Candra Kusuma
Ismail Kadare dalam novelnya
yang berjudul Piramid (2011)
mengisahkan bagaimana pada satu saat ribuan tahun lalu, istana Mesir dilanda kegemparan
yang sangat ketika Firaun yang baru, Cheops, memutuskan tak ingin lagi
membangun piramid sebagaimana telah dilakukan dan menjadi tradisi leluhurnya. Keluarga kerajaan dan para petinggi istana kaget, dan sekaligus amat
sangat cemas. Bagi mereka, piramid adalah satu hal yang sudah dibuat, dan selamanya harus
terus dibuat, karena sudah menjadi bagian dari denyut kehidupan bangsa Mesir sejak ribuan tahun.
Tak ada cara --dan tak ada yang berani pula
mencoba-- untuk memaksa Cheops, karena sebagai Firaun, dia adalah sang penguasa
tunggal yang punya kuasa menentukan hidup dan mati siapapun yang diinginkannya.
Salah bicara, atau sekedar dianggap menghina, maka penjara atau kehilangan nyawa yang
jadi taruhannya.
Sebagian dari para elit istana kemudian
berupaya keras mencari cara dan argumentasi untuk meyakinkan Cheops mengenai
“nilai historis dan strategis” dari piramid bagi Mesir. Mereka menggali
informasi tentang piramid dari papirus-papirus
lama. Ternyata isinya lebih banyak tentang cara, alat, bahan, tenaga kerja,
biaya maupun tetek bengek lain mengenai pembangunan sebuah piramid. Namun tak
ada yang menjelaskan nalar rahasia akan keberadaan piramid itu sendiri: “untuk apa sesungguhnya –dibalik semua
alasan resmi dan normatif— alasan dan
tujuan dari pembangunan piramid-piramid
tersebut.”
Setelah mempelajari lagi dengan seksama
sejarah Mesir sejak pembangunan piramid pertama di masa Firaun Zoser,
dilanjut dengan diskusi dan debat panjang mengenai “apa tujuan dan kegunaan
tersebunyi” dibalik pembangunan piramid-piramid itu, akhirnya mereka sampai
pada satu kesadaran. Namun, ternyata kesadaran tersebut justru sulit untuk mereka
bicarakan diantara mereka sendiri, meskipun hal itu sesungguhnya sudah mereka
masing-masing pahami sebelumnya, bahkan tanpa harus membuka satu lembarpun papirus-papirus
lama tersebut. Sampai akhirnya tiba saatnya bagi mereka –dengan dipimpin
oleh Pendeta Tinggi Hemiunu-- untuk mempresentasikan hasil kajian tentang
pentingnya piramid ke hadapan Cheops sang Firaun.
Ternyata, meskipun secara fisik --dan pemahaman awam menganggap bahwa--
piramid adalah sebuah tempat pemakaman yang menakjubkan bagi Firaun dan
keluarganya, namun gagasan awal pembangunannya ribuan tahun sebelumnya sama
sekali tidak berhubungan dengan urusan kematian dan makam. Gagasan pembangunan
piramid ternyata dimulai dari suatu krisis. Bukan krisis akibat kemiskinan,
kekeringan berkepanjangan, banjir besar Nil, dan wabah penyakit ataupun perang,
namun justru krisis akibat kelimpahan. Kemakmuranlah ternyata yang telah membuat
rakyat menjadi mandiri dan berpikir bebas, yang ujungnya menimbulkan
pembangkangan terhadap pemerintah, dalam hal ini kekuasaan Firaun.
Para birokrat Mesir dan “Tim Konsultan
Firaun” yang terdiri dari para ahli, peramal dan penasehat Firaun pada masa
lalu tersebut kemudian berdebat panjang untuk menemukan cara meredam kelebihan
dan kemakmuran rakyat tersebut, agar visi akan kejayaan Firaun tetap terjaga
tanpa pembangkangan dari rakyatnya. Sampai akhirnya, Sobekhotep si
dukun-peramal menemukan satu solusi orisinil dan jenius untuk mengatasi akar
masalah tersebut. Misi yang dia ajukan untuk mengatasi kemakmuran adalah dengan
“meniadakan kemakmuran itu sendiri.”
Tapi bagaimana caranya? Sekali lagi para Tim Konsultan Firaun berdebat untuk
menemukan strategi mengatasi kemakmuran rakyat.
Solusi jenius berikutnya konon justru muncul
dari balik istana harem Firaun sendiri. Reneferef sang dayang-dayang harem,
entah bagaimana berhasil membisikkan gagasannya sampai ke kalangan elit dan Tim
Konsultan Firaun. Menurutnya, Mesir harus meniru apa yang telah dilakukan oleh
kerajaan tetangga Mesopotamia dalam mengendalikan rakyatnya. Di sana, rakyat
Mesopotamia setiap saat selalu sibuk membangun kanal-kanal raksasa, yang jika
dinalar secara sederhanapun tampak tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi kerajaan
dan kebutuhan bangsa dan rakyat mereka sendiri. Karenanya, Mesir harus dapat menemukan cara yang sama untuk
mengkonsumsi kelebihan energi rakyatnya. Dalam bahasa Pendeta Tinggi Hemiunu
sendiri, caranya adalah:
“Dengan
menyelenggarakan kerja raksasa yang melampaui batas imajinasi, yang akan
memperlemah warganya, menghisap kering mereka. Pendeknya, hal yang meletihkan,
hal yang menghancurkan jiwa raga, pun tanpa menghasilkan manfaat sama sekali.
Atau lebih tepatnya, sebuah proyek tak bermanfaat bagi rakyat namun akan berguna
bagi Negara” (hal.12)
Lantas, mega
proyek macam apa yang sesuai dengan strategi tersebut? Lagi-lagi “Tim
Konsultan Firaun” berdiskusi, berdebat dan menggali berbagai data dan informasi
dari masa lalu maupun pengalaman bangsa dan kerajaan lain. Usulannya sangat
beragam. Dari mulai membuat lubang besar tanpa dasar, tembok raksasa, air
terjun buatan, dll. Namun semuanya ditolak Firaun. Dalam pandangan Hemiunu:
“Yang harus
dicari adalah hal lain, sesuatu yang membuat masyarakat terus-menerus sibuk
siang-malam sehingga jadi linglung. Namun, hal itu mestilah sebuah proyek yang pada
dasarnya bisa diselesaikan, tanpa mencapai penyelesaian. Singkatnya, sebuah
proyek yang memperbaharui dirinya terus menerus. Dan itu harus benar-benar
dapat dilihat… Pusara Raksasa… Dengan segera Mesir akan mengidentifikasikan
diri dengannya, dan ia juga bakal menjadi identifikasi Mesir” (hal.13)
Firaun kala itu takjub dan setuju dengan
gagasan mega proyek pembangunan makam raksasa bagi keluarga istana tersebut.
Para arsitek Firaun kemudian merancang sejumlah usulan bentuk kuburan raksasa,
yang kemudian pilihan jatuh pada bentuk piramid. Di mana setiap Firaun akan
punya piramidnya sendiri. Sehingga, meskipun rakyat belum lagi beristirahat dan
pulih dari lelah dan kehebohan dalam membangun sebuah piramid, mereka sudah
akan disibukkan lagi untuk membangun piramid baru bagi Firaun yang baru
berkuasa pula.
Sampai disini, Pendeta Tinggi Hemiunu menutup
presentasinya kepada Cheops. Kata-kata penutup dari Hemiunu-lah yang pada
akhirnya dapat meyakinkan Cheops bahwa piramid itu memang “enak dilihat dan
perlu” bagi kelanggengan kekuasaan Firauan di dunia, sekaligus memastikan
tempat terbaik bagi Firaun di alam sana. Hermiunu, sang tokoh keagamaan
terpenting di Mesir, menutup presentasinya dengan sekali lagi menekankan
urgensi piramid, yang tidak saja untuk kelanggengan kekuasaan Firaun, namun
juga kekuasaan para elit Mesir itu sendiri:
“Sedari mula,
yang Mulia, piramid adalah kekuasaan. Ia adalah penindasan, kekuatan,
kesejahteraan. Namun juga penakluk pemberontakan, penyempit pikiran, pelemah
kehendak, kebosanan, dan kesia-siaan. O Firaunku, ia adalah bentaramu yang
paling handal. Polisi rahasiamu. Bala tentaramu. Armadamu. Gundikmu, Makin
tinggi ia, makin rapuh rakyatmu terlihat. Dan makin kecil rakyatmu, makin
paduka menjulang, O Termulia, demi sepenuhnya kebesaranmu… Piramid adalah pilar
penyangga kekuasaan. Jika ia terguncang, segalanya rubuh berantakan… Jadi
jangan berpikir, Firaunku, untuk mengubah tradisi… Paduka bakal jatuh dan
menyungkurkan kami bersamamu.” (hal.14-15)
Cheops akhirnya mengalami “pencerahan” dan
menemukan “kebenaran” dari paparan “hasil kajian tentang urgensi piramid” berikut
“analisis mengenai dampak politis (AMDAP)” jika tidak membangun piramid, yang telah
disampaikan Pendeta Tinggi Hemiunu dan para petinggi istana lainnya. Sang
Firaun pada akhirnya memutuskan untuk tetap melanjutkan tradisi leluhurnya
dengan juga mendirikan piramid baru: yang lebih tinggi, dan paling megah dari
semua.
Tepat pada saat keputusan dibuat dan pertemuan
di istana itu berakhir, saat itu pula penderitaan rakyat Mesir dimulai lagi.
Sejarah kembali berulang, dan kekuasaan Firaun dapat terus dipertahankan.
-----
Tulisan di atas adalah “cerita ulang” saya
atas bagian awal dari novel Ismail Kadare. Menurut saya itulah bagian yang paling
menarik, karena menawarkan tafsir unik tentang bagaimana para tiran dan
penguasa despotik serta elit sosial pendukungnya di masa lalu memandang
kekuasaan sebagai kepentingan utama mereka semata, dan pelemahan kekuatan
rakyat sebagai agenda terpenting untuk melanggengkan kekuasan mereka sendiri.
Selain polisi rahasia dan hukuman brutal, ternyata pembangunan pun dapat
dijadikan instrumen untuk mengendalikan rakyat dengan jalan mengurangi kemakmuran dan kemandirian mereka. Caranya
dengan membuat rakyat sibuk dan terserap habis energinya untuk hal-hal yang
sesungguhnya tidak perlu, dan pada akhirnya dapat menjadi sarana efektif untuk menundukkan
dan menciptakan kepatuhan rakyat pada penguasa.
Di masa sekarang, mungkin sudah tidak ada
lagi penguasa despotik yang dapat semena-mena dan punya kuasa penuh atas hidup dan mati
rakyatnya. Kalaupun harus menyebut satu yang tersisa, barangkali negara itu
adalah Korea Utara. Namun negara-negara dengan kebijakan pembangun mereka yang secara
langsung maupun tidak langsung justru berakibat memiskinkan dan melemahkan
rakyatnya dapat kita jumpai di banyak tempat. Pembangunan mega proyek macam monumen,
gedung pemerintahan, bandara super modern, pembangkit listrik super canggih, dam
raksasa, dan banyak lainnya, selalu ibarat pedang bermata ganda: dapat menghasilkan
keuntungan dan kebaikan tertentu, namun dampaknya juga dapat merugikan bagi
sebagian yang lain. Mulai dari penggunaan anggaran publik yang tidak tepat
guna, sampai pada penggusuran, alih fungsi lahan, pengangguran, urbanisasi, keresahan
sosial, dan lainnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Mari kita sama
merenungkannya…
-----
*Ismail Kadare, penulis kelahiran Albania.
Akibat tekanan dari rejim otoriter Enver Hoxha, Kadare terpaksa menyelundupkan
naskah-naskah novelnya untuk diterbitkan di luar negeri. Pada tahun 1990,
Kadare akhirnya melarikan diri dan kemudian menetap di Perancis. Karya-karyanya
dianggap telah menginspirasi perlawanan terhadap rezim otoriter Albania.
Kadare menerima sejumlah penghargaan Prix modial Cino Del Duca (1992), Man Booker International Prize (2005),
dan Premios Principe de Asturias
(2009). Dia juga pernah beberapa kali dinominasikan sebagai pemenang Nobel.
Pada tahun 2009 diangkat menjadi anggota kehormatan Academie des Sciences Morales et Politiques di Perancis
menggantikan Karl R. Popper. Novelnya yang berjudul La Pyramide diterbitkan pertama kali pada tahun 1992, dan telah
diterjemahkan dalam beberapa bahasa.
Sumber:
- Ismail Kadare. (terj. Dwi Pranoto) (2011). Piramid: Sebuah Novel. Margin Kiri.