Sekilas Demokrasi
Deliberatif
Oleh:
Candra Kusuma
Dikemas ulang
dari kumpulan tulisan “Renungan Depok” – Juli 2012
Hansen
(2004:80) menyatakan bahwa diskusi politik dan deliberasi sejak lama telah
menjadi elemen penting dalam teori demokrasi. Meskipun memiliki banyak variasi,
namun deliberasi selalu menjadi fitur inti dari demokrasi. Menurutnya, akar
gagasan deliberasi dapat ditarik dari pemikiran beberapa filsuf dan pemikir politik sejak abad 18, seperti: Rousseau;[1] de
Tocqueville;[2] J.S. Mill;[3]
Dewey;[4] dan
Koch.[5]
Namun para ahli umumnya bersepakat bahwa istilah demokrasi deliberatif
(deliberative democracy) pertama kali diperkenalkan oleh J.M. Bessette
pada tahun 1980.[6] Meskipun demikian, pemikir
yang dianggap berjasa mengembangkan dan mempopulerkan konsep demokrasi
deliberatif adalah Jürgen Habermas.[7]
Teori Habermas mengenai demokrasi deliberatif didasarkan pada pemetaannya
mengenai konsep demokrasi. Menurutnya ada tiga model demokrasi, yaitu:
- Model Liberal, yang mengacu pada konsep ‘liberal’ dari Locke yang berpendapat bahwa pemerintah direpresentasikan oleh aparatus dari administrasi publik dan masyarakat sebagai jaringan pasar terstruktur dari interaksi privat antar individu. Politik kemudian dimaknai sebagai memiliki fungsi mengumpulkan dan mendorong kepentingan privat terhadap aparatur pemerintahan untuk mencapai tujuan bersama. Ada batasan jelas antara wilayah negara dan individu. Tugas negara adalah menjamin kepentingan dan hak-hak individu dapat terpenuhi dan terjaga;
- Model Republik, yang memaknai politik sebagai bentuk refelektif dari kehidupan etis substansial, sebagai medium dimana anggota komunitas yang menyadari saling ketergantungan satu sama lain, bertindak sebagai warga negara. Keberhasilan diukur melalui persetujuan warga dan penghitungan hasil voting;
- Model Proseduralis, yang mengedepankan diskursus melalui institusionalisasi prosedur korespondensi dan kondisi komunikasi.[8]
Habermas
memandang demokrasi berdasarkan model proseduralis tersebut. Deliberasi dalam
konsep Habermas adalah prosedur sebuah keputusan dapat dihasilkan. Menurutnya,
sebuah konsensus atau keputusan memiliki legitimasi jika sudah melalui proses
pengujian atau diskursus, dimana semua isu dibahas bersama khususnya oleh
pihak-pihak yang terkait langsung dengan isu tersebut, dalam posisi yang setara
dan tanpa tekanan pihak lain. Arena dimana diskursus tersebut dapat berlangsung
disebutnya sebagai public sphere (ruang publik). Menurut Habermas
(1974), public sphere (ruang publik) merupakan suatu kehidupan sosial
dimana opini publik dapat terbentuk. Dalam hal ini, model demokrasi deliberatif
tidak lain merupakan konsep political public sphere (ruang publik
politik). Habermas (1990:38), sebagaimana dikutip oleh Hardiman (2009:134),
memaknai political public sphere sebagai hakekat kondisi-kondisi komunikasi
yang dengannya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik yang
terdiri dari warga negara dapat berlangsung.
Dalam
masyarakat demokratis, akses untuk menyampaikan public opinion (opini publik)
ini dijamin oleh negara, dimana opini publik tumbuh dari setiap pembicaraan
para individu yang kemudian membentuk public body (institusi/badan
publik). Public opinion ini terbentuk melalui diskusi publik, setelah
publik --baik melalui informasi ataupun pendidikan-- dapat mengambil posisi
atau suatu pendapat (Habermas, 1998b:66). Menurutnya, istilah public opinion
mengacu pada tugas kritik dan kontrol dimana public body dari warga secara
informal dan dalam pemilihan umum berkala secara formal serta praktek vis-à-vis
struktur penguasa dalam bentuk negara.
Habermas
menambahkan, bahwa warga berperilaku sebagai public body ketika mereka
berbicara dalam cara yang tidak dilarang yaitu dengan jaminan kebebasan berkumpul
dan berserikat dan kebebasan untuk mengekspresikan dan mempublikasikan pendapat
mereka tentang hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan umum. Dalam suatu public
body yang besar semacam itu komunikasi memerlukan sarana khusus untuk
transmisi informasi dan mempengaruhi orangorang yang menerimanya. Gagasan
tersebut terkait dengan konsep civil society. Dalam hal ini Habermas
(1998a:367), yang dikutip Hardiman (2009:136), mendeskripsikan civil society
sebagai:
”masyarakat sipil terdiri atas perhimpunan-perhimpunan,
organisasi-organisasi dan gerakan-gerakan yang kurang lebih bersifat spontan
yang menyimak, memadatkan dan secara nyaring meneruskan resonansi keadaan
persoalan kemasyarakatan di dalam wilayah-wilayah privat ke dalam ruang publik politis”.
Inti
dari konsep Habermas tersebut disarikan dalam model yang dibuat oleh Hardiman
(2009). Dalam model tersebut, semua produk hukum dan kebijakan yang dibuat oleh
negara baik yang terkait dengan eksekutif, legislatif maupun institusi
peradilan, harus melalui proses proses pengujian atau diskursus bersama civil
society. Mengacu pada model di atas, dalam konteks Indonesia, kebijakan
pemerintah daerah seperti Rencana Strategis Daerah, Rencana Pembangunan Jangka
Menengah, Perda, APBD, dan kebijkan daerah lainnya tentunya diharapkan juga
dapat melalui proses diskursus tersebut.
Meskipun
demikian, teori yang ditawarkan Habermas mengenai demokrasi deliberatif berikut
konsep-konsep yang terkait dengan hal tersebut juga tak luput dari kritik. Nash
(2002) mengkritik orientasi pada konsensus dalam proses demokrasi deliberatif,
yang (menurut Lyotard) akan memaksakan penyeragaman serta memarginalkan bahkan
mematikan pengetahuan/pemahaman budaya lokal atau spesifik. Model yang
ditawarkan Habermas juga dinilai over-rasionalist, yang berpotensi
mengeksklusi entitas yang berada diluar norma-norma yang ada atau diakui oleh
politik demokrasi liberal.
Kritik
lain seperti yang diajukan Sanders (1997) yang menyatakan bahwa pada kenyataannya
tidak semua orang mempunyai kemampuan yang memadai untuk menyampaikan argumen
secara rasional. Mereka mungkin juga tidak terepresentasi dalam sistem dan
lembaga politik formal, dan mungkin secara sistematik tidak diuntungkan,
seperti kaum perempuan, kelompok minoritas, dan masyarakat miskin. Kalangan
feminis dan teori multikultural bersikap skeptik terhadap visi Habermas dan apa
yang ditawarkan teori demokrasi deliberative (Benhabib, 1996, 2002; Fraser,
1997; Sanders, 1997; Young, 1996), yang menganggap public sphere yang
ideal tidak realistik. Sementara Benhabib (1996 dan 2002) dan Young (1996)
menilai konsep deliberatif tidak fair dan bias pada nilai dan norma dari
kelompok dominan laki-laki.
Dari
Indonesia sendiri, kritik terhadap teori demokrasi deliberatif juga disampaikan
oleh Hardiman (2009:215 dan 217). Hardiman, yang sepengetahuan saya merupakan
orang yang paling berjasa mempopulerkan pemikiran Habermas di Indonesia,
memandang gagasan Habermas cenderung tidak menghendaki adanya perubahan radikal
dalam modernitas kapitalistis. Niat Habermas untuk memperbaiki masyarakat secara
komunikatif melalui diskursus-diskursus politik yang fair, mengabaikan
kecenderungan logika pasar kapitalis yang menolak atau mengendalikan
diskursus-diskursus rasional dalam ruang publik itu. Teori Diskursus bukan saja
dapat dianggap tidak sejalan dengan semangat Teori Kritis yang mengkritik
kapitalisme, juga dapat dianggap justru telah terjinakkan oleh sistem
kapitalisme itu sendiri. Karenanya, meskipun Hardiman memandang teori demokrasi
deliberatif menjanjikan dan membantu dalam membuka wawasan-wawasan baru
terhadap pemahaman tentang demokrasi dalam masyarakat yang komplek seperti di
Indonesia, menurutnya teori tersebut tetap harus dipandang sebagai teori yang
belum selesai.
Menariknya,
kritik-kritik tersebut tampaknya justru membuat teori demokrasi deliberatif
menjadi semakin populer dan banyak digunakan dalam analisis relasi masyarakat
dan negara dan aktor-aktor lainnya yang semakin dinamis.[9] Namun
dalam perkembangannya, saya melihat bahwa pemikiran yang berkembang seputar
konsep demokrasi deliberatif tampaknya juga tidak semuanya mengikuti konsep dan
model ’ideal’ yang dikembangkan Habermas di atas. Meskipun masih mengacu pada
teori dasar dari Habermas, para ahli dan praktisi telah mengembangkan definisi
mereka sendiri dan mencoba mengaplikasikannya di banyak negara. Menurut
Hickerson dan Gastil (2008:281-282), sebagian ahli (Barber, 2004; Pateman,
1970) berpendapat bahwa demokrasi deliberative sesungguhnya didasarkan pada
keyakinan bahwa partisipasi yang luas dari warga biasa dalam pemerintahan akan
membuat demokrasi menjadi lebih sehat. Melo dan Baiocchi (2006), berpendapat
bahwa konsep demokrasi deliberatif mengacu pada induk teori politik yang
bertujuan untuk mengembangkan versi demokrasi substantif berdasarkan
justifikasi publik melalui proses deliberasi (musyawarah). Konsep tersebut
dianggap lebih dari sekedar demokrasi sebagai sebuah system politik ataupun
demokrasi ’berbasis diskusi’. Mengacu pada pandangan sejumlah ahli, demokrasi
deliberatif dimaknai sebagai musyawarah warga sebagai cara yang rasional dan
setara (equal) dalam membahas permasalahan untuk mentransformasikan
preferensi dan keinginan warga negara (Cohen dan Rogers, 1992; Cohen, 1996;
1998).
Definisi
demokrasi deliberatif yang diajukan para ahli memang kemudian menjadi sangat
beragam (Chambers, 2003), namun pada intinya dapat dimaknai sebagai proses
pengambilan keputusan yang egaliter dimana warga dapat mendengar, belajar dari,
dan terlibat dengan beragam alternatif cara pandang (Burkhalter et.al., 2002;
Dryzek, 2000). Diskusi warga dan pengambilan keputusan secara langsung adalah
inti dari teori deliberatif, karena berangkat dari asumsi bahwa pimpinan atau
perwakilan yang terpilih dapat saja lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka
dibandingkan kepentingan warga yang mereka wakili (Chambers, 2003). Meskipun
dapat diperdebatkan apakah kelompok-kelompok deliberatif dapat sungguh-sungguh
dapat diberdayakan untuk menciptakan putusan kebijakan ataukah tidak, Hickerson
dan Gastil (2008:283) juga mencatat adanya pendapat sejumlah ahli yang
menyatakan bahwa demokrasi deliberatif tetap dapat membuat para pemimpin warga
menjadi lebih akuntabel melalui penginformasian dan pendidikan para pemimpin
tersebut mengenai keinginan kolektif orang-orang yang diwakilinya (Cohen, 1989;
Dryzek, 1990; Fishkin, 1991; Gastil, 2000; Leib, 2004).
Demokrasi
deliberatif bukan bermakna intervensi langsung ruang publik ke dalam sistem
politik (bukan demokrasi langsung) dan juga bukan depolitisasi ruang publik.
Demokrasi deliberatif dapat dimaknai sebagai peran politis aktif warganegara
yang membangun opini mereka secara publik dalam mengontrol dan mengendalikan
arah pemerintahan secara tidak langsung melalui media hukum (dengan bahasa
hukum). Dalam hal ini demokrasi deliberatif menghormati garis batas antara negara
dan masyarakat, namun ingin agar negara hukum demokratis mencairkan
komunikasi-komunikasi politis di dalamnya (Hardiman, 2009:150).
Tampaknya,
demokrasi deliberatif menjadi alternatif yang lebih rasional untuk mengatasi
kelemahan demokrasi perwakilan (representative democracy), dan besarnya
hambatan untuk menjalankan demokrasi langsung (direct democracy) seperti
di Yunani Kuno, dan Swiss saat ini.[10]
Demokrasi deliberatif kemudian menjadi subyek dalam teori politik yang paling
banyak didiskusikan dalam dua dekade terakhir (Gutmann dan Thompson, 2004:vii).
Fung (2005:397) bahkan menyebut teori demokrasi deliberatif sebagai gagasan
politik ideal yang revolusioner (revolutionary political ideal), karena
menawarkan konsep mengenai perubahan mendasar pada basis-basis pengambilan
keputusan politis, yang mencakup pengambilan keputusan, institusionaliasi
proses-proses tersebut dan karakter politik itu sendiri.
Selain
itu, Hicks, Janoski dan Schwartz (2005:2) menyatakan bahwa sub teori dalam
sosiologi politik yang berkenaan dengan topik mengenai opini publik, deliberasi
politik, dan partisipasi politik akan cukup berperan dalam analisis ilmu-ilmu sosial.
Kajian tentang opini publik akan banyak digunakan dalam analisis mengenai
jaringan sosial dan media massa (Gamson, 1992; Huckfeldt dan Sprague, 1995;
Burstein, 2003). Teori-teori mengenai deliberasi politik akan semakin berperan
dalam analisis mengenai demokrasi di kelompok-kelompok kecil, deliberative
polling, dan pertemuan kota (town hall) berbasis teknologi (Bohman,
1996; Fishkin, 1991; Fishkin dan Laslett, 2003; Habermas, 1984, 1987, 1996).
Sementara teori-teori mengenai proses demokrasi menjadi semakin penting dengan
adanya perkembangan dan transformasi di tubuh partai politik dan serikat buruh,
perubahan identitas politik, dan partisipasi dalam kelompok-kelompok sukarela (voluntary
groups) yang menyebabkan perpecahan lintas sektoral (Manza, Brooks, and
Sauder, 2005, dan Schwartz dan Lawson, 2005).
Populernya
teori demokrasi deliberatif tentunya juga memunculkan pertanyaan mengenai apa
sesungguhnya kelebihan teori tersebut. Hickerson dan Gastil (2008:281-282)
mencoba memetakan pendapat dari para ahli mengenai kelebihan teori demokrasi
deliberatif. Sebagian menyatakan bahwa konsep ’situasi bicara ideal’ dan
konsep-konsep terkait telah memicu pengembangan deliberative polls dan
banyak model praktek deliberatif lainnya (Crosby dan Nethercutt, 2005; Fishkin,
1991; Hendriks, 2005; Lukensmeyter, Goldman dan Brigman, 2005; Mathews, 1994;
Ryfe, 2002). Selain itu, para ahli lain menyatakan bahwa melalui proses
deliberasi, warga dapat tercerahkan dan memahami kelebihan dari sudut pandang/pendapat
pihak lain dan nilai dari partisipasi warga secara umum (Burkhalter, Gastil dan
Kelshaw, 2002; Carpini, Cook dan Jacobs, 2004; Melville, Willingham dan
Dedrick, 2005; Warren, 1992). Sementara para pemikir teori deliberatif yang
lain mengklaim bahwa keputusan yang dihasilkan dari proses deliberatif memiliki
potensi untuk berkontribusi pada demokrasi representative yang lebih luas dan lebih
kuat legitimasinya, dengan cara menekan pejabat publik terpilih untuk merespon
rekomendasi-rekomendasi dari proses deliberatif tadi (Ackerman dan Fishkin,
2004; Dryzek, 2000; Gastil, 2000; Leib, 2004; Yankelovich, 1991). Pada
akhirnya, metode ini dianggap dapat mengatasi masalah yang dihadapi model
demokrasi pada masyarakat yang kompleks, ketika pruralitas nilai-nilai membuat
upaya membangun ’kebaikan bersama’ menjadi sulit diwujudkan (Dahl, 1989;
Mansbridge, 1990; Cohen, 1996; 1998; Elster, 1998; Hirst, 1998).
Menurut
Chambers (2003:307), konsep demokrasi deliberatif kemudian berkembang dari
tataran ’theoritical
statement’ menjadi ’working
theory’. Dalam upaya ’membumikan’ konsep tersebut, Morrel (2005:55)
menyebutkan beberapa bentuk --yang menurut saya juga merupakan tingkatan-- dari
proses deliberasi, yang kemudian saya gunakan sebagai karakteristik deliberasi,
yaitu:
- Dialog warga (civic dialogue), yang menurut Walsh (2003:3-18) bertujuan mengajak para stakeholder yang beragam untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai orang-orang dari beragam latar belakang yang hidup di komunitas yang sama, sebagai langkah untuk mencapai civic engagement;
- Diskusi deliberatif (deliberative discussion), yang bertujuan untuk membangun diskusi yang seksama dan dengan informasi yang memadai diantara warga mengenai isu-isu yang dianggap penting baik di tingkat lokal maupun nasional; dan
- Pengambilan keputusan deliberatif (deliberative decision making), yaitu tahap dimana peserta dialog harus membuat keputusan, meskipun itu tidak selalu berupa konsensus.
- Dalam proses deliberasi tersebut diperlukan apa yang disebut Fung (2005:414) sebagai fasilitator yang netral dan terlatih baik sehingga proses diskusi/dialog/pengambilan keputusan menjadi lebih lancar (smoothly) dan memastikan tidak ada dominasi pembicaraan didalamnya. Selain itu, sebagian ahli lain juga menyatakan perlu tersedianya warga yang aktif (active citizenship) yang bersedia terlibat dalam proses deliberasi tersebut.[11]
Populernya
gagasan Habermas tersebut sangat mungkin karena sampai tingkat tertentu
dianggap dapat menjembatani kepentingan dan kecenderungan dari dua pihak,
yaitu: (a) kecenderungan dari civil society untuk memperbesar daya tawar
dan partisipasi mereka dalam penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan;
dan (b) kecenderungan dari negara untuk tetap mempertahankan legitimasi dan
stabilitas, dimana peran civil society dimungkinkan sejauh tidak merusak
sistem yang ada. Seperti dinyatakan (Hardiman, 2009:122), teori diskursus dari
Habermas memang tidak ditujukan untuk mencari praksis perubahan struktural
secara revolusioner, melainkan sebuah teori untuk mendorong reformasi
demokratis dalam negara hukum yang ada.
[1] Rousseau dipandang sebagai pemikir politik pertama
sejak era Yunani Kuno yang secara eksplisit menekankan pentingnya deliberasi
dalam proses politik. Dia meyakini akan adanya kedaulatan rakyat dan hak mereka
untuk mengelola pemerintahan sendiri (self-government), dalam bentuk
demokrasi langsung atau city-state, dimana warganya dapat secara
langsung terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
[2] De Tocqueville, dari hasil pengamatannya atas
demokrasi di Amerika saat itu, menekankan pentingnya partisipasi
lembaga/institusi lokal, asosiasi-asosiasi sukarela, dan civil society.
Dia sangat tertarik dengan budaya debat di Amerika, dan menekankan pentingnya
diskusi dalam pengambilan keputusan, namun dapat kembali bersatu ketika telah
dihasilkan keputusan.
[3] Mill menekankan pada pentingnya efek pendidikan
politik warga dari pelaksanaan partisipasi dan deliberasi, yang dapat
menghilangkan kecenderungan mementingkan diri sendiri dan keluarga, dan
mendorong keterlibatan mereka dalam berbagai urusan publik.
[4] Dewey dipandang sebagai pemikir politik Abad 20 yang
memperjuangkan pentingnya menempatkan deliberasi dalam posisi yang lebih
sentral dalam teori demokrasi. Menurutnya, prosedur voting dan keputusan ahli
di pemerintahan harus dilengkapi dengan partisipasi publik. Konsultasi publik
dianggap sebagai hal penting yang memungkinkan kepentingan dapat
diformulasikan, diartikulasikan dan dikomunikasikan ke dalam sistem politik.
Dalam hal ini Dewey menyatakan perlunya dikembangkan metode dan kondisi yang
memungkinkan dapat dilakukannya debat, diskusi dan persuasi.
[5] Koch berpendapat bahwa deliberasi sebagai inti
demokrasi. Demokrasi bukan semata model atau sistem, tapi merupakan cara hidup
dan kerangka berpikir. Menurutnya demokrasi adalah sebuah proses deliberasi
atau musyawarah antar aktor-aktor yang bertentangan dan dengan hati-hati memeriksa
isu-isu yang diperdebatkan untuk mencapai pemahaman dan kepentingan bersama.
[6] J.M. Bessette, “Deliberative Democracy: The Majority
Principle in Republican Government” dalam R.A. Golwin dan W.A. Achambre (eds.),
How Democratic is the Constitution? (1980). Diantaranya lihat Bohman dan
Rehg, 1997:xii.
[7] Jürgen Habermas adalah
seorang pemikir Jerman dari Mazhab Frankfurt yang mengembangkan teori kritik
masyarakat. Habermas banyak mengadopsi sekaligus memformulasikan kembali
gagasan dari para pemikir sebelumnya seperti Kant, Hegel, Marx, Durkheim.
Parsons, Weber, Mead dan lainnya. Menurut Ritzer dan Goodman (2010), Habermas
merupakan pemikir sosial terpenting dunia saat ini. Habermas mencoba
menawarkan jalan keluar dari kebuntuan Teori Kritik, yang banyak dikritik
karena ’tidak mampu’ menawarkan jalan keluar atas kritik mereka terhadap
Marxisme, Positivisme, Modernisme, Kapitalisme dan lainnya. Gagasan Habermas
diantaranya mengenai negara hukum demokratis, political public sphere,
legitimasi, opini publik, konsep rasio komunikatif dan rasio prosedural, etika
diskursus dan teori diskursus. Selain Habermas, ada juga penulis yang
menganggap John Rawl sebagai tokoh dari teori demokrasi deliberatif. Rawls
adalah seorang pemikir dari Amerika. Gagasan utama yang dilontarkannya
diantaranya mengenai teori keadilan, political liberalism dan public
reason. Namun tidak semua ahli memandang Rawls dapat dikategorikan sebagai
pemikir demokrasi deliberatif. Chambers (2003) menyatakan bahwa meskipun Rawls
menggunakan istilah demokrasi deliberatif dan konsepnya mengenai public
reason adalah kunci dalam memahami demokrasi, Rawls bukan termasuk
teoritisi demokrasi deliberatif, namun lebih sebagai penganjur teori liberalis.
[8] Habermas, “Three Normative Models of Democracy”, dalam
Benhabib, 1996:21-30. Ulasan lain mengenai model-model tersebut lihat Habermas,
1998c:239-252.
[9] Banyak turunan model partisipasi warga dalam
pembahasan isu public dan pengambilan keputusan yang coba diterapkan di banyak
negara, seperti: citizen juries, citizen panels, concensus
conference, deliberative polling, citizen advisory committee,
public hearing, town hall, dan lainnya. Lihat Abelson et.al.
2003.
[10] Lihat Simone Baglioni, “The effects of direct democracy and city
size on political participation: The Swiss case”, dalam Zittel (2007:91-106).
[11] Konsep active citizenship memiliki makna yang
beragam. Di negara-negara welfare state yang umumnya kental dengan
tradisi liberal, konsep tersebut terkait dengan tiga hal, yaitu: (a) tanggung
jawab (responsibility), untuk turut terlibat mengatasi masalah publik, termasuk dalam hal pembiayaan
dan keterlibatan langsung (fisik dan emosional); (b) partisipasi, terkait
dengan upaya membangun kondisi yang inklusif sehingga dapat terjadi
transformasi publik sphere; (c) pilihan (choice), yang banyak
dimaknai sebagai konsep ‘pilihan konsumen’ (active citizenship is
consumerist choice) (lihat Janet Newman and Evelien Tonkens, “Active
Citizenship: Responsibility, Choice and Participation” dalam Newman dan
Tonkens, 2011:179-200). Menurut saya, konsep active citizenship yang
umum dipahami di Indonesia tampaknya lebih banyak dimaknai sebagai kesediaan
dalam partisipasi saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar