“Reformasi”
dan
Tantangan Demokratisasi di Indonesia
Oleh:
Candra Kusuma
Dikemas ulang
dari kumpulan tulisan “Renungan Depok” – Juli 2012
Perubahan
kepemimpinan politik nasional akibat memburuknya perekonomian dalam negeri
karena pengaruh krisis ekonomi global, adanya konflik di lingkaran elit nasional,
maupun aksi kolektif dari rakyat yang mendesakkan “Reformasi”
di tahun 1998
telah mendorong proses demokratisasi yang sangat cepat dan luas di Indonesia.
Tuntutan “Reformasi”
dapat dipandang
sebagai reaksi atas sistem politik masa Orde Baru yang dinilai banyak pihak sebagai bentuk
pemerintah yang
“birokratik
otoriter”
dimana patronase politik begitu kental sampai ke lapisan masyarakat
terbawah.[1]
Kondisi
tersebut mirip dengan apa yang pernah dikemukan oleh O’Donnel dan Schmitter
(1993:77-78), bahwa dalam sebuah rezim “birokratik otoriter” rakyat dikondisikan
untuk mengesampingkan, mengabaikan dan melupakan identitas kemasyarakatan
dan politiknya. Akibatnya masalah kewarganegaraan menjadi sekedar
persoalan memiliki kartu identitas penduduk atau paspor, mentaati hukum nasional, dan
secara berkala memberikan suara dalam pemilihan umum (selanjutnya disebut
Pemilu). Hal tersebut berdampak pada hancurnya ruang-ruang politik yang
terbentuk secara otonom, dan digantikan dengan arena publik yang dikontrol
negara. Di arena baru tersebut, perdebatan mengenai berbagai isu publik harus
dilakukan berdasar aturan dan syarat yang ditetapkan pemerintah.
“Reformasi”
kemudian
memunculkan tuntutan yang kuat untuk dapat diciptakannya pemerintahan baru yang lebih
demokratis dan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (yang lazim disingkat
KKN), adanya akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, adanya
kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat, kewenangan lebih besar bagi daerah,
dan adanya partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam perumusan dan pelaksanaan
kebijakan publik.[2]
Secara mendasar
ada tuntutan untuk membuka ruang partisipasi politik yang lebih luas bagi warga
negara dalam berbagai aspek kehidupan politik, sosial dan ekonomi.
Tuntutan akan perubahan kebijakan otonomi daerah, dimana daerah dianggap perlu
diberi kewenangan yang lebih luas dalam mengurus dirinya sendiri (otonom),
melahirkan kebijakan otonomi daerah yang baru, dimana asas desentralisasi
menjadi lebih dominan.[3]
Salah satu akibat dari kebijakan tersebut adalah terjadinya pemekaran daerah yang
sangat masif sejak tahun 1999.[4]
Terjadilah apa yang disebut para ahli sebagai ‘big bang’ decentralization, dimana
Indonesia
berubah dengan cepat dari salah satu negara yang paling sentralistik menjadi negara
yang paling terdesentralisasi. Sejak lahirnya kebijakan otonomi daerah yang
baru pada tahun 1999 --dan berlaku efektif pada tahun 2001--, proses desentralisasi
politik, administratif, dan fiskal telah dilaksanakan pada saat bersamaan
(World Bank, 2003a:1). Perspektif tersebut tak lepas dari tesis yang kerap
dimunculkan dalam literatur internasional, bahwa desentralisasi yang mempromosikan
partisipasi dan akuntabilitas pada gilirannya akan mendukung keberhasilan
demokratisasi (lihat Manor, 1999; Heller, 2001).
Namun, seperti
dikutip Antlöv dan Wetterberg (2011:2) dari Fox (1996), Putnam (2002) dan
Cleary (2007), terdapat perbedaan outcome dan kualitas ketatapemerintahan
pasca desentralisasi, yang (salah satunya) dipengaruhi oleh kemampuan civil
society untuk terlibat atau berhubungan (engage) dengan negara
atau
pemerintah.
Di Indonesia,
desakan demokratisasi tersebut diantaranya berkenaan dengan kebutuhan
membangun institusi yang dapat menyediakan insentif untuk pengembangan
partisipasi dan good governance.[5]
Governance, dapat dimaknai sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara
pemerintah dan warga negara mengatur sumberdaya serta memecahkan masalah-masalah
publik. Terkait dengan hal tersebut, redefinisi peran pemerintah “pusat” dan pemerintah
daerah (selanjutnya disingkat Pemda), serta peran negara dan warga negara menjadi hal
yang tidak terelakkan
(Sumarto, 2009:3-4). Selain itu jika merujuk pada definisi good
governance dari UNDP
(1997),[6]
ada dorongan untuk memberi porsi yang lebih besar bagi warga negara untuk terlibat aktif
dalam berbagai aspek yang berkenaan dengan masalah dan kepentingan publik.
Setelah tahun
1998, negara merespon tuntutan akan demokratisasi dan good governance tersebut dengan
mengeluarkan berbagai kebijakan penting, diantaranya: kebijakan yang memperluas
desentralisasi dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada
pemerintahan daerah, berikut kewenangan pengelolaan keuangan daerah; kebebasan pers;
keleluasaan membentuk partai politik dan organisasi masyarakat; pemilihan kepala negara dan
kepala daerah secara langsung; hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam
perencanaan kebijakan
publik; kebijakan mengenai akses informasi publik; kebijakan pemberantasan
korupsi;[7]
dan sebagainya. Di sejumlah daerah, baik atas inisiatif sendiri ataupun
didorong oleh skema program yang didukung oleh NGO maupun lembaga donor,
juga cukup banyak yang telah membuat kebijakan daerah yang mengatur
tentang partisipasi atau keterbukaan informasi di daerah.[8]
Tidak hanya
berupa kebijakan daerah, cukup banyak Pemda yang mencoba inovasi lokal
untuk mengembangkan akses informasi pemerintahan kepada masyarakat,
diantaranya program yang membuat masyarakat bisa berkomunikasi langsung dengan
pemerintah dan stakeholder lainnya. Sebagai contoh, hasil studi yang dilakukan
JPIP tahun 2005-2006 melaporkan bahwa di Provinsi D.I. Yogyakarta dan
Jawa Tengah banyak Pemda menggunakan media radio dan televisi
pemerintah maupun swasta lokal sebagai sarana berkomunikasi dengan masyarakat,
seperti: program “Bupati
Menjawab”
(di Kabupaten Banyumas, Pemalang); program “Selamat Pagi Bupati” (Kebumen);
program “Tamu
Kita” (Kudus);
program “Dialog
Interaktif Pemda”
(Tegal, Pekalongan dan Kota Pekalongan); program radio “Otak Atik Solusi” (Bantul);
program “Walikota
Menyapa”
(Kota Yogyakarta); program “Obrolan Walikota” (TVRI Yogya dan Yogya TV); dan lainnya.[9]
Menurut
Dwiyanto, et.al. (2003a:190), partisipasi dalam proses kebijakan publik memang
merupakan hal penting yang mendasari pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu
rasionalitas yang penting dari pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk membuat
proses kebijakan publik mejadi lebih dekat dengan dengan warga sehingga mereka
dapat berpartisipasi dalam proses tersebut. Dwiyanto juga mengutip
pendapat de Asis (2002) mengenai cara yang harus ditempuh untuk menciptakan
proses kebijakan menjadi lebih partisipatif, yaitu: (a) Menjamin kemampuan aktor
dan stakeholders untuk memperoleh informasi dari pemerintah; (b) Adanya
transparansi dalam pemerintahan melalui pertemuan secara terbuka dengan
masyarakat dan stakeholders lainnya; (c) Melaksanakan dengar pendapat
dan membuat
keputusan bersama pada rancangan, keputusan, peraturan, dan hukum; (d)
Melibatkan warga negara untuk mengawasi kinerja pemerintah dalam pelaksanaan
kebijakan dan program pembangunan.[10]
Dengan adanya
payung hukum terkait jaminan hak politik warga negara yang telah diulas
sebelumnya, secara normatif peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam
penyusunan dan kontrol atas kebijakan publik memang menjadi jauh lebih besar dari
sebelumnya.[11]
Pelimpahan kewenangan yang lebih besar dari pusat kepada
pemerintah daerah berikut kewenangan dalam pengelolaan anggarannya juga memberi
peluang lebih besar kepada pemerintah dan masyarakat di daerah untuk
menentukan sendiri pembangunan di daerahnya.[12]
Menurut Ryaas Rasyid -- salah seorang arsitek kebijakan otonomi daerah tahun 1999--, visi
otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama, yaitu politik,
ekonomi dan sosial
budaya. Di bidang politik, otonomi daerah dipahami sebagai sebuah proses
untuk membuka
ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara
demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif
terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme
pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Dalam
hal ini, demokratisasi pemerintah juga berarti transparansi kebijakan
(Rasyid, dalam Haris, ed., 2007:9-10).
Menurut
Hasanuddin (dalam Djojosoekarto dan Hauter, 2003:14), keuntungan dari model
pemilihan langsung seperti yang berlangsung saat ini di Indonesia, antara lain:
(a) Rakyat dapat memilih pemimpinnya sesuai hati nuraninya sekaligus
memberikan legitimasi kepada pemimpin terpilih; (b) Menghindari peluang
distorsi oleh anggota DPRD untuk mempraktekkan politik uang; (c) Terbuka peluang
munculnya calon-calon kepala daerah dari individu-individu yang memiliki
integritas dan kapabilitas dalam memperhatikan kepentingan rakyat; (d)
Mendorong calon kepala daerah mendekati rakyat agar bisa terpilih; (e) Mendorong
terjadinya peningkatan akuntabilitas pertanggungjawaban kepala daerah kepada
rakyat.
Dikaitkan
dengan konteks otonomi daerah di Indonesia, gagasan demokratisasi tersebut
diwujudkan dalam bentuk pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah.
Hasanuddin menambahkan bahwa pemerintahan lokal yang demokratis
tidak hanya menempatkan otonomi daerah dalam konteks sebatas hubungan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, tetapi lebih mendasar lagi
yaitu hubungan negara dan masyarakat (state-society relation). Dalam hal ini,
pemerintah lokal yang demokratis dapat dimaknai sebuah tata pemerintahan di
tingkat lokal yang tidak hanya melibatkan perangkat birokrasi tetapi juga
masyarakat secara luas melalui interaksi yang berlangsung secara demokratis.
Ada dua
keuntungan dari proses tersebut, yaitu: (a) Pemerintahan lokal yang demokratis
dapat meningkatkan kinerja sistem demokrasi pada tingkat lokal, karena
masyarakat dapat berpartisipasi secara maksimal dalam penyusunan kebijakan di
daerah bersangkutan (policy formulation) maupun pelaksanaannya (policy
implementation) termasuk dalam hal ini melakukan pemilihan kepala pemerintahan
daerah kabupaten/kota; dan (b) Aparat pemerintah memiliki kesempatan
untuk dapat berperan lebih efektif dan peka terhadap kebutuhan masyarakat
sehingga dapat mendorong akuntabilitas mereka.[13]
Pandangan tadi sejalan
dengan pendapat Lasswell mengenai “ilmu kebijakan,” dimana tujuan
utama dari
proses penyusunan kebijakan adalah bukan hanya sekedar memberikan sumbangan pada
pembuatan keputusan yang efisien, namun juga memberikan pengetahuan
dalam rangka pengembangan pelaksanaan demokrasi.[14]
Di Indonesia,
demokratisasi dalam proses pemilihan kepala daerah juga telah mendorong
lahirnya kebijakan pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu
2004, dan pemilihan kepala daerah secara langsung (Gubernur, Bupati dan
Walikota beserta wakil-wakilnya) yang dimulai tahun 2005.[15]
Secara teoritik,
dikaitkan dengan teori mengenai elit dan kekuasaan (power) yang
dikembangkan oleh Mosca, Pareto, Michels, Weber dan C.W. Mills,[16]
konsep dan kebijakan
Pemilu dan Pemilukada pada dasarnya terkait dengan mekanisme sirkulasi
(pergantian) elit di pemerintahan pusat dan daerah melalui proses pemilihan oleh
rakyat yang dilakukan secara reguler, formal, dan damai. Disinilah partisipasi
politik warga paling minimal terjadi.
Pada faktanya
Pemilu dan Pilkada baik sebelum dan sesudah “Reformasi” ternyata masih memiliki sejumlah kelemahan mendasar.
Djojosoekarto dan Hauter (2003:8) mengidentifikasi beberapa kelemahan tersebut, antara lain:
(a) Praktek money
politics yang
sulit dibendung, sehingga kerapkali memicu konflik;[17]
(b) Lemahnya
akses dan kontrol warga terhadap calon dalam pemilihan kepala daerah; (c)
Lemahnya akuntabilitas proses pemilihan kepala daerah.[18]
Masalah-masalah
inilah yang
membuat sebagian pengamat memandang Pemilu dan Pemilukada belum mencerminkan praktek
demokrasi yang sesungguhnya, atau bahkan hanya dipandang sebagai ajang
pertarungan kepentingan “kaum bermodal” saja.[19]
Selain kendala
pada praktik pemilihan langsung kepala daerah tersebut, akuntabilitas
pemerintahan dan partisipasi publik dalam proses penyusunan dan kontrol
kebijakan berikut penganggarannya tampaknya belum menunjukkan perkembangan
yang menggembirakan. Hasil studi Dwiyanto, et.al. di sejumlah provinsi dan
kabupaten/kota di Indonesia melaporkan bahwa akses masyarakat terhadap
sejumlah informasi publik di daerahnya umumnya masih rendah. Pemerintah
daerah juga cenderung tertutup ketika membuat prosedur pelayanan publik dan
perencanaan program dan proyek pembangunan. Sementara partisipasi warga dan
pemangku kepentingan dalam berbagai proses kebijakan di daerah juga dinilai masih
rendah. Rendahnya pemanfaatan usulan dan masukan tersebut menjadi
disinsentif bagi para pemangku kepentingan untuk terlibat dalam proses kebijakan.
Akibatnya kualitas kebijakan publik di daerah menjadi dipertanyakan, karena banyak
kebijakan di daerah yang kemudian dianggap gagal menjawab kebutuhan
masyarakat di daerah. Meskipun ketersediaan sarana dan mekanisme penyampaian
keluhan dan aspirasi menunjukkan kecenderungan meningkat, namun umumnya
kurang efektif (Dwiyanto, et.al., 2007:14-17).
Pada akhirnya
kondisi di atas memunculkan pertanyaan mengenai apa sesungguhnya
motif dan dampak dari gencarnya tuntutan pemekaran daerah di Indonesia.
BAPPENAS dan UNDP (2008) mengutip hasil penelitian Fitrani et.al. (2005) yang
menyatakan bahwa pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic
and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat
maupun dari penerimaan daerah sendiri. Karena adanya tuntutan untuk menunjukkan kemampuan
menggali potensi
wilayah, maka banyak daerah menetapkan berbagai pungutan untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang menyebabkan terjadinya perekonomian
daerah berbiaya tinggi. Disisi lain, muncul dugaan bahwa pemekaran
wilayah merupakan bisnis kelompok elit di daerah yang sekedar menginginkan
jabatan dan posisi. Euforia demokrasi dan partai-partai politik yang memang terus
tumbuh, dimanfaatkan kelompok elit ini untuk menyuarakan “aspirasinya” mendorong
terjadinya pemekaran (BAPPENAS dan UNDP, 2008:1). Banyak pihak
yang kemudian menenggarai bahwa kebijakan otonomi dan pemekaran
daerah saat ini hanya memunculkan “raja-raja kecil” saja, yaitu
ketika para eksekutif, legislatif dan kelompok-kelompok dominan di daerah dapat
bertindak untuk
kepentingan diri dan kelompoknya tanpa terlalu mempertimbangkan kepentingan nasional ataupun
masyarakat yang ada di daerahnya sendiri.[20]
Kontestasi
kepentingan diantara para aktor di daerah khususnya dari sisi eksekutif dan legislatif
turut mewarnai proses penyusunan kebijakan dan anggaran di daerah. Banyak
ahli yang menilai masih kuatnya elite capture dalam proses penganggaran di
daerah dibanding untuk kepentingan warganya.[21]
Pada sejumlah kasus,
inisiatif untuk mengembangkan model perencanaan pembangunan dan penganggaran di
daerah memang menimbulkan harapan akan perubahan. Studi Takeshi (2006)
mengenai mekanisme perencanaan kegiatan pembangunan yang melibatkan
organisasi dan kelompok masyarakat di Kabupaten Bandung (Musyawarah
Perencanaan Pembangunan atau Musrenbang) sampai tingkat tertentu dapat
menekan adanya pengaruh politik dari para elit di daerah yang dapat merugikan
kepentingan publik dalam penentuan kegiatan dan anggaran tersebut. Namun kondisi
tersebut sangat dinamis, sehingga masih juga amat rentan dari intervensi
kepentingan elit tersebut. Antlöv, Brinkerhoff, dan Rapp (2010:436) mencatat bahwa
pada banyak kasus, aktor-aktor pemerintah masih mengontrol akses
masyarakat dan mendominasi berbagai arena analisis dan debat dalam penyusunan
kebijakan dan pengambilan keputusan. Musrenbang dan konsultasi publik
seringkali hanya bersifat diseminasi informasi atas keputusan yang sudah
dibuat
sebelumnya.
Selain itu, ada
juga pengamat yang menilai bahwa struktur organisasi pemerintah daerah pada
umumnya juga masih belum memberikan ruang yang cukup bagi partisipasi
publik, sekalipun struktur organisasi tersebut merupakan hasil reorganisasi
yang telah dilakukan pada awal pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Hasil
penelitian LIPI (2001) di Kabupaten Bandung contohnya, melaporkan bahwa
meskipun telah dilakukan dua kali restrukturisasi organisasi perangkat
daerah, namun struktur organisasi yang ada masih diwarnai resistensi nilai-nilai birokrasi
lama dengan ciri-ciri birokrasi tradisional (traditional bureaucratic
authority).
Hal ini mengindikasikan bahwa persoalan partisipasi publik masih
dipandang sebagai persoalan yang berada diluar wilayah manajemen pemerintahan
seperti yang terjadi di masa sebelumnya. Dalam hal ini program pemberdayaan
masyarakat dan partisipasi publik masih bersifat ad-hoc dan parsial
serta belum
menjadi bagian integral dari keseluruhan manajemen pemerintahan dan pembangunan
di kabupaten tersebut.[22]
Hasil studi
USAID tahun 2006 juga mengkonfirmasi lemahnya pengaruh civil society dalam mendorong
demokratisasi dan pelaksanaan otonomi daerah, khususnya berkenaan dengan upaya peningkatan
pelayanan publik di daerah. Laporan studi tersebut menyatakan bahwa karakteristik dari
berbagai inovasi pelayanan
publik di daerah bukan terutama disebabkan oleh adanya tekanan dari kelompok-kelompok
masyarakat, dan bukan pula karena adanya desain atau rencana kerja
yang baik yang disusun oleh internal birokrasi di daerah ataupun dengan dukungan
tenaga konsultan profesional. Inovasi-inovasi tersebut lebih banyak
dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: (a) Kepemimpinan yang kuat dari kepala daerah;
(b) Kepala daerah memiliki koneksi yang baik ke pemerintah pusat, baik
melalui jalur birokrasi dan/atau partai politik; dan (c) Adanya dukungan dari
lembaga donor. Faktor kepemimpinan kepala daerah maupun sokongan
lembaga donor tersebut membuat berbagai inovasi tersebut rentan untuk mampu bertahan
lama dan dikembangkan lebih lanjut, karena bergantung pada figur dan
dukungan dana yang tentunya harus diasumsikan hanya bersifat sementara saja
(USAID, 2006:68).
Dari seluruh
paparan tersebut, terlihat bahwa meskipun “Reformasi” telah memberi keterbukaan politik, namun
demokratisasi di Indonesia masih memiliki sejumlah masalah mendasar. Salah satunya,
proses pemilihan pimpinan pemerintahan dan legislatif, penyusunan kebijakan publik dan
penganggarannya, serta kontrol terhadap pelaksanaan dan hasil pembangunan tidak
hanya masih bersifat
elitis, bahkan cenderung menjadi ajang meraih keuntungan pribadi dan kelompok
tertentu saja. Meski secara secara legal telah ada payung hukum bagi partisipasi
masyarakat, namun dalam praktiknya hal tersebut belum masih belum efektif dapat
dilaksanakan. Akibatnya keberhasilan pembangunan dan peningkatan
kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan dari upaya demokratisasi dan
desentralisasi tampaknya belum menunjukkan perkembangan yang positif.[23]
Kalaupun ada
inisiatif reform di daerah, hal tersebut masih bergantung pada figur
kepala
daerahnya karena belum terinstitusionalisasi sehingga sulit diharapkan keberlanjutan
dan pengembangannya.
Mengacu pada
hasil studi Governance and Decentralization Survey 2 (GDS2) yang dilakukan
oleh World Bank (2006), berdasarkan analisis biaya ekonomi yang
dikeluarkan selama periode pemekaran daerah 2001-2005, pemekaran daerah yang
massif tersebut justru telah mengurangi kapasitas pemerintah pusat dan daerah
dalam mengalokasikan belanja pembangunan. Pemekaran telah menyita
sebagian sumber daya dan anggaran untuk berbagai pengeluaran penyiapan
infrastruktur pemerintahan di daerah otonom baru (seperti untuk Pemilukada,
pegawai, penyiapan gedung pemerintahan, dll.). Selain itu, masyarakat di
daerah otonom baru ternyata memiliki kepuasan yang lebih rendah terhadap
pelayanan kesehatan, pendidikan, administrasi publik dan kepolisian.
Selain itu,
daerah otonom baru lebih rendah dalam hal program penanggulangan kemiskinan di
daerah dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan di
tingkat lokal (DSF, 2007:61-62). Dari uraian di atas, tergambar sebagian dari
masalah societal berkenaan dengan demokratisasi di Indonesia saat ini. Semua
struktur dan prosedur yang sebagian besar diantaranya sudah tersedia untuk
menjadikan Indonesia sebagai --apa yang jika dilihat dari perspektif Habermas dapat
disebut—“negara
hukum demokratis,”
tampaknya belum menjamin bahwa dalam prosesnya dapat berjalan mulus seperti
yang
diinginkan. Di tingkat makro, terbangunnya kultur demokrasi maupun kultur
birokrasi yang
melayani dan peduli pada kepentingan publik, tampaknya masih menjadi
persoalan yang harus dihadapi di semua lapisan masyarakat dan birokrasi.
Karenanya, di
tingkat nasional, penyempurnaan kebijakan, kelembagaan dan mekanisme
desentralisasi di Indonesia, yang sekaligus diharapkan mampu membangun
kultur demokrasi dan birokrasi yang lebih baik, menjadi kebutuhan yang harus segera direspon agar masalah-masalah di atas tidak
menjadi berlarut-larut.
[1] Adanya
dominasi birokrasi dalam menentukan kebijakan publik dan hasrat kuat akan
stabilitas melalui kontrol aparatur negara/militer di semua bidang dan lapisan
kehidupan masyarakat. Diantaranya lihat Budiman, dalam Budiman dan Tornquist,
2001:xxvi; Sumarto, 2005:1; Simpson, 2010; Schuck, dalam Hadiwinata dan Schuck,
2010:77. Lebih jauh, pengamat lain menyebut situasi di Indonesia masa Orde Baru
sebagai negara militer rentenir (rentier militarist state) karena begitu
besarnya peran militer dalam menduduki jabatan publik dan mempengaruhi budaya
masyarakat (lihat Tanter dan Young, 1996:9. Hubungan patronase tersebut juga
dinyatakan Rasyid, dalam Haris, ed., 2007:7. Anderson (2008) menyebut penguasa
Orde Baru sebagai mediocre tyrant. Lindsey bahkan menyebut Orde baru
sebagai ‘negara Mafia’ dan ‘negara Preman’ atau state premanism (lihat
Coppel, 2006:29). Pada ekstrem yang lain, banyak pula yang justru berpendapat
sebaliknya, bahwa masa Orde Baru dan figur Suharto sebagai era yang lebih baik,
terutama akibat kekecewaan pada ‘Reformasi’ yang dianggap tidak cukup berhasil
memperbaiki perekonomian rakyat bawah, korupsi di semua level, dan berkurangnya
stabilitas ke dalam dan keluar akibat melemahnya peran negara.
[2] Diantaranya
lihat Pratikno, dalam Haris, ed., 2007:25; Antlöv, dalam Sumarto,
2009:xxi-xxiii; Dwiyanto, et.al., 2003a:1; Antlöv dan Wetterberg, 2010:24-25.
[3] Tiga pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia,
yaitu: (a) Desentralisasi, yakni penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah dalam rangka negara kesatuan. Ada dua jenis, yaitu
desentralisasi teritorial (kewenangan mengurus wilayah) dan desentralisasi
fungsional (kewenangan mengurus fungsi tertentu); (b) Dekonsentrasi, yakni pelimpahan
wewenang dari pemerintah kepada daerah sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat
pusat di daerah dalam rangka negara kesatuan; (c) Tugas Perbantuan atau Medebewind,
yakni keikutsertaan daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang
kewenangannya lebih luas dan lebih tinggi di daerah tersebut. Lihat Fauzi dan
Zakaria, 2000:11-12.
[4] Dalam kurun
waktu satu dekade antara tahun 1999-2009 telah terjadi penambahan daerah otonom
baru hampir dua kali lipat dari sebelumnya. Menurut Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 21 Tahun 2010 tentang Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran,
sebelum tahun 1999 jumlah daerah otonom sebanyak 319 daerah (26 provinsi, 234
kabupaten dan 59 kota). Pada tahun 2009 jumlah daerah otonom menjadi 524 daerah
(33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota).
[5] Schiller
(dalam Sumarto, 2009:xviii-xix), memandang perlunya ada state formation,
yaitu perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan negara-masyarakat sebagai
hasil dari perubahan kapasitas negara dan aktor-aktor sosial, ekonomi dan
politik lainnya.
[6] UNDP (1997)
mendefinisikan governance sebagai “the
exercise of economic, political and administrative authority to manage a country’s
affairs at all levels. It comprises the mechanisms, processes and
institutions through which citizens and groups articulate their interests,
exercise their legal rights, meet their obligations and mediate their differences”.
[7] Kebijakan
tersebut, diantaranya: TAP MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi
Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional; TAP MPR
No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme; Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah; UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers; UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, perubahannya yaitu UU No. 32 Tahun 2004, dan perubahannya
lagi dengan UU No. 12 Tahun 2008; UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu dan
perubahannya di UU No. 12 tahun 2003; Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia; Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara; UU No. 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (khususnya mengenai
ruang partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan); UU No. 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; dan Amandemen UUD 1945 (terutama Amandemen
2, pada bagian mengenai hak asasi manusia).
[8] Peraturan daerah (Perda) atau kebijakan daerah setingkat
keputusan Bupati/Walikota mengenai partisipasi masyarakat menggunakan nama yang
beragam, seperti peraturan daerah tentang partisispasi publik, konsultasi
publik, transparansi dan partisipasi. Kebijakan semacam itu diantaranya ada di
Kabupaten Solok, Tanah Datar, Bantul, Ngawi, Kebumen, Lamongan, Bulukumba,
Bolaang Mongondow, Gowa, Boalemo, Magelang, Lebak, Bandung, dan lainnya (lihat
BAPPENAS, 2009:48; atau lihat juga http://www.kebebasaninformasi.org/index2.php?pilih=perun&pilih2=daerah, diakses 10 Oktober 2011). Khusus di Kabupaten Bandung, payung
hukum di tingkat daerah yang mengatur soal partisipasi publik ini adalah Perda
No. 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi, dan Perda No. 8 Tahun
2005 tentang Tatacara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah.
[9] Lihat Jawa
Post Institute of Pro Otonomi (JPIP) (2006:123). Perlu ditambahkan, hasil studi
Dwiyanto, et.al. (2003b:46) melaporkan bahwa forum pertemuan antara birokrat
dan warga memang lebih banyak ditemukan di Jawa dibandingkan di luar Jawa.
[10] Negara-negara
OECD dan lembaga keuangan/pembangunan internasional umumnya menggunakan
terminologi ‘voice’ bagi aktivitas
penyampaian aspirasi warga (baik melalui dialog, lobby, perencanaan bersama,
protes/demonstrasi, dll.) kepada pemerintah khususnya berkenaan dengan isu
pelayanan publik dan anggaran publik. Ulasan mengenai hal ini diantaranya dapat
dilihat pada
Schiampo-Campo dan Sundaram (Asian Development Bank, 2001), dan World Bank (2003b).
[11] Diantaranya
lihat Antlöv, dalam Sumarto, 2009:xxii.
[12] Menurut UU No.
32 Tahun 2004, tujuan otonomi daerah ada tiga, yaitu meningkatkan pelayanan publik,
daya saing daerah dan kesejahteraan rakyat.
[13] ibid:12-13.
[14] Lihat Dunn
(2003:70), yang mengutip Lasswell dan Kaplan (Power and Society: A Framework
for Political Inquiry, 1950). Dunn berpendapat bahwa secara umum,
penyusunan kebijakan setidaknya akan melalui tahap penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan.
Persoalannya adalah baik metode dan teknis penyusunan kebijakan pada umumnya
tidak menjelaskan dimana peran masyarakat/warga dalam proses tersebut. Pada
umumnya proses tersebut hanya atau lebih banyak melibatkan para birokrat, teknokrat
dan konsultan kebijakan saja (hal. 24). Sumber data dan informasi yang
digunakan lebih banyak bersifat data sekunder/statistik. Masalahnya, dari hasil
pengamatan peneliti sendiri terhadap wacana mengenai data pembangunan di
Indonesia, sumber data tersebut seringkali kurang mampu menangkap dinamika
perkembangan masalah dan kebutuhan yang terjadi di masyarakat. Terlebih di
negara-negara ‘berkembang’ seperti Indonesia, dimana data statistic kerapkali
‘diragukan’ kelengkapan dan validitasnya, sehingga pada dasarnya juga
menyulitkan untuk digunakan sebagai bahan analisa penyusunan dan evaluasi
kebijakan.
[15] Berdasarkan UU
No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, pemilihan kepala
daerah dilakukan oleh legislatif di daerah, namun kontrol dan intervensi pusat
sangat kuat. Dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kepala
daerah dan wakil kepala daerah masih dipilih oleh DPRD secara mandiri.
Selanjutnya, beradasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
rakyat dapat memilih langsung kepala daerah dalam pemilihan umum kepala daerah
wakil kepala daerah. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pertama kali diselenggarakan
pada bulan Juni 2005, yaitu di Kabupaten Kutai Kertanegara. Sejak berlakunya UU
No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dianggap
sebagai bagian dari rezim Pemilu, sehingga secara resmi bernama ‘pemilihan umum
kepala daerah dan wakil kepala daerah’ atau ‘Pemilukada’. Pemilukada pertama
yang diselenggarakan berdasarkan undangundang ini adalah Pemilukada DKI Jakarta
2007. Selanjutnya berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008, dimungkinkan bagi calon
kepala daerah yang berasal dari pasangan calon perseorangan (bukan pasangan
calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik), dengan
syarat memiliki bukti dukungan masyarakat dalam jumlah tertentu.
[16] Menurut Best
dan Higley (2010:1) yang mengutip Linz (2006), sebagian pemikir teori elit seperti
Mosca (1923, 1939) dan Michels (1915, 1962) menilai praktek demokrasi pada
akhirnya menjadi sekedar kompetisi diantara para elit sendiri. Pilihan dan
kepentingan para pemilih (voter) telah dimanipulasi sedemikian rupa
sehingga merasa memiliki pilihan yang berbeda dan dapat
diperbandingkan.
[17] Harian KOMPAS
tanggal 21 Desember 2010 melaporkan bahwa pada seluruh pelaksanaan Pilkada
tahun 2010 saja tercatat ada 1.517 kasus politik uang di seluruh daerah di
Indonesia yang melaksanakan Pilkada pada tahun itu. Sekitar 60% diantaranya
dalam modus pemberian uang secara langsung, sedang sisanya berupa pemberian
dalam bentuk barang, dll. Lihat Harahap, 2011:4-5.
[18] Salah satu
indikatornya adalah maraknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan pimpinan
daerah dan DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota. Hasil studi Rinaldi,
et.al. yang mengutip ‘Laporan Pelaksanaan Tugas Panja Penegakan Hukum dan
Pemerintahan Daerah’ yang disusun oleh DPR-RI tahun 2006 melaporkan bahwa sejak
tahun 2002 lalu telah terjadi gelombang pengungkapan kasus dugaan korupsi DPRD
di berbagai daerah. Berdasarkan data Kejati seluruh Indonesia sampai dengan
bulan September 2006 terdapat 265 kasus korupsi DPRD dengan jumlah tersangka/terdakwa/terpidana
sebanyak 967 orang anggota DPRD yang ditangani oleh 29 Kejati. Pada periode
yang sama, telah dikeluarkan ijin pemeriksaan untuk anggota legislatif: 327
orang anggota DPRD provinsi dan 735 DPRD kabupaten/kota. Lihat Rinaldi et.al.,
2007:2.
[19] Satu contoh
dapat dilihat pada kajian Koswara (2006) mengenai kasus Pilkada Langsung di
Kota Cilegon tahun 2005. Menurutnya, Pilkada Langsung hanya menjadi arena
kontestasi dua varian kapitalisme di Indonesia, yaitu kapitalisme neo-liberal
dan kapitalisme rente. Hal tersebut disebabkan oleh diterapkan liberalisasi
politik melalui kebijakan otonomi daerah. Sayangnya Koswara hanya berhenti pada
analisis ini saja namun tidak memberikan alternatif apa yang perlu dilakukan
untuk menyikapi atau bahkan mengatasi hal tersebut.
[20] Analisis awal
sekali mengenai kecenderungan tersebut lihat Gejolak Tuntutan Otonomi
Daerah: Perspektif Ekonomi Politik dan Implikasinya, INDEF’s Policy
Assessment, September 1998:1.
[21] Elite
capture dalam konteks desentralisasi merujuk pada adanya kemungkinan
sumberdaya publik (keputusan dalam perencanaan, penganggaran, pelaksana
pelaksana program/proyek, dll.) ‘ditawan’ atau dikendalikan oleh para elit
lokal atau kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan di daerah (local power
groups). Lihat Chowdhury dan Yamauchi, 2010:2.
[22] Wardiat,
et.al., “Implementasi Otonomi Daerah antara Restrukturisasi dan Pengembangan Potensi
Lokal: Kasus Kabupaten Bandung dan Kabupaten Lebak” (2001), yang dikutip dalam Wardiat,
et.al., 2006:18.
[23] Sebagai
gambaran, hasil analisa YAPPIKA (2006) mengenai pemberitaan media massa di
Indonesia tahun 2005-2006 menyimpulkan bahwa pemerintah daerah tidak menjadi
semakin akuntabel, responsif, dan mampu memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat. Lambannya pemerintah suatu kabupaten/kota merespon kebutuhan
pembangunan yang dikeluhkan masyarakat memperlihatkan jurang pembangunan masih
menganga lebar.