Baca

Baca

Kamis, 13 Maret 2014

“Belajar Teori Demokrasi dari Mas Habermas…”


Sekilas Demokrasi Deliberatif

Oleh: Candra Kusuma
Dikemas ulang dari kumpulan tulisan “Renungan Depok” – Juli 2012

Hansen (2004:80) menyatakan bahwa diskusi politik dan deliberasi sejak lama telah menjadi elemen penting dalam teori demokrasi. Meskipun memiliki banyak variasi, namun deliberasi selalu menjadi fitur inti dari demokrasi. Menurutnya, akar gagasan deliberasi dapat ditarik dari pemikiran beberapa filsuf dan pemikir politik sejak abad 18, seperti: Rousseau;[1] de Tocqueville;[2] J.S. Mill;[3] Dewey;[4] dan Koch.[5]

Namun para ahli umumnya bersepakat bahwa istilah demokrasi deliberatif (deliberative democracy) pertama kali diperkenalkan oleh J.M. Bessette pada tahun 1980.[6] Meskipun demikian, pemikir yang dianggap berjasa mengembangkan dan mempopulerkan konsep demokrasi deliberatif adalah Jürgen Habermas.[7] Teori Habermas mengenai demokrasi deliberatif didasarkan pada pemetaannya mengenai konsep demokrasi. Menurutnya ada tiga model demokrasi, yaitu:
  1. Model Liberal, yang mengacu pada konsep ‘liberal’ dari Locke yang berpendapat bahwa pemerintah direpresentasikan oleh aparatus dari administrasi publik dan masyarakat sebagai jaringan pasar terstruktur dari interaksi privat antar individu. Politik kemudian dimaknai sebagai memiliki fungsi mengumpulkan dan mendorong kepentingan privat terhadap aparatur pemerintahan untuk mencapai tujuan bersama. Ada batasan jelas antara wilayah negara dan individu. Tugas negara adalah menjamin kepentingan dan hak-hak individu dapat terpenuhi dan terjaga;
  2. Model Republik, yang memaknai politik sebagai bentuk refelektif dari kehidupan etis substansial, sebagai medium dimana anggota komunitas yang menyadari saling ketergantungan satu sama lain, bertindak sebagai warga negara. Keberhasilan diukur melalui persetujuan warga dan penghitungan hasil voting;
  3. Model Proseduralis, yang mengedepankan diskursus melalui institusionalisasi prosedur korespondensi dan kondisi komunikasi.[8]

Habermas memandang demokrasi berdasarkan model proseduralis tersebut. Deliberasi dalam konsep Habermas adalah prosedur sebuah keputusan dapat dihasilkan. Menurutnya, sebuah konsensus atau keputusan memiliki legitimasi jika sudah melalui proses pengujian atau diskursus, dimana semua isu dibahas bersama khususnya oleh pihak-pihak yang terkait langsung dengan isu tersebut, dalam posisi yang setara dan tanpa tekanan pihak lain. Arena dimana diskursus tersebut dapat berlangsung disebutnya sebagai public sphere (ruang publik). Menurut Habermas (1974), public sphere (ruang publik) merupakan suatu kehidupan sosial dimana opini publik dapat terbentuk. Dalam hal ini, model demokrasi deliberatif tidak lain merupakan konsep political public sphere (ruang publik politik). Habermas (1990:38), sebagaimana dikutip oleh Hardiman (2009:134), memaknai political public sphere sebagai hakekat kondisi-kondisi komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik yang terdiri dari warga negara dapat berlangsung.

Dalam masyarakat demokratis, akses untuk menyampaikan public opinion (opini publik) ini dijamin oleh negara, dimana opini publik tumbuh dari setiap pembicaraan para individu yang kemudian membentuk public body (institusi/badan publik). Public opinion ini terbentuk melalui diskusi publik, setelah publik --baik melalui informasi ataupun pendidikan-- dapat mengambil posisi atau suatu pendapat (Habermas, 1998b:66). Menurutnya, istilah public opinion mengacu pada tugas kritik dan kontrol dimana public body dari warga secara informal dan dalam pemilihan umum berkala secara formal serta praktek vis-à-vis struktur penguasa dalam bentuk negara.

Habermas menambahkan, bahwa warga berperilaku sebagai public body ketika mereka berbicara dalam cara yang tidak dilarang yaitu dengan jaminan kebebasan berkumpul dan berserikat dan kebebasan untuk mengekspresikan dan mempublikasikan pendapat mereka tentang hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan umum. Dalam suatu public body yang besar semacam itu komunikasi memerlukan sarana khusus untuk transmisi informasi dan mempengaruhi orangorang yang menerimanya. Gagasan tersebut terkait dengan konsep civil society. Dalam hal ini Habermas (1998a:367), yang dikutip Hardiman (2009:136), mendeskripsikan civil society sebagai:

”masyarakat sipil terdiri atas perhimpunan-perhimpunan, organisasi-organisasi dan gerakan-gerakan yang kurang lebih bersifat spontan yang menyimak, memadatkan dan secara nyaring meneruskan resonansi keadaan persoalan kemasyarakatan di dalam wilayah-wilayah privat ke dalam ruang publik politis”.

Inti dari konsep Habermas tersebut disarikan dalam model yang dibuat oleh Hardiman (2009). Dalam model tersebut, semua produk hukum dan kebijakan yang dibuat oleh negara baik yang terkait dengan eksekutif, legislatif maupun institusi peradilan, harus melalui proses proses pengujian atau diskursus bersama civil society. Mengacu pada model di atas, dalam konteks Indonesia, kebijakan pemerintah daerah seperti Rencana Strategis Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Perda, APBD, dan kebijkan daerah lainnya tentunya diharapkan juga dapat melalui proses diskursus tersebut.

Meskipun demikian, teori yang ditawarkan Habermas mengenai demokrasi deliberatif berikut konsep-konsep yang terkait dengan hal tersebut juga tak luput dari kritik. Nash (2002) mengkritik orientasi pada konsensus dalam proses demokrasi deliberatif, yang (menurut Lyotard) akan memaksakan penyeragaman serta memarginalkan bahkan mematikan pengetahuan/pemahaman budaya lokal atau spesifik. Model yang ditawarkan Habermas juga dinilai over-rasionalist, yang berpotensi mengeksklusi entitas yang berada diluar norma-norma yang ada atau diakui oleh politik demokrasi liberal.

Kritik lain seperti yang diajukan Sanders (1997) yang menyatakan bahwa pada kenyataannya tidak semua orang mempunyai kemampuan yang memadai untuk menyampaikan argumen secara rasional. Mereka mungkin juga tidak terepresentasi dalam sistem dan lembaga politik formal, dan mungkin secara sistematik tidak diuntungkan, seperti kaum perempuan, kelompok minoritas, dan masyarakat miskin. Kalangan feminis dan teori multikultural bersikap skeptik terhadap visi Habermas dan apa yang ditawarkan teori demokrasi deliberative (Benhabib, 1996, 2002; Fraser, 1997; Sanders, 1997; Young, 1996), yang menganggap public sphere yang ideal tidak realistik. Sementara Benhabib (1996 dan 2002) dan Young (1996) menilai konsep deliberatif tidak fair dan bias pada nilai dan norma dari kelompok dominan laki-laki.

Dari Indonesia sendiri, kritik terhadap teori demokrasi deliberatif juga disampaikan oleh Hardiman (2009:215 dan 217). Hardiman, yang sepengetahuan saya merupakan orang yang paling berjasa mempopulerkan pemikiran Habermas di Indonesia, memandang gagasan Habermas cenderung tidak menghendaki adanya perubahan radikal dalam modernitas kapitalistis. Niat Habermas untuk memperbaiki masyarakat secara komunikatif melalui diskursus-diskursus politik yang fair, mengabaikan kecenderungan logika pasar kapitalis yang menolak atau mengendalikan diskursus-diskursus rasional dalam ruang publik itu. Teori Diskursus bukan saja dapat dianggap tidak sejalan dengan semangat Teori Kritis yang mengkritik kapitalisme, juga dapat dianggap justru telah terjinakkan oleh sistem kapitalisme itu sendiri. Karenanya, meskipun Hardiman memandang teori demokrasi deliberatif menjanjikan dan membantu dalam membuka wawasan-wawasan baru terhadap pemahaman tentang demokrasi dalam masyarakat yang komplek seperti di Indonesia, menurutnya teori tersebut tetap harus dipandang sebagai teori yang belum selesai.

Menariknya, kritik-kritik tersebut tampaknya justru membuat teori demokrasi deliberatif menjadi semakin populer dan banyak digunakan dalam analisis relasi masyarakat dan negara dan aktor-aktor lainnya yang semakin dinamis.[9] Namun dalam perkembangannya, saya melihat bahwa pemikiran yang berkembang seputar konsep demokrasi deliberatif tampaknya juga tidak semuanya mengikuti konsep dan model ’ideal’ yang dikembangkan Habermas di atas. Meskipun masih mengacu pada teori dasar dari Habermas, para ahli dan praktisi telah mengembangkan definisi mereka sendiri dan mencoba mengaplikasikannya di banyak negara. Menurut Hickerson dan Gastil (2008:281-282), sebagian ahli (Barber, 2004; Pateman, 1970) berpendapat bahwa demokrasi deliberative sesungguhnya didasarkan pada keyakinan bahwa partisipasi yang luas dari warga biasa dalam pemerintahan akan membuat demokrasi menjadi lebih sehat. Melo dan Baiocchi (2006), berpendapat bahwa konsep demokrasi deliberatif mengacu pada induk teori politik yang bertujuan untuk mengembangkan versi demokrasi substantif berdasarkan justifikasi publik melalui proses deliberasi (musyawarah). Konsep tersebut dianggap lebih dari sekedar demokrasi sebagai sebuah system politik ataupun demokrasi ’berbasis diskusi’. Mengacu pada pandangan sejumlah ahli, demokrasi deliberatif dimaknai sebagai musyawarah warga sebagai cara yang rasional dan setara (equal) dalam membahas permasalahan untuk mentransformasikan preferensi dan keinginan warga negara (Cohen dan Rogers, 1992; Cohen, 1996; 1998).

Definisi demokrasi deliberatif yang diajukan para ahli memang kemudian menjadi sangat beragam (Chambers, 2003), namun pada intinya dapat dimaknai sebagai proses pengambilan keputusan yang egaliter dimana warga dapat mendengar, belajar dari, dan terlibat dengan beragam alternatif cara pandang (Burkhalter et.al., 2002; Dryzek, 2000). Diskusi warga dan pengambilan keputusan secara langsung adalah inti dari teori deliberatif, karena berangkat dari asumsi bahwa pimpinan atau perwakilan yang terpilih dapat saja lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka dibandingkan kepentingan warga yang mereka wakili (Chambers, 2003). Meskipun dapat diperdebatkan apakah kelompok-kelompok deliberatif dapat sungguh-sungguh dapat diberdayakan untuk menciptakan putusan kebijakan ataukah tidak, Hickerson dan Gastil (2008:283) juga mencatat adanya pendapat sejumlah ahli yang menyatakan bahwa demokrasi deliberatif tetap dapat membuat para pemimpin warga menjadi lebih akuntabel melalui penginformasian dan pendidikan para pemimpin tersebut mengenai keinginan kolektif orang-orang yang diwakilinya (Cohen, 1989; Dryzek, 1990; Fishkin, 1991; Gastil, 2000; Leib, 2004).

Demokrasi deliberatif bukan bermakna intervensi langsung ruang publik ke dalam sistem politik (bukan demokrasi langsung) dan juga bukan depolitisasi ruang publik. Demokrasi deliberatif dapat dimaknai sebagai peran politis aktif warganegara yang membangun opini mereka secara publik dalam mengontrol dan mengendalikan arah pemerintahan secara tidak langsung melalui media hukum (dengan bahasa hukum). Dalam hal ini demokrasi deliberatif menghormati garis batas antara negara dan masyarakat, namun ingin agar negara hukum demokratis mencairkan komunikasi-komunikasi politis di dalamnya (Hardiman, 2009:150).

Tampaknya, demokrasi deliberatif menjadi alternatif yang lebih rasional untuk mengatasi kelemahan demokrasi perwakilan (representative democracy), dan besarnya hambatan untuk menjalankan demokrasi langsung (direct democracy) seperti di Yunani Kuno, dan Swiss saat ini.[10] Demokrasi deliberatif kemudian menjadi subyek dalam teori politik yang paling banyak didiskusikan dalam dua dekade terakhir (Gutmann dan Thompson, 2004:vii). Fung (2005:397) bahkan menyebut teori demokrasi deliberatif sebagai gagasan politik ideal yang revolusioner (revolutionary political ideal), karena menawarkan konsep mengenai perubahan mendasar pada basis-basis pengambilan keputusan politis, yang mencakup pengambilan keputusan, institusionaliasi proses-proses tersebut dan karakter politik itu sendiri.

Selain itu, Hicks, Janoski dan Schwartz (2005:2) menyatakan bahwa sub teori dalam sosiologi politik yang berkenaan dengan topik mengenai opini publik, deliberasi politik, dan partisipasi politik akan cukup berperan dalam analisis ilmu-ilmu sosial. Kajian tentang opini publik akan banyak digunakan dalam analisis mengenai jaringan sosial dan media massa (Gamson, 1992; Huckfeldt dan Sprague, 1995; Burstein, 2003). Teori-teori mengenai deliberasi politik akan semakin berperan dalam analisis mengenai demokrasi di kelompok-kelompok kecil, deliberative polling, dan pertemuan kota (town hall) berbasis teknologi (Bohman, 1996; Fishkin, 1991; Fishkin dan Laslett, 2003; Habermas, 1984, 1987, 1996). Sementara teori-teori mengenai proses demokrasi menjadi semakin penting dengan adanya perkembangan dan transformasi di tubuh partai politik dan serikat buruh, perubahan identitas politik, dan partisipasi dalam kelompok-kelompok sukarela (voluntary groups) yang menyebabkan perpecahan lintas sektoral (Manza, Brooks, and Sauder, 2005, dan Schwartz dan Lawson, 2005).

Populernya teori demokrasi deliberatif tentunya juga memunculkan pertanyaan mengenai apa sesungguhnya kelebihan teori tersebut. Hickerson dan Gastil (2008:281-282) mencoba memetakan pendapat dari para ahli mengenai kelebihan teori demokrasi deliberatif. Sebagian menyatakan bahwa konsep ’situasi bicara ideal’ dan konsep-konsep terkait telah memicu pengembangan deliberative polls dan banyak model praktek deliberatif lainnya (Crosby dan Nethercutt, 2005; Fishkin, 1991; Hendriks, 2005; Lukensmeyter, Goldman dan Brigman, 2005; Mathews, 1994; Ryfe, 2002). Selain itu, para ahli lain menyatakan bahwa melalui proses deliberasi, warga dapat tercerahkan dan memahami kelebihan dari sudut pandang/pendapat pihak lain dan nilai dari partisipasi warga secara umum (Burkhalter, Gastil dan Kelshaw, 2002; Carpini, Cook dan Jacobs, 2004; Melville, Willingham dan Dedrick, 2005; Warren, 1992). Sementara para pemikir teori deliberatif yang lain mengklaim bahwa keputusan yang dihasilkan dari proses deliberatif memiliki potensi untuk berkontribusi pada demokrasi representative yang lebih luas dan lebih kuat legitimasinya, dengan cara menekan pejabat publik terpilih untuk merespon rekomendasi-rekomendasi dari proses deliberatif tadi (Ackerman dan Fishkin, 2004; Dryzek, 2000; Gastil, 2000; Leib, 2004; Yankelovich, 1991). Pada akhirnya, metode ini dianggap dapat mengatasi masalah yang dihadapi model demokrasi pada masyarakat yang kompleks, ketika pruralitas nilai-nilai membuat upaya membangun ’kebaikan bersama’ menjadi sulit diwujudkan (Dahl, 1989; Mansbridge, 1990; Cohen, 1996; 1998; Elster, 1998; Hirst, 1998).

Menurut Chambers (2003:307), konsep demokrasi deliberatif kemudian berkembang dari tataran ’theoritical statement’ menjadi ’working theory’. Dalam upaya ’membumikan’ konsep tersebut, Morrel (2005:55) menyebutkan beberapa bentuk --yang menurut saya juga merupakan tingkatan-- dari proses deliberasi, yang kemudian saya gunakan sebagai karakteristik deliberasi, yaitu:
  1. Dialog warga (civic dialogue), yang menurut Walsh (2003:3-18) bertujuan mengajak para stakeholder yang beragam untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai orang-orang dari beragam latar belakang yang hidup di komunitas yang sama, sebagai langkah untuk mencapai civic engagement;
  2. Diskusi deliberatif (deliberative discussion), yang bertujuan untuk membangun diskusi yang seksama dan dengan informasi yang memadai diantara warga mengenai isu-isu yang dianggap penting baik di tingkat lokal maupun nasional; dan
  3. Pengambilan keputusan deliberatif (deliberative decision making), yaitu tahap dimana peserta dialog harus membuat keputusan, meskipun itu tidak selalu berupa konsensus.
  4. Dalam proses deliberasi tersebut diperlukan apa yang disebut Fung (2005:414) sebagai fasilitator yang netral dan terlatih baik sehingga proses diskusi/dialog/pengambilan keputusan menjadi lebih lancar (smoothly) dan memastikan tidak ada dominasi pembicaraan didalamnya. Selain itu, sebagian ahli lain juga menyatakan perlu tersedianya warga yang aktif (active citizenship) yang bersedia terlibat dalam proses deliberasi tersebut.[11]

Populernya gagasan Habermas tersebut sangat mungkin karena sampai tingkat tertentu dianggap dapat menjembatani kepentingan dan kecenderungan dari dua pihak, yaitu: (a) kecenderungan dari civil society untuk memperbesar daya tawar dan partisipasi mereka dalam penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan; dan (b) kecenderungan dari negara untuk tetap mempertahankan legitimasi dan stabilitas, dimana peran civil society dimungkinkan sejauh tidak merusak sistem yang ada. Seperti dinyatakan (Hardiman, 2009:122), teori diskursus dari Habermas memang tidak ditujukan untuk mencari praksis perubahan struktural secara revolusioner, melainkan sebuah teori untuk mendorong reformasi demokratis dalam negara hukum yang ada.





Endnotes:
[1] Rousseau dipandang sebagai pemikir politik pertama sejak era Yunani Kuno yang secara eksplisit menekankan pentingnya deliberasi dalam proses politik. Dia meyakini akan adanya kedaulatan rakyat dan hak mereka untuk mengelola pemerintahan sendiri (self-government), dalam bentuk demokrasi langsung atau city-state, dimana warganya dapat secara langsung terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
[2] De Tocqueville, dari hasil pengamatannya atas demokrasi di Amerika saat itu, menekankan pentingnya partisipasi lembaga/institusi lokal, asosiasi-asosiasi sukarela, dan civil society. Dia sangat tertarik dengan budaya debat di Amerika, dan menekankan pentingnya diskusi dalam pengambilan keputusan, namun dapat kembali bersatu ketika telah dihasilkan keputusan.
[3] Mill menekankan pada pentingnya efek pendidikan politik warga dari pelaksanaan partisipasi dan deliberasi, yang dapat menghilangkan kecenderungan mementingkan diri sendiri dan keluarga, dan mendorong keterlibatan mereka dalam berbagai urusan publik.
[4] Dewey dipandang sebagai pemikir politik Abad 20 yang memperjuangkan pentingnya menempatkan deliberasi dalam posisi yang lebih sentral dalam teori demokrasi. Menurutnya, prosedur voting dan keputusan ahli di pemerintahan harus dilengkapi dengan partisipasi publik. Konsultasi publik dianggap sebagai hal penting yang memungkinkan kepentingan dapat diformulasikan, diartikulasikan dan dikomunikasikan ke dalam sistem politik. Dalam hal ini Dewey menyatakan perlunya dikembangkan metode dan kondisi yang memungkinkan dapat dilakukannya debat, diskusi dan persuasi.
[5] Koch berpendapat bahwa deliberasi sebagai inti demokrasi. Demokrasi bukan semata model atau sistem, tapi merupakan cara hidup dan kerangka berpikir. Menurutnya demokrasi adalah sebuah proses deliberasi atau musyawarah antar aktor-aktor yang bertentangan dan dengan hati-hati memeriksa isu-isu yang diperdebatkan untuk mencapai pemahaman dan kepentingan bersama.
[6] J.M. Bessette, “Deliberative Democracy: The Majority Principle in Republican Government” dalam R.A. Golwin dan W.A. Achambre (eds.), How Democratic is the Constitution? (1980). Diantaranya lihat Bohman dan Rehg, 1997:xii.
[7] Jürgen Habermas adalah seorang pemikir Jerman dari Mazhab Frankfurt yang mengembangkan teori kritik masyarakat. Habermas banyak mengadopsi sekaligus memformulasikan kembali gagasan dari para pemikir sebelumnya seperti Kant, Hegel, Marx, Durkheim. Parsons, Weber, Mead dan lainnya. Menurut Ritzer dan Goodman (2010), Habermas merupakan pemikir sosial terpenting dunia saat ini. Habermas mencoba menawarkan jalan keluar dari kebuntuan Teori Kritik, yang banyak dikritik karena ’tidak mampu’ menawarkan jalan keluar atas kritik mereka terhadap Marxisme, Positivisme, Modernisme, Kapitalisme dan lainnya. Gagasan Habermas diantaranya mengenai negara hukum demokratis, political public sphere, legitimasi, opini publik, konsep rasio komunikatif dan rasio prosedural, etika diskursus dan teori diskursus. Selain Habermas, ada juga penulis yang menganggap John Rawl sebagai tokoh dari teori demokrasi deliberatif. Rawls adalah seorang pemikir dari Amerika. Gagasan utama yang dilontarkannya diantaranya mengenai teori keadilan, political liberalism dan public reason. Namun tidak semua ahli memandang Rawls dapat dikategorikan sebagai pemikir demokrasi deliberatif. Chambers (2003) menyatakan bahwa meskipun Rawls menggunakan istilah demokrasi deliberatif dan konsepnya mengenai public reason adalah kunci dalam memahami demokrasi, Rawls bukan termasuk teoritisi demokrasi deliberatif, namun lebih sebagai penganjur teori liberalis.
[8] Habermas, “Three Normative Models of Democracy”, dalam Benhabib, 1996:21-30. Ulasan lain mengenai model-model tersebut lihat Habermas, 1998c:239-252.
[9] Banyak turunan model partisipasi warga dalam pembahasan isu public dan pengambilan keputusan yang coba diterapkan di banyak negara, seperti: citizen juries, citizen panels, concensus conference, deliberative polling, citizen advisory committee, public hearing, town hall, dan lainnya. Lihat Abelson et.al. 2003.
[10] Lihat Simone Baglioni, “The effects of direct democracy and city size on political participation: The Swiss case”, dalam Zittel (2007:91-106).
[11] Konsep active citizenship memiliki makna yang beragam. Di negara-negara welfare state yang umumnya kental dengan tradisi liberal, konsep tersebut terkait dengan tiga hal, yaitu: (a) tanggung jawab (responsibility), untuk turut terlibat mengatasi  masalah publik, termasuk dalam hal pembiayaan dan keterlibatan langsung (fisik dan emosional); (b) partisipasi, terkait dengan upaya membangun kondisi yang inklusif sehingga dapat terjadi transformasi publik sphere; (c) pilihan (choice), yang banyak dimaknai sebagai konsep ‘pilihan konsumen’ (active citizenship is consumerist choice) (lihat Janet Newman and Evelien Tonkens, “Active Citizenship: Responsibility, Choice and Participation” dalam Newman dan Tonkens, 2011:179-200). Menurut saya, konsep active citizenship yang umum dipahami di Indonesia tampaknya lebih banyak dimaknai sebagai kesediaan dalam partisipasi saja.


Tidak ada komentar: