Rasional, ‘Die
Hard’, ‘Easy Going’ atau Intuitif?
Oleh: Candra
Cara orang mengambil keputusan, dalam memilih Caleg atau pasangan
Capres misalnya, pasti beda-beda. Faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan, akses
media, tingkat interaksi dan penilaian atas pengalaman berinteraksi dengan
partai politik atau kandidat tertentu kemungkinan akan mempengaruhi juga. Ini
ada salah satu contoh mengenai model-model pengambilan keputusan oleh pemilih
dalam Pemilu.
“Jangan terlalu percaya. Namanya juga teori. Boleh juga kok bikin teori
sendiri nanti… he..he..”
Model I: Pilihan rasional
Calon pemilih (voter) yang "rasional"
dan sejalan teori ekonomi dari von Newman dan Morgenstern (1947) dan
Arrow (1951). Mencari tahu apa “konsekuensi” (untung rugi) buat dirinya (self interest, yaitu keuntungan jangka pendek
yang terukur untuk diri dan/atau
keluarga dekatnya) jika memilih kandidat tertentu. Karena itu calon pemilih
berupaya mencari informasi sebanyak mungkin mengenai kandiddat dari berbagai
sumber dan dengan berbagai cara. Sederhananya, pemilih ini cenderung membuat “ranking” yang bersifat restrospective (misalnya track record kandidat) maupun prospective (misalnya isu atau program
yang diusung) dari kandidat-kandidat yang masuk dalam kategorinya, dan menilai
kandidat mana yang baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat
menguntungkannya.
Ada pula sub-model yang lebih “soft”
dari contoh yang “super rasional” tadi. Calon pemilih ini juga cenderung
berpikir rasional, dan mencoba melakukan kalkulasi serta mencari informasi
mengenai kandidat. Namun calon pemilih ini tidak sengotot contoh pertama tadi. Calon pemilih ini akan senang jika
dapat memperoleh informasi tersebut, namun jika upaya untuk memperoleh dan “mengolah”
informasi tersebut dipandang terlalu menyita waktu dan merepotkan, maka dia
cenderung mengerjakan hal lain yang menurutnya lebih produktif. Calon pemilih
ini juga percaya bahwa pada dasarnya tidak aka nada banyak perbedaan atau
manfaat bagi dirinya jika memilih parati atau kandidat yang ada. Karena itu
biasanya calon pemilih sub-model ini hanya akan fokus mempertimbangkan pada kandidat-kandidat
utama saja. Sub-model ini dapat disebut pemilih rasional dengan konstrain atau
syarat tertentu (Gigerenzer dan Todd, 1999).
--> “Ada orang yang betul-betul
mencermati kandidat dan partainya dengan niat mencari calon mana yang bisa
memberikan terbaik buat banyak orang…. Tapi kalau calon pemilih yang mau atau bahkan minta
dikasih uang dari Caleg dan Capres atau tim suksesnya termasuk yang rasional
apa nggak ya?”
Model II: Sosialisasi awal dan konsistensi kognitif
Calon pemilih ini pada dasarnya seperti warga kebanyakan yang hanya
sedikit tahu dan kurang peduli dengan persoalan politik. Namun model ini adalah
pendukung/pemilih pertama dan utama dari partainya. Calon pemilih ini memiliki “sejarah
yang panjang” dengan partai tertentu, sehingga sangat mempengaruhi cara
pandangnya dalam menilai karakter personal, isu yang diangkat dan
kinerja/performance dari kandidat-kandidat yang ada. Karenanya, identifikasi diri (party id) dari calon pemilih model ini dengan partai tertentu ini sulit
dikatakan bersifat rasional, namun lebih menyerupai sesuatu yang “given” seperti ras, gender, kelas atau
agama.
Berbeda dengan Model I di mana orientasi utama calon pemilih adalah keuntungan/kepentingannya
sendiri, pada Model II ini yang memberi pengaruh paling kuat adalah
identifikasi sosial awal (early-learned
social identifications) yang cenderung diterima dan tanpa pertimbangan
alternantif. Artinya, proses identifikasi ini berkembangkan karena pengkondisian
sederhana, dan buka didasarkan oleh kalkulasi self-interest (Sears, 1975; Sears & Funk, 1991).
Karena partai-partai pada
dasarnya tetap (ini kasus di Inggris atau Amerika lho…) maka umumnya dipandang
tidak penting untuk terus menerus melakukan monitoring terhadap aktivitas
partai. Akibatnya, paparan informasi politik umumnya terjadi secara serampangan
dan tidak disengaja, sehingga sebagian besar warga hanya mengetahui
masalah-masalah umum yang diliput oleh media massa. Selain itu, persepsi
mengenai informasi politik yang diterima juga cenderung bias karena kuatnya
perspektif yang sudah terbangun sebelumnya, sehinggai calon pemilih cenderung
untuk mempertahankan keyakinan mereka sebelumnya. Singkatnya, calon pemilih
model ini cenderung menolak perubahan atau gagasan baru, dan mengambil sebagian besar keputusan atas dasar
pengetahuan dan keyakinan mereka sebelumnya.
Selain itu, persepsi pemilih tersebu tterhadap informasi politik sering bias oleh kecenderungan untuk mempertahankan apa yang sudah mereka ketahui sebelumnya. Dengan kata lain, pemilih cenderung memilih berdasarkan pada keyakinan mereka
sebelumnya (cognitive consistency).
--> “Nah, kalau ada calon pemilih
yang ‘cinte mati’ sama satu calon atau partai , dan bener atau salah dukung itu calon atau partai, kayaknya termasuk model ini nih…”
Model III: Pengambil keputusan yang cepat
Tidak semua calon pemilih memiliki waktu yang cukup untuk urusan
politik. Pertimbangan utama dari calon pemilih model ini adalah didasarkan pada
self-interest dan pertimbangan waktu dan
biaya yang dibutuhkan untuk mengumpulkan informasi. Namun ada juga yang lebih
mempertimbangkan waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk “mengolah informasi” dan
bukan saat mengumpulkannya. Model calon pemilih ini disebut “single issue voters.”
Model ini juga disebut calon pemilih yang berkutat di isu-isu “mudah”
(Carmines & Stimson, 1980), yang dicirikan sebagai isu lama dalam agenda
politik, isu yang sebagian besar bersifat simbolik daripada teknis, dan
berurusan dengan capaian kebijakan dibandingkan cara mewujudkan kebijakan
tersebut. Istilah tersebut digunakan untuk membedakan dengan tipe pemilih yang
masuk dalam isu-isu “keras” yang dicirikan pada isu-isu yang bersifat detail
ataupun mempermasalahkan cara mencapai tujuan.
Calon pemilih yang termasuk mode ini hanya memilih atau mengambil
keputusan hanya berdasar pada isu besar atau informasi yang mereka temukan, dan
mengabaikan yang lain. Pertimbangan cepat, dan hanya fokus mengenai satu atau dua
konsekuensi positif atau negatif dari pilihan yang ada. Prinsipnya efisien dan simple.
--> “Kalau calon pemilih model begini
ya yang ‘easy going’ aja… Siapa aja
Presiden-nya juga nggak terlalu ngaruh kok… Gitu aja kok repot!”
Model 4: Rasionalitas dan
pengambilan keputusan intuitif
Calon pemilih model ini mengambil keputusan berdasarkan informasi yang sangat
sedikit yang diperoleh selama masa kampanye. Namun motivasinya cenderung berbeda
dibandingkan model pemilih lainnya, Karen tidak didasarkan oleh pertimbangan
rasional yang mendalam (Model I), juga tidak hanya didasarkan pada predisposisi
politik yang sudah terbentuk sebelumnya, atau juga bukan berdasarkan
pertimbangan atau hasil konfirmasi dengan pihak lain. Dalam pemilihan presiden
misalnya, calon pemilih model ini hanya akan melihat kandidat presiden dari dua
partai utama yang tengah bersaing. Selanjutnya calon pemilih model ini hanya
menilai kandidat tersebut berdasarkan stereotype atau presumsi yang dia sudah
pernah ketahui sebelumnya dari pihak lain, contohnya media massa. Bahwa
Kandidat I adalah calon presiden yang berkarakter A, B dan C, sedangkan Kandidat
II adalah calon presiden dengan karakter Z, Y dan Z. Kondisi ini disebut “rasionalitas
dengan informasi sedikit/terbatas” atau low
information rationality (Popkin, 1991; Sniderman, Brody & Tetlock,
1991) di mana calon pemilih mengambil keputusan tanpa terlalu banyak usaha.
Salah satu versi dari “rasionalitas dengan informasi sedikit/terbatas” sejalan
dengan calon pemilih Model 4 yaitu “pengambil keputusan intuitif” atau intuitive decision making. Calon pemilih
pada model ini berpendapapat bahwa sebagian besar keputusan (termasuk sebagian
besar keputusan politik) sebaiknya dipahami sebagai respon semi-otomatis dari
situasi yang sering dihadapi , daripada respon yang memerlukan pertimbangan
atau kalkukasi yang mendalam terhadap alternatif-alternatif berbeda.
Dari survei-survei sebelumnya diketahui bahwa sebagian besar orang
tidak merasa tertarik dengan politik, memberikan penilaian berdasar buku teks
dasar, dan tidak tahu cara kerja pemerintahan
(Delli Carpini & Keeter, 1996). Beberapa warga memiliki apa yang
mendekati sebuah “ideologi” dan sebagian besar tidak memiliki perilaku yang “stabil”
atau nyata bahkan terhadap isu-isu politik hari ini (Converse, 1964, 1975; Zaller,
1992). Model 3 dan 4 menggambarkan manusia sebagai “prosesor dengan informasi terbatas” yang
cenderung membuat keputusan secara “intuitif” (yaitu kurang formal dan
kalkulatif). Meskipun tetap mencari
informasi, namun sebatas dipandang cukup untuk membuat keputusan (tanpa
keragaman atau kedalaman informasi). Calon pemilih model ini biasanya mengambil
cara berpikir pintas (cognitive shortcuts)
yang tidak selalu rasional namun bersifat heuristik. Calon pemilih model ini
cenderung mengambil keputusan dengan cara mudah dan menghindari pengorbanan
yang berlebihan.
--> "Ini jenis pemilih yang maunya yang ‘sedeng-sedeng’ aja… Mikir tapi seperlunyalah… Ujung-ujungnya sih ikutin ‘feeling’
ajah… Nggak ada politisi yang sempurna... Apalagi banyak yang 'dimanipulasi' sama media... Jadi pilih aja yang kira-kira paling baik diantara yang terburuk...”
“Jadi… dari empat model tadi saya ini mirip dengan
model nomor berapa ya...?”
Sumber: Richard R.
Lau & David P. Redlawsk. How Voters
Decide: Information Processing Election Campaigns. Cambridge University
Press. 2006.