Sumber:
D.W. Davies (1961). A Primer of Dutch Seventeenth Century
Overseas Trade. Springer.
Chapter VI tentang Indonesia
(Hal.46-58)
---------------
Saya ingin berbagi sedikit tentang sejarah VOC di Nusantara ya... Ini ada kaitannya dengan cerita sebelumnya tentang sejarah VOC juga (lihat )
Dalam buku ini, Davies
menggambarkan ekspansi perdagangan luar negeri bangsa Belanda di abad ke ke-17
ke berbagai wilayah di seluruh belahan dunia, mulai dari daerah yang sekarang
kita kenal sebagai Swedia, Russia, Baltik, Perancis, Spanyol, Mediteranian,
China, Taiwan (Formosa), Philipina, Jepang, Malaka, Semenanjung Malaysia,
India, Srilanka (Ceylon), Burma, Arabia, Persia, Australia, Guyana, Brazil,
Amerika Serikat (New Amsterdam), Islandia, dan tentu saja Indonesia (East
Indies).
Selama hampir satu abad (15 - 16),
perdagangan bangsa Eropa dengan dunia Timur (Orient) dikuasai oleh Portugis. Komoditi utama yang dicari dan
diperdagangkan kalau itu adalah lada dan rempah-rempah, yang dihasilkan di
pulau-pulau Hindia. Saat itu kekuatan laut Belanda memang masih lemah. Penguasa
dan para pedagang Belanda sudah cukup puas menajdi pembeli dari para pedagang
Portugis. Belanda juga tidak tahu rute laut yang dapat membawa mereka ke Timur
Jauh (Far East). Namun persaingan dan
perang dagang khususnya antara Portugis dan Spanyol mempengaruhi akses Belanda
terhadap komoditas dari Timur. Selama ini mereka banyak membeli dari para
pedagang Portugis. Rempah-rempah menjadi langka dan semakin mahal.
Untung bagi Belanda, ada banyak pelaut mereka yang menjadi awak
kapal dan perusahaan dagang Portugis, dan punya pengalaman dengan Timur. Diantaranya adalah Dirck Gerritszoon Pomp dan Jan
Huygen van Linschoten. Dari pengalamannya sendiri ditambah dengan bantuan informasi
dan cerita pengalaman dari Pomp, Linschoten berhasil menyusun dua buku penting
bagi dunia perdagangan pelayaran Belanda, yaitu
Reysgeschrift (1595) dan Itinerario (1596). Reysgeschrift mengisahkan koleksi arah dan rute para pelaut dan
pedagang Portugis. Sementara Itinerario
banyak menggambarkan kondisi dan
kebiasaan masyarakat serta berbagai produk/komoditi yang ada di India, Ceylon
dan Timur Jauh, serta menguraikan manfaat atau kegunaannya masing-masing
komoditas tersebut dalam kehidupan manusia di Timur dan Eropa. Van Linschoten
secara sistematis membahas pulau-pulau di Hindia Timur, khususnya Timor, Maluku, kelompok Banda, Sumatera,
Kalimantan, dan Jawa.
Linschoten mencatat, bahwa kayu cendana banyak ditemukan di Timor;
cengkeh di Maluku; pala dan fuli di Amboina dan Banda; lada, emas, perak,
kuningan, batu mulia, tanaman obat, dan produk lainnya di Pulau Sumatera; berlian
di Soekadana (pantai barat dari pulau Kalimantan); emas dan berlian di Kesultanan
Sambas; cangkang kura-kura di Banjermasin di Kalimantan bagian Selatan; berbagai
produk berharga, termasuk kulit kayu yang menghasilkan resin (benzoin) di Pulau
Jawa, yang merupakan obat paling mahal dari Timur; dll.
Namun yang paling penting dari
itu semua bagi Belanda adalah, bahwa dalam Itinerario
tersebut Linschoten juga menggambarkan bagaimana situasi kekuatan, kapasitas
dan pengaruh Portugis di Timur. Menurut Van Linschoten, kekuasaan Portugis di
Timur sudah membusuk dan sangat rapuh. Dengan sedikit pukulan saja, kekuasaan
Portugis akan runtuh di Timur. “Ibarat
buah plum masak yang siap dipetik,” demikian perumpamaan Linschoten.
Dari cerita Linschoten tadi, yang
senada dengan sumber-sumber yang beredar di kalangan pelaut lainnya, membuat
para penguasa dan saudagar Belanda bertekad untuk merebut dominasi Portugis di
Timur Jauh. Kekuatan laut yang tidak termanfaatkan, sulitnya memperoleh barang
dagangan dari Timur, melemahnya kekuatan pesaing di wilayah sumber komoditi,
dan peluang memperoleh keuntungan yang sangat besar, adalah motivasi utama yang
mendorong hasrat tersebut.
Hingga akhirnya, demikian Davies
mengisahkan, pada tahun 1594 di Martin Spil, sebuah kedai anggur di Warmoesstraat-Amsterdam, bertemulah sembilan
saudagar utama untuk membahas kemungkinan membentuk perusahaan dagang yang akan
merebut surga komoditas di Timur. Akhirnya
mereka bersepakat membentuk “Company for Far Places” yang memiliki
misi melakukan perjalan ke Timur Jauh. Perusahaan ini kemudian memesan empat kapal besar –sejenis yang
biasa digunakan dalam pelayanan ke Brasi dan Mediterania--, yang kemudian diisi
dengan berbagai barang dagangan dari Eropa seperti kain wol, linen,
selimut, kelambu, gelas, cermin, amber, aneka ornamen, barang besi, pisau,
gembok, helm baja, dan kulit binatang yang keras (cuirasses), dll., yang nantinya akan dijual atau di barter dengan
komoditas di Timur. Para pemegang saham di perusahaan ini kemudian memilih
salah seorang dari mereka sebagai penanggungjawab ekspedisi ini, yaitu Cornelis
de Houtman, yang dianggap cukup punya pengetahuan tentang dunia Timur dari
pengalamannya bekerjasama dengan pedagang/pelaut Portugis. Sementara kepala
navigator untuk pelayaran adalah Pieter Dirckszoon Keyser.
Harapan mereka sangat tinggi, tapi 15 bulan pelayaran mereka dari
Belanda sampai Banten sangat berat, karena cuaca buruk, perkelahian, kurangnya
disiplin dan penyakit. Di Banten mereka diterima dengan curiga oleh orang-orang
Portugis, namun disambut baik oleh orang Jawa, dan para pedagang Cina serta
India. Barang dagangan yang mereka bawa dari Belanda laku keras. Namun masalah
sesungguhnya ada di tim ekspedisi Belanda sendiri. Pieter Dirckszoon
Keyser mati misterius, dan Cornelis de Houtman terbukti bukanlah pemimpin yang
baik. Setelah terjadi pertengkaran dengan penduduk lokal dan bangsa Portugis,
akhirnya mereka angkat kaki dari Banten. Satu kapal kekurangan awak dan
terpaksa ditinggalkan. Dengan tiga kapal mereka bersusah payah kembali ke
Belanda. Dari 248 awak, hanya tersisa 89 saja. Barang di kargo yang mereka bawa
pulang juga tidak sebanding dengan semua ongkos ekspedisi yang telah
dikeluarkan.
Meski rugi secara ekonomi, namun
ekspedisi De Houtman telah melipatgandakan keyakinan Belanda bahwa Timur memang
sangat menjanjikan, serta mendongkrak kepercayaan diri mereka bahwa mereka tahu dan mampu mencapai wilayah itu, atau
bahkan untuk sekaligus menguasai sumber komoditas di sana. Ekspedisi kedua
dilaksanakan tak lama kemudian, yang disponsori
“Company for Far Places” dan perusahaan baru lainnya, dibawah
komando Laksamana Jacob Corneliszoon van Neck. Ekspedisi kali
ini sangat sukses, dan berhasil memberi keuntungan lebih dari 400%. Terlebih
Neck juga berhasil membangun hubungan baik dengan Banten dan para penguasa di
Kepulauan Rempah-rempah.
Dampaknya jelas, makin banyak
saudagar yang mau menanam modal, dan para pelaut yang tertarik ikut ekspedisi ke
Timur. Menurut Davies, pada tahun 1598 saja ada 5 ekspedisi dengan armada sebanyak
dua puluh dua kapal meninggalkan Belanda untuk Timur Jauh. Sebelum pembentukan East India Company tahun
1602, seluruhnya ada 15 ekspedisi lagi. Tidak semua ekspedisi berhasil dan
menguntungkan. Secara rata-rata keuntungannya tidak pernah sangat besar. Namun
hasilnya secara umum dianggap cukup mengesankan, ketika ada banyak individu yang terlihat kaya
dan makmur dari keterlibatan mereka dalam ekspedisi tersebut.
Sampai akhirnya para petinggi dan
saudagar Belanda merasa mereka dapat secara sistematik mengeksloitasi Timur
untuk sepenuhnya keuntungan mereka. Langkah cerdas pertama yang dilakukan
adalah mengurangi persaingan di internal perusahaan/pedagang Belanda sendiri. Berbagai perusahaan tersebut kemudian
bergabung dalam Vereenigde Oost Indische Compagnie atau VOC. Badan pengawas yang mengendalikan VOC adalah
sebuah dewan direksi yang berjumlah tujuh
belas orang (diambil dari sejumlah kota Belanda), yang kemudian lebih dikenal
sebagai “The Seventeen."
Akibatnya, kapal-kapal dan
pedagang Portugis kewalahan menghadapi armada dagang Belanda yang lebih
terorganisir ini. Davies mengutip Sebagai B.H.M. Vlekke yang dalam catatannya
menyebutkan bahwa hanya dalam waktu tiga tahun setelah ekspedisi de Houtman, kapal-kapal Belanda telah muncul
di lepas pantai Barat Sumatra dan sekitar Aceh, mengunjungi Jawa dan Maluku, terlihat di lepas pantai
timur laut Kalimantan, di dekat Manila, menjelajahi pantai Siam dan Indo-China,
dan berusaha untuk membangun hubungan perdagangan dengan Canton. Bahkan mereka telah
berada di Jepang pada tahun 1600, membuka perwakilan perdagangan di Ceylon pada
tahun 1602, dan menjelajahi pantai Australia di tahun 1605.
Basis perdagangan Belanda di
Timur awalnya adalah Banten , dan kemudian Batavia atau sebelumnya disebut
Jacatra (di Jawa). Dari Batavia, Belanda mengendalikan seluruh kekuatan atas
jaringan pos perdagangan dan lokasi pengolahannyanya mulai dari Arab dampai
Jepang. Sejak awal secara tegas mereka menunjukkan tekad untuk dapat membangun
monopoli perdagangan di Timur, dengan menerapkan kebijakan pelarangan
keterlibatan negara Eropa lainnya (terutama Inggris dan Portugis) dalam
perdagangan antara East India dan Eropa, serta pengadaan komoditas sebagian besar lalu lintas
antar negara timur yang sebelumnya
dikuasai pedagang lokal.
Davies mengutip analisis Linschoten
mengenai bagaimana melemahnya kekuatan laut Portugis sekaligus telah
mempercepat kekalahan perdagangan komersial mereka. Namun ada sebab lainnya dari
perkembangan peta kekuatan tersebut, yaitu juga karena kekejaman para pelaut
dan serdadu Portugis kepada penduduk asli yang ternyata telah menimbulkan rasa
antipasti di kalangan bangsa-bangsa Timur. Selain itu, pelaut Belanda adalah
juga prajurit yang lebih terampil,
sehingga bentrokan bersenjata antara dua kekuatan hampir selalu dimenangkan
oleh Belanda. Kecepatan para penjelajah
Belanda menyebarkan jaring kekuatan ekonominya tampaknya memang berbanding
lurus dengan berkurangnya kekuatan Portugis di Timur.
Namun, menurut Davies, situasinya
berbeda dengan Inggris, karena seperti halnya dengan Belanda, mereka juga ingin
menjadi penerus kekuasaan perdagangan Portugis di Timur. Namun pada pelaut dan
pedagang Inggris tidak memiliki armada pengangkut dan sumber daya keuangan
untuk bersaing dengan Belanda. Awalnya
memang ada semacam kesepakatan dagang antara Belanda (VOC) dan Inggris (East
India Company - EIC). Namun
pada masa Gubernur Jenderal Jan
Pieterszoon Coen (1618-1623, dan 1627 – 1629), Belanda cukup percaya diri untuk
mengusir Inggris. Awalnya adalah dengan membuat “proyek bersama skala besar”
sehingga Inggris (yang saat itu lebih miskin) kesulitan terlibat aktif dalam
kerjasama dagang tersebut. Kerjasama itu
berakhir tahun 1623. Selanjutnya Coen melakukan apa yang disebut “pembataian Amboina”
(eksekusi sejumlah opsir Inggris di sekitar Ambon), dan dilanjutkan dengan serangan
Coen atas armada Inggris yang diantaranya dapat merebut 7 kapal mereka. Inggris
tersingkir, dan akhirnya hanya memiliki kaki di Singapura (Tumasik) saja.
Menjadi penguasa yang memonopoli
sumber komoditas berharga sekaligus mendominasi jalur perdagangan di Timur juga memberi keuntungan lebih pada
Belanda. Mereka menjadi pengendali lalu lintas perdagangan antara bangsa-bangsa
di Timur, yang ternyata volume dan keuntungan jauh lebih besar daripada yang
dilakukan dengan bangsa Eropa saja.
Selanjutnya…, silakan baca
bukunya ya… J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar