Pengantar Penerjemah:
Pada tanggal
10-13 November 2015 diselenggarakan The
International People’s Tribunal for the 1965 Crimes Against Humanity atau tribunal
rakyat internasional untuk kejahatan melawan kemanusiaan pada tahun 1965, yang
diselenggarakan di kota Den Haag, Belanda. Pemerintah Indonesia menjadi
tersangka dengan tuduhan telah melakukan pembunuhan, perbudakan,
penahanan, penghilangan paksa orang-orang, dan penganiayaan melalui propaganda,
yang berkaitan langsung dengan peristiwa 1965 (lihat "The International People’s Tribunal for the 1965 ...)
Untuk menambah pemahaman mengenai
konsep tribunal tersebut, saya membaca kembali sebuah buku lama yang ditulis
oleh Arthur Jay
Klinghoffer dan Judith Apter Klinghoffer pada tahun 2002 yang berjudul International Citizens’ Tribunals: Mobilizing Public Opinion to
Advance Human Rights. Agar lebih mudah membacanya bagi sebagian orang, saya berupaya
menerjemahkan sebagian dari buku tersebut, yaitu pada Bab I yang berjudul “Citizens’ Power “ (hal.1-10).
Semua kesalahan dan kekurangan dalam
terjemahan ini adalah karena keterbatasan saya semata. Bagi yang tertarik, ada
baiknya membaca dan/atau membeli sendiri buku ini.
Salam
Candra
Bab I
Kekuatan Warga
(Citizens’ Power)
"'Kami akan menjadi hakim, Kami akan menjadi juri," kata Bertrand dengan amarah: Dan vonis baru saja kami rilis kepada
pers'."[1]
Ode sarkastik ini dikirim ke
Presiden Lyndon Johnson pada bulan Januari 1967 oleh ajudannya Joseph Califano.
Pada saat itu, filsuf Inggris Bertrand Russell tengah sibuk menyiapkan tribunal
internasional untuk menuntut Amerika Serikat dengan kejahatan perang, kejahatan
terhadap kemanusiaan, dan genosida di Vietnam. Tribunal seperti tidak memiliki legal standing, tetapi pemerintah AS
sangat khawatir dampak hubungan masyarakatnya. Kekuasaan seolah-olah sedang diserahkan
ke tangan warga yang peduli, dan bahkan Amerika Serikat tidak bisa tidak juga
menyadari adanya ancaman serius bagi kedaulatan dan status internasional-nya.
Otoritas negara sedang ditantang atas dasar praktik hak asasi manusia, dan
keadilan sedang dimainkan melintasi batas-batas nasional. Apakah proses
tersebut latihan instruktif di pernyataan demokratis, kemenangan standar
liberalisme tentang objektivitas, atau itu-seperti yang tersirat dalam lagu
pendek- sebuahbentuk baru dari kangaroo
court saja? Dapatkah cara populis ini mengangkat parodi terbesar keadilan
dari penyimpangan negara?
Evolusi
Setelah Perang Dunia I, ada
reaksi publik terhadap Realpolitik dan negarawan yang menjadi praktisi. Hukum
dan etika tumbuh untuk kepentingan, seperti yang diserukan Woodrow Wilson pada masyarakat
dunia yang diwujudkan dalam Liga Bangsa-Bangsa, yang bisa menyelesaikan
perselisihan atas dasar hukum internasional. Opini publik menjadi dasar untuk orde Wilsonian, karena presiden Amerika tidak
membayangkan prospek Liga Bangsa-Bangsa sebagai pemerintahan dunia, melainkan
sebagai kekuatan moral universal.
Walter Lippmann cepat membangun
reputasinya sebagai ahli teori yang paling berpengaruh mengenai peran opini
publik. Dia adalah seorang jurnalis lulusan Harvard dan intelektual publik yang
membantu administrasi Wilson mempersiapkan konferensi perdamaian Versailles dan
mempublikasikan pandangannya secara luas melalui kolom surat kabar, buku, dan
perannya sebagai associate editor pada
sebuah majalah liberal terkemuka, The New
Republic. Lippmann menyadari bahwa intervensi opini dunia itu pasti akan bersifat
intermiten (terputus-putus), dan bahwa orang-orang dengan keahlian tertentu dan
"para penonton yang tertarik" pasti akan memimpin. Namun, warga
negara internasional yang peduli adalah penting untuk memeriksa kekuasaan yang
sewenang-wenang. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi "jalannya
urusan," tapi, tentu saja, publik hanya dapat menjadi aktor yang
dilibatkan dan tidak dapat mengangkat masalah itu dengan sendirinya. Lippmann
menjelaskan: "Opini publik pada ideal tertingginya akan membela
orang-orang yang siap untuk bertindak atas alasan mereka melawan kekuatan yang mengganggu
orang-orang yang hanya menyatakan keinginan mereka."[2]
Tekanan publik, terutama di
Inggris, memberikan kontribusi untuk menuntut Kaiser Wilhelm II dari Jerman
dengan kejahatan perang dan pemimpin Turki dengan kejahatan terhadap
kemanusiaan atas kekejaman yang dilakukan selama pengusiran warga Armenian.[3]
Pertimbangan diplomatik dan masalah yurisdiksi domestik, menyebabkan, dengan
cepat mengalihkan jalannya keadilan, dan tidak ada penuntutan yang berarti terhadap
para pelaku.
Para pembela HAM membentuk komisi
penyelidikan internasional selama periode antara sebagai penangkal terhadap
tidak efektifnya hukum. Panel beranggptakan para intelektual ini meneliti
lembaga-lembaga hukum Nazi Jerman dan Uni Soviet dengan menyelenggarakan dengar
pendapat tentang Reichstag tahun 1933 dan acara persidangan Moskow 1936. Komisi
seperti itu selaras dengan keyakinan Lippmann bahwa orang-orang dengan
pengetahuan khusus dan pendidikan akan berada di garis depan pembentukan opini
publik di bidang kompetensi khusus mereka. Bagian dari masyarakat yang kurang
informasi hanya akan memiliki peran yang kecil dalam mempengaruhi urusan
negara, karena ada kebutuhan untuk "sebuah organisasi ahli independen
untuk membuat fakta-fakta yang tak terlihat dapat dimengerti oleh mereka yang
harus membuat keputusan."[4]
Pendekatan elitis ini persis yang
diadopsi oleh komisi tadi. Anggota mereka bukanlah warga negara rata-rata,
seperti mereka yang bertugas menjadi juri di pengadilan, tapi adalah mereka
yang memiliki kepribadian yang menonjol dengan keterampilan hukum dan memiliki kedudukan
sosial dan politik yang cukup tinggi. Mereka menyadari keterbatasan resmi dari usaha
mereka tersebut tetapi memiliki keyakinan yang kuat bahwa masyarakat akan
mengkompensasi dengan mengerahkan pengaruh mereka terhadap jalannya keadilan.
The Russell
Tribunal melanjutkan tradisi dua tribunal sebelumnya dalam arti memanfaatkan
opini publik sebagai kendaraan bagi perjuangan hak asasi manusia. Ini berbeda, dengan
bentuk hubungan antar negara di bawah hukum internasional -- sehingga setting arena untuk dengar pendapat
nanti yang mengubah hukum tersebut ke arah radikalisme kiri. Dalam teori hukum
yang muncul dari kalangan Kiri Baru, istilah "pengadilan rakyat
internasional" (international people’s tribunals) telah menjadi standar sejak akhir
1970-an. Penggunaan istilah "rakyat" disini dengan konotasi ideologis
dari konsep totaliter dan terroristik tentang keadilan, sayangnya merusak citra
demokrasi yang oleh para pendukungnya coba didorong. Memang, Nazi memiliki "pengadilan
rakyat" yang dapat menjatuhkan hukuman mati pada orang-orang yang dianggap
anti-Hitler dengan cara apapun, dan Brigade Merah di Italia yang mementaskan
"pengadilan rakyat" untuk menentukan nasib pejabat negara yang
diculik. Penelitian ini, dalam rangka untuk menonjolkan norma partisipatif tapi
non-extremis, karena itu akan mengacu pada badan kuasi-yudisial di bawah
pemeriksaan "pengadilan warga internasional" (international citizen’s tribunals).
Tribunal macam ini sekarang
semakin sering dilakukan, dan ruang lingkup mereka semakin luas dengan
memasukkan hak-hak perempuan, hak masyarakat adat, dan hak-hak pekerja. Sebuah
metamorfosis dinamik dari sistem hukum internasional sekarang sedang diupayakan,
tapi hanya ada sedikit perhatian pada fenomena ini. Perbaikan diperlukan dalam
rangka, agar international citizen’s tribunals layak untuk diakui- seperti yang
sudah dievaluasi secara kritis.
Peningkatan Humanitarian
Sebelum abad kedua puluh,
individu-individu hanya menjadi objek dalam sistem hukum internasional yang
berfokus pada negara. Saat ini mereka telah menjadi subyek sebagai akibat dari menurunnya
kedaulatan negara dalam tatanan internasional yang baru. Kekurangan dari hukum
internasional dalam mengatur perilaku negara telah terbukti sejak Sistem Hague (Hague System) gagal mencegah atau
menghentikan Perang Dunia I, dan Liga Bangsa-Bangsa tidak mampu untuk mencegah
Perang Dunia II.
