Candra Kusuma
Pada minggu-minggu ini media massa ramai
memberitakan tentang bencana kebakaran hutan dan kabut asap yang terutama
terjadi Sumatera dan Kalimantan. Tidak hanya telah menggangu kesehatan maupun
kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat di banyak daerah di kedua pulau
tersebut, bahkan diberitakan bahwa telah jatuh korban jiwa sebagai akibat dari polusi
asap yang ‘gila-gilaan’ tersebut. Negara-negara tetangga --Malaysia, Singapura
dan belakangan juga Thailand-- sudah menyatakan ketidaknyamanan mereka akibat migrasi
kabut asap di negara mereka. Banyak pihak menuding Pemerintah Indonesia lambat
menangani bencana tahunan ini. Bahkan untuk menanggapi tawaran bantuan
pemadaman api dari sejumlah negarapun terkesan ada sikap tarik ulur.
Saya teringat satu buku lama yang mengupas
masalah kebakaran hutan dan kabut asap ini. Buku yang saya maksud berjudul "Indonesia’s Fires and Haze: The Cost of Catastrophe" (1999) yang dieditori
oleh David Glover and Timothy Jessup. Dari uraian buku ini, terlihat bahwa kebakaran
hutan dan bencana kabut asap ini bukanlah masalah baru. Saya termasuk yang berharap
agar pemerintah –siapapun presidennya-- dapat lebih sigap mengambil tindakan
pencegahan, menangani masalah lapangan, dan menegakkan hukum khususnya terhadap
pengusaha/perusahaan yang terbukti menjadi salah satu penyebab bencana ini.
Itupun masih belum membahas mengenai bagaimana upaya memulihkan kerusakan
ekologi akibat bencana ini.
Fokus dan cakupan
Buku ini menyoroti situasi di tahun 1997-1998. Kondisi
kekeringan dipengaruhi oleh El Nino. Juga oleh
maraknya pembersihan lahan untuk pertanian dan perkebunan (clear land for agriculture), yang
menyebabkan terjadinya kabut asap yang menyebar bukan saja di Indonesia tetapi
juga sampai ke negara tetangga, khususnya Singapura dan Malaysia. Buku ini
dibagi dalam beberapa Bab, yakni: Bab 1 - uraian tentang sebab dan dampak dari
kebakaran hutan dan kabut asap; Bab 2 - metode penelitian yang digunakan; Bab 3
- dampak bagi Malaysia; Bab 4 - dampak bagi Singapura; Bab 5 - dampak bagi
Indonesia; dan Bab 6 - kesimpulan dan rekomendasi kebijakan. Saya hanya ingin
mengulas sedikit, khususnya dari Bab 1 saja.
Pada Bab 1, James Schweithelm dan David
Glover mengidentifikasi sejumlah sebab dan dampak dari api dan asap tersebut. Tidak
seluruh kerusakan dapat dianalisis, terutama karena keterbatasan data. Beberapa
variabel yang dimasukkan yaitu: kerusakan kayu; kerusakan pertanian; kerusakan
hutan; biaya pemadaman api; pelepasan karbon yang mempengaruhi perubahan iklim;
gangguan kesehatan, kerugian dalam turisme; dan kerugian produksi ekonomi.
Schweithelm dan Glover memperkirakan kerugian tersebut jika dikonversi secara
ekonomi mencapai US$4.5 milyar.
Luasan hutan
yang terbakar
Berdasarkan hasil penginderaan jauh, area hutan
yang terbakar pada tahun 1997 diperkirakan sekitar 1,5 juta hektar yang terkena
dampak di Sumatera, dan 3.060.000 hektar di Kalimantan (Liew dkk. 1998). Dari
jumlah ini, diperkirakan sebanyak 20 persen adalah areal hutan, 50 persen lahan
pertanian, dan 30 persen merupakan vegetasi non-hutan dan padang rumput. Dari
hasil assessment, kebanyakan bekas kebakaran tersebut berada di area dekat daerah
yang dihuni, dekat jalan, dan sungai-sungai. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
kebakaran dimulai dan disengaja oleh manusia. Untuk keperluan buku ini,
perkiraan area yang terbakar seluas 5 juta hektar, untuk kebakaran tahun 1997
saja.
Penyebab
Di bagian ini Schweithelm dan Glover menguraikan penyebab dari terbakarnya hutan
hujan di Indonesia, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Menurut mereka, hutan terbakar dipengaruhi dua
faktor, yaitu: (a) Bahaya kebakaran (fire
hazard), yaitu ukuran dari jumlah, jenis, dan kekeringan bahan atau benda
yang potensial terbakar di hutan. Faktor ini terkait jenis hutan, cuaca dan
iklim; dan (b) Resiko kebakaran (fire
risk), yaitu ukuran probabilitas bahwa bahan atau benda mudah terbakar tadi
akan terbakar. Faktor ini terkait dengan aktivitas manusia. Penebangan
kayu, pembukaan lahan, dan praktek pembukaan pemukiman dan pertanian di
Indonesia telah menciptakan fire hazard
dan fire risk yang tinggi di sebagian besar wilayah hutan
dataran rendah yang kemudian telah menyebabkan kebakaran hutan besar-besaran
seperti yang terjadi di 1997-1998.
Sumatera dan Kalimantan adalah kawasan hutan
hujan yang khas, namun sangat disayangkan memiliki fire regime yang tinggi. Fire
regime atau rezim api adalah istilah yang mengacu pada frekuensi, intensitas,
dan tingkat spasial kebakaran di tipe vegetasi tertentu di bawah kondisi iklim
dan manajemen tertentu. Rezim api di hutan hujan Indonesia telah berubah secara
dramatis selama dua dekade terakhir kebakaran telah menjadi lebih sering, lebih
intens, dan lebih besar.
Schweithelm dan Glover memetakan beberapa isu
terkait kebakaran hutan dan kabut asap ini, sbb.:
- Sejarah kebakaran (history of fire), di mana berdasarkan hasil penelitian sejarah dan kondisi hutan di Indonesia khususnya di Sumatera dan Kalimantan, kebakaran hutan dan pembakaran hutan bukan hal baru, baik karena faktor alamiah maupun akibat dari tindakan manusia. Namun memang cenderung meningkat dalam beberapa dekade terakhir;
- Perladangan berpindah (swidden agriculture), yang berkaitan dengan isu pertambahan populasi yang membutuhkan permukiman dan lahan pertanian, dan pada akhirnya mengakibatkan peningkatan deforestasi dan risk fire dalam beberapa dekade terakhir;
- El Nino, yang dipengaruhi oleh cuaca dan iklim global/regional. El Nino menyebabkan kekeringan ekstrim, ditambah dengan meningkatnya besaran benda/bahan mudah terbakar di hutan. Ditambah oleh meluasnya penggunaan api untuk pembukaan lahan, telah menciptakan bahaya kebakaran ekstrim. Kebakaran pada awalnya dapat terjadi secara alami (misalnya, dari sambaran petir atau kebakaran lapisan batubara), tapi kecerobohan dan keserakahan manusialah sesungguhnya yang paling bertanggung jawab atas jumlah dan meluasnya kebakaran hutan di Indonesia;
- Konsesi perusahaan kayu (timber concessions). Adanya kebijakan pemerintah dan prosedur de facto yang cacat dalam mengalokasikan dan mengawasi konsesi kayu, serta terbuka untuk korupsi, menyebabkan penebangan yang menyebabkan dampak parah bagi ekosistem hutan, keanekaragaman hayati, dan masyarakat yang tinggal di hutan. Praktik pembalakan yang buruk mengakibatkan sejumlah besar limbah kayu yang tersisa di hutan, sangat berpotensi memicu bahaya kebakaran. Kegagalan pemerintah dan pemegang konsesi untuk melindungi hutan bekas tebangan dan sekitar jalur jalan logging yang telah digunakan, menyebabkan invasi hutan oleh pemukim pertanian yang pada akhirnya juga meningkatkan resiko kebakaran di area yang tersisa;
- Perkebunan (tree plantations). Tahun 1990-an telah terlihat munculnya perusahaan perkebunan sebagai kekuatan paling kuat di balik maraknya konversi lahan hutan di Sumatera dan Kalimantan. Penyebabnya karena pemerintah mendukung pengembangan industri kayu pulp dan perkebunan kelapa sawit, dengan memberikan insentif seperti tanah gratis, modal bersubsidi, dan penggunaan gratis tegakan kayu. Meningkatnya permintaan domestik dan internasional untuk minyak sawit, pulp, dan kertas, ditambah dengan fakta bahwa Indonesia adalah produsen dengan biaya produksi murah dari komoditas ini, telah memberi dorongan tambahan untuk pertumbuhan industri ini, yang dibaliknya kerap didukung oleh modal dan bantuan teknis asing. Seperti halnya dengan konsesi kayu tadi, perkebunan besar telah membuat daftar panjang masalah lingkungan dan sosial, termasuk menjadi sumber terbesar dari resiko kebakaran. Perusahaan perkebunan dan kontraktor pemegang izin lahan umumnya menggunakan api hampir secara eksklusif untuk pembukaan lahan. Skala pembakaran terus meningkat setiap tahun selama dekade 1990-an. Pembakaran lahan tersebut menciptakan kabut selama setiap musim kemarau. Selama kekeringan tahun 1997, kebakaran melebar dari wilayah hutan ke wilayah rawa gambut, dan tanaman produksi, yang mengakibatkan terjadinya kebakaran di jutaan hektar lahan, dan menyebabkan meluasnya penyebaran kabut asap;
- Penduduk. Masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar hutan adalah termasuk pihak yang mengeksploitasi hutan dan sekaligus menjadi korban dari eksploitasi untuk tujuan komersial. Paradoks di sini adalah dari sebelumnya merupakan daerah terpencil berubah menjadi daerah yang bisa diakses oleh manusia berikut sarana dan insentif untuk mengeksploitasi hutan secara tidak berkelanjutan. Individu petani bertanggung jawab atas hampir setengah dari area yang terbakar di provinsi Sumatera Selatan pada tahun 1997, karena mereka menggunakan api untuk membersihkan lahan dan membakar limbah pertanian. Masyarakat adat dan pendatang baru sama-sama menjadi korban ketika datang aktor/agen kuat pelaku eksploitasi seperti pemegang konsesi kayu dan perkebunan yang mengambil alih tanah hutan dan sumber daya yang sebelumnya menjadi tempat bergantung penduduk di dalam dan sekitar hutan.
Dari paparan tadi, Schweithelm dan Glover menyimpulkan bahwa kebakaran
di hutan hujan di Indonesia jarang terjadi dalam kondisi tidak terganggu,
tetapi tidak berarti belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan sebelum adanya permukiman
manusia di hutan. Namun tindakan manusialah yang telah sangat meningkatkan
bahaya dan resiko kebakaran selama tiga dekade terakhir. Tahun 1997/98
kebakaran hutan yang besar terjadi terutama akibat pengelolaan hutan yang buruk
dan pengendalian kebakaran yang lemah.
Dampak
Dampak dari kebakaran hutan 1997/98 di
Indonesia dapat dibagi ke dalam kategori di bawah ini:
- Dampak langsung, berupa kerusakan langsung yang disebabkan oleh api, seperti habis/rusaknya vegetasi alami atau tanaman pertanian dan membunuh binatang;
- Dampak jangka pendek langsung, yaitu dampak yang dihasilkan dari kerusakan vegetasi, seperti satwa liar yang mati akibat hilangnya makanan dan habitat mereka, kerugian manusia akibat berkurangnya makanan dari hutan dan pendapatan, erosi tanah yang lebih cepat, sedimentasi di sungai atau badan air, penurunan fungsi hyrological huta , dan gangguan siklus hara. Asap dan kabut penyebab penyakit manusia yang akut, mengganggu pariwisata, transportasi, dan bisnis, mengurangi kenikmatan hidup, berkontribusi terhadap peningkatan produksi ozon, hujan asam, dan gas rumah kaca, serta mengurangi fotosintesis pada tumbuhan;
- Dampak jangka panjang langsung, di mana dampak ini lebih sulit untuk didokumentasikan dan dikaitkan dengan kebakaran, dibandingkan dua kategori dampak sebelumnya. Termasuk efek kesehatan yang mungkin bersifat jangka panjang pada manusia akibat paparan asap dan kabut dari kebakaran. Dampak lain seperti adanya perubahan komposisi spesies atau proses ekologi yang berlangsung selama beberapa dekade atau abad;
- Dampak kumulatif, yaitu dampak jangka panjang perubahan ekologi yang dihasilkan dari serangkaian kebakaran besar yang terjadi pada interval pendek seperti di Indonesia selama dua dekade terakhir. Masing-masing ataupun dikombinasikan dengan faktor gangguan lain seperti konversi hutan, efek kumulatif dari kebakaran berurutan dapat menyebabkan kepunahan dan perubahan komposisi jenis hutan dan struktur vegetasi yang tidak dapat dipulihkan.
-----
Sumber:
- David Glover and Timothy Jessup (ed.) (1999, reprint 2006). Indonesia’s fires and haze : the cost of catastrophe. Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.