda Amran* dalam buku tipis karangannya
yang berjudul “Batavia: Kisah Kapten Woodes Rogers & Dr. Strehler” (2012). Menurut Frieda, Kapten Rogers kagum
dengan fasilitas kesehatan, pendidikan, sosial, keagamaan, perbentengan dan
kanal-kanalnya yang dibangun VOC di Batavia. Sang Kapten juga terpukau dengan kehidupan sosial bangsa Belanda di tanah
jajahannya ini, termasuk tingkah polah kaum perempuan Belanda yang menurutnya
memiliki kebebasan yang jauh lebih besar daripada di tempat lain, bahkan di
negeri mereka sendiri.
Kebetulan, saya juga dapat membaca cepat buku yang menjadi
referensi Frieda Amran menulis kisah Kapten Rogers tadi. Buku itu berjudul “Pirate Hunter of The Caribian: The Adventurous Life of Captain
Woodes Rogers,” yang ditulis oleh David Cordingly** dan terbit pada 2011
lalu. Cordingly sendiri menyusunnya dari catatan harian Kapten Rogers selama
petualangannya memimpin armada Inggris.
-----
Saat datang ke Batavia, armada Kapten Rogers terdiri dari empat
kapal, yakni The Duke, The Duchess, The Marquis dan kapal hasil rampasan dari
armada Spanyol yang kemudian oleh Kapten Rogers diberi nama baru The Batchelor
Frigate. Armada ini masuk ke Batavia tanggal 22 Juni 1710 untuk mengisi
persediaan dan memperbaiki kerusakan kapal di galangan kapal VOC di Pulau
Onrust (bagian Kepulauan Seribu di Utara Jakarta sekarang ini). Sekitar empat
bulan mereka melepas sauh di Batavia. Pada 24 Oktober 1710 mereka kembali ke
Inggris dengan tiga kapal saja, karena kerusakan The Marquis terlalu parah dan
tidak dapat diperbaiki.
Kapten Roger adalah sosok terkenal di Inggris pada masanya. Dia
adalah pimpinan armada Inggris yang bertugas menyerang kapal-kapal Spanyol di
Samudera Pasifik yang menjadi pesaing dagang Inggris, dan sekaligus menumpas
para perompak laut di kawasan Karibia, Jamaika, Bahama, dan daerah lainnya di
Amerika Tengah dan Selatan saat ini, serta tentu saja berwenang merampas harta
jarahan dari musuh-musuhnya untuk Kerajaan Inggris.
Dalam buku Cordingly yang kemudian dikutip Frieda, disebutkan bahwa “kesuksesan“ besar Kapten
Rogers adalah ketika berhasil merebut kapal pengangkut harta bernama Manila Galleon dari armada kapal
Spanyol yang tengah menuju Eropa dan membawa hasil jarahan dari Kerajaan Aztek
pada tahun 1709. Diperkirakan, Rogers berhasil membawa pulang harta rampokan
dari hasil jarahan Spanyol yang berupa patung dan biji emas serta perak dari
Amerika Selatan, maupun barang eksotis dari Timur berupa sutera, rempah-rempah,
porselin, dll., pada saat itu nilainya sekitar 200 ribu poundsterling, atau
kurnag lebih Rp 240 milyar saat ini.
-----
Selain sebagai kapten kapal pembasmi bajak laut, dia juga pernah menjabat
sebagai Gubernur Bahama (Royal Governor of the Bahamas) yang pertama
pada tahun 1718. Buat para gamer, sosok Woodes Rogers mungkin juga tidak terlalu
asing. Setting kepemimpinannya di Bahama ini kemudian juga
menjadi salah satu karakter dalam games dan novel yang cukup
populer, yaitu “Assassin’s Creed,” khususnya pada episode “Black Flag.”
“Sumbangan” lain dari petualangan sang Kapten adalah diangkatnya
kisah penyelamatan sorang pelaut bernama Alexander Selkirk oleh kru Rogers,
yang kemudian menjadi inspirasi bagi Daniel Defoe --seorang pengarang Inggris--
dalam menulis sebuah kisah terkenal yang saat ini sudah menjadi novel klasik
berjudul “Robinson Crusoe.”
-----
Buat saya, kisah Kapten Rogers di buku Frieda rasanya terlalu ringkas. Kisah tersebut hanya merupakan satu dari 10 tulisan lainnya yang lebih banyak berkisah
tentang pengalaman Dokter Strehler, yaitu seorang dokter berkebangsaan Jerman yang
bekerja sebagai tenaga medis di sebuah kapal Belanda yang bolak-balik antara
Belanda dan Tropisch Nederland (Hindia Belanda). Namun buku Frieda Amran ini
menurut saya cukup memberi informasi yang menarik mengenai kehidupan pada
pelaut penjelajah dan kehidupan kaum kolonial dan masyarakat di Batavia di abad
ke 17-18.
-----
Cuma saya membayangkan, kalau Kapten Rogers masih hidup saat ini dan datang kembali ke "Batavia Baru" alias Jakarta sekarang, bisa jadi dia batal melepas sauh dan memilih meneruskan perjalanan saja karena merasa sumpek melihat kondisi Jakarta saat ini.
-------
*Frieda Agnani Amran, lulusan
Antropologi-Universitas Indonesia dan pernah kuliah di Rijksuniversiteit
Leiden-Belanda. Kemampuannya memahami bahasa Belanda membantunya mengakses
dokumen dan buku-buku lama khususnya yang berkenaan dengan masa penjajahan di
Indonesia. Dia menjadi penulis artikel mengenai kehidupan sosial budaya
masyarakat Sumatera Selatan di rubrik “Tempo Doeloe” pada Harian Berita Pagi di
Palembang, dan mengenai masyarakat Batavia di haran Warta Kota pada rubrik
“Wisata Kota Toea.” Dia juga merupakan seorang penulis punisi yang produktif.
**David Cordingly adalah doktor
lulusan University of Sussex, dan pernah
menjadi staff di the National Maritime Museum in Greenwich, Inggris. Dia menulis
beberapa buku lain tentang bajak laut, yakni: “Cochrane the Dauntless: The Life and Adventures of Thomas Cochrane
1775-1860” (2007); “Pirate: Fact and
Fiction” (xxxx); “Under the Black
Flag: The Romance and Reality of Life Among the Pirates” (2006).
Sumber:
- Frieda Amran (2012). Batavia: Kisah Kapten Woodes Rogers & Dr. Strehler. Penerbit Buku KOMPAS.
- David Cordingly (2011). Pirate Hunter of The Caribian: The Adventurous Life of Captain Woodes Rogers. Random House Publishing.
- Oliver Bowden (2013). Assassin’s Creed: Black Flag. Penguin.