Sindrom
Pra dan Pasca-Pemilu
Candra Kusuma
Mungkin nggak suatu peristiwa politik tertentu bisa
mempengaruhi kondisi psikologis seseorang?
Kalau iya, bisa nggak gangguan psikologis akibat peristiwa politik itu juga
dialami oleh banyak orang, sehingga tidak lagi hanya menjadi masalah individual
tetapi juga menjadi masalah sosial? Kayaknya memang bisa begitu ya. Manusiawi
banget orang bisa mengalami gangguan jiwa (ringan ataupun berat) akibat kecewa,
sedih, dll. Kalau orang patah hati aja bisa galau, politisi gagal pasti juga
bisa stress kan…?
Peristiwa politik seperti Pemilihan Umum (Pemilu, di
dalamnya termasuk Pilkada, Pileg dan Pilpres) yang melibatkan banyak orang dan
diliput media massa secara luas, kayaknya bisa jadi juga dapat mempengaruhi
kondisi psikologis dan kesehatan mental banyak orang. Kita bisa baca, dengar
dan lihat dari media massa dapat diketahui banyaknya kasus politisi (dari
tingkat desa, kabupaten/kota provinsi sampai tingkat nasional), tim sukses atau
para pendukung fanatik yang mengalami stres, gangguan pikiran dan suasana hati
atau perubahan perilaku akibat terlalu terlibat dalam proses politik tersebut.
Political Stress Syndrome
Sebagian orang menyebut kondisi gangguan kejiwaan (psychiatric disorder) tersebut sebagai Political
Stress Syndrome (PSS). Istilah ini --dan beberapa istilah turunannya
berikutnya-- bisa jadi memang bukan (atau belum?) jadi istilah ‘resmi’ dalam
disiplin psikologi, dan lebih sebagai istilah yang populer di kalangan
jurnalis, penulis media/blog dan pengamat serta aktivis sosial/politik saja.
Political
Stress Syndrome yang terkait dengan Pemilu bisa dibagi dua:
(1)
Sindrom Pra-Pemilu
Pernah
merasa muak dan sebel denger atau nonton berita kampanye Pemilu kemarin? Pernah
meng-unfriend, di-unfried sama temen di media sosial yang
marah gara-gara sering mostingin atau
dipostingin berita kampanye
Pemilu? Kalau pernah, itu kemungkinan
ada hubungannya dengan sindrom yang oleh sebagian orang disebut sebagai Pre-Election Stress Syndrom (PrESS).
Gejala permukaannya
(bukan diagnosis langsung sama psikolog/psikiater sesungguhnya lho…) yang bisa
dilihat orang awam, seperti:
- Kekhawatiran
atau kecemasan bila terkena imbas kampanye (mendengar/melihat informasi
seputar kampanye, melihat media kampanye Pemilu, dll.);
- Atau sebaliknya
menjadi terlalu asyik dan menjadi terlalu terlibat dengan kampanye politik,
dan kesulitan untuk mengambil jarak dari proses kampanye politik;
- Perasaan
kelelahan jika mendengar atau terlibat dalam pembicaraan politik, dan
menjadi merasa kurang tertarik untuk terlibat dalam Pemilu (misalnya,
menjadi sangat frustrasi dan tidak lagi ingin memberi suara dalam Pemilu);
- Merasa
kecewa, jijik, atau depresi terhadap: (a) Keadaan negara; (b) Integritas
rakyat; atau (c) Masa depan diri sendiri;
- Keinginan untuk menghabiskan waktu berlibur di
negara lain selama masa Pemilu dan jauh dari berita dan pembicaraan
politik. (Lihat http://www.drstephaniesmith.com/pre-election-stress-disorder-do-you-have-it/
)
(2)
Sindrom
Pasca-Pemilu
Sebagian
orang menyebut sindrom pasca-Pemilu ini sebagai Post-Election Stress Syndrom (PoESS). Tapi, ternyata ada
banyak sekali istilah yang digunakan para penulis terkait sindrom tersebut,
diantaranya: Post-Election Stress (PES); Post-Election Syndrome (PES); Post-Election Depression (PED); Post-Election
Stress Syndrome (PESS); Post-Election Loss Syndrome (PELS); Post-Election
Depression Syndrome
(PEDS); Post Election Traumatic Syndrome
(PETS); Post-Election Selection Trauma
(PEST); Post-Election Stress Disorder (PESD); Post-Election
Stress Syndrome (PESS); Post Election Selection Syndrome
(PESS); Post-Election
Withdrawl Syndrome (PEWS); Post-Election Stress and Trauma Syndrom (PESTS); Post-Election Traumatic Stress Disorder (PETSD).
Sindrom ini tidak sebatas dialami oleh pihak yang kalah saja,
tapi juga bisa terjadi di kubu yang menjadi pemenang Pemilu, meskipun
kelihatannya memang lebih banyak dialami oleh kubu yang kalah tadi. Penyebabnya
bisa sangat beragam, yang diantaranya: Merasa telah memenangi Pemilu, tapi kemenangan itu telah
dicuri oleh pihak pesaing; Merasa menang, dan kemenangannya
dicuri pihak pesaing politik; Kekecewaan karena angan-angan dan
harapan mereka untuk memperoleh jabatan, kehormatan, gaji yang tinggi dan fasilitas yang berlimpah tidak dapat
dicapai; Ketidakpuasan dengan proses dan
hasil Pemilu; Kesulitan menerima kemenangan
pihak pesaing; Keengganan menerima dan mengakui
kekalahan; Dll.
Ekspresi dari sindrom pasca-Pemilu ini bisa jadi berbeda
bentuk dan kadarnya pada tiap-tiap orang. Stress-nya seorang Calon Presiden
yang kalah dalam Pilpres bisa jadi beda bentuknya dengan stress-nya Calon
Kepala Desa yang gagal atau sekedar pendukung ‘fanatik’ yang cuma aktif di
media sosial saja. Meskipun istilah yang digunakan juga sangat beragam, namun
semuanya memiliki kemiripan karena merujuk pada sejumlah gejala (symptoms) yang di dalamnya termasuk --tapi
tidak terbatas pada--:
--> Perasaan tertekan dan kosong setelah hari pencoblosan; sibuk
membuka link internet tanpa tujuan, mencari-cari sesuatu yang tidak jelas; merasa
lelah tanpa sebab yang jelas; menarik diri; merasa
tidak peduli; merasa terganggu melihat simbol-simbol kampanye Pemilu; perasaan
terisolasi; marah; emosional dan kepahitan; kebencian; bicara kasar, agresif
atau pasif-agresif; berkomentar sembarangan yang bernada menghina atau
merendahkan pihak ‘lawan politik’ di media sosial; melamun; kehilangan nafsu
makan; sulit tidur; mimpi buruk; kemurungan mendalam termasuk merajuk tak
berujung; menjadi terlalu khawatir tentang arah dan masa depan negara; merasa
kehilangan harga diri; dll. Dalam skala yang akut, sindrom dapat berupa dorongan
melakukan bunuh diri, melakukan amuk publik (public tantrums), atau menghasut orang lain untuk berbuat kerusuhan,
dll.
Bisa dibilang bahwa yang terjadi mirip dengan efek
‘pasca-pesta’ yaitu perasaan sepi setelah secara tiba-tiba semua histeria,
keramaian, kehebohan, kegaduhan, dan ketegangan mereda atau usai, dan harus menerima realitas dan kembali melanjutkan hidup. Orang atau individu yang terkena sindrom
ini kemungkinan dapat terlibat dalam kegiatan irasional impulsif, yang akhirnya
dapat menyebabkan terganggu bahkan hilangnya kehidupan sosial dan kehancuran
ekonominya. Sementara kelompok masyarakat yang menderita sindrom ini juga dapat
terjebak pada histeria massa, panik dan hiruk-pikuk kegilaan yang tindakannya
mereka tidak dapat secara dijelaskan secara rasional, yang ujung-ujungnya juga
dapat menimbulkan kerusakan yang luas dan susah dikendalikan (lihat http://worldnewsvine.com/2013/08/raila-suffering-from-acute-post-election-loss-syndrome/).
Sindrom macam begini kayaknya terjadi di semua negara ya. Media di
Taiwan melaporkan terjadinya peningkatan yang tidak biasa sebanyak 10% pada pasien
yang mengalami depresi atau kecemasan pasca-Pemilu tahun 2004. Para dokter di sana menyimpulkan
bahwa para penderita mengalami "gangguan penyesuaian" yaitu, tekanan
mental yang disebabkan oleh gangguan dalam pandangan seseorang tentang
realitas. Pemilu bagi para
politisi dan pemilih di Taiwan taruhannya memang selalu tinggi, yaitu
kelangsungan hidup pemerintah, kelangsungan hidup partai politik, dan ancaman
konflik dari hubungan Taiwan dengan China yang memang masih selalu tegang (lihat
http://atimes.com/atimes/China/FL01Ad03.html).
Sementara pasca-Pemilu tahun 2008 di Malaysia,
banyak warganya yang mengaku kesulitan untuk kembali ke rutinitas harian
mereka. Bahkan, banyak diantaranya yang mengaku sudah merasa cemas untuk
menyambut Pemilu berikutnya (lihat http://www.mysinchew.com/node/64068).
Kasus serupa juga terjadi di Kenya. Pasca-Pemilu di Kenya 2007-2008 juga
dilaporkanya banyaknya politisi yang mengalami sindrom
ini, sampai harus menerima pengobatan dan
perawatan rumah sakit. Dalam kasus yang ekstrem bahkan dapat berakibat pada
munculnya kesakitan dan kematian yang tak terjelaskan, serta reaksi-reaksi tak rasional
yang ditunjukkan oleh para politisi dan pendukung fanatiknya yang kalah dalam Pemilu
(election
losers’ illnesses and irrational post-election reactions). Di negara-negara
Afrika, sindrom tersebut diyakini sebagai pemicu dari meningkatnya kekerasan, gelombang
petisi atau gugatan ke pengadilan pasca-Pemilu, dan bahkan kudeta, khususnya
oleh pihak militer (lihat http://worldnewsvine.com/2013/08/raila-suffering-from-acute-post-election-loss-syndrome/).
Gangguan kejiwaan akibat Pemilu juga dialami oleh
politisi dan para pendukungnya di Amerika Serikat. Pasca-Pemilu Presiden tahun
2004 banyak pendukung Calon Presiden John Kerry yang juga merasa mengalami
sindrom tersebut. Menurut American Health Association (AHA), gejala yang
dilaporkan mirip dengan gangguan stres pasca-trauma. Meskipun ada sebagian
analis lain kurang setuju penggunaan istilah trauma –yang terkait dengan
gangguan psikologis yang mendalam dan berimplikasi kompleks--, dan lebih
memandang kondisi tersebut sebagai kesedihan dan kecemasan yang bersifat
sementara saja. Karenanya para terapis (psikolog dan psikiater) di AHA kemudian
memberikan kesempatan konsultasi gratis bagi siapapun yang merasa mengalami ‘post-election selection trauma.’ Reaksi
AHA tersebut dipicu oleh adanya kasus bunuh diri yang diduga terkait dengan
kekalahan Kerry dalam Pilpres tersebut. Gangguan psikologis tersebut tetap
perlu disembuhkan melalui konsultasi dan pendampingan, namun diyakini akan
menghilang seiring para pendukung politisi yang kalah tersebut mulai dapat
menerima realitas politik yang ada (lihat http://www.freerepublic.com/focus/fr/1300571/posts).
(Catatan: Ulasan tentang reaksi psikologis pasca-Pemilu yang
perspektif dari teori Elisabeth Kübler-Ross tentang empat
tahap kesedihan diantaranya lihat http://haicandra.blogspot.com/2014/07/pilpres-2014-denial-anger-bargaining.html).
Namun demikian, selain Post-Election Stress Syndrom (PoESS) yang identik dengan
kondisi yang dialami kubu yang kalah dalam Pemilu, ada pula dikenal sindrom
lain yang umumnya diidap oleh pihak pemenang, yaitu Post-Election
Victory Syndrome (PEVS). Sindrom ini mewujud dalam perilaku ‘merasa
penting, superior dan berkuasa’ (sense of self-importance, superiority complex, newly
found aura of confidence and ungrounded sense of power) (lihat http://worldnewsvine.com/2013/08/raila-suffering-from-acute-post-election-loss-syndrome/).
Namun sindrom
yang paling parah di kalangan pemenang Pemilu ini sesungguhnya adalah ‘Sindrom Lupa
Janji’ yang pernah digembar-gemborkan sebelumnya pada saat kampanye Pemilu.
Bagaimana di Indonesia?
Persaingan dan kegaduhan politik selama Pilpres 2014 di
Indonesia saat ini juga dapat memicu persoalan kejiwaan. Bahkan sebelum hari
pencoblosan 9 Juli 2014 lalu, Kementerian Kesehatan RI juga sudah memprediksi
bahwa jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa atau setidaknya mengalami
gejala stres ringan bertambah. Stres
itu kemungkinan akan terjadi pada orang yang ikut atau terlibat
dengan terlalu memikirkan masalah Pilpres (lihat http://www.republika.co.id/berita/Pemilu/berita-Pemilu/14/07/09/n8fjvt-pilpres-membuat-penderita-).
Masalahnya, sindrom ini dapat terjadi pada semua orang, dari mulai cuma para
penggembira di sosial media sampai dengan para
Calon Presiden dan Wakil Presiden itu sendiri.
Sebelumnya berkenaan dengan Pemilu Legislatif 2014 juga
banyak diberitakan mengenai Calon Legislatif yang stres akibat tidak terpilih,
merasa kecewa dan dikhianati oleh orang/pihak yang sebelumnya berjanji
mendukungnya namun tidak terbukti. Selain itu stress juga akibat banyaknya
hutang biaya kampanye dan janji ke banyak pihak yang sulit mereka penuhi.
Peluang stress lebih besar terjadi pada Caleg yang baru pertama kali
mencalonkan diri dalam Pemilu (lihat http://health.kompas.com/read/2014/04/08/1359548/Kalah.Pemilu.Caleg.Berpotensi.Stres.dan.Gangguan.Jiwa).
Pakar Kejiwaan Prof. Dadang Hawari memprediksi jumlah
calon legislatif (caleg) yang mengalami gangguan jiwa pada Pemilu Legislatif 2014
April lebih banyak dibandingkan Pemilu 2009 (lihat http://www.gatra.com/lifehealth/sehat-1/48540-diprediksi-banyak-caleg-alami-gangguan-kejiwaan-di-Pemilu-2014.html).
Dari pengalaman pasca-Pemilu 2009, ada cukup banyak Caleg yang
dirawat di rumah sakit (jiwa), di tempat-tempat pengobatan tradisional, dan
panti rehabilitasi mental karena mengalami gangguan jiwa (lihat http://pelita.or.id/baca.php?id=68604).
Dari
data yang dikeluarkan oleh kementrian Kesehatan (kemenkes) pada Pemilu 2009 lalu
kurang lebih ada 7.736 Caleg yang mengalami gangguan jiwa berat alias gila.
Sebanyak 49 orang Caleg DPR, 496 orang Caleg DPRD Provinsi, 4 Caleg DPD dan
6.827 orang Caleg DPRD Kabupaten/Kota. Sementara untuk Pemilu Legislatif 2014,
dr. Teddy Hidayat, psikiater yang juga Ketua Penanggulangan Narkoba RS Hasan
Sadikin Bandung, meramalkan jumlah caleg yang stres akan mencapai 30%.
Menurutnya, baik Caleg yang terpilih
maupun gagal sama berpeluang untuk mengalami stress (lihat http://www.gatra.com/lifehealth/sehat-1/48540-diprediksi-banyak-caleg-alami-gangguan-kejiwaan-di-Pemilu-2014.html).
Sindrom ini umumnya telah diabaikan oleh para ilmuwan sosial,
psikiater dan psikolog, karena takut dan kurangnya minat dalam mempelajri perilaku
politik pemain kunci dan dampak sosial dari dinamika politik nasional. Dampaknya
adalah bahwa sebagian besar rakyat hanya menjadi korban dari persaingan kepentingan
politik individu/politisi, dan negara mereka berubah menjadi ladang pertempuran
untuk memenuhi citra diri pribadi, harga diri dan gelembung ego (lihat http://worldnewsvine.com/2013/08/raila-suffering-from-acute-post-election-loss-syndrome/).
Situasi paling akhir dari sengketa hasil Pemilu Presiden 2014
saat ini adalah masih dalam tahap persidangan di Mahkamah Konstitusi. Kelihatannya
masih banyak pihak yang sejauh ini masih dirundung sindrom pasca-Pemilu, baik Post-Election
Loss Syndrome (PELS) maupun Post-Election Victory Syndrome
(PEVS). Semoga
saja tidak menjadi bertambah akut dan bisa segera pulih ya. Dan semoga bisa
seperti di beberapa negara lain yang ada fasilitas gratis untuk konsultasi dan
pendampingan kalau ada anggota masyarakat yang merasa terkena sindrom politik
macam ini. Semoga pula masalah psikologis yang dialami individu-individu tidak
berakumulasi menjadi masalah sosial yang meluas. Masalah akan menjadi lebih
rumit jika para pemimpin politik yang terkena sindrom politik ini, justru secara
sadar atau tidak malah ‘menularkan’-nya kepada para pendukungnya. Seperti orang
bilang, ‘ikan busuk mulai dari kepalanya,’
dan sebaliknya, ‘kebaikan dimulai dari
teladan para pemimpinnya.’
Pada akhirnya kuncinya memang hanya satu: gimana kubu yang
kalah ya bisa realistis dan ngaku kalah, dan kubu yang menang juga nggak jumawa…
Dan yang paling penting dari itu semua adalah,
gimana agar yang jadi pemenang tidak lupa dan serius mencoba merealisasikan semua
janji kampanye mereka tentunya… :)
Disclaimer:
Saya bukan psikolog atau
psikiater. Tulisan ini hanya kompilasi dari beberapa sumber di internet.
----------------------------------
Sumber:
http://www.gatra.com/lifehealth/sehat-1/48540-diprediksi-banyak-caleg-alami-gangguan-kejiwaan-di-Pemilu-2014.html
http://health.kompas.com/read/2014/04/08/1359548/Kalah.Pemilu.Caleg.Berpotensi.Stres.dan.Gangguan.Jiwa
http://health.kompas.com/read/2014/04/08/1359548/Kalah.Pemilu.Caleg.Berpotensi.Stres.dan.Gangguan.Jiwa