Candra Kusuma
Apa yang Anda bayangkan tentang
isi sebuah buku, jika kata-kata yang paling banyak muncul dalam daftar Indeks-nya
adalah: Aksi; Buruh; Demonstrasi; Ideologi; Ingatan; Kiri; Komunis; Mahasiswa; Massa;
Miskin; Partai Rakyat Demokratik (PRD); Politik; Radikal; Rakyat; Revolusi; Sosial;
dan Tani? Jika Anda menduga penulisnya menggunakan analisis Marxis, dan isi buku
itu adalah seputar Reformasi 1998, kejatuhan Suharto dan analisis tentang peran
kelompok ‘kiri’ dalam momentum tersebut, maka dugaan itu tidak terlalu keliru
sama sekali.
Buku yang saya maksud adalah karya Max Lane*
yang berjudul Unfinished Nation, dan
diterbitkan oleh Penerbit Djaman Baroe pada 2014 lalu. Judul aslinya adalah Unfinished Nation: Indonesia Before and After Suharto, yang diterbitkan oleh Verso di
tahun 2008. Dalam buku ini Lane mengupas perjalanan perubahan
sosial sejak masa kolonial sampai setelah Reformasi 1998, dengan fokus pada
momentum seputar Reformasi tadi.
Jika umum dipahami bahwa
perubahan sosial di sebuah negara akan dipengaruhi oleh faktor endogen (internal)
dan exogen (eksternal) dalam perubahan sosial, maka
Lane meyakini bahwa faktor endogen, yakni adanya desakan rakyat dari sebuah
proses mobilisasi massa yang dilakukan oleh sejumlah kelompok pelopor,
merupakan faktor yang paling dominan dalam mendongkel Soeharto dari tiga dekade
lebih kekuasaannya. Dalam hal ini Lane menganggap dirinya mengajukan analisis
berbeda dari mayoritas analis Barat yang mengidentifikasi bahwa kekuatan luar
negeri atau elitlah yang mejadi penyebab utama kejatuhan Soeharto.
“…Soeharto tidak sekedar jatuh dari kekuasaan
–dia didorong jatuh. Gerakan yang mendorongnya jatuh dari kekuasaan berkembang
sebagai hasil dari upaya yang sengit (sulit) dan sadar untuk membangun gerakan
politik yang benar-benar bisa menjatuhkan sang diktator dan karenanya, dalam
tindakannya berbasiskan pada mobilisasi massa rakyat.” (Hal.19)
Menurut Lane, aktor utama yang
melakukan pendidikan politik, radikalisasi, dan mobilisasi kalangan kaum
miskin, buruh, tani dan mahasiswa adalah para aktivis dari Partai Rakyat
Demokratik (PRD), yang kemudian berubah menjadi Partai Pembebasan Rakyat (PPR).
Lane memang juga menyebutkan beberapa aktor lain seperti Kongres Aliansi
Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Pemuda
Sosialis, atau koalisi “dadakan” kelompok aksi mahasiswa yang baru muncul dan
dibentuk pada 1998 macam Forum Kota (Forkot), namun perannya dipandang lebih kecil.
“Yang pertama mengambil inisitif tersebut,
dalam kerangka organisasi politik, adalah mereka yang muncul melawan Soeharto
di awal 1990-an, yang mampu membangun dan mempertahankan orientasi ideologinya.
Sangat sedikit yang seperti itu. Semuanya masih kecil, dan hanya satu yang
sudah sanggup membangun profil signifikan, yakni PRD. Jaringan nasional lainnya
termasuk Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Front Mahasiswa Nasional
(FMN), dan Pemuda Sosialis. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Gerakan
Reforma Agraria (AGRA), dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), merupakan
reorganisasi jaringan nasional yang signifikan dan dengan fokus ideologi yang
lebih lemah dan longgar, kecuali AGRA yang memiliki penekanan yang kuat.”
(Hal.383-384).
Jika ada kesan bahwa Lane terlalu
membesar-besarkan peran PRD, hal tersebut dapat dimaklumi, karena dia memang
menggunakan kerangka analisis Marxian yang menekankan pada teori revolusi, kelompok/partai
pelopor, kontradiksi, kesadaran kelas, radikalisasi dan mobilisasi massa. Bagi
Lane, tampaknya hanya PRD yang paling mendekati ideal dari perspektif tersebut.
Mungkin agak berlebihan bagi saya maupun banyak pihak lainnya, tapi bagi Lane,
keberadaan PRD yang dideklarasikan tahun 1994 telah menjadi aktor sentral baik
langsung maupun tidak langsung dalam meradikalisasi rakyat sehingga berani
bergerak menentang rezim Soeharto.
Namun Lane juga menyayangkan
bahwa aksi-aksi yang berpuncak di 1998 tersebut tidak dapat membawa gerakan ke arah
selanjutnya (hal. 294). Lane tidak menyatakan dengan tegas, namun mungkin dapat
dikatakan bahwa PRD “gagal” meyakinkan gagasan mereka pasca turunnya Soeharto,
yakni membangun kekuasaan dari bawah sebagai hasil dari proses mobilisasi, sekaligus
melakukan penyingkiran semua elit politik Orde Baru. Sementara, menurut Lane, di
kalangan aktivis mahasiswa lain berkembang konsep yang campur aduk, yang salah
satu dan kemudian menjadi arus utama adalah mengkonsentrasikan arah perubahan
pada figur-figur elit politik yang luas dan tidak termasuk atau dicap Orde
Baru, khususnya Amien Rais, Abdurrahman Wahid dan Megawati (hal. 282-283).
Meskipun tampaknya agak kecewa, Lane
masih tetap optimis bahwa perubahan sosial yang radikal masih akan terjadi di
Indonesia. Bagaimanapun, generasi 1990-an telah berhasil menumbangkan Soeharto,
dan terlebih juga meninggalkan jejak yang cukup kuat bagi benih kepeloporan
selanjutnya.
“Warisan 1990-an dapat dijelaskan dalam dua
tingkatan. Pertama, terdapat jalan bagaimana sentimen positif yang luas –namun hanya
sentimen—diangkat ke dalam gagasan-gagasan politik yang kuat, walaupun
dirumuskan secara kabur. Kedua, terdapat aktivis-aktivis yang berorientasi
ideologis dan secara politik terdidik, yang muncul selama 1990-an serta segera
setelah kejatuhan Soeharto, yang mencoba membangun kelompok yang bertujuan
menghidupkan kembali orientasi ideologi sosialis dan demokratik”
(Hal.496-497)
Di bagian akhir bukunya tersebut,
Lane memetakan tujuh karakter situasi yang diyakininya memberikan kemungkinan
bahwa akan terjadi lagi politik masa yang agresif di Indonesia. Ketujuh situasi
tersebut berkenaan dengan: kemiskinan dan kesenjangan sosial yang akut;
terbangunnya kesadaran kelas; tumbuhnya kelas pekerja yang professional dan
teroganisir; meluasnya penyebaran gagasan kritis; tumbuhnya gerakan politik
non-partai berbasiskan demokrasi dan kiri; adanya kelompok-kelompok aktivis dan
kader yang berpengalaman; dan makin lazimnya terjadi mobilisasi massa dari kalangan
buruh dan miskin kota (hal.507-511).
Bagi Lane, Indonesia adalah
bangsa yang belum selesai (unfinished
nation). Karena itu, gerakan perubahan diyakininya akan dan harus terus
berlangsung. Tujuannya tetap, yang menurut Lane, yaitu dapat menggantikan
sistem dan mengukuhkan bentuk pemerintahan demokratik baru yang radikal.
Lane tampaknya memang memiliki posisi yang unik diantara para
Indonesianis lain saat ini. Dia meyakini dan optimis bahwa perubahan sosial
yang radikal dapat terjadi di Indonesia. Edward Aspinall dalam komentar singkat
di sampul belakang buku ini bahkan menyebut Lane sebagai Indonesianis yang “berdiri
diluar kesepakatan para ahli” di Australia.
“Kesepakatan
para sarjana ilmu politik pengamat Indonesia ditandai oleh ketidakpercayaan
pada kemungkinan perubahan revolusioner ataupun kemampuan transformatif dari
kelompok-kelompok tertundukkan. Pada studi politik Indonesia di Australia kita
lantas menemui sedikit sekali perbedaan pedapat mengenai dinamika dasar dari
politik Indonesia, sifat dasar masyarakatnya atau arah dari transformasi
demokratik yang sebaiknya dijalani. Namun Max Lane merupakan satu-satunya
penulis Australia ahli Indonesia yang berdiri di luar kesepakatan para ahli
tadi.”
Terlepas dari pisau analisis yang
digunakannya, saya sepakat dengan review dari Curaming (2011) yang berpandangan
bahwa buku ini tampaknya memang tidak ditujukan sebagai karya akademik, yang
diindikasikan oleh minimnya referensi dan keterangan sumber informasi dan
dokumen. Namun saya sendiri juga merasa buku ini terlalu berat untuk sekedar
menjadi “bacaan ringan.” Selain itu saya juga lebih suka cover buku dalam versi
Inggris dibanding versi terjemahannya yang rasanya juga menjadi terlalu kaku.
Tertarik? Silakan beli/baca sendiri bukunya ya…
-----
* Nama lengkapnya Maxwell Ronald Lane.
Dia adalah dosen politik dan sejarah di Universitas Victoria-Australia, dan
menjadi Visiting Fellow di Institute of
Southeast Studies-Singapura. Lane juga merupakan salah satu pendiri Inside Indonesia, yaitu media yang
mengangkat isu sosial-politik di Indonesia. Pernah menerjemahkan
buku-buku Pramoedya Ananta Toer (diantaranya This
Earth of Mankind; Child of All Nations; Footsteps
and House of Glass; Arok of Java) dan W.S. Rendra (The Struggle of the Naga Tribe). Lane
juga pernah menjadi Social
science tutor pada sekolah drama Bengkel
Teater di Jogjakarta (1974), dan konsultan proyek pembangunan dari Kedutaan
Australia di Aceh, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi.
Lane Memiliki jaringan luas dengan
para pemikir dan aktivis, khususnya PRD. Bukunya yang lain dan sudah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia diantaranya adalah Malapetaka di Indonesia: Sebuah Esei Renungan tetang Penglaman Sejarah
Gerakan Kiri (2012). Sementara ada dua buku yang akan segera diterbitkan,
yakni Ketidakhadiran Indonesia di Bumi
Manusia, dan Burung Merak Menyimpang
Jalan: Sastra dan Politik Pembangkan di Indonesia.
Sumber:
- Max Lane, Unfinished Nation, Penerbit Djaman Baroe, 2014.
- R.A. Curaming, Review of Unfinished Nation, Max Lane. London: Verso, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 42, No.1, 2011, pp. 176-178.
- http://blogs.usyd.edu.au/maxlaneintlasia/2007/07/about_max_lane.html
- http://blogs.usyd.edu.au/maxlaneintlasia/2007/07/public_forum_discusses_bangsa.html
- http://indoprogress.com/2013/04/dr-max-r-lane-sistem-yang-berlaku-ini-tidak-waras/
- http://marxistleftreview.org/index.php/no7-summer-2014/102-indonesia-trade-unions-and-the-regeneration-of-radical-politics
Tidak ada komentar:
Posting Komentar