“Samurai, Ronin dan Ninja"
Oleh: Candra Kusuma
Saya bukan ahli tentang Jepang, namun saya cukup punya ketertarikan
dengan kisah-kisah klasik negara tersebut. Kisah tentang samurai dan berbagai intrik dan persaingan diantara para warlord di masa feodal Jepang, baik di
dalam buku maupun film, rasanya selalu seru dan romantis untuk dinikmati.
Dalam suasana menjelang Pilpres 2014 yang riuh rendah saat ini,
entah mengapa saya sering tergoda untuk
meng-analogi-kan para aktor politik dengan figur-figur dalam cerita klasik
Jepang tersebut. Ada 3 tokoh yang buat saya perannya mirip dengan para aktivis
partai, kelompok pendukung, penggembira ataupun bagian dari masyarakat yang
tidak begitu terlibat dalam ritual 5 tahunan ini, yaitu: samurai, ronin dan ninja.
Samurai, Ronin dan Ninja
Dalam masyarakat feodal Jepang masa lampau, ada satu kasta atau
strata sosial yang sangat dihormati yaitu para ksatria atau prajurit. Orang
umum menyebutnya sebagai samurai. Namun, pada awalnya gelar sebagai samurai hanyalah dimiliki oleh keluarga
dari kelas elit di masyarakat saja. Stratifikasi sosial masyarakat Jepang feodal
terdiri dari kelas ksatria, petani, seniman dan pedagang. Jadi tidak semua
prajurit adalah samurai, namun tidak
semua Samurai juga menjadi prajurit (Bryant
& McBride, 1989:1). Para samurai
bekerja melayani kepentingan para pemimpin klan, Daimyo (penguasa wilayah militer atau warlord), Shogun
(pemimpin pemerintahan militer atau Bakufu,
penguasa sesungguhnya di Jepang era feodal) dan Kaisar (Turnbull, 1998:8). Seorang
samurai mengikuti kode kehormatan
yang disebut Bushido atau “The Way of the Warrior.” Loyalitasnya
utuh dan sepenuhnya pada tuannya (Gaskin & Hawkins, 2003:4). Meskipun dalam
realitasnya, oleh berbagai sebab, ada diantara samurai tersebut yang kemudian berkhianat atau mengalihkan
loyalitasnya pada pihak lawan.
Tidak semua samurai menyandang
status itu sampai mati. Masyarakat Jepang memiliki sebutan lain eks samurai
tersebut, yaitu ronin. Seorang ronin
adalah para mantan samurai pengikut/bawahan yang menjadi “men of the waves” yang secara harfiah dapat diartikan sebagai “orang-orang di
atas gelombang.” Sebuah istilah yang menyiratkan bahwa para Ronin adalah orang-orang posisi dan
perannya terombang-ambing dalam kehidupan sosial (Turnbull, 1989:4). Ronin kerap terjebak dalam
konflik antar kelas-kelas sosial (Rice, 2005:22). Ronin adalah para “masterless
samurai” atau samurai
tanpa tuan (Allyn, 2006:13). Kehormatan
seorang ronin adalah di tangannya
sendiri. Dia bisa memilih untuk menapak jalan sempit antara terang dan gelap
atau dia dapat memilih untuk memihak satu atau yang lain. Banyak diantara mereka yang berkeliaran bagaikan
orang liar. Beberapa
ronin menjadi penjahat paling hitam,
sementara yang lain menjadi orang suci sebagai bhikkhu mulia, menjadi sensei atau guru bela diri, atau bahkan
pendekar pelindung masyarakat (Rice, 2005:23).
Tampaknya memang ada beberapa jenis ronin, tergantung sebab atau alasan seseorang menjadi ronin, serta tujuan yang ingin diraih
oleh ronin tersebut. Ada yang menjadi
ronin karena tuannya terbunuh atau
dihukum. Ada yang menjadi ronin untuk
membalas dendam, seperti kisah The 47
Ronin yang terkenal (lihat diantaranya Allyn, 2006). Ada ronin yang bersifat sementara, dan selalu
berusaha keras dapat menemukan tuan yang baru. Namun ada pula yang memilih
menjadi ronin atau pendekar pengelana (the
wandering swordsman), sebagai jalan mencari kesejatian, memperdalam
pemahaman agama dan ilmu berpedangnya, seperti kisah dari Miyamoto Musashi.
Saya tidak menemukan referensi yang cukup kuat, namun jika tidak keliru, para
pendekar pengelana ini disebut juga para shugosha.
Selain samurai dan ronin, ada pula yang disebut sebagai ninja. Ninja atau disebut juga Shinobi adalah bagian dari golongan samurai, namun berada di lapisan paling
bawah. Dalam kelas ksatria Jepang di mana nama, kehormatan dan reputasi pribadi
dan keluarga adalah segalanya, Ninja justru
adalah prajurit rahasia yang “tanpa suara,
tanpa bau, dan tanpa nama” (Hiromitsu Kuroi, “Without Sound, Without Smell,
Without Name: The Great Ninja in the Shadow of History,” dalam Cahill &
Itoh, 2002:5). Ninja adalah prajurit
bayangan yang ahli dalam seni beladiri, menyamar dan pengalihan, dengan peran
dan tugas utama adalah melakukan operasi rahasia untuk mengumpulkan informasi
dan/atau melakukan pembunuhan (Turnbull & Reynold, 2002:4). Ninja adalah pasukan komando untuk
operasi intelejen, sabotase, demolition
dan “bulik” (bunuh dan culik). Klan ninja
dapat menjadi bagian dari pasukan rahasia penguasa militer tertentu, atau
menjadi “profesional lepas” yang menerima order dari siapapun yang bersedia dan
mampu membayar mereka.
Para "Samurai, Ronin dan Ninja" dalam
Pemilu 2014
Tentu saja Indonesia yang sedang belajar berdemokrasi saat ini
bukanlah Jepang feodal di era pra Restorasi Meiji. Namun, seperti sudah saya
nyatakan sebelumnya, saya tergoda untuk meng-analogi-kan keduanya.
Saya melihat, bahwa para pengurus dan aktivis partai ibarat para samurai berseragam yang “bertuankan”
para Daimyo, yaitu pemimpin partai. Pemilu
2014 adalah ajang kompetisi oleh dua kubu besar (Klan JKW vs Klan PBW) yang memperebutkan
posisi Shogun, yaitu Presiden. Begitu
sengitnya kompetisi hingga membuat banyak klan samurai yang berkoalisi, atau
malah menjadi pecah di dalam karena sebagian samurai mereka justru berbeda pendapat atau bahkan tidak mendukung Daimyo alias ketua partainya sendiri. Banyak
pengurus dan anggota partai yang pindah partai atau mendukung calon lain yang
tidak didukung oleh partainya.
Sementara saya mengibaratkan rakyat yang memiliki hak pilih adalah
sebagai para pendekar pedang, yang dapat menggunakan pedangnya untuk mendukung
salah satu calon atau kubu. Ada rakyat yang menjadi samurai resmi atau menjadi anggota dan simpatisan atau relawan di salah
satu kubu, namun sebagian besar rakyat pada dasarnya adalah ronin. Ada ronin yang diam-diam mencari kesempatan balas dendam karena merasa
kecewa pada salah satu kubu. Ada pula ronin
yang sedang mencari tuan yang baru (“kutu loncat” yang ingin menjadi samurai lagi sekaligus mendapat posisi
terhormat di salah satu kubu). Sebagian menjadi ronin yang siap menjadi pendukung dan penggembira dadakan bagi siapapun yang membayar. Sementara sebagian besar rakyat hanya menjadi ronin pengembara atau floating voter (pemilih mengambang) yang
belum atau tidak mau mendukung kubu tertentu. Sebagian ronin yang bersimpati pada salah kubu memang karena merasa cocok dan menjadi pendukung sukarela pada salah satu calon, namun banyak pula yang lebih karena merasa tidak cocok
bahkan takut jika calon lain yang terpilih nanti.
Sementara para ninja
adalah para pemain di balik layar. Sebagian bertempur di media massa dan dunia
maya. Misi mereka adalah saling membunuh. Syukurnya, bukan membunuh secara
fisik memang. Yang mereka coba bunuh adalah karakter dari calon dan kubu
lawannya. Upaya pembunuhan karakter
ini berlangsung massif dan simultan di televisi, koran, twitter, facebook, atau
dimanapun pedang, tombak, panah, peluru, ranjau dan bom waktu dalam bentuk negative campaign dan black campaign dapat
digunakan. Sebagian ninja ini ada di
bawah komando panglima perang tiap kubu. Sebagian lagi adalah para ninja bayaran. Namun banyak diantara ninja yang bekerja sendiri untuk
kepentingan pribadi dan klannya sendiri. Banyak pula para ronin yang terjebak permainan para ninja dan larut dalam perlombaan pembunuhan karakter ini. Selain itu, pertarungan ini menjadi lebih seru lagi karena
di kedua kubu terdapat para mantan petinggi ninja
itu sendiri, yang terbiasa melakukan operasi hitam dan senyap di masa lalunya.
Saya sendiri menganggap diri pribadi hanyalah sebagai seorang ronin, alias samurai tanpa tuan. Sebagai ronin,
saya merasa tidak cocok dengan salah satu kubu, tapi juga merasa kurang sreg dengan kubu yang lain. Tapi saya
merasa harus tetap memilih. Pada Hari H nanti, saya berencana akan menggunakan Wakizashi atau pedang pendek saya untuk
memilih gambar salah satu calon. Sementara saat ini, sebagai ronin, menurut saya yang dapat dilakukan hanyalah berdiam diri dan mengamati, serta selalu
“berharap yang terbaik dan bersiap yang terburuk…” Itu saja.
---------------------------
Sumber:
- Anthony J.
Bryant & Angus McBride. The
Samurai. Osprey Publishing. 1989.
- Carol
Gaskin & Vince Hawkins. The Ways
of The Samurai. Byron Preiss Visual Publications. 2003.
- Charles
Rice. Legends of The Samurai: The Bushido Handbook. RPG Objects. 2005.
- Jennifer
Cahill & Michie Itoh. Secret of
the Ninja: Their Training Tools, and Techniques. DH Publishing. 2002.
- John Allyn. The
47 Ronin Story. Tuttle Publishing. 2006.
- Stephen Turnbull. The Revenge of The 47 Ronin: Edo 1703. Osprey
Publishing. 1989.
- Stephen
Turnbull. The Samurai Sourcebook.
Cassel & Co. 1998.
- Stephen Turnbull
& Wayne Reynold. Ninja: AD 1460
– 1650. Osprey Publishing. 2003.