Candra Kusuma
Masih seputar Pemilu. Jika awam maupun
ilmuwan politik konvensional memandang Pemilu hanya sebagai moment politik,
Chua Beng Huat --seorang Professor di
Departement of Sociology, The National University (NUS) – Singapore--
menawarkan cara pandang yang sama sekali berbeda, yaitu melihat Pemilu sebagai
budaya pop. Chua bersama sejumlah peneliti meramu hasil penelitian mengenai
peristiwa budaya dalam Pemilu di Korea (2002), Taiwan, Hong Kong, Indonesia, Philippina, Malaysia,
India dan Jepang (seluruhnya di tahun 2004), serta di Thailand (2005).
Pemilu bukanlah semata masalah teknis
bagaimana memilih politisi untuk jabatan publik. Pemilu juga dapat dilihat dari
kacamata ekonomi. Adanya perilaku money
politic atau vote buying selama
proses Pemilu juga dapat dilihat sebagai satu periode singkat dari
“redistribusi kekayaan” khususnya dalam lingkungan yang masih menonjol
ketimpangan sosial dan ekonominya.
Dalam
buku ini, Chua menawarkan perspektif lain, yaitu melihat Pemilu dari perspektif
sosiologis. Pemilu bukan melulu urusan rasional sepenuhnya. Dimanapun Pemilu
pasti memerlukan adanya kampanye yang dalam prakteknya tidak dapat dilepaskan
dari unsur-unsur budaya lokal: “In
presenting political elections as an expression of popular culture… electoral
behavior as a meaningful cultural practice.” Masa Pemilu adalah masa
pertarungan simbol-simbol politik. Lambang partai, warna dominan partai,
gagasan, jargon, metafora, dll. merupakan bagian dari kontestasi antar
sub-budaya. Pemilu
adalah “event budaya”, seperti layaknya festival budaya atau keagamaan yang
dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.
pada BAB 3 di buku ini, Jennifer Lindsay menuliskan
hasil pengamatannya terhadap proses Pemilu 2004 di Indonesia dalam tulisan
judul “The Performance Factor in
Indonesian Elections.” Jennifer
menilai, Pemilu di Indonesia sarat dengan unsur budaya lokal, yang menjadikan
Pemilu ibarat festival musiman. Masa kampanye Pemilu di Indonesia umumnya diisi
dengan konvoi kendaraan bermotor – Jennifer menyebutnya sebagai “Pawai: Motorized Parades” -- dari para
pendukung partai atau calon presiden tertentu. Umumnya peserta konvoi ini
menggunakan kostum dan berbagai pernak pernik yang identik dengan simbol dari
Partai Politik atau politisi yang didukungnya.
Selain itu, kampanye Pemilu umumnya juga diisi
dengan adanya panggung pertunjukan yang diisi dengan orasi dari tokoh-tokoh
terkenal internal Partai ataupun figur-figur tertentu yang dikenal oleh massa,
serta pertunjukkan live music yang
menampilkan artis-artis yang populer di masyarakat, khususnya para penyanyi dan
penari Dangdut. Di beberapa daerah juga ditampilkan pertunjukkan kesenian
rakyat seperti wayang orang, wayang kulit, tarling, tayuban, dsb. Bahkan, acara
kampanye bisa “menyusup” ke acara-acara sosial di masyarakat, seperti acara
perkawinan, dll.
Pada saat puncak Pemilu
berlangsung, banyak tempat pemungutan suara (TPS) yang dihias layaknya pada pesta perkawinan. Para petugas pemilihan
di TPS banyak yang berdandan dan berakting layaknya keluarga atau pihak
penyelenggara perkawinan tersebut. Istilah “pesta” tersebut tidak dapat
dipelaskan dari historis peninggalan rezim otoriter Suharto, di mana Pemilu
diibaratkan sebagai “Pesta Demokrasi” atau Festival of Democracy
(Pemberton,
1986; dan Little, 1996), sebagai kamuflase dari
upaya mobilisasi pemilih selama periode Pemilu di masa Orde Baru.
Pada Pemilu 2004, Jennifer mencatat semakin maraknya
keterlibatan kalangan selebriti (aktor/artis, penyanyi, pemain sinetron,
pelawak, dll.) di ruang politik. Keterlibatan tersebut beragam, dari mulai
sekedar membantu tim sukses partai, menjadi penampil atau juru kampanye,
menjadi pengurus Partai, sampai benar-benar ikut menjadi kandidat di Partai
tertentu yang turut bertarung dalam Pemilu. Menurut Jennifer ada semacam
hubungan mutualisme antara pada selebriti dan Partai Politik tersebut, di mana
para selebriti menjadi makin terkenal karena tampil bersama politisi atau
bahkan sekaligus juga menjadi politisi, dan disisi lain para selebriti tersebut
menjadi faktor penarik bagi Partai Politik dalam meraih suara pemilih (vote-getter).
Selain itu, Jennifer mencatat adanya beragam variasi
baru dari wujud ekspresi budaya masyarakat dalam Pemilu. Contohnya adalah
maraknya parodi debat politik di televisi yang menampilkan para pelawak, artis
ataupun para selebriti lain yang bukan politisi. Di beberapa daerah, masyarakat
bahkan juga membuat kegiatan-kegiatan serupa, seperti yang dilakukan oleh
masyarakat Taggulsari di Solo, di mana pada 27 Juni 2004 mereka membuat acara
debat dengan judul “Warga Tanggulsari Mencari Presiden: Audisi Calon Presiden.”
Sebaliknya, Jennifer juga
mencatat bahwa para politisi juga berperan sebagai selebriti. Pada 19 Juni
2004, dalam acara Grand Final “Akademi Fantasi Indonesia,” juga ditampilkan
bintang tamu Wiranto
and Susilo Bambang Yudhoyono. Keduanya juga diminta bernyanyi untuk kemudian
dikomentari oleh para juri kala itu, yaitu Trie Utami, Harry Roesli and Erwin
Gutawa, yang mengomentari mengenai performance, pitch control, pilihan lagu, dll.
Selain itu, pada saat ada acara debat calon Presiden
yang disiarkan oleh Metro TV pada 30 Juni dan 1 Juli 2004, juga disajikan acara
sampingan yaitu adanya panel komentator (Harry Roesli, Butet Kartredjasa dan
Arswendo Atmowiloto) yang mengomentari performance, bahasa tubuh, pitch control , dan lainnya dari para
Calon Presiden tersebut.
Budaya Pop pada Pemilu 2014?
Menurut saya, konsep
yang ditawarkan Chua dkk. mengenai budaya pop ini terasa kurang jelas, karena
cenderung mencampur antara konsep budaya massa (mass culture) dan budaya populer (popular culture). Namun jika perspektif Chua Jennifer, dkk. tersebut
coba digunakan untuk mencermati fenomen Pemilu 2014, tampaknya tidak banyak
perubahan dari kondisi 10 tahun lalu. Bahkan, dengan semakin dominannya peran
media massa dan sosial media sebagai sarana kampanye politik makin menguatkan
sinyalemen Chua dkk. bahwa budaya pop sudah sangat melekat dalam kontestasi
politik di Indonesia. Pada masa kampanye Pemilu Legislatif lalu, masih dominan
diisi oleh kegiatan pawai ayau konvoi kendaraan bermotor, panggung hiburan, dan
sejenisnya.
Pada Pemilu Legislatif
2014 khususnya pada pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kemungkinan
akan dimenangkan oleh para calon yang relatif sudah dikenal publik. Para
anggota DPD periode sebelumnya, para selebriti yang biasa tampil di televise,
atau para calon yang merupakan bagian dari keluarga tokoh di daerah, berpeluang lebih besar untuk
terpilih. Untuk kasus DPD, popularitas calon sangat signifikan menunjang
elektabilitas mereka. Para politisi yang sudah dikenal publik -- dan relatif
tidak memiliki banyak catatan buruk sebelumnya--, kemungkinan memperoleh suara
yang cukup banyak. Meskipun ada beberapa pengecualian, seperti kasus
terpilihnya Aceng Fikri, mantan Bupati Garut yang lengser akibat kasus nikah
sirinya. Kondisi tersebut disebabkan karena para calon DPD lain pada umumnya kurang atau bahkan tidak
dikenal oleh calon pemilih.
Analisis yang sama
tidak dapat digunakan untuk proses pemilihan anggota legislatif untuk DPRD dan
DPR RI. Dari informasi mengenai perolehan suara sementara Pemilu Legislatif,
menunjukkan bahwa para calon legislatif
yang partainya memiliki jaringan media massa dan/atau jor-joran membuat
iklan politik di media, tidak serta
merta memperoleh suara yang siginifikan, seperti dapat dilihat dari perolehan
suara Partai Hanura (yang menguasai jaringan media MNC Group) dan Partai Nasdem
(yang menguasai jaringan media Metro TV, Media Indonesia, dll.). Dari berbagai
informasi yang muncul di media massa, diduga bahwa faktor ketokohan dari ketua
Partai dan Calon Presiden yang diajukan oleh Partai Politik, serta masih
maraknya praktek vote buying yang
dilakukan oleh para calon dan tim suksesnya, adalah faktor yang paling
menentukan
(Bersambung nanti…
kalau sempat ya…)
--------------
Judul : Elections
as Popular Culture in Asia
Penulis : Chua Beng Huat
Tahun : 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar