Candra Kusuma
Saya ingin cerita sedikit tentang satu buku yang
saya beli beberapa tahun lalu. Judulnya "Bukan
350 Tahun Dijajah," yang ditulis oleh G.J. Resink*, dan diterbitkan oleh
Penerbit Komunitas Bambu pada tahun 2012. Buku ini judul aslinya "Indonesia’s History Between the Myths:
Essays in Legal History and Historical Theory" yang terbit pertama kali
tahun 1968 oleh University of British Colombia-Canada.
Saya tertarik dengan buku ini, awalnya karena
judulnya lugas dan covernya-pun keren, yaitu ilustrasi sebuah pertempuran yang menggambarkan ekspedisi militer Belanda pada tahun 1894 ke Puri Cakranegara di Lombok, yang kemudian mengakhiri kekuasaan dinasti Bali di pulau tersebut.
Lebih tertarik lagi karena sinopsis yang ada
di bagian cover belakang buku ini, dengan singkat dan jelas memberikan gambaran
mengenai isinya, yaitu bantahan terhadap klaim penjajahan Indonesia selama 350
tahun. Coba simak:
“Siapa bilang Indonesia dijajah 350 tahun?
Bohong. Mitos belaka. Melalui buku ini G.J. Resink sebagai sejarawan dan ahli
hukum internasional sekaligus penyair memaparkan bukti-bukti betapa semua itu
konstruksi politik colonial. Kebohongan 350 tahun dijajah dipopulerkan politisi
Belanda dan buku-buku pelajaran sekolah kolonial, tetapi semakin kuat dipercaya
sebagai kebenaran sejarah ketika Sukarno dan para pejabat juga politisi kerap
menggunakannya dalam pidato-pidato. Tidak kecuali para sejarawan. Celakanya
lagi, pemerintah malah memasukkan mitos 350 tahun dijajah itu ke dalam
kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah sampai akhirnya diterima dan tertanam
sebagai kebenaran absolut di mayarakat.
Dalam buku ini
Resink memberikan bukti-bukti kuat yang menggambarkan betapa banyak
kerajaan-kerajaan dan negeri-negeri di Indonesia yang belum pernah takluk dan
di bawah cengkeraman tangan besi hukum kolonial Negara Hindia Belanda. Resink
siap dengan segudang sumber, terutama detail fakta hukum yang membuat
argumennya bukan saja fokus dan kukuh, tetapi juga punya vitalitas dalam
memperlihatkan wilayah-wilayah Indonesia yang berdaulat selama kekuatan
kolonial bercokol. Hitungan Resink, paling-paling Hindia Belanda sebagai negara
hanya ada selama 40 tahun, tetapi itupun tidak benar-benar seluas wilayah
Republik Indonesia hari ini, meskipun Belanda sudah benar-benar mengusahakan
penaklukan selama 350 tahun.”
Menolak klaim Pax
Nerlandica
Resink memang
menolak mitos 3,5 abad Pax Neerlandica, atau klaim pemerintah
Belanda bahwa mereka telah berhasil menciptakan perdamaian (Pax) di daerah kekuasaan Nederland (Neerlandica). Dalam 14 bagian tulisan di
buku ini, Resink menggunakan analisis hukum dan sejarah dengan merujuk segudang
dokumen masa kolonial milik Belanda sendiri untuk membantah klaim tersebut.
Secara awampun sesungguhnya klaim tersebut memang
sulit diterima akal. Jika akhir penjajahan dianggap terjadi pada tahun 1945
pada saat Indonesia merdeka, sementara klaim lama penjajahan adalah 350 tahun,
maka penjajahan Belanda dianggap mulai terjadi sejak tahun 1595. Sementara jika
akhir penjajahan Belanda adalah pada tahun 1949 pada saat “penyerahan
kedaulatan,” maka penjajahan dianggap dimulai pada tahun 1599. Sementara jika
merujuk ke suber-sumber sejarah, para pelaut Belanda yang dipimpin Cornelis de
Houtman pertama kali tiba di Banten tahun 1596. VOC sebagai perusahaan dagang
yang ditunjuk oleh Kerajaan Belanda untuk menjalin perdagangan baru memperoleh
izin membuka kantor perwakilannya di Banten pada tahun 1603. Jadi sampai awal
1600-an itu dapat dikatakan belum ada wilayah “Indonesia” yang dikuasai Belanda
sepenuhnya.
Kerajaan-kerajaan tersebut eksis dan berdaulat atas wilayah dan rakyatnya sendiri. Banyak bahkan yang telah menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain di Asia dan Eropa. Namun jelas ada persaingan diantara kerajaan-kerajaan di Nusantara itu sendiri, yang kemudian berujung pada peperangan dan perebutan wilayah. Sayangnya persaingan tersebut kemudian juga melibatkan "pihak ketiga" yaitu para kolonialis, seperti yang terjadi pada perang antara kerajaan Gowa yang dipimpin Hasanuddin dengan kerajaan Bone-Soppeng dengan Arung Palakka sebagai pimpinannya du Sulawesi pada sekitar abad 17 lalu.
Kerajaan-kerajaan tersebut eksis dan berdaulat atas wilayah dan rakyatnya sendiri. Banyak bahkan yang telah menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain di Asia dan Eropa. Namun jelas ada persaingan diantara kerajaan-kerajaan di Nusantara itu sendiri, yang kemudian berujung pada peperangan dan perebutan wilayah. Sayangnya persaingan tersebut kemudian juga melibatkan "pihak ketiga" yaitu para kolonialis, seperti yang terjadi pada perang antara kerajaan Gowa yang dipimpin Hasanuddin dengan kerajaan Bone-Soppeng dengan Arung Palakka sebagai pimpinannya du Sulawesi pada sekitar abad 17 lalu.
Belum lagi jika mencermati bahwa bahkan
sampai dengan awal tahun 1900-an masih banyak kerajaan di Nusantara yang
merdeka. Sebagai contoh, Kesultanan Aceh di Sumatera baru dapat dikalahkan Belanda pada tahun 1903-1904.
Begitupula Kerajaan Bone di Sulawesi yang baru ditaklukan Belanda pada tahun 1905,
dan Kerajaan Klungkung di Bali yang tunduk tahun 1908. Jadi paling lama ketiga
kerajaan tersebut dijajah Belanda sekitar 40-an tahun saja. Dengan demikian, sesungguhnya
tidak ada satupun wilayah “Indonesia” yang pernah benar-benar dijajah selama
350 tahun.
Bagaimana klaim
tersebut dapat bertahan?
Jelas klaim tersebut sangat Belandasentris. Konstruksi
sejarah yang mereka bangun tersebut dapat diduga tujuannya adalah untuk mengukuhkan
eksistensi dan dominasi mereka sebagai salah satu negara Eropa yang menjadi penguasa
daerah jajahan, khususnya di Dutch East
Indies atau Hindia Belanda.
Lantas kenapa klaim tersebut kemudian
diadopsi oleh para pejuang kemerdekaan dan pemerintah Indonesia?. Di awal
kemerdekaan, bisa jadi klaim tersebut digunakan oleh para pejuang dan pemimpin
kemerdekaan untuk membangun sentimen rakyat Nusantara bahwa mereka adalah “satu
bangsa,” yaitu bangsa Indonesia, dan kemudian menjadi “satu negara,” yaitu
negara Republik Indonesia. Sumpah Pemuda 1928 menunjukkan dengan jelas
kecenderungan tersebut. Upaya membangun sentimen sebagai “satu bangsa” yang sama-sama
mengalami penjajahan dan penindasan selama ratusan tahun ini kemudian menjadi
mantra yang terus dipelihara sampai saat ini.
Meskipun sesungguhnya logika tersebut tampaknya juga tidak tepat benar. Jika meminjam istilah "imagined community" atau “komunitas yang dibayangkan” dari Benedict
Anderson, konstruksi sejarah bahwa wilayah Indonesia adalah sama dengan wilayah
kerajaan-kerajaan Nusantara dan bekas jajahan Belanda di masa lalu juga
tidaklah tidak tepat. Negara Indonesia adalah konstruksi sosial yang sama
sekali baru, yang “dibayangkan” oleh para pemuda dan tokoh pejuang sebagai
gabungan dari kerajaan dan wilayah bekas jajahan Belanda tersebut.
Lantas lagi, kenapa mitos tersebut dipelihara
sampai saat ini? Resink menduga sebagian disebabkan oleh kemalasan para
sejarawan Indonesia untuk menggali sendiri sejarah bangsanya ini. Mereka lebih
asik mengadopsi sumber-sumber sejarah tertulis lama, yang tentu saja sebagian
besar juga berasal dari para bangsa penjajah itu sendiri, atau para orientalis
yang juga menggunakan perspektif Eropasentris ketika menganalisis negara-negara
jajahannya.
Belum berubah
Sambil menulis ini, saya sempat bertanya pada
anak saya yang masih duduk di Sekolah Dasar, apakah di buku pelajarannya masih
ada bagian yang menyebutkan bahwa Indonesia dijajah selama 350 tahun? Dia
bilang masih, dan adanya di pelajaran Pendidikan Kewarnegaraan (PKn).
Jadilah selama hampir setengah jam saya “terpaksa”
mesti bercerita padanya mengenai isi buku Resink ini. Nasib…
-----
* Nama lengkapnya adalah Gertrudes Johan Resink. Dia
lahir di Yogyakarta tahun 1911. Resink keturunan Indo, namun pada tahun 1950 di
memilih menjadi WNI. Tidak aneh jika Resink
menyukai kebudayaan Jawa, dan cukup pandai berbahasa Jawa. Dia adalah seorang ahli hukum, penyair dan sejarawan, dengan karya-karya
yang cukup dihargai di semua bidang tersebut. Resink pernah menjadi guru besar
hukum di Universitas Indonesia, sejak tahun 1947 sampai 1976. Di akhir 1950-an
dia juga pernah menjadi peneliti di School of Oriental and African Studies
(SOAS). Resink meninggal pada tahun 1997. Seluruh karyanya kemudian dihibahkan
kepada Pemerintah Republik Indonesia, dan disimpan di Museum Sonobudoyo,
Yogyakarta.
-----
Sumber:
- Robert Pringle (2004). A Short History of Bali: Indonesia’s Hindu Realm. Allen & Unwin.
- Benedict Anderson (2006). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Verso.
- G.L. Balk, F. van Dijk, and D.J. Kortlang (2007). The Archives of the Dutch East India Company (VOC) and the Local Institutions in Batavia ( Jakarta). BRILL.
- G.J. Resink (2012). Bukan 350 Tahun Dijajah. Komunitas Bambu.
- Andi Makmur Makka (2015). Rumpa'na Bone, Runtuhnya Kerajaan Bone. Penerbit Buku Kompas.
- Henk Schulte Nordholt (2004). “De-colonising Indonesian Historiography,” paper delivered at the Centre for East and South-East Asian Studies public lecture series “Focus Asia”, 25-27 May, 2004. Centre for East and South-East Asian Studies, Lund University, Sweden. Working Paper No 6, 2004.
- http://historia.id/modern/mitos-350-tahun-penjajahan
- http://www.amicorumdjokosoetono.com/index.php/artikel-tentang-rekan-sejawat-prof-djokosoetono/19-prof-g-j-resink
- http://www.republika.co.id/berita/senggang/review-senggang/12/04/12/m2bsi7-mematahkan-mitos-350-tahun-penjajahan