Konflik antara negara telah,
tentu saja, menjadi endemik selama ribuan tahun. Lebih penting bagi
perkembangan hukum internasional meningkatnya kekhawatiran tentang bagaimana
negara, melalui penyimpangan hukum dalam negeri mereka masing-masing, memperlakukan
warga negara mereka sendiri. Nazi Jerman dan Uni Soviet Komunis telah
menggunakan instrumen kekuasaan mereka untuk melakukan represi internal sehingga
konsep totalitarianisme masuk ke dalam kosakata politik. Dalam keadaan seperti
itu, legitimasi tribunal telah dipertanyakan oleh para intelektual liberal yang
menekankan pada cara ketimbang tujuan, dan kebenaran obyektif daripada dogma
ideologis. Hal demikian menjadi wajar saja ketika dua tribunal pada international citizens’ tribunals yang pertama
kali diselenggarakan adalah yang berkaitan dengan Jerman dan Uni Soviet, yang
dibentuk untuk menyelidiki proses hukum dalam konteks berkembangnya
totalitarianisme. Intervensi sementara atas ketidakadilan tersebut masih sedang
dilakukan yang mungkin dapat mempengaruhi proses peradilan atau, setidaknya,
mengekspos kepalsuan yang dilakukan oleh sistem hukum totaliter.
Relatif suksesnya Pengadilan Militer Internasional (International Military Tribunal) yang
diselenggarakan di Nuremberg dan Tokyo setelah Perang Dunia II menandai titik
balik yang penting dalam hubungan negara dan warga negara. Prinsip-prinsip
hukum baru yang diterapkan mengenai yurisdiksi global terhadap masalah internal
dan tanggung jawab individu atas tindakan negara-- termasuk penuntutan pejabat
pemerintah atas tindakan-tindakan yang dilakukan sesuai dengan hukum
nasionalnya. Pembentukan Komisi PBB tentang Hak Asasi Manusia (1946), Konvensi
Genosida (1948), dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi dan Sosial
dan Hak Sipil dan Politik (1966) segera dijalankan.[5]
Tribunal Russell (The Russell Tribunal) terkait perang Vietnam
(1967 ) mencoba melanjutkan tradisi Nuremberg. "Kejahatan terhadap
kemanusiaan" (crimes against
humanity) dan akuntabilitas hukum dari para pejabat pemerintah sepatutnya
diakui. Jadi, juga, adalah pentingnya membangun struktur yuridis baru, seperti tribunal,
yang sebelumnya tidak ada. PBB tidak termasuk badan/lembaga yang berwenang
untuk memeriksa masalah seperti dugaan kejahatan perang Amerika di Vietnam. Dapat
ditebak, Amerika Serikat tidak berniat atas kehendak sendiri untuk menyampaikan
isu itu ke proses evaluasi yang dilakukan oleh panel supranasional, bahkan atas
dasar standar hukum Nuremberg. Ini dikhawatirkan, secara realistis, bahwa
dokumentasi dan fakta yang diajukan sebagai bukti dapat merusak basis etika dari
kebijakan tersebut.[6]
Bagi para pendukung Russell Tribunal, hal itu merupakan
titik kunci. Nuremberg adalah ex post
facto, tapi tribunal mereka berpotensi mengubah tindakan Amerika dan
menghentikan war.[7]
Nuremberg itu dianggap "keadilan oleh para pemenang " (victors’ justice) yang diterapkan oleh para
hakim dari pihak Sekutu, sedangkan Russell
Tribunal termasuk panelis dari Amerika-- meskipun tidak mewakili pemerintahnya.[8]
Hal yang paling signifikan disini adalah, bahwa warga dan bukan negara-negara
yang menjalankan mesin keadilan itu. Russell, mengulang apa dipikirkan oleh Lippmann,
dengan bangga berseru: "Tribunal
kami, harus dicatat, tidak dijalankan oleh kekuasaan Negara. Juga tidak dilakukan oleh kekuatan para
tentara pemenang perang. Tidak ada klaim
lain selain otoritas moral."[9]
Sejak berakhirnya Perang Dingin,
masyarakat internasional telah berusaha untuk menegaskan otoritas bagi
kelanjutan hak asasi manusia. Intervensi militer PBB atas dasar Bab VII
ketentuan Piagam PBB sekarang ditafsirkan sedemikian rupa sehingga tindakan
internal dalam negara dapat dianggap ancaman terