“Pilpres
2014: Denial, Anger, Bargaining,
Depression, and Acceptance”
Candra Kusuma
Elisabeth Kübler-Ross, seorang psychiatrist berkebangsaan Swiss-Amerika yang menaruh minat terhadap
perawatan pasien yang tengah sekarat dan menghadapi kematian, menulis buku
berjudul On Death and Dying: What the Dying Have to Teach Doctors, Nurses,
Clergy and Their Own Families,
yang diterbitkan pertama kali tahun 1969. Dari hasil pengamatannya, Kübler-Ross
menyimpulkan bahwa perilaku orang yang tengah sekarat umumnya melalui Lima Tahap Kesedihan (five stages of grief), yang kemudian
terkenal dengan singkatan DABDA, yaitu Denial
(penyangkalan), Anger (marah), Bargaining (menawar), Depression (depresi), dan Acceptance (penerimaan). (Kübler-Ross: 2009: 31-111). Dalam
buku tersebut Kübler-Ross memaparkan kecenderungan perilaku individu yang
tengah bersiap menjemput kematian, dan hal apa saja yang perlu dilakukan oleh
dokter, keluarga maupun teman-teman si sakit untuk membantu meringankan
bebannya tersebut.
Saya bukan psychiatrist,
tapi tergoda untuk mencoba mengaplikasi dan mengadaptasikan pendekatan disiplin
psikologi dari Kübler-Ross tadi dalam melihat situasi terakhir Pilpres 2014
saat ini. Sama diketahui, situasi politik saat menunggu hasil penghitungan
suara resmi oleh KPU dari hasil pencoblosan tanggal 9 Juli lalu dapat dikatakan
cukup tegang. Kedua kubu Capres dan Cawapres yang berkompetisi sama mengklaim
telah memperoleh suara terbanyak dalam quick count, dan menyatakan kubunyalah
yang menjadi pemenang dalam Pilpres 2014 ini. Kondisi tersebut tentu beresiko
terhadap kesehatan jiwa dan fisik dari kedua pasangan Capres dan Cawapres, dan
bukan tidak mungkin juga bagi para pendukungnya yang sudah terlanjur sangat
yakin jagoannya telah terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019.
Untuk itu barangkali ada manfaatnya bagi kebaikan
bersama seluruh bangsa, untuk sama mencermati perilaku kedua pasangan Capres
dan Cawapres (dan juga orang-orang di ring satu pada kedua kubu) dalam
menyikapi perkembangan hasil real count
oleh KPU, terkait peluang menang atau kalah dalam perhitungan suara akhir pada
tanggal 22 Juli 2014. Dengan menggunakan pendekatan Lima Tahap Kesedihan dari
Kübler-Ross, saya menduga, kemungkinan akan ditemukan kecenderungan sebagai
berikut:
1. Penyangkalan
(Denial): Karena realitas kekalahan
itu sulit untuk dihadapi, salah satu reaksi pertama dari individu adalah penyangkalan.
Pada fase ini individu tersebut sedang mencoba untuk menutup mata terhadap
realitas, dan mulai mengembangkan ‘realitas palsu’, yang menurutnya adalah realitas
yang lebih baik atau sesuai dengan yang diinginkannya. Kemungkinan akan muncul
pernyataan: “Saya tidak mungkin kalah!”
; “Kekalahan macam begini tidak mungkin
terjadi pada saya! Ini penghinaan!”
2. Marah (Anger): Pada fase ini individu
menyadari bahwa penyangkalan tidak dapat dilanjutkan, dan yang muncul kemudian
adalah kemarahan, baik marah pada diri sendiri, ataupun marah akibat iri hati
pada keberhasilan lawan. Pernyataan yang mungkin muncul adalah: “Pendukung
saya banyak… Kenapa saya yang kalah?”
; “Saya selalu juara… Bagaimana mungkin saya bisa kalah?” ; “Saya kalah pasti karena saya dicurangi!”
; “Panitia berpihak pada lawan!” ; “Ini
tidak adil!”
3. Menawar (Bargaining): Pada fase ini individu berharap dapat membatalkan atau menghindari penyebab kekalahan. Pernyataan yang muncul kemungkinan: “Harus ada penilaian ulang!” ; “Saya ingin kompetisi ini diulang!.”
4. Depresi (Deppresion): Pada fase ini, individu yang berduka mulai memahami kekalahannya dalam kompetisi, di mana akibatnya individu mungkin menjadi menutup diri dan menghabiskan banyak waktu untuk meratapi masalahnya. Namun, emosi yang keluar seringkali merupakan jalan menuju fase terakhir, yaitu Penerimaan. Pernyataan yang mungkin keluar adalah: “Saya sangat kecewa dan sedih…” ; “Saya kalah, padahal saya sudah keluar banyak biaya…” ; “Saya malu sekali… Apa kata dunia...?”
5. Penerimaan (Acceptance): Di fase ini individu mulai dapat menerima kenyataan akan kekalahannya dalam kompetisi. Pernyataan yang mungkin muncul: “Saya memang kalah, tapi saya sudah berusaha” ; “Pesaing saya memang lebih baik…” ; “Rakyat sudah memutuskan dan memilih yang mereka anggap paling baik”
Jika tim sukses di kedua kubu sudah melihat adanya
salah satu gejala 1 sampai 4 tadi pada diri Capres dan Cawapres yang diusungnya,
ada baiknya untuk segera menyiapkan psikolog dan berupaya menciptakan kondisi
yang kondusif untuk kesehatan jiwa dan fisik Capres dan Cawapres tersebut.
Upayakan sedapat mungkin agar penyangkalan, kemarahan, bargaining dan depresi yang muncul tersebut masih dapat batas
kepatutan. Jika tidak, kemungkinan yang terburuk jika yaitu ketika tidak berhasil mencapai
tahap ke lima (tahap Penerimaan/Acceptance),
adalah berakhirnya para Capres dan Cawapres ke RSJ, kena stroke, atau malah langsung ke pemakaman.
Namun, kemungkinan lain yang jauh lebih buruk
adalah jika penyangkalan, kemarahan, dan bargaining
yang melampaui batas kepatutan dari kedua kubu Capres dan Cawapres tadi,
kemudian justru menyulut munculnya reaksi berlebihan dari para massa
pendukungnya dalam bentuk pengerahan massa, yang dapat memicu konflik horizontal,
kerusuhan dan pengrusakan. Jika itu yang terjadi, bukan hanya akan merendahkan
derajat pribadi Capres dan Cawapres sebagai politisi dan negarawan, namun juga akan
menciderai makna dari Pemilu sebagai pesta demokrasi itu sendiri, dan menjadi
preseden buruk bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Kecuali, tentu saja jika mereka memang ingin dikenang selamanya sebagai Capres dan Cawapres yang ‘gila jabatan’
dan ‘pemicu kerusuhan.’ Untuk yang
terakhir ini, saya dan banyak rakyat Indonesia lain rasanya punya harapan yang
sama, agar Indonesia dapat dijauhkan dari pemimpin semacam demikian.
Akan tetapi tetaplah patut diingat, bahwa tahapan tersebut dapatlah dipandang sebagai sebuah siklus, di mana siapapun pihak yang menang atau terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden, pada akhirnya harus menghadapi siklus atau tahapan yang sama dari awal juga. Keberatan atau penyangkalan baik dari pihak yang dulu merupakan pendukung terlebih dari mereka yang sebelumnya memang tidak memilihnya dalam Pilpres, tidak mungkin terelakkan sepenuhnya, karena pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintahan terpilih pasti akan senantiasa ada.
Akan tetapi tetaplah patut diingat, bahwa tahapan tersebut dapatlah dipandang sebagai sebuah siklus, di mana siapapun pihak yang menang atau terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden, pada akhirnya harus menghadapi siklus atau tahapan yang sama dari awal juga. Keberatan atau penyangkalan baik dari pihak yang dulu merupakan pendukung terlebih dari mereka yang sebelumnya memang tidak memilihnya dalam Pilpres, tidak mungkin terelakkan sepenuhnya, karena pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintahan terpilih pasti akan senantiasa ada.
-----------------------
Sumber:
Elisabeth Kübler-Ross. On Death and Dying: What the Dying Have
to Teach Doctors, Nurses, Clergy and Their Own Families. 40th Anniversary Edition. Routledge. 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar