“Ada Apa Dengan Bigot?”
(AADB: Bagian 3)
Oleh: Candra
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari
"Ada Apa Dengan Bigot?" (AADB: Bagian 1)"Ada Apa Dengan Bigot?" (AADB: Bagian 2)
Pada AADB: Bagian 1 telah diulas mengenai pokok-pokok gagasan Stephen
Eric Bronner tentang bigot dan bigotry dalam bukunya The Bigot: Why Prejudice Persist
(2014). Sementara pada AADB: Bagian 2
secara serba singkat diulas mengenai bentuk-bentuk perilaku bigotry yang bersumber
dari rasisme, seksisme, culturism, ageism, classism, dan nativisme. Pada AADB: Bagian 3 ini, akan mengulas
penyebab dari munculnya perilaku bigotry tersebut, dan bagaimana hal tersebut
--disadari atau tidak-- telah mempengaruhi cara berpikir dan perilaku kita
semua. Untuk membantu, ada baiknya melihat kembali ilustrasi mengenai trasformasi
bigotry yang sudah ditampilkan pada AADB: Bagian 2.
Kebencian yang tumbuh dari prasangka dan
ketakutan
Bronner (2014) mengutip moto para
bigot dari satir Umberto Eco dalam novelnya The Prague Cemetery (2011:6): “Odi ergo sum. I hate therefore I am,” bahwa “aku membenci maka aku ada.”
Bagaimana kebencian dan semua bentuk bigotry tersebut muncul? Dalam
pandangan Bruce dan Yearly (2006), semua bentuk bigotry baik itu rasisme,
religisme, ageism, dll. tersebut terutama bersumber dari satu sebab yang
memiliki daya rusak tinggi, yaitu prasangka (prejudice). Secara umum, prasangka mengacu pada kecenderungan untuk
mempertahankan pendapat dan sikap yang sudah terbentuk sebelumnya, atau sikap
yang tidak didukung dengan fakta-fakta (Bruce dan Yearly, 2006). Menurut Bronner (2014) istilah prasangka sendiri berasal
dari bahasa Latin: praejudicum, yang
artinya keputusan yang dibuat sebelum ditetapkan oleh pengadilan. Prasangka
membuat setiap keputusan menjadi sederhana dan terhindar dari kritik atau
refleksi.
Keyakinan tanpa didukung
alasan yang masuk akal tersebut, menurut Scruton (2007) berfungsi sebagai
premis untuk penalaran praktis, dan yang merupakan bagian dari Weltanschauung (pandangan dunia) yang
tidak memerlukan sanggahan. Prasangka adalah ketetapan dari keyakinan yang
tidak masuk akal (unreasoned belief),
sementara bigotry adalah ketetapan dari nilai-nilai yang tak masuk akal (unreasoned values)
Meskipun ada pula jenis prasangka positif, umumnya istilah ini umumnya
memang digunakan untuk merujuk pada pandangan negatif yang tidak beralasan (Bruce
dan Yearly, 2006). Dalam prasangka negatif, umumnya terdapat
ketidakpercayaan, kecurigaan, stigma, perasaan merendahkan dan bahkan
penghinaan dan kebencian terhadap pihak lain. Namun, lebih dari itu semua,
prasangka pada dasarnya bersumber dari ketakutan yang tidak beralasan terhadap
pihak lain. Abercrombie, Hill dan Turner (2006) berpendapat bahwa prasangka
adalah sikap individu berupa antipati atau permusuhan aktif terhadap kelompok
sosial yang lain, biasanya terhadap ras yang berbeda. Prasangka individu dapat
berpartisipasi dalam kegiatan diskriminatif meskipun tidak selalu demikian.
Menurut Anderson (2010), nilai-nilai dan ide-ide yang membentuk prasangka
berasal dari berbagai sumber dan pengaruh. Sikap berprasangka dapat berasal
dari media, tumbuh di lingkungan keluarga yang gemar berprasangka, dan akibat tidak
memiliki banyak kontak dengan orang yang berbeda dengan diri atau kelompok
mereka sendiri. Namun karena norma-norma umum yang melarang prasangka dan adanya
undang-undang anti-diskriminasi, prasangka dalam diri banyak orang dapat
bersifat tersembunyi dan kadang-kadang tidak disadari.
Dalam sosiologi, konsep prasangka mengacu secara luas pada
penilaian subjektif yang sistematis dan berlangsung lama dari suatu kelompok
atau anggota kelompok tersebut, mengenai hal-hal yang tidak menguntungkan.
Beberapa ilmuwan sosial percaya bahwa prasangka didasarkan pada praduga yang
keliru tentang kelompok lain (out-group),
sementara ilmuwan yang lain berpendapat bahwa prasangka dapat disebabkan oleh
konflik kepentingan antar anggota dalam kelompok dan diluar kelompok (Turner,
2006).
Dalam
hal ini, Bronner (2014) menulis
bahwa penyebabnya adalah karena kognisi moral para bigot dan pandangan intelektual
mereka yang bersifat parokial, di mana pandangan tersebut bukan hanya tidak akuntabel
tapi juga tidak transparan. Menurutnya, para bigot bersembunyi di balik tradisi
dan kebiasaan yang sudah mapan. Mereka merasa puas dengan keyakinan, rumor, dan
loyalitas lama yang membeku dan kemudian berubah menjadi mitos dan, pada
gilirannya, melahirkan stereotype yang
membenarkan standar ganda yang mereka gunakan. Prasangka para bigot ini berhenti
pada asumsi pra-reflektif yang menjadi tetap, selesai, dan tidak dapat diubah meskipun
ada pengetahuan baru, dan dengan demikian menutup peluang terjadinya diskursus.
Menurut Anderson (2010), ada
beberapa jenis prasangka, yaitu prasangka yang eksplisit dan implisit (explicit and implicit prejudice), serta
prasangka yang bersifat ekstrim/terbuka dan halus (extreme/overt and subtle prejudice).
Anderson berpendapat bahwa bagaimanapun prasangka ini termasuk bentuk
bigotry halus (benign bigotry), yang
juga melibatkan relasi kekuasaan (power).
Kekuasaan dan hak istimewa, berinteraksi
dengan skema untuk menghasilkan bigotry halus tersebut. Meskipun baik orang
dengan ataupun tanpa kekuasaan sama-sama dapat berprasangka, namun prasangka dalam
diri mereka yang berkuasa memiliki dampak yang lebih besar.
Prasangka yang berkembang dari stereotype
Darimana prasangka tersebut terbentuk? Banyak ahli berpendapat
bahwa prasangka tersebut lahir dari stereotype.
Bruce and Yearly (2006) mencatat bahwa sebuah stereotype adalah pandangan berlebihan dan biasanya berkembang
menjadi prasangka dari sekelompok orang yang didasarkan pada hanya sedikit atau
bahkan tidak didukung bukti sama sekali, serta tidak berubah meskipun ada bukti
yang membantahnya. Orang mempertahankan stereotype
karena itu dapat menciptakan rasa solidaritas dan superioritas in-group, dan memungkinkan sekelompok
orang untuk berpikir bahwa diri mereka adalah benar dan baik.
Sebuah stereotype adalah pandangan kelompok suku atau masyarakat yang
bersifat satu sisi, berlebihan dan umumnya merugikan. Stereotype ini biasanya berhubungan dengan rasisme dan seksisme. Stereotype umumnya bersifat resisten
terhadap perubahan atau koreksi dari bukti yang membantah mereka, karena stereotype dipandang dapat menciptakan
rasa solidaritas sosial (Abercrombie, Hill and Turner, 2006)
Menurut
Anderson ada stereotype yang positif
dan negatif. Namun, bahkan stereotype
positif sesugguhnya juga bukanlah hal yang baik karena mereka mengurangi atau
menghilangkan individualitas seseorang. Mereka memberi penilaian terhadap orang
atas dasar harapan atau standar mereka sendiri. Juga, ketika orang-orang
berperilaku dengan cara yang tidak konsisten dengan stereotype positif tentang kelompok mereka, maka justru akan memicu
adanya reaksi negatif yang kuat (Anderson,
2010)
Anderson
berpendapat, bahwa stereotype terkait
erat dengan sentimen in-group dan out-group, dan kekuasaan (power) yang dimilikinya masing-masing.
Ada yang disebut sebagai efek homogenitas out-group
(the out-group homogeneity effect), yang mengacu pada persepsi yang dimiliki
oleh in-group tertentu, bahwa anggota
out-group cenderung memiliki cara
pandang dan bertindak yang serupa. Hal yang sama diangap juga terjadi pada
kelompok yang tidak memiliki kekuasaan (subordinat). Dengan kata lain, mereka
yang out-group dan mereka yang
memiliki lebih sedikit kekuasaan dipandang sebagai mirip satu sama lain.
Sebaliknya, anggota in-group yang
juga anggota dari kelompok istimewa dipandang sebagai individu yang kompleks (Anderson, 2010)
Stereotype yang terkait dengan kategorisasi
Stereoype ini erat kaitannya dengan
pola berpikir manusia yang cenderung membuat kategorisasi (categorization) tentang hampir semua hal. Dalam pandangan Bruce and
Yearly (2006), penyebabnya adalah karena manusia merasa berguna untuk melihat
dunia diluar dirinya (dan karenanya mengatur tanggapan mereka untuk itu)
melalui sejumlah kategori sederhana.
Anderson (2010) memandang kategorisasi sebagai proses kognitif manusia yang mendasar. Dia
memaknai kategorisasi sebagai cara berpikir yang
membuat pengelompokan dari sejumlah item yang memiliki karakteristik serupa. Kategorisasi
membantu manusia memahami dunia, dan oleh karena itu menjadi sebuah
kecenderungan alamiah dan kemampuan yang diperlukan untuk pemikiran manusia.
Sayangnya, kategorisasi juga merupakan dasar untuk stereotype dan prasangka. Dalam diri manusia memang dilengkapi
kemampuan untuk berpikir secara kategoris. Namun, isi dari kategori dan makna
dan arti dari kategori tersebut sesungguhnya adalah hasil dari sebuah
konstruksi sosial semata.
Kategorisasi atau pemberian tipe (typification) ini tidak merujuk kepada kualitas yang unik dari
individu tetapi terhadap fitur khas mereka. Pemberian tipe mengacu pada proses
dimana orang mensimbolisasi dunia di sekitar mereka (Abercrombie, Hill and Turner, 2006).
Disinilah terjadi sentimen in-group
dan out-group, di mana mereka yang dianggap homogen (out-group dan kaum marginal) dihakimi
dalam hal kategori sosial mereka, bukan mereka sebagai individu (Anderson, 2010). Sepanjang
sejarah, banyak kelompok orang telah mengklaim superioritas mereka atas budaya
lain dan telah memberi label barbar pada segala sesuatu yang dianggap asing,
yang sering sesungguhnya hanya berarti bahwa kelompok lain itu dianggap tidak
menjadi bagian dari in-group (Gay,
2013).
Stereotype dan kategorisasi yang dibentuk oleh skema
Darimana stereotype dan kategorisasi itu berasal?
Skema merupakan sebuah kerangka mental keyakinan, perasaan, dan asumsi tentang
orang-orang, kelompok, dan benda-benda. Skema membantu dalam menafsirkan dunia
dan mengatur informasi baru. Bila diterapkan kategorisasi terhadap manusia,
skema sering bermanifestasi sebagai stereotype
(Anderson, 2010)
Dengan
skema ini, pada akhirnya semua peristiwa selalu akan diinterpretasikan dan
digunakan untuk mengkonfirmasi asumsi awalnya. Para bigot dengan demikian dapat
menjadi pahlawan bagi drama yang mereka ciptakan sendiri (Bronner, 2014)
Bigotry di sekitar
kita
Pernahkah merasa tidak nyaman
ketika duduk berdekatan dengan seorang waria di angkutan umum karena menganggap
waria dan segala jenis LGBT sebagai penyimpangan atau kutukan? Atau merasa
curiga pada seseorang dari etnis tertentu yang tinggal di dekat rumah karena
merasa mereka semua adalah tukang mabuk dan pencuri? Atau merasa terganggu dengan
orang dari agama berbeda yang tinggal di sebelah rumah karena menganggap mereka
semua adalah kafir yang mengancam keimanan, harus dijauhi bahkan harus
dihancurkan? Atau menjadi sinis terhadap perempuan yang bekerja dan terpaksa
sering pulang malam karena kantornya jauh dari tempat tinggalnya? Atau merasa
kesal dengan orang-orang tua yang dianggap serba ketinggalan jaman, selalu
ingin ikut campur, lemah, tidak berdaya dan banyak menuntut
perhatian/bantuan?...
Dengan begitu kompleksnya makna
dan bentuk bigotry, tampaknya bahkan saya dan Anda-pun sulit untuk sepenuhnya
luput dari kecenderungan tersebut. Mungkin saya dan Anda tidak pernah secara
sengaja menyampaikan atau menyebarkan pernyataan kebencian terlebih melakukan
tindak kekerasan karena alasan kebencian terhadap orang atau kelompok tertentu,
sebagai ekspresi dari bigotry yang vulgar dan kasar. Namun sangat mungkin
pernah ada terlintas dalam pikiran dan prasangka yang cenderung curiga, tidak
nyaman, meremehkan atau merendahkan orang atau kelompok tertentu karena alasan
perbedaan ras, agama, gender, usia atau budaya, yang merupakan bentuk dari subtle prejudice dan benign bigotry.
Saya tidak yakin, apakah ada satu
orang saja di dunia saat ini yang benar-benar bersih dari pikiran dan perilaku
bigotry. Bahwa ada manusia, yang mungkin dapat menjadi seperti apa yang diungkapkan
Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Bumi
Manusia (1980): “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak
dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.” Tapi tentu saja itu tidak dapat
dijadikan pembenaran. Prasangka dan bigotry, apapun justifikasinya, adalah selalu
bersifat merusak diri dan masyarakat. Sedapat mungkin perilaku bigotry ini
harus ditekan dan dikurangi penyebarannya. Karena seperti penyakit, menurut
saya bigotry ini dapat menular: pada keluarga, teman, tetangga dan lingkungan
yang lebih luas. Memiliki prasangka dan kebencian saja sudah merupakan hal yang
buruk Tapi mewariskan dan menyebarkan prasangka dan kebencian adalah jauh lebih
buruk lagi.
Bagaimana mengurangi perilaku bigotry?
Masalah bigotry bersifat
struktural dan kultural, baik di ranah individu, masyarakat, nasional maupun internasional.
Karenanya upaya mengurangi bigotry juga
harus masuk ke seluruh area tersebut, dari mulai kebijakan dan regulasi sampai
pada pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai yang menghargai pluralitas, toleransi
dan inklusivitas.
Menurut Gay (2013), mengurangi
kebencian, bigotry, dan intoleransi biasanya dimulai dengan sikap pribadi.
Orang yang memiliki harga diri yang rendah dan merasa terancam oleh perbedaan
atau yang membutuhkan rasa aman dan penerimaan oleh kelompok mungkin memiliki
masalah untuk mampu menghargai perbedaan tersebut --apakah itu warna kulit,
agama, jenis kelamin, pendapatan, bentuk fisik atau ukuran, atau kemampuan
mental--.
Bronner (2014:12) berpendapat bahwa
persoalan bigotry sudah sangat kompleks dan luas, sehingga perlawanan terhadap
para bigot ini membutuhkan bentuk-bentuk perjuangan baru yang menyoroti tidak
hanya solidaritas tetapi juga bentuk penilaian politik yang lebih tajam. Tidak
ada solusi sederhana untuk masalah yang ditimbulkan oleh para bigot tersebut.
Mengatasi bigotry tidak dapat
dilakukan sendiri. Individu dan berbagai kelompok masyarakat bahkan institusi
pemerintahan harus turut serta. Perlu pendidikan tentang keberagaman dan saling
menghargai baik di keluarga, institusi pendidikan dan keagamaan. Selain itu
perlu diperbanyak dan diperluas kampanye dan sosialisasi melalui berbagai media
untuk membantu menghentikan bigotry, intoleransi, dan rasisme. Individu di
tingkat nasional dan di seluruh dunia dapat mengambil tindakan terhadap bigotry
dan rasisme dengan bergabung dengan kelompok akar rumput yang bekerja untuk
mengatasi perilaku intoleran. Dapat pula berpartisipasi melalui media seni
budaya dalam bentuk drama jalanan, konser, drama, pertunjukan seni, dan acara
lain untuk membangun kepedulian terhadap pelanggaran hak-hak sipil dan
diskriminasi. Pendidikan dan sosialiasi mengenai pluralism dan toleransi juga
dapat dilakukan dengan melalukuan kegiatan kunjungan atau pertukaran budaya.
Dengan mempelajari budaya dan keyakinan yang berbeda dari mereka sendiri
(bahkan belajar bahasa lain) dapat membebaskan diri dari praduga tentang
kelompok etnis, yang pada gilirannya membantu mengurangi bigotry dan rasisme. Upaya
lain dapat dilakukan dengan membuat/mendukung petisi online, melakukan demonstrasi
atau berkampanye politik serta memilih politisi
yang mendukung tindakan legislatif untuk mengurangi bigotry dan intoleransi (Anderson,
2010; Gay, 2013; Bronner 2014).
--------------
Referensi:
- Abercrombie, Nicholas, Stephen Hill, and Bryan S. Turner (2006). The Penguin Dictionary of Sociology. Fifth Edition. Penguin Books, London.
- Anderson, Kristin J. (2010). Benign Bigotry: The Psychology of Subtle Prejudice. Cambridge University Press, Cambridge.
- Bronner, Stephen Eric (2014). The Bigot: Why Prejudice Persist. Yale University Press, New York.
- Bruce, Steve and Steven Yearly (2006). The SAGE Dictionary of Sociology. SAGE Publications, London.
- Gay, Kathlyn (2013). Bigotry and Intolerance: The Ultimate Teen Guide. It Happened to Me, No. 35. The Scarecrow Press, Lanham.
- Scruton, Roger (2007). The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought. Third Edition. The Macmillan Press, New York.
- Turner, Bryan S. (Gen. Ed.) (2006). The Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge University Press, Cambridge.
---Selesai---