Candra Kusuma
Tim Hannigan, seorang sarjana jurnalistik asal Inggris, menulis Raffles and the British Invasion of Java yang diterbitkan oleh Monsoon tahun
2012. Buku tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh KOMPAS dengan
judul Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa
pada tahun 2015.
Saya sangat senang sekaligus malu ketika selesai membaca
buku ini. Senang, karena “buku sejarah” yang ditulis dengan gaya populer ini memberi begitu banyak
informasi baru mengenai sejarah kolonialisme di Indonesia, khususnya berkenaan
dengan sosok Thomas Stamford Raffles sebagai salah satu “selebriti kolonialis” yang paling
populer. Tetapi, saya juga merasa malu, karena sekali lagi
harus mengakui betapa sangat sedikitnya pengetahuan saya tentang sejarah bangsa
sendiri.
-----
Raffles dan sejarah yang bertentangan
Mula Hannigan menulis buku ini diawali oleh keheranannya
pada masyarakat Indonesia yang banyak diantaranya merasa “menyesal” karena
Indonesia tidak (lama) dijajah Inggris: “Akan lebih baik seandainya Indonesia dijajah Inggris, bukannya Belanda.”
Begitu ungkapan yang sering dia dengar sejak awal berkunjung ke Indonesia tahun
2002 silam. Mereka umumnya membandingkan dan merujuk pada “kesuksesan Inggris”
membangun Singapura hingga
menjadi salah satu negara paling maju di dunia.
Dari situ nama Raffles selalu muncul sebagai sosok
kolonialis yang pandai dan cakap dalam memimpin dan membangun daerah
jajahannya. Selama Inggris menguasai Hindia Belanda di bawah kepemimpinan
Raffles tahun 1811-1816, citra yang terbangun tentangnya lama kemudian adalah
sebagai seorang liberal dan humanis yang anti perbudakan, berhasil menciptakan
sistem sewa tanah yang bagus, menghapuskan hukuman brutal bagi para penjahat, pecinta
budaya, ahli botani, dll. Namanya dikaitkan dengan Candi Prambanan dan
Borobudur, bunga Raflesia Arnoldi, gamelan Jawa, penulisan sejarah
masyarakat dan budaya Jawa, dan lainnya.
Namun ternyata, dari penelusuran Hannigan atas
dokumen-dokumen kolonial awal 19 dan catatan dari kalangan bangsawan lokal, ada
banyak data yang membantah klaim dan citra tentang Raffles tersebut. Dengan
berbagai alasan dan sebab, Raffles ternyata masih membiarkan praktek perbudakan
terjadi, menerapkan model sewa tanah yang makin menyengsarakan rakyat jajahan;
memprovokasi pembantaian orang Belanda oleh Kesultanan Palembang dalam rangka memenuhi hasratnya
menguasai sumber timah di Bangka dan Belitung; serta menyerbu, menghancurkan dan menjarah harta dan kekayaan budaya milik Keraton Yogyakarta. Bagi para atasannya di Inggris dan India, Raffles juga
dianggap telah menggelapkan sebagian uang “sogokan” Sultan Badaruddin
dari Palembang; menjual tanah pemerintah tanpa izin untuk keuntungan pribadi;
gagal memimpin anak buahnya sendiri karena menjelang akhir masa jabatannya dia
digugat oleh mantan Panglima Pasukan Inggris, dan oleh salah seorang bawahannya
sendiri; dan memicu konspirasi rencana pemberontakan pasukan India-Inggris yang didukung sejumlah bangsawan Jawa, meskipun (untung bagi Raffles) pemberontakan itu gagal. Menurut Hannigan, akibat yang ditinggalkan Raffles berupa kemiskinan yang meluas dan rusaknya administrasi pemerintahan kolonial, bahkan membuat para petinggi Belanda yang kembali berkuasa setelah Inggris hengkang dari Hindia Belanda sampai menggeleng-gelengkan kepala mereka saking terkejutnya.
-----
Orang-orang dalam pusaran hidup Raffles
Ada ungkapan, karakter dan kualitas seorang pemimpin dapat lebih dikenali dari jenis orang yang ada di sekitarnya. Ibarat sebuah drama kehidupan di
mana Raffles menjadi pemeran utamanya, ada banyak nama dan tempat yang muncul
dalam buku Hannigan ini. Gilbert Elliot
(Lord Minto pertama) menjabat Gubernur Jenderal Wilayah Kekuasaan Perusahaan Hindia Timur Inggris (British East India Company - EIC) di Asia,
atasan sekaligus mentor dan patron yang perannya sangat besar dalam sebagian
besar karier Raffles. Olivia Mariamne
Devenish, istri pertama Raffles yang ikut serta dalam penugasannya di Jawa.
Meninggal dan dimakamkan di Tanah Abang, di samping makam Leyden. Sophia Hull, istri kedua Raffles setelah kematian Olivia. Berperan
besar mengkonstruksi citra Raffles melalui buku yang disusunnya tak lama setelah
Raffles meninggal: Memoir of the Life and Public Services
of Sir Thomas Stamford Raffles. John
Casper Leyden, seorang dokter, ahli bahasa dan penyair yang nyentrik, sekaligus teman Lord Minto dan
sahabat terpercaya Raffles. Meninggal karena sakit tak lama pasukan Inggris
melumpuhkan bentang utama Belanda di Meester Cornelis, dan dimakamkan di Tanah
Abang. Thomas Otho Travers, seorang
Kapten dalam pasukan Inggris yang menjadi asisten Raffles. Travers juga seorang
pengagum dan pembela Raffles yang paling setia. Jurnal yang ditulisnya menjadi
salah satu sumber utama buku memoir tentang Raffles yang disusun Olivia.
Nama lain yang juga berperan
besar dalam karier Raffles adalah Hugh
Robert Rollo Gillespie, seorang perwira tinggi yang dianggap paling berani
dan menonjol dalam pasukan Inggris, sekaligus veteran berpengalaman dalam
operasi di Jamaika, Karibia dan India. Gillespie menjabat sebagai Panglima
Angkatan Perang Inggris yang mendampingi Raffles sebagai Letnan Gubernur Jawa.
Namun Gillespie ini juga yang kemudian membuat pengaduan mengenai “perbuatan tidak patut
Raffles” kepada atasan mereka di India. William
Robison, mantan Residen Palembang, yang kemudian juga menggugat Raffles. William Thorn, tentara yang menulis
buku Memoirs of the Conquest of Java.
Colin
Mackenzie, tentara, asisten Raffles,
perwira survei sekaligus peminat dan
kolektor seni dan benda purbakala. Hermanus Christian Cornelius, peneliti dan juru survei yang berjasa
melakukan pendataan candi-candi di Jawa. Alexander Hare, Residen Banjarmasin namun
dengan reputasi buruk karena membangun harem dan melakukan perdagangan budak di
Kalimantan. William Farquhar,
tentara, dan kolega Raffles ketika mulai membangun Singapura. Bahkan menurut
banyak pihak sesungguhnya Farquhar-lah yang lebih banyak berperan dalam
meletakkan dasar pembangunan Singapura, karena Raffles sendiri hanya sekitar 9
bulan saja berada di koloni baru tersebut. John
Crawfurd, mantan Residen Yogyakarta, kolektor budaya, penulis History of the Indian Archipelago, sekaligus pengganti Raffles dan Farquhar sebagai Residen Singapura.
Sementara dari sisi para tokoh
“lokal” dalam buku Hannigan ini dapat dijumpai sejumlah nama, khususnya dari
kalangan bangsawan Jawa dan Palembang. Satu yang secara tidak langsung paling berjasa dalam membantu Hannigan menyusun buku ini adalah Arya Panular, seorang anak dari selir
Sultan Hamengkubuwono I. Dialah penulis Babad
Panular, yang terutama mengisahkan episode penyerbuan Raffles ke Keraton
Yogyakarta tahun 1812.
-----
Napoleon di Eropa, Raffles di Jawa
Kekuasaan Inggris selama sekitar
lima tahun di Hindia Belanda tidak dapat dilepaskan dari konteks persaingan dan
perang besar di Eropa pada akhir abad 18 dan awal abad 19. Ketika itu, tepatnya pada tahun
1794, Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte menyerbu kerajaan Belanda. Penguasa
Belanda, Pangeran Willem V van Oranje melarikan diri dan minta perlindungan
Inggris. Pangeran Willem kemudian memerintahkan para gubernur koloninya untuk
menyerahkan wilayah mereka kepada Inggris, tapi ternyata tidak semua mau
menurut begitu saja perintah tersebut, termasuk Gubernur Jenderal Hindia
Belanda. Di mata Inggris, Hindia Belanda kemudian dipandang sebagai musuh yang
harus direbut, menegaskan persaingan lama antara kedua negara di Timur. Namun
sampai satu dekade kemudian tidak ada serangan nyata Inggris ke Hindia Belanda,
karena EIC sendiri tengah menghadapi banyak masalah di basis
utama kekuasaannya di India.
Tahun 1810 Napoleon menganeksasi
Belanda. Dia kemudian menunjuk saudaranya laki-lakinya sendiri sebagai Raja Belanda,
dan menjadikan Belanda sepenuhnya sebagai bagian dari Kekaisaran
Perancis. Kala itu Herman Willem Daendels yang menjabat sebagai Gubernur
Jenderal Hindia Belanda tahun 1807-1811. Konon, Napoleon sendiri pernah
memerintahkan untuk mempertahankan Jawa dengan segala cara, berapapun harga
yang harus dibayarkan untuk itu. Namun, karena adanya dugaan korupsi, Daendels ditarik
pulang dan digantikan oleh Jan Willem Janssens sebagai Gubernur Jenderal Hindia
Belanda. Ternyata usia jabatan Jansenns hanya bertahan sebentar saja, yaitu
hanya sekitar tujuh bulan, sejak Februari 1811 sampai 18 September 1811, ketika
Belanda menyerah pada Inggris di Tuntang. Lebih menyakitkan lagi, jauh dari
yang digembar-gemborkan sebelumnya, pasukan Belanda ternyata hanya mampu mempertahankan
Jawa selama sekitar empat minggu saja, sejak pertama kali pasukan Inggris
mendarat di pantai Cilincing –di Utara kota Batavia--, pada tanggal 4 Agustus
1811.
Ilustrasi: Pendaratan pasukan Inggris di Pantai Cilincing.
Sumber: Egerton, T. (1815). The landing of the British Army at Chillinching on the island of Java, 4th Augt. 1811
Sumber: Egerton, T. (1815). The landing of the British Army at Chillinching on the island of Java, 4th Augt. 1811
Meskipun dalam skala yang berbeda, kedua laki-laki tersebut tampaknya punya satu kesamaan, yaitu ambisi yang besar untuk berkuasa dan berpengaruh. Hanya saja, berbeda
dengan Napoleon, Raffles bukanlah “orang milter.” Dalam invasi ke Jawa, dan
selama pemerintahannya di Hindia Belanda, Raffles sama sekali tidak pernah terlibat
dalam pertempuran langsung. Raffles punya minat dan kesibukannya sendiri.
-----
Raffles: Citra yang paradoks
Hannigan menggambarkan Raffles
sebagai seorang pria kecil dengan ambisi dan hasrat yang besar untuk “menjadi
orang besar.” Kecakapannya dalam administrasi kolonial mengantarkanya
menjadi juru tulis paling menonjol di kantor cabang EIC di Penang. Tak lama,
Raffles diangkat menjadi Agen Gubernur Jenderal untuk Negara-negara Melayu.
Setahun kemudian, setelah Jawa berhasil direbut, Raffles kemudian diangkat
menjadi Letnan Gubernur Jawa, atau resminya Lieutenant-Governor of Java and its
Dependencies. Waktu
itu Raffles bahkan baru berusia 30 tahun.
Namun Raffles bukan orang yang
sesederhana itu. Menurut Hannigan, Raffles adalah pribadi dengan begitu banyak paradoks.
“Raffles merupakan salah seorang paling aneh,
rumit, dan bertentangan di antara banyak pencuri, pahlawan, jenius, dan penipu
yang membentuk karakter Kerajaan Inggris. Meski dianggap memalukan di akhir
kariernya, dia juga berakhir dengan reputasi anumerta yang mulus. Meskipun kadang
ada ahli sejarah Belanda patriotik yang marah atau cendekia pasca-kolonial
antusias telah mencoba –di jurnal-jurnal sejarah paling tidak dikenal—untuk
menggambarkannya sebagai jelmaan iblis, dalam pendapat populer dia telah
menjadi sesuatu yang tidak pernah dilakukannya: seorang pahlawan. Dalam setiap
generasi sesudah kematiannya muncul seorang penulis biografi baru yang
memuja-mujanya, masing-masing memoles dan meniru karya pendahulunya dalam
rantai pemujaan tanpa henti, hingga reputasi Raffles, yang telah terjalin erat
dengan status Singapura yang modern dan gemerlap, menjadi sesuatu yang tidak
dapat dijatuhkan. Seorang laki-laki baik di Timur, kata mereka; seorang sarjana
sensitif dan seorang jenius pemerintahan, dan sosok penjajah terakhir yang masih
bisa disukai. Ketika nama Minto, Mayo dan Victoria telah dihapus dari peta
jalan di India, nama Raffles tetap menjamur di seluruh Singapura, diabadikan di
banyak sekolah, hotel, dan rumah sakit.” (Hannigan, 2015:28)
Ketika Raffles ditemukan meninggal oleh
Sophia istrinya di bawah anak tangga rumah mereka di Inggris pada tanggal 5 Juli 1826,
bangsa Inggris sama sekali tidak berduka. “Tidak
ada patung megah yang diukir, dan tidak ada tulisan hebat dipahat di batu
nisan; tidak ada banyak duka cita nasional karena kehilangan seorang visioner,
malah banyak mantan pegawai Perusahaan Hindia Timur di Asia yang mencemooh
kalau mendengar nama Raffles” (Hannigan, 2015:389-390). Bagi keluarganya
sendiri kala itu, Raffles hanya menyisakan hutang dan tagihan yang sangat
besar, yang sebagian besar terkait dengan “skandal keuangan” semasa dia
menjabat sebagai Letnan Gubernur di Jawa.
Dalam situasi serba terpuruk
itulah Sophia Raffles mengambil keputusan untuk membuat buku yang kemudian
diberinya judul Memoir of the Life and
Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles. Memoir ini sebagian besar
disusun berdasarkan surat-menyurat antara Raffles dengan atasan, kolega dan
kawan-kawannya, dan terlebih lagi dari jurnal harian asisten dan pengagumnya
yang paling setia, Otho Travers. Bahkan, Travers membantu langsung Sophia untuk
menjelaskan detail peristiwa yang ingin ditonjolkan dalam memoir tersebut. “Sulit membayangkan sepasang penulis biografi
yang lebih tak netral dan memihak daripada mereka, dan hasil akhirnya merupakan
monumen penyucian” (Hannigan, 2015:392). Dapat diduga, jika konstruksi
citra diri Raffles yang ditampilkan dalam buku tersebut sangatlah berpihak.
Sosok Raffles “dipoles” sedemikian rupa menjadi sosok yang baru: pintar, cakap,
bersih, dan sukses. Dari sumber aslinya, dapat dilihat bagaimana Sophia (dan
Travers) menggambarkan sosok Raffles, diantaranya sebagai berikut:
“It is evident from what has been stated,
that during the whole period of his administration, Mr. Raffles had constantly been occupied with
the varied and extensive duties of his situation, which had required from him
incessant labour and attention; every thing, in fact, rested upon himself. He
was nacquainted, or but slightly acquainted, with the principles or characters
of most of those whom he had to employ; he was compelled to instruct, direct,
and confide in all; and these, untried and unknown, were to be surrounded by
temptations and examples of peculation, bribery, and corruption. It is to the
honour of the individuals so employed and so chosen, that, under all succeeding
circumstances, so few were found to fail in their duty, and so many proved
themselves worthy of the confidence reposed in them.” (Sophia Raffles, 1835:289)
“The deep interest which Mr. Raffles took
in the happiness of the Javanese induced him to exert every faculty of his mind
to instruct and improve them ; and this was to him comparatively easy, even in
the pressure of all the more direct and ordinary business of his station; he
was gifted with a power of such rapid decision, his discrimination was so
clear, and his arrangements so immediate and perfect, that he was able to
effect more business, of every kind, than any single person of those around him
could have thought possible. It is stated by some of those who were in the
habit of observing him at this time, that they have seen him write upwards of
twenty sheets of minutes, orders, &c. &c. without any correction or
even alteration being necessary. It has already been stated, that he required
three clerks to copy and keep up with he wrote; and that he frequently dictated
to two persons whilst engaged in writing letters himself.” (Sophia Raffles, 1835:290)
Dalam memoir tersebut, Sophia
menggambarkan bagaimana Raffles merupakan seorang pejabat kolonial yang selalu sibuk dan
terus menerus bekerja, harus memimpin anak buahnya, dalam situasi kerja yang dengan godaan berupa berbagai bentuk spekulasi, suap dan korupsi. Raffles juga selalu
mampu menyelesaikan tugas-tugasnya dengan sukses. Digambarkan bahwa Raffles adalah orang yang cerdas, berbakat, dan mampu mengambil keputusan secara cepat. Oleh Sophia, Raffles juga digambarkan sebagai seorang yang cekatan sekaligus teliti, sehingga mampu menulis catatan, laporan dan berbagai dokumen secara cepat dengan tanpa
kesalahan dan tanpa perlu dikoreksi lagi. Raffles dapat mendiktekan
tulisan berbeda pada dua orang asistennya sekaligus, sembari dia sendiri
menulis surat yang lain. Di tangan Sophia, sejarah hidup dan karier Raffles diubah menjadi
legenda dan mitos. Dalam istilah Wright (2008), Raffles adalah seorang pahlawan yang diciptakan (a manufactured hero). Karenanya, Glendinning dalam Raffles and the Golden Opportunity 1781-1826 menyebut bahwa Sophia-lah yang menyelamatkan reputasi Raffles sebagai administatur kolonial (2012:14).
Bagi Hannigan, segala glorifikasi
dan puja-puji dalam memoir Rafles yang disusun Sophia tersebut -- sekaligus upaya
ketat menyingkirkan segala kisah yang dapat menodai citra Raffles--, meskipun
mungkin kurang dapat dibenarkan, tapi masih dapat dipahami. Toh mereka juga bukan sejarawan. Masalah sesungguhnya ada pada
para sejarawan maupun para penulis kisah Raffles berikutnya yang --seperti dikatakan
Hannigan—hanya mengikuti saja dan menganggap “biografi Raffles” yang disusun
oleh Sophia dan Travers tadi sebagai sumber yang paling benar untuk
menggambarkan sosok Raffles. Pada akhirnya, sejak akhir 1890-an sampai 1990-an,
hampir semua tulisan mengenai Raffles menggambarkannya sebagai sosok yang “liberal, visioner, dan pahlawan, kemudian
membuang kesan yang menyatakan sebaliknya” (Hannigan, 2015:393). Sebagai contoh, Coupland dalam Raffles 1781-1826 dengan meyakinkan menulis bahwa hanya dalam waktu singkat Raffles telah sukses melakukan revolusi administrasi kolonial di Jawa: "...he built up his new system, till, at the end of two or three years, not indeed without effort but with astonishingly little friction, the great revolution was as complete as administrative machinery could make it" (1934:46).
-----
Bias sejarah
Membaca buku Hannigan ini saya seperti diingatkan kembali bahwa apa
yang disebut sebagai “kebenaran dalam sejarah” itu sangatlah relatif. Sejarah rentan
oleh kesalahan metodologis, bias, dan kepentingan. Sejarah dapat dibuat, ditutupi,
dikaburkan, dipalsukan atau bahkan dibentuk ulang. Sejarah adalah tentang apa yang
ingin diingat, sekaligus apa yang ingin kita lupakan (MacMillan, The Uses and Abuses of History,
1998:127). Sejarah adalah juga soal interpretasi, sehingga pada akhirnya menjadi
subyektif sifatnya. Dalam hal ini, sejarawan bukanlah orang yang dapat dianggap
sepenuhnya netral juga (Wiersma,
“Politics of the Past:
The Use and Abuse of History,” dalam
Swoboda dan Wiersma, 2009:15).
Fischer (Hitorians’ Falacies,
1970) menyebutkan adanya sejumlah kesalahan yang dilakukan oleh para
sejarawan, mulai dari kesalahan dalam menyusun kerangka pertanyaan, verifikasi,
menentukan fakta signifikan, melakukan generalisasi, menyusun narasi, memetakan
hubungan sebab-akibat, kesalahan dalam hal motivasi/tujuan, dll. Merujuk
pada pandangan McCullagh (The Truth of History, 1998:21), ada sejarah yang salah, unjustified,
dan bias. Salah atau unjustified dalam penulisan sejarah bersifat tidak sengaja, karena mungkin kesalahannya pada proses mengambil data atau intepretasi.
Disitu ada kesalahan yang bersifat metodologis. Tetapi bias dalam penulisan sejarah adalah lebih merupakan faktor
kesengajaan, karena ada kepentingan lain dari pemilihan fakta dan produksi
tafsir sejarah tertentu (McCullagh, 2000:40). Bias penulisan sejarah dalam
banyak kasus mungkin semata karena urusan eksistensi, tapi bisa jadi juga lebih
karena alasan-alasan politis (Heinzen, “Memory Wars,” 2004:148). Saya kira, pada banyak kasus lain,
pemelintiran sejarah bisa jadi juga karena alasan-alasan yang lebih bersifat ideologis,
seperti pada kasus pembunuhan massal 1965 di Indonesia, misalnya.
Kembali ke soal Raffles, saya
menjadi “sedikit curiga” bahwa sejarah dan citra Raffles yang telah dipoles
Sophia dan Travers tersebut memang sengaja dibiarkan dan berkembang begitu saja
oleh para sejarawan Barat –yang notabene memiliki sebagian besar dokumentasi
masa kolonial--, sebagai bagian dari upaya cuci tangan dan menciptakan imaji
baru bahwa “tidak selamanya kolonialisme hanya menghadirkan penindasan di tanah
jajahan mereka.” Dalam hal ini barangkali Raffles “beruntung” karena telah terpilih menjadi salah satu ikon kolonial yang dikonstruksikan sebagai seorang yang humanis dan
berhasil menciptakan “peradaban baru yang lebih baik” di Timur, dengan
Singapura sebagai etalasenya.
Hannigan dalam bukunya ini memberikan keterangan yang cukup jelas mengenai referensi yang digunakannya. Saya sendiri bukan sejarawan yang punya kompetensi dan kredibilitas untuk membantah atau membenarkan apa yang ditulis Hannigan ini. Namun dari beberapa referensi lain, memang ada banyak penulis yang mengkonfirmasi mengenai apa yang ditulis oleh Hannigan ini. Contohnya, tentang penyerbuan dan penjarahan Keraton Yogyakarta, yang oleh Carey (2008) dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the
End of an Old Order in Java, 1785-1855 disebutnya sebagai "perkosaan Inggris atas Yogyakarta" (the British rape of Yogyakarta).
Menurut saya, buku Hannigan ini memberikan alternatif informasi yang penting dan berguna, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Buat saya, jika setengah saja dari isi buku ini benar, maka itu sudah memberi perspektif yang baru tentang sejarah Indonesia. Sayangnya, saya belum menemukan tanggapan dan komentar dari sejarawan Indonesia tentang buku Hannigan ini. Mungkin karena buku ini bukan dalam format buku teks atau laporan penelitian formal, atau memang tidak banyak (tidak ada?) ahli dengan spesialiasi tentang sejarah dan sepak terjang Raffles di Indonesia? Entahlah…
"Tapi yang pasti saya terhibur dengan buku ini. Terima kasih mas Hannigan..."
Menurut saya, buku Hannigan ini memberikan alternatif informasi yang penting dan berguna, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Buat saya, jika setengah saja dari isi buku ini benar, maka itu sudah memberi perspektif yang baru tentang sejarah Indonesia. Sayangnya, saya belum menemukan tanggapan dan komentar dari sejarawan Indonesia tentang buku Hannigan ini. Mungkin karena buku ini bukan dalam format buku teks atau laporan penelitian formal, atau memang tidak banyak (tidak ada?) ahli dengan spesialiasi tentang sejarah dan sepak terjang Raffles di Indonesia? Entahlah…
"Tapi yang pasti saya terhibur dengan buku ini. Terima kasih mas Hannigan..."
---ck---
Tentang Tim Hannigan: Mantan Chef penggemar surfing, turing dan sejarah
Hannigan lahir di Penzance,
Cornwall-UK. Dia pernah bekerja sebagai chef profesional, namun panggilan
jiwanya adalah menjadi backpacker
keliling dunia, sekaligus untuk memenuhi hobinya akan hiking, surfing dan kayaking. Hannigan belajar tentang jurnalisme di the
University of Gloucestershire, Inggris. Pernah bekerja sebagai guru Bahasa
Inggris dan tour guide sebelum menjadi full-time
writer, sebagai travel
journalist dan freelance author dengan spesialisasi Indonesia dan India.
Karyanya yang sudah dipublikasi adalah Murder in the Hindu Kush (The History
Press, 2011, dan menjadi nominator pada the Boardman Tasker Prize), Raffles and the British Invasion of Java (Monsoon Books, 2012), dan A Brief History of Indonesia. Sultans,
Spices and Tsunamis: The Incredible Story of Southeast Asia’s Largest Nation (TUTTLE,
2015). Buku lainnya yang terkait dengan jurnalisme adalah Specialist
Journalism (Routledge, 2012), dan Open
School of Journalism. Dari hasil perjalanannya, Hannigan juga banyak menulis
artikel untuk banyak media di Asia, Timur Tengah dan UK, juga untuk sejumlah
jaringan hotel di UK dan USA. Dia juga kerap menulis resensi buku di the Asian
Review of Books dan media lainnya. Buku Raffles and the British Invasion of
Java memperoleh
penghargaan John Brooks Award 2013 dari the
West Country Writers’ Association di Inggris.
-----
Sumber utama:
- Carey, Peter (2008). The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. KITLV Press, Leiden.
- Coupland, R. (1934). Raffles 1781 - 1826. Second Ed. Oxford University Press, London.
- Glendinning, Victoria (2012). Raffles and the Golden Opportunity 1781-1826. Profile Books, London.
- Hannigan, Tim (2011). “When Raffles Ran Java,” History Today, Sep 2011, Vol. 61, Issue 9, p.10-17.
- Hannigan, Tim (2012). Raffles and the British Invasion of Java. Monsoon Books, Singapore.
- Hannigan, Tim (2015). Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa. Penerjemah: Bima Sudiarto. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
- Heinzen, Jasper (2004). “’Memory Wars’: The Manipulation of History in the Context of Sino-Japanese Relations,” New Zealand Journal of Asian Studies 6, 2 (December, 2004): 148-164.
- Fischer, David Hackett (1970). Historians’ Fallacies: Toward a Logic of Historical Thouhgt. Harper Perennial, New York.
- McCullagh, C. Behan (1998). The Truth of History. Routledge, New York.
- McCullagh, C. Behan (2000). “Bias in Historical Description, Interpretation, and Explanation,” History and Theory, Vol. 39, No. 1 (Feb., 2000), pp. 39-66.
- MacMillan, Margaret (2008). The Uses and Abuses of History. Penguin, Ontario-Canada.
- Raffles, Sophia (1835). Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles: Particularly in the Government of Java, 1811-1816, Becooolen and Its Dependences, 1817-1824; With Details of the Commerce and Resources of the Eastern Archipelago, and Selections from His Correspondence. Vol. 1. James Duncan, London.
- Roscher, Jean (2011). Perang Napoleon di Jawa 1811: Kekalahan Memalukan Gubernur Jenderal Janssens. Penerjemah: Rahayu S. Hidayat. Kompas, Jakarta.
- The British Invasion of Java 1811, http://asianmil.typepad.com/stage3/2009/05/the-british-invasion-of-java-1811.html
- Wiersma, Jan Marinus (2009). “Politics of the Past: The Use and Abuse of History,” on Politics of the Past: The Use and Abuse of History, Hannes Swobodan and Jan Marinus Wiersma, The Socialist Group in the European Parliament.
- Wright, Nadia (2008). “Sir Stamford Raffles – A Manufactured Hero?” paper on the 17st Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia ini Melbourne, 1-3 July 2008.
- http://timhannigan.com/about-2/
- http://www.amazon.co.uk/Tim-Hannigan/e/B0069YJIO0
- http://harnas.co/2015/10/12/petualangan-seorang-chef-dibalik-kelahiran-a-brief-history-of-indonesia