Kebebasan Negatif -vs- Kebebasan
Positif
Kebebasan adalah salah satu konsep yang
banyak diulas dan diperdebatkan sejak lama oleh para pemikir, diantaranya oleh
Erich Fromm dan Isaiah Berlin. Fromm adalah filsuf politik kelahiran Jerman
tahun 1900. Dia menjadi saksi kelahiran dan kejatuhan kekuasaan Fasisme NAZI
Jerman. Sementara Isaiah Berlin adalah filsuf kelahiran Rusia (sekarang Latvia)
tahun 1909 dari keluarga Yahudi. Pada tahun 1920 --setelah Revolusi Komunis
Bolshevik Rusia yang juga anti-Semit-- keluarganya melarikan diri dan kemudian
menjadi warga negara Inggris. Pengalaman pribadi kedua pemikir tersebut turut
melatarbelakangi filsafat yang mereka kembangkan, khususnya terkait dengan
perlawanan terhadap gagasan Fasisme dan kekuasaan yang otoriter.
Fromm berpendapat, bahwa manusia modern
memiliki kebebasan yang jauh lebih besar dibandingkan para pendahulunya, karena
mereka telah mampu mencapai kondisi “bebas dari” berbagai hambatan dan
penghalang. Manusia modern telah tidak terlalu dibatasi lagi oleh kekuatan
alam, ajaran religius yang dogmatis, dan norma-norma sosial kaku abad
pertengahan yang mengekangnya. Struktur masyarakat modern tersebut kemudian
mempengaruhi manusia dalam dua cara sekaligus: manusia menjadi lebih mandiri,
percaya pada diri sendiri dan kritis, namun sekaligus menjadi lebih terisolasi,
sendirian dan ketakutan (The Fear of Freedom: Escape From Freedom, 1942:
39).
Kebebasan yang melahirkan
keterasingan dan justru membuat manusia menjadi takut tadi, membuat manusia
kemudian cenderung berpaling dari kebebasan itu sendiri sendiri. Menurut Fromm,
kesendirian, ketakutan dan kebingungan tetap ada; manusia tidak bisa tahan
menghadapi itu selamanya. Mereka tidak mampu menanggung beban "kebebasan
dari," dan mereka terus mencoba untuk melarikan diri dari kebebasan sama
sekali, kecuali mereka dapat berkembang dari kebebasan negatif (negative
freedom) ke kebebasan positif (positive freedom) (Fromm,
1942: 49).
Manusia dapat mengembangkan
"kebebasan positif"-nya jika dapat berhubungan secara spontan dengan
dunia dalam cinta dan pekerjaan, dalam ekspresi yang tulus dari kapasitas emosional,
sensual, dan intelektualnya. Dengan demikian ia dapat menjadi bagian lagi dari
manusia, alam dan dirinya sendiri, tanpa menyerahkan sepenuhnya independensi
dan integritas diri pribadinya kepada pihak lain. (Fromm, 1942: 51).
Pandangan Fromm diamini oleh Isaiah
Berlin, yang juga membagi kebebasan secara umum dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu kebebasan positif dan kebebasan negatif. Kebebasan positif adalah
“kebebasan untuk” (freedom to) melakukan sesuatu. Sementara kebebasan
negatif dimaknai sebagai “kebebasan dari” (freedom from) berbagai
hambatan dan halangan (Isaiah Berlin, Liberty: Incorporating Four
Essays on Liberty, 2002: 168-181; yang dikembangkan dari tulisan awalnya
berjudul Four Essays on Liberty pada tahun 1969).
Ketidakmampuan manusia modern
menghadapi kebebasannya sendiri membuat mereka kemudian menciptakan apa yang
disebut Fromm sebagai “mechanism of escape from freedom”atau mekanisme
untuk melarikan diri dari kebebasan. Dalam The Fear of Freedom: Escape
From Freedom, Fromm menguraikan tiga mekanisme lari dari kebebasan yang
umum digunakan, yaitu: otoritarianisme, kehancuran, dan penyesuaian diri secara
otomatis (Fromm, 1942: 50-73).
(1) Otoritarianisme (authoritarianism)
Mekanisme pertama melarikan diri dari
kebebasan adalah kecenderungan untuk menyerahkan kebebasan individual diri
sendiri dan untuk meleburkan diri dengan orang atau sesuatu di luar dirinya
sendiri, dalam rangka memperoleh kekuatan yang dirasakan kurang dalam dirinya
sendiri. Kekuatan diluar dirinya tersebut dapat berupa kelompok, organisasi,
pemimpin yang kharismatis, kekuasaan otoriter, dll. Singkatnya, mekanisme
pertama adalah berupa ketundukan dan berada dibawah dominasi pihak lain. Fromm
menyebutkan bahwa secara psikologis kecenderungan yang muncul adalah masokhisme
(kesenangan yang muncul dari rasa sakit fisik atau psikologis pada diri sendiri
baik yang dilakukan oleh diri sendiri atau orang lain) dan sadisme
(kesenangan yang muncul dari menyakiti pihak lain secara fisik dan psikologis).
(2) Kehancuran (destructiveness)
Bersumber dari rasa ketidakberdayaan,
keputusasaan dan rasa terasingnya individu, yang menimbulkan kecemasan dan rasa
kegagalan dalam hidup. Untuk menghilangkan rasa ketidakberdayaan tersebut,
dengan menghancurkan pihak lain diluar dirinya, juga dengan kecenderungan
merusak diri sendiri. Upaya aktif penghancuran tersebut dengan berbagai
rasionalisasi: atas nama cinta, tugas, hati nurani, patriotisme, dll.
Singkatnya, individu mengatasi perasaan tidak penting dibandingkan dengan kekuatan
luar biasa dari dunia luar dirinya, baik dengan meninggalkan integritas
pribadinya, atau dengan menghancurkan orang lain, sehingga dunia tidak lagi
menjadi ancaman.
(3) Penyesuaian diri secara
otomatis (automaton conformity)
Menurut Fromm, mekanisme ini adalah
modus paling umum yang dipilih oleh masyarakat modern. Singkatnya, individu
tidak lagi menjadi dirinya sendiri, karena ia mengadopsi sepenuhnya jenis
kepribadian yang ditawarkan kepadanya oleh pola-pola budaya. Individu menjadi
identik dengan orang kebanyakan, atau berubah menjadi seperti yang diharapkan
oleh orang-orang di sekitarnya. Akibatnya, individu justru kehilangan dirinya
sendiri.
Mekanisme melarikan diri dari kebebasan
tersebut adalah pengejawantahan dari kebebasan negatif yang menjauhkan manusia
dari “keaslian”-nya (authenticity). Bagi Fromm, hanya kebebasan positif
saja yang dapat membuat individu tetap otentik, dalam pengertian individu yang
dapat mengambil sikap dari pemikiran dan pemahaman pribadinya sendiri, dan
bukan berasal dari tekanan pihak lain, atau tidak semata mengafirmasi
kecenderungan dari pendapat umum yang ada di komunitasnya saja.
GOLPUT adalah hak dalam rezim demokrasi,
dan bentuk perlawanan dalam rezim otoriter
Fitur utama dalam sebuah negara
demokrasi salah satunya adalah adanya Pemilu yang bebas untuk memilih anggota
lembaga perwakilan rakyat dan pemimpin eksekutif di pemerintahan. Jadi kalau
ada negara yang bikin Pemilu tapi dengan banyak pembatasan, pemaksaan,
kekerasan dan kecurangan ya bisa dibilang negara itu tidak atau kurang
demokratis lah…
Dapat dikatakan, Pemilu erat kaitannya
dengan kebebasan khususnya kebebasan untuk mengekspresikan pandangan dan sikap
politik (freedom of political expression). Pemilu diselenggarakan adalah
juga untuk menjamin tetap terpeliharanya kebebasan politik itu sendiri.
Walaupun ada sejumlah kasus di mana Pemilu justru menghasilkan pemenang yang
kemudian membelenggu kebebasan warga negaranya, dan menciptakan bencana kemanusiaan
yang besar. Contohnya adalah ketika Partai NAZI-nya Hitler yang Fasis
memenangkan Pemilu di Jerman tahun 1932. Sementara di Indonesia, adalah ketika
GOLKAR menjadi pemenang dalam Pemilu di Indonesia tahun 1971, yang kemudian
menjelma menjadi Rezim Otoriter ORBA yang berkuasa 32 tahun lamanya.
Barangkali disitulah paradoks yang
menjadi kelebihan sekaligus kelemahan dari sistem demokrasi, yaitu adanya
“kewajiban” untuk tetap memberi celah kebebasan dan kesempatan hidup bahkan
bagi ideologi dan embrio kelompok dan kekuatan politik yang cenderung kurang
atau anti-demokrasi sekalipun. Karena sepanjang mereka tidak secara aktif
melakukan penghinaan dan penyebaran kebencian terhadap pihak lain, atau
melakukan pemaksaan atas pandangan, keyakinan dan agenda politiknya kepada
warga negara lainnya, maka itu dipandang hanyalah perbedaan gagasan saja.
Pluralisme justru menjadi basis bagi demokrasi, di mana ada pengakuan akan
kemajemukan, keragaman budaya, kebebasan berpikir, perlindungan terhadap
kelompok minoritas, serta penyelesaian konflik secara damai. Jadi jika masih
ada penyelesaian konflik agraria antara petani dengan pengusaha yang melibatkan
kekerasan misalnya, jelas tidak sejalan prinsip negara demokratis lah ya…
Dalam negara demokratis, partisipasi
politik warga negara adalah kebutuhan, namun negara atau siapapun tidak dapat
memaksa warga negaranya untuk berpartisipasi, karena justru akan bertentangan
dengan prinsip kebebasan tadi. Dalam konteks Pemilu, partisipasi warga negara
dalam Pemilu sangat diharapkan, tetapi jikapun ada diantara mereka yang
berkehendak untuk tidak ikut memilih alias “GOLPUT”, maka itupun adalah
kebebasan yang tetap harus diakui, dihargai dan dilindungi oleh negara ataupun
warga negara lainnya. Sementara di negara otoriter, GOLPUT dalam Pemilu justru
dapat dipandang sebagai bentuk perlawanan. Rakyat dapat memilih untuk tidak
ikut serta dalam Pemilu jika memang penuh kepalsuan dan pemaksaan, serta hanya
digunakan sebagai alat legitimasi rezim yang berkuasa saja.
Hal tersebut menurut saya sejalan
dengan pandangan Isaiah Berlin tentang “kebebasan,” -- yang saya terjemahkan
semampunya--, bahwa: “Inti dari kebebasan selalu bertumpu pada
kemampuan untuk memilih sesuai apa yang ingin dipilih, karena Anda ingin
memilih, tanpa paksaan, tanpa gangguan, tidak ditelan oleh sistem-sistem yang
lebih besar; dan hak untuk melawan, menjadi tidak populer, untuk membela
keyakinan Anda, karena itu adalah keyakinan Anda. Itu adalah kebebasan sejati,
dan tanpa itu tak ada kebebasan apapun, atau bahkan sekedar ilusi tentang itu.” (Isaiah
Berlin, Freedom and its Betrayal: Six Enemies of Human Liberty,
2002: 103-104)
Pemilu 2014 ancaman bagi demokrasi dan
kebebasan?
Pemilu 2014 menjadi unik karena hanya
dua pasangan Capres dan Cawapres yang akan dikonteskan. Selain itu, kedua
pasangan tersebut terkesan mencitrakan dua pilihan karakter kepemimpinan dan
pemerintahan (nanti) yang akan berbeda. Tak terhingga sudah banyaknya berita,
gosip, data, analisis mengenai hal tersebut yang diangkat di media massa dan media
sosial, baik dalam bentuk kampanye positif, negatif bahkan hitam mengenai kedua
pasangan tersebut. Calon pemilih tinggal melihat, membaca, memilah, menilai dan
memutuskan mana bagian yang lebih masuk akal dan sesuai pertimbangan nurani,
mana yang akan dipercaya dan menjadi pijakan untuk memilih.
Sebagian calon pemilih yang rasional
dan berpikir positif mungkin akan lebih banyak mencermati sungguh-sungguh
tawaran agenda program pembangunan yang ditawarkan oleh masing-masing kubu
Capres dan Cawapres: Siapa yang punya agenda lebih baik untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat?. Sebagian calon pemilih lainnya lebih
banyak menyoroti peluang dan ancaman dari kedua kubu tersebut terhadap aspek
yang lebih mendasar: Siapa yang lebih berpeluang mendukung penegakan
hukum dan HAM, serta membangun tatanan demokrasi yang lebih baik?. Sebagian
calon pemilih lain yang apatis dan skeptik terhadap pasangan Capres dan
Cawapres maupun kelompok pendukungnya, mungkin akan tetap memilih untuk tidak
ikut memilih dalam Pemilu, alias GOLPUT saja.
Namun, barangkali memang menjadi satu
kecenderungan alamiah manusia untuk gemar mengambil sikap ekstrem. Sangat
mungkin, setelah lelah dipimpin rezim dengan gaya kepemimpinan yang kuat bahkan
otoriter, sebagian menginginkan rezim yang lebih soft dan
demokratis. Sebaliknya, setelah kecewa pada rezim dengan kepemimpinan yang
lemah, sebagian justru merindukan adanya rezim dengan karakter kepemimpinan
yang lebih kuat, yang kurang demokratis, dan bahkan otoriter. Pengalaman Jerman
dengan NAZI-nya di Pemilu 1932 membuktikan hal tersebut. Kecenderungan ini pula
yang tampaknya terjadi saat ini di Indonesia. Bagi sebagian orang, demokrasi
dan kebebasan justru menjadi ancaman dan menakutkan. Dalam konteks politik, tak
mengherankan jika mereka kemudian mendukung atau menjadi bagian dari kekuatan
yang justru cenderung membatasi kebebasan politik.
Mungkin agak neurotic, tapi
sebagian orang melihat adanya kecenderungan Pemilu kali ini justru
mempertaruhkan keberlanjutan dari demokrasi dan kebebasan itu sendiri. Salah
satu pasangan dinilai punya potensi untuk membangun kembali kekuasaan otoriter
dibandingkan pasangan lainnya. Kekuasaan otoriter tersebut mungkin konon akan
lebih “jinak” dari ORBA, namun tetaplah dapat berpeluang besar menjadi
menciptakan kembali masa-masa kegelapan politik seperti di masa lalu. Tidak
hanya secara langsung merupakan “orang dalam” dari ORBA itu sendiri, namun
karakteristik personal dari sang Capres, rekam jejak yang kontroversial terkait
dugaan kuat pelanggaran HAM di masa lalu, dan berkumpulnya kelompok-kelompok
yang cenderung anti keberagaman dan tak segan menggunakan jalan kekerasan di
kubu tersebut menjadi pertanda adanya kecenderungan tersebut. Sementara pada
pasangan yang lain, khususnya pada partai politik utama yang mendukung
pasangan ini, juga berpotensi untuk sensitif terhadap kritik dan enggan berdialog
serta cenderung lebih mengedepankan tindakan yang main hakim sendiri terlebih
dahulu.
Apakah GOLPUT pilihan paling tepat di
Pemilu 2014 ini?
Memang hanya di negara dengan sistem
politik demokrasi yang dapat menawarkan kebebasan untuk memilih, bahkan
kebebasan untuk tidak memilih dalam Pemilu. Di banyak negara lain, perjuangan
kaum budak, perempuan, kaum kulit berwarna, masyarakat adat, kaum minoritas dan
lainnya untuk dapat memperoleh hak politik hingga dapat turut memilih dan
dipilih dalam Pemilu di negara mereka menjadi sejarah perjuangan politik yang
panjang. Kita di Indonesia juga pernah mengalami meski kurang dari itu, yaitu
ketika Orde Baru membatasi kebebasan memilih partai politik, penekanan untuk
memilih partai politik tertentu, juga adanya pembatasan hak politik bagi para
mantan tahanan politik. Bisa jadi saat ini kita kurang menghargai adanya
kebebasan tersebut, dan baru menyadarinya saat kebebasan tersebut hilang atau
berkurang nantinya.
Jika dikaitkan dengan pandangan Erich
Fromm dan Isaiah Berlin mengenai kebebasan positif dan negatif di atas, pada
dasarnya ruang politik cenderung mendorong orang untuk melarikan diri dari
kebebasan individunya (kebebasan positif), untuk kemudian terserap dalam
modus kebebasan negatif. Entah meleburkan diri menjadi bagian dari suatu
kelompok/lembaga politik tertentu (modus otoritarianisme), atau sekedar
mengikuti sikap yang kecenderungan umum di komunitasnya (modus “penyesuaian
diri” atau conformity).
Namun di sisi lain, GOLPUT yang
dilakukan dengan sengaja dalam Pemilu-pun juga dapat dipandang sebagai bentuk
lain dari melarikan diri dari kebebasan. Sejauh calon pemilih memiliki
“kebebasan untuk” menentukan pilihannya sendiri (yang merupakan kebebasan positif),
sementara di sisi lain dalam Pemilu yang akan diselenggarakan justru tengah
dipertaruhkan masa depan demokrasi dan kebebasan, maka pilihan untuk GOLPUT
justru menjadi pilihan yang patut dipertimbangkan ulang. GOLPUT justru dapat
menguntungkan kubu yang berpotensi lebih besar untuk mengancam dapat
terciptanya demokrasi yang lebih kuat pada akhirnya. Pada akhirnya menjadi
GOLPUT justru menjadi modus lainnya dari melarikan diri dari kebebasan seperti diungkapkan Fromm, atau bahkan menjadi "pengkhianat bagi kebebasan" seperti dikhawatirkan Isaiah Berlin. Untuk
kali ini, menjadi GOLPUT dan untuk kemudian hanya menggerutu sendirian rasanya bukan
menjadi pilihan yang tepat. “Whistling in the dark does not bring light.”
Bahwa bersiul dalam gelap tidak akan
menghadirkan cahaya (Erich Fromm, The Fear of Freedom: Escape From Freedom,
1942: 49).
Seperti banyak kawan lain, saya sendiri
termasuk “GOLPUT-er” khususnya pada beberapa Pemilu di masa ORBA. Namun
untuk Pemilu 2014 kali ini ada banyak pertimbangan lain yang “memaksa” saya
untuk cuti dulu dari barisan GOLPUT. Saya
sendiri memilih untuk akan ikut memilih dalam Pemilu Presiden nanti. Selain
mempertimbangkan adanya peluang untuk memperoleh Presiden yang berpotensi membawa
kesegaran dan perubahan dalam politik nasioal pada salah satu Capres dan Cawapres, saya juga
agak khawatir dengan kecenderungan menguatnya ancaman bagi demokrasi dan
kebebasan pada kelompok pendukung Capres yang lain. Merujuk apa yang diingatkan
Fromm, bahwa: “…the defence of freedom against such powers that
deny such freedom is all that is necessary” (1942: 39). Bisa jadi
pandangan ini berlebihan atau bahkan terbukti keliru nantinya. Tapi untuk
kali ini, buat saya, ikut memilih rasanya punya sedikit alasan dan tujuan. Itu
saja.