Pada
Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Ministers/AEM) ke-39 tahun 2007
telah disepakati mengenai naskah Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN beserta
jadwal stategis yang mencakup inisiatif-inisiatif baru serta peta jalan yang
jelas untuk mencapai pembentukan AEC tahun 2015. Cetak Biru Komunitas Ekonomi
ASEAN kemudian disahkan pada Rangkaian Pertemuan KTT ke-13 ASEAN. Cetak Biru
ini bertujuan untuk menjadikan kawasan ASEAN lebih stabil, sejahtera dan sangat
kompetitif, memungkinkan bebasnya lalu lintas barang, jasa, investasi dan
aliran modal. Selain itu, juga akan diupayakan kesetaraan pembangunan ekonomi
dan pengurangan kemiskinan serta kesenjangan sosial ekonomi pada tahun 2015. Cetak
Biru Komunitas Ekonomi ASEAN merupakan rancang utama (masterplan) untuk
membentuk Komunitas ASEAN tahun 2015 dengan mengidentifikasi langkah-langkah
integrasi ekonomi yang akan ditempuh melalui implementasi berbagai komitmen
yang rinci dengan sasaran dan jangka waktu yang jelas.
Kementerian
Luar Negeri RI menyebutkan bahwa arti penting dan peluang komunitas ekonomi ASEAN
(ASEAN Economic Community - AEC) dapat dilihat dari empat pilar-nya,
yaitu: (a) Pasar Tunggal dan Basis Produksi, bertujuan menghapus atau
mengurangi hambatan di bidang perdagangan barang, jasa, investasi dan modal di
seluruh 10 (sepuluh) negara anggota ASEAN; (b) Memajukan Kawasan Ekonomi
Berdaya Saing Tinggi melalui berbagai kesepakatan dalam bidang Hak Kekayaan
Intelektual (HAKI), Peraturan Kebijakan Persaingan (Competition Law Policy) yang
sehat dan adil, dan pembangunan infrastruktur; (c) Mencapai Pembangunan Ekonomi
yang Merata (Equitable Economic Development) dengan mendorong
pembangunan di Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam (CLMV) melalui implementasi
program di bawah Initiatives on ASEAN Integration (IAI), dan
pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di seluruh Negara ASEAN; (d) Mendukung
Integrasi ASEAN ke dalam Ekonomi Global. (lihat Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN
(2009), Cetak Biru Komunitas Ekonomi
ASEAN (ASEAN Economic Community Blueprint), Departemen Luar Negeri RI; dan Iwan Suyudhie Amri (2013), “Komunitas Ekonomi ASEAN
2015,” dalam Konsepsi MEA
Pasca 2015 dan Industri Konstruksi, Kemeterian
Pekerjaan Umum).
Tentu saja sesungguhnya ada banyak pro dan kontra
mengenai kebijakan ini, baik di kalangan analis, akademisi, pengamat, aktivis,
dan bahkan pejabat pemerintahan sendiri. Sebagai contoh, pada 23 Februari 2015
lalu, Harian KONTAN yang mengutip ANTARA menulis bahwa Menteri Perdagangan
Rachmat Gobel mengkhawatirkan kesiapan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN pada akhir 2015 mendatang, di mana akan tercipta integrasi 10
negara Asia Tenggara dalam suatu kawasan ekonomi eksklusif pada akhir tahun
2015 ini. Menurutnya banyak sekali pihak yang belum mempunyai pemikiran sama, sehingga
menurutnya Indonesia belum siap terlibat dalam MEA. Menurutnya Indonesia hanya akan
dijadikan pasar karena kita belum mampu mengelola sumberdaya sumber daya dalam
negeri secara baik. Kecuali dengan Filipina, transaksi perdagangan Indonesia dengan
9 negara ASEAN lainnya masih defisit (lihat “Mendag khawatir kesiapan Indonesia
hadapi MEA,” 23 Februari 2015, http://nasional.kontan.co.id/news/mendag-khawatir-kesiapan-indonesia-hadapi-mea).
Kekhawatiran Menteri Perdagangan tadi dapat dipahami, karena sesungguhnya ada beberapa dampak dari konsekuensi MEA adalah bebasnya aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja kerja terampil dan modal. Sementara hambatannya juga tidak sedikit, antara lain: (a) Mutu pendidikan masih rendah; (b) Ketersediaan dan kualitas infrastruktur masih kurang sehingga mempengaruhi kelancaran arus barang dan jasa; (c) Sektor industri rapuh karena ketergantungan impor bahan baku dan setengah jadi; (d) Keterbatasan pasokan energy; (e) Lemahnya Indonesia menghadapi serbuan impor (lihat “Pahami Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015,” http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/12/pahami-masyarakat-ekonomi-asean-mea-2015)
Belum lama ini saya berkesempatan membaca buku karya Doni Mantra berkaitan dengan isu MEA 2015 ini. Doni berada pada posisi menolak kebijakan tersebut. Berbekal pendekatan Gramscian-Foucauldian yang dikembangkan oleh Richard Peet sebagai pisau analisis, Doni menganalisis proses hegemoni dalam diskursus tentang MEA ini. Ada beberapa kesimpulan yang menurut saya cukup menarik sebagai penyeimbang dari berbagai pandangan yang umumnya berkisar pada “siap atau tidaknya” Indonesia terlibat MEA. Doni mengingatkan tentang tetap perlunya ada diskursus “tepat atau tidaknya” paradigma ekonomi pasar bebas seperti yang terjadi saat ini.
Kekhawatiran Menteri Perdagangan tadi dapat dipahami, karena sesungguhnya ada beberapa dampak dari konsekuensi MEA adalah bebasnya aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja kerja terampil dan modal. Sementara hambatannya juga tidak sedikit, antara lain: (a) Mutu pendidikan masih rendah; (b) Ketersediaan dan kualitas infrastruktur masih kurang sehingga mempengaruhi kelancaran arus barang dan jasa; (c) Sektor industri rapuh karena ketergantungan impor bahan baku dan setengah jadi; (d) Keterbatasan pasokan energy; (e) Lemahnya Indonesia menghadapi serbuan impor (lihat “Pahami Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015,” http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/12/pahami-masyarakat-ekonomi-asean-mea-2015)
Belum lama ini saya berkesempatan membaca buku karya Doni Mantra berkaitan dengan isu MEA 2015 ini. Doni berada pada posisi menolak kebijakan tersebut. Berbekal pendekatan Gramscian-Foucauldian yang dikembangkan oleh Richard Peet sebagai pisau analisis, Doni menganalisis proses hegemoni dalam diskursus tentang MEA ini. Ada beberapa kesimpulan yang menurut saya cukup menarik sebagai penyeimbang dari berbagai pandangan yang umumnya berkisar pada “siap atau tidaknya” Indonesia terlibat MEA. Doni mengingatkan tentang tetap perlunya ada diskursus “tepat atau tidaknya” paradigma ekonomi pasar bebas seperti yang terjadi saat ini.
-----
Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme:
Menelusuri Langkah
Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Dalam
buku ini, analisis Doni Mantra (Penulis buku ini) berangkat dari sebuah posisi analitis yang menilai bahwa
perekonomian Indonesia berada dalam kondisi yang tidak siap untuk dapat bertahan
dan mengantisipasi dampak negatif dari agenda neoliberal Masyarakat Ekonomi
ASEAN yang akan diwujudkan di tahun 2015.
Penulis
buku ini menggambarkan kondisi riil ketidaksiapan
ekonomi Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi
ASEAN, sebagai suatu proses integrasi regional yang berlandaskan pada
prinsip neoliberalisme. Menurutnya,
sebagai bagian dari gelombang kedua regionalisme di dunia,
proses integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN dijalankan berdasarkan pada penerapan
prinsip-prinsip neoliberalisme di dalam ekonomi. Hal ini dapat diamati dari
Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN yang menekankan pada upaya untuk menghilangkan
hambatan-hambatan bagi aktivitas ekonomi.
Dari
hasil telaah komparatif historis, Penulis buku ini mengungkapkan bahwa kesiapan ekonomi secara substansif dan riil merupakan
suatu syarat yang mutlak bagi suatu negara untuk dapat
mengantisipasi dampak negative
dan bertahan dari implementasi kebijakan-kebijakan ekonomi
berbasis neoliberalisme.
Sementara, menurutnya, neoliberalisme merupakan
sebuah paradigma yang mengandung kecacatan melekat di dalamnya, sebuah
paradigma yang benar-benar tidak memihak kepada kepentingan rakyat. Penulis menyayangkan bahwa pada
kenyataannya pemerintah Indonesia dengan semangat
dan komitmen yang sangat besar telah mengikatkan diri kepada
suatu agenda yang sangat
neoliberal, yakni pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN di
tahun 2015. Dalam
hal ini Penulis berada pada posisi tidak
menginginkan dan menolak dengan tegas neoliberalisme dijadikan
sebagai landasan kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia.
Menurut
Penulis buku ini, jika memang pemerintah telah
memutuskan untuk bermain dalam arena neoliberal ini, seharusnya dalam
tataran ideal komitmen dan semangat yang sangat besar harus diejawantahkan
dalam langkah-langkah persiapan yang berarti dalam dimensi substantif
dan riil. Dalam suatu kondisi ekonomi yang tidak siap, menyimak proses liberalisasi
di negara-negara berkembang, implementasi beragam prinsip neoliberal yang
selama ini diterapkan justru akan membawa keterpurukan ekonomi yang lebih mendalam.
Dengan demikian, dalam menghadapi agenda neoliberal Masyarakat Ekonomi
ASEAN, suatu upaya penyiapan ekonomi untuk meningkatkan daya saing dan kinerja
perekonomian adalah suatu hal yang mutlak harus dilakukan oleh pemerintah
Indonesia jika tidak ingin menjadi pihak yang kalah dalam era kompetisi pasar
bebas.
Akan tetapi, berdasarkan telaah empiris
dan komparatif yang dilakukan
Penulis buku ini, justru memperlihatkan
suatu kondisi di mana langkah-langkah yang ditempuh pemerintah
Indonesia selama periode 2003-2008, tidak memiliki arti
yang besar dalam meningkatkan kinerja dan daya saing riil perekonomian
Indonesia. Penulis
meyakini bahwa terbukti selama periode tersebut, dalam
beberapa sektor yang sangat penting, seperti industri
manufaktur, kualitas sumber daya manusia, ketrampilan dan
tingkat pendidikan tenaga kerja,
pariwisata dan iklim investasi, Indonesia masih jauh tertinggal, terutama
jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti
Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam. Bahkan dalam beberapa
aspek tertentu, Penulis
berpendapat bahwa Vietnam sebagai anggota baru dari ASEAN
telah berada pada posisi yang lebih maju dibandingkan dengan Indonesia.
Penulis
berpendapat bahwa sebuah permasalahan besar
muncul sebagai imbas dari tidak berartinya langkah-langkah yang
ditempuh pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan diri menuju Masyarakat
Ekonomi ASEAN. Pada tataran yang ideal, seharusnya komitmen pemerintah
yang sangat kuat terhadap agenda integrasi ekonomi berbasis neoliberal ini
diiringi dengan langkah-langkah yang bersifat substantif untuk meningkatkan daya
saing dan kinerja perekonomian Indonesia. Upaya untuk menjelaskan realitas yang
kontradiktif dalam wujud tidak berartinya langkah pemerintah Indonesia dalam
mempersiapkan perekonomian, kemudian persoalan utama yang dianalisis dalam
buku ini.
Doni
Matra menggunakan pendekatan Gramscian-Foucauldian yang
dikembangkan oleh Richard Peet dalam melakukan analisis
dalam buku ini, dan
mendapatkan beberapa temuan yang menurutnya dapat
memberikan jawaban terhadap permasalahan
tersebut.
( (1) Perjuangan
hegemoni yang dilakukan oleh komunitas epistemis liberal di Indonesia telah
berhasil menanamkan suatu visi ideologis neoliberal dalam formasi kebijakan
ekonomi Indonesia.
Penulis berpendapat, bahwa bersama dengan berjalannya program pemulihan ekonomi
IMF di Indonesia, komunitas ini menjalankan perjuangan hegemoni dengan
menyebarkan gagasan-gagasan atau visi neoliberalisme melalui mekanisme yang
bersifat konsensual. Keberadaan para anggota dari komunitas epistemis liberal Indonesia
ini, yang memiliki status dan reputasi kepakaran atau keahlian di bidang ekonomi,
menjadikan upaya penyebaran gagasan/visi neoliberal sebagai landasan dalam
formasi kebijakan ekonomi Indonesia dapat dijalankan secara efektif. Menurutnya
telah terjadi suatu kolaborasi apik antara gerakan penyebaran gagasan dalam
ranah institusi sipil dan injeksi anggota komunitas epistemis liberal ke dalam
tubuh pemerintahan. Hasilnya adalah terciptanya suatu keyakinan konsensual
terhadap asumsi-asumsi neoliberal dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah
Indonesia. Ketika neoliberalisme telah menjadi sebuah perspektif yang diyakini
kebenarannya, akan tercipta suatu wujud keyakinan fundamental akan manfaat dari
penerapan perspektif ini, khususnya di dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Pada suatu titik ketika keyakinan fundamental telah tercipta, maka dalam
kondisi apapun perekonomian Indonesia pasti atau niscaya manfaat atau keuntungan
dari agenda integrasi regional berbasis neoliberal ini akan didapatkan. Posisi
hegemoni neoliberal dalam formasi kebijakan ekonomi inilah yang kemudian
mempengaruhi minimnya langkah-langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia selama
periode 2003-2008 untuk mempersiapkan perekonomian dalam rangka menghadapi
terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
(2) Telah
terjadi praktik diskursif yang dijalankan oleh subyek-subyek yang memiliki
modalitas enunsiatif untuk menjadikan neoliberalisme sebagai perspektif yang
absah dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia. Mnurut Penulis buku ini, praktik diskursif mewujud
ke dalam pernyataan-pernyataan dari para ahli atau subyek yang memiliki
modalitas enunsiatif. Akan tetapi, praktik diskursif tidak bermakna sebagai pernyataan
semata. Praktik diskursif merupakan pernyataan-pernyataan yang memiliki
kekuatan konstitutif, dalam bahasa Foucault disebut sebagai “berbicara adalah
berbuat.” Penulis memfokuskan penelusuran terhadap praktik diskursif
neoliberalisme di Indonesia pada pernyataan-pernyataan dari tiga subyek yang
memiliki modalitas enunsiatif, yaitu Mari Elka Pangestu, Boediono dan Sri Mulyani,
yang tersebar di beberapa media cetak dan elektronik selama periode 2004-2010. Menurutnya,
praktik diskursif yang dijalankan oleh ketiga subyek tersebut mewujud ke dalam
pernyataan-pernyataan yang memiliki makna optimisme, keyakinan akan manfaat
positif bagi perekonomian Indonesia dan langkah-langkah kesiapan teknis yang
ditempuh pemerintah Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Praktik diskursif yang lahir di dalam suatu formasi diskursif ekonomi yang
didominasi oleh neoliberalisme ini, telah berhasil menjadikan perspektif tersebut
berada dalam posisi yang absah yang menjadi panduan bagi elaborasi teoritis dan
konseptual sebagai landasan pembuatan kebijakan ekonomi. Dengan demikian,
melalui praktik diskursif neoliberal ini, wacana Masyarakat Ekonomi ASEAN
dimaknai dalam demarkasi atau batasan-batasan neoliberal dalam suatu formasi
diskursif ekonomi, yaitu dalam bentuk sikap, pemikiran dan ekspresi optimis, keyakinan
akan manfaat dan komitmen dalam implementasi langkah-langkah persiapan teknis
sesuai dengan cetak biru yang telah disepakati. Akibatnya, langkah-langkah
persiapan ekonomi lebih ditekankan pada persoalan yang bersifat teknis, bukan
langkah-langkah yang secara substantif dapat meningkatkan kinerja dan daya
saing ekonomi nasional. Selain itu, Penulis menyimpulkan bahwa praktik
diskursif neoliberalisme di Indonesia selama ini telah dijalankan secara sistematis
dan institusional, yaitu melalui pernyataan-pernyataan resmi lembaga-lembaga pemerintah
terkait dengan sikap optimisme, keyakinan akan manfaat dan langkah persiapan
teknis menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN.
(3) Kedalaman
hegemoni dalam formasi diskursif telah melahirkan pembatasan pemikiran dan
ekspresi dalam tiga bentuk, yaitu praktikalitas, inevitabilitas dan optimalitas. Penulis menemukan, bahwa berdasarkan
telaah terhadap praktik diskursif yang digulirkan oleh tiga subyek dengan
modalitas enunsiatif tersebut, tercermin ketiga pembatasan pemikiran dan
ekspresi yang lahir dari kedalaman hegemoni dalam
formasi diskursif. Penulis
menangkap kecenderungan bahwa dalam konteks praktikalitas, terlihat
suatu sikap keengganan untuk membicarakan persoalan siap atau tidak siapnya
kondisi perekonomian Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Selain itu, pembatasan pemikiran dan ekspresi juga lebih ditekankan
kepada persoalan membangun kepercayaan diri dalam proses menuju integrasi
ekonomi ini, pembicaraan
mengenai ketidaksiapan justru menjadi suatu hal yang
ditakutkan. Bahkan
Penulis melihat adanya kecenderungan adanya
pandangan bahwa proses liberalisasi perdagangan ini
sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan. Siap atau tidak siap,
liberalisasi pasti akan
terjadi sebagai sesuatu yang niscaya. Penulis melihat adanya replikasi
dari pola yang sama dengan model reproduksi
pembatasan ekspresi dan
pemikiran di tahun 1980-an ketika neoliberalisme
dikampanyekan di tingkat internasional melalui Konsensus
Washington, dengan slogan yang sangat terkemuka, There is No
Alternative (TINA).
(4) Kekaburan
paradigma dan arah kebijakan pembangunan nasional yang mempengaruhi minimnya
langkah persiapan pemerintah Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Penulis berpendapat bahwa perjuangan hegemoni dan praktik
diskursif neoliberal di Indonesia telah menyebabkan terjadinya distorsi
terhadap landasan paradigma dalam menentukan arah pembangunan ekonomi
Indonesia. Menurutnya, meskipun secara konstitusional negara telah diberikan
peranan yang besar dalam pembangunan di negeri ini, namun kampanye gagasan
neoliberal telah berhasil mengikis peranan penting negara dan menegakkan supremasi
mekanisme pasar bebas dalam pembangunan ekonomi. Akibatnya, paradigma yang
menjadi landasan pembangunan di Indonesia menjadi kabur, dan telah menyebabkan terjadinya
pelemahan terhadap kapasitas negara dalam menjalankan dua fungsinya, yaitu
fungsi keamanan dan fungsi kesejahteraan. Langkah-langkah
substantif yang ditempuh
pemerintah untuk meningkatkan kinerja dan daya saing
perekonomian nasional
menjadi sangat minim, dikarenakan kapasitas yang terus
tergerus oleh implementasi
neoliberalisme dalam wujud kesepakatan perdagangan bebas. Kebijakan-kebijakan
yang ditempuh oleh lembaga-lembaga pemerintah menjadi parsial, tidak
terintegrasi, bahkan saling
bertentangan satu sama lain.
Penulis buku ini juga tidak lupa
mengingatkan bahwa upaya perlawanan terhadap hegemoni (counter-hegemony)
neoliberalisme ini harus
terus digulirkan oleh gerakan-gerakan masyarakat sipil. Penulis
menganjurkan agar gerakan-gerakan sosial yang terdiri kelompok-kelompok yang
tidak terjebak dalam ilusi pasar bebas dan liberalisasi perdagangan harus terus
melakukan upaya dekonstruksi, suatu upaya untuk meruntuhkan neoliberalisme dari
posisi hegemoninya dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia.
Kapasitas negara dalam menjalankan dua fungsi dasarnya (fungsi keamanan dan
fungsi kesejahteraan) harus ditingkatkan.
Penulis berpandangan bahwa keberhasilan
gerakan sosial untuk
melakukan counter hegemony, dengan demikian dapat membebaskan pemerintah Indonesia
dari hegemoni neoliberalisme. Karenanya berbagai kebijakan-kebijakan yang
membawa dampak negatif terhadap perekonomian rakyat dan
melemahkan negara dalam menjalankan fungsi dasarnya harus ditinjau ulang di
bawah paradigma memihak kepada rakyat, atau bahkan dapat dilakukan moratorium
(penundaan) atau bahkan penghentian segala bentuk liberalisasi
ekonomi yang telah merugikan rakyat. Dalam hal ini, Penulis meyakini bahwa sebuah paradigma
pembangunan yang benar-benar memihak kepada kepentingan rakyat harus ditegakkan
sebagai landasan dari kebijakan ekonomi, sehingga cita-cita kemerdekaan untuk
mewujudkan bangsa yang cerdas dan sejahtera dapat benar-benar terwujud
di negeri ini.
-------------------------
Sumber: Dodi Mantra (2011). Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme: Menelusuri
Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Mantra Press. Jakarta.
Penulis: Dodi
Mantra (lahir di Palembang tahun 1982) adalah dosen pada Program Studi Ilmu Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Al Azhar
Indonesia. Anggota dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Asosiasi
Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar