Precariat:
Liberalisasi Ketenagakerjaan di Era Globalisasi
Bagian 3: Jebakan
Precariat
Oleh: Candra
Sumber: https://www.weforum.org/agenda/2016/11/precariat-global-class-rise-of-populism/
Tulisan ini merupakan lanjutan dari
Bagian 2: Precariat, komoditas dan fleksibilitas
Pada bagian sebelumnya telah diulas mengenai precariat sebagai kelas yang tengah dalam proses pembentukan, juga mengenai komodifikasi dan fleksibilitas ketenagakerjaan. Dari paparan Guy Standing dalam bukunya The Precariat: The New Dangerous Class (2011) tersebut, disinggung mengenai kaitan precariat dan pengangguran.
“Tapi, bagaimana sesungguhnya hubungan dan siklus yang terjadi antara
pengangguran dan precariat tersebut?
Pengangguran dan Precarity Trap
Di bagian sebelumnya Standing
telah menyebutkan bahwa pengangguran juga
menjadi bagian dari kehidupan kaum precariat.
Jika di era pra-globalisasi para pengangguran dilihat sebagai akibat faktor
ekonomi dan struktural, maka di era neo-liberal kaum pengangguran ini dianggap
sebagai masalah tanggung jawab individu, yang pada sebagian kasus dipandang
hampir dilakukan secara 'sukarela'. Perangkap
pengangguran (unemployment trap)
terjadi di banyak tempat, khususnya di negara yang menjalankan model negara kesejahteraan
(welfare state) dengan program
tunjangan penganggurannya.
Dalam hal ini Standing menjelaskan
dampak dari dinamika ekonomi global terhadap meningkatnya pengangguran dan precariat. Dalam pandangan Standing, di
pasar tenaga kerja yang mengglobal, resesi
mempercepat pertumbuhan precariat tersebut. Saat ini ada lebih banyak
tenaga kerja sementara dan pekerja tidak terlindungi lainnya. Sebagian karena
mereka yang kehilangan pekerjaan kemudian masuk dalam situasi di mana pilihan
yang tersedia hanyalah pekerjaan dengan jumlah pendapatan yang lebih rendah daripada
pekerjaan mereka sebelumnya. Situasi ini semakin diperburuk karena banyak perusahaan
telah menggunakan alasan resesi sebagai momentum untuk merestrukturisasi perusahaan,
termasuk dengan cara offshoring dan outsourcing.
Di sini Standing menggunakan
istilah ‘jebakan precariat’ (precarity
trap) atau, yaitu situasi di mana ‘biaya’ yang harus
dikeluarkan oleh pengangguran untuk memperoleh pekerjaan baru lebih besar
dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan baru. Biaya
tersebut termasuk kurangnya pendapatan di periode itu, waktu dan biaya yang
terkait dengan mencari pekerjaan, waktu dan biaya selama belajar/beradaptasi
pada pekerjaan baru, serta waktu dan biaya yang diperlukan dalam menyesuaikan
kegiatan di luar pekerjaan untuk mengakomodasi tuntutan pekerjaan sementara yang
baru tersebut. Di negara-negara yang menjalankan model negara kesejahteraan di
mana pengangguran memperoleh tunjangan, situasi precarity trap ini lebih
menonjol, karena mereka akan terus ada dalam situasi dilema antara terus mengajukan
tunjangan sosial atau mengambil pekerjaan sementara dengan upah rendah (dan
kehilangan tunjangan tadi, dan ada ‘biaya’ selama proses mencari pekerjaan tadi).
Precariat trap diperburuk
dengan semakin berkurangnya dukungan sosial dari lingkungan baik keluarga
maupun masyarakat. Kondisi ini makin
parah ketika ada masalah hutang dan penyakit sosial lain yang kerap mengikuti
ketika situasi ekonomi sedang sulit. Ketidakstabilan ekonomi keluarga dapat
menyebabkan stress akibat kehilangan harga diri dan ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan keluarga.
Precariat dan disfungsional sosial
Ketika penggangguran dapat
mengalami precariat trap, mereka yang
dapat bekerjapun tidak begitu jelas nasibnya. Menurut Standing, dalam ekonomi
pasar terbuka yang mengglobal saat ini, dalam dunia ketenagakerjaan sangat umum
adanya kontrak tidak resmi/informal, pekerjaan paruh waktu dan pekerjaan
sementara, orientasi proyek dan jasa pribadi sangat kondusif bagi berkembangnya
tenaga kerja bayangan (shadow labour).
Akibatnya, peluang mobilitas sosial ke atas yang didasarkan pada kemampuan (merit-based social mobility) menjadi
berkurang. Salah satu penyebabnya adalah karena berkurangnya pekerjaan dengan penghasilan menengah, yang juga
mengakibatkan gangguan pada kelas
menengah (middle class) akibat
ketiadaan jaminan penghasilan, dan pada akhirnya mereka juga terdesak menjadi precariat juga.
Standing mencermati bahwa ada
perubahan signifikan dalam tradisi ketenagakerjaan pada umumnya. Menurutnya, pada
masa sebelumnya masih ada semacam social compact (kesepatan untuk
bekerjasama dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan bersama) di mana
perusahaan/pekerja diharapkan untuk menerima pekerja fleksibel sebagai upaya
untuk melestarikan pekerjaan sehingga mayoritas mengalami kenaikan standar
hidup. Namun di akhir era globalisasi keberadaan social compact tersebut
telah rusak. Era precariat juga ditandai dengan rapuhnya loyalitas dan kepercayaan.
Dengan semakin meningkatnya jumlah precariat juga menyebabkan semakin
banyaknya aspek sosial yang tidak berfungsi (dysfunctional). Ketiadaan jaminan atau
keamanan sosial menumbuhkembangkan penyakit sosial, kecanduan dan kecemasan
anomi.
Precariat, perempuan, lembaga pendidikan dan magang
Uniknya, menurut Standing, para precariat
tersebut tidak seluruhnya dapat disebut sebagai ‘korban.’ Sebagian
diantaranya menjadi precariat karena
mereka tidak ingin mengambil alternatif yang tersedia. Sebagian lagi karena menganggap
menjadi precariat sesuai dengan keadaan
khusus mereka pada saat itu. Penyebabnya beragam, antara lain: karena
kecelakaan atau kegagalan; karena didorong ke dalamnya; karena berharap itu
akan menjadi batu loncatan untuk pekerjaan yang lain, bahkan jika itu tidak
menawarkan rute langsung; karena bersifat instrumental, termasuk di dalamnya
orang berusia lanjut dan pelajar/mahasiswa yang ingin mendapatkan sedikit uang
atau pengalaman; dan beberapa menggabungkan aktivitas precariat dengan kegiatan lainnya. Sementara sebagian lainnya
menemukan bahwa apa yang telah mereka lakukan selama bertahun-tahun, atau apa
pelatihan yang mereka ikuti, ternyata menjadi bagian dari proses menjadi precariat.
Dalam hal ini Standing secara
khusus menyoroti keterlibatan perempuan, lembaga pendidikan dan mekanisme
magang di dunia industri/usaha dan kaitannya dengan reproduksi precariat. Dalam pandangan Standing, di
awal era globalisasi, terjadi feminisasi
tenaga kerja (feminization of labour)
di mana terjadi peningkatan proporsi perempuan di hampir semua jenis pekerjaan
(Standing, 1989, 1999a). Fenomena ini bermakna ganda, bahwa selain lebih banyak
perempuan terlibat dalam pekerjaan, juga lebih banyak pekerjaan berubah menjadi
jenis yang bersifat fleksibel yang kemudian juga lebih banyak dikerjakan oleh
perempuan. Kecenderungan ini tercermin dari meningkatnya informalisasi tenaga kerja (labour
informalisation), meningkatnya pekerjaan jasa, dan penggunaan perempuan
muda di zona pengolahan produk ekspor. Meski demikian, ketidakadilan masih
dirasakan karena adanya upah berbasis gender dan perbedaan pendapatan sosial.
Kaum perempuan juga umumnya
terlibat dalam pekerjaan paruh waktu dan pekerjaan sementara atau buntu (dead-end jobs), yang tidak memiliki
prospek pengembangan kerja. Dengan meningkatnya keterlibatan perempuan sebagai precariat, banyak perempuan yang
kemudian berperan sebagai pencari nafkah utama di keluarga, selain peran
tradisional mereka dalam mengurus keluarga.
Selain itu, dalam amatan Standing
ada tanda-tanda bahwa tengah terjadi
restrukturisasi dan komodifikasi sistem pendidikan yang mendorong para pemuda
untuk masuk ke dalam sistem tenaga kerja yang fleksibel. Pendidikan
diklasifikasi menjadi tiga, yaitu pendidikan untuk kaum elit istimewa, kelas
pekerja dan untuk pengembangan precariat.
Precarity traps mencerminkan
kejanggalan antara aspirasi anak-anak muda dan sistem persiapan 'modal manusia'
melalui dunia pendidikan, karena kebanyakan pekerjaan yang ditawarkan sesungguhnya
tidak memerlukan sekolah selama bertahun-tahun.
Begitu pula dengan dilema yang
terjadi dalam mekanisme magang bagi pencari kerja. Standing melihat, pada masa sebelumnya perusahaan membuka peluang
untuk pekerja baru yang disiapkan untuk menjadi pekerja tetap melalui proses
belajar dan penyesuaian diri, katakanlan selama dua tahun (apprenticeship). Sementara saat ini yang lebih umum adalah yang
disebut magang (internship), sekedar
pengenalan suasana kerja dalam waktu singkat (sekitar beberapa minggu) dan
tanpa orientasi menjadi pekerja tetap. Pada akhirnya pola internship ini menjadi jalan bagi terlibatnya para pemuda menjadi precariat dan strategi pengusaha untuk memperoleh tenaga kerja sementara
yang bersedia dibayar murah.
Namun demikian, magang ternyata juga merupakan ancaman bagi
precariat lainnya, karena mereka
adalah calon precariat yang baru,
yang dapat menggantikan precariat
yang sudah bekerja sebelumnya. Nasib para pemagang ini juga tidak selalu
beruntung. Tak jarang mereka ‘diberi kesempatan belajar bekerja’ tanpa menerima
upah atau fasilitas lain (uang makan atau uang transport, misalnya). Bahkan
jika peserta magang memperoleh upah sekalipun, mereka melakukan pekerjaan murah
tanpa peluang pengembangan diri (cheap
dead-end labour), di bawah tekanan untuk memperoleh upah lebih rendah, dan
ancaman akan digantikan oleh tenaga kerja lainnya. Menurut Standing, magang
adalah precariat yang menggantikan
tenaga kerja biasa.
Bersambung ke
Bagian 4: Masa depan precariat
----------
Referensi:
Standing, Guy (2011). The
Precariat: The New Dangerous Class. Bloomsbury, London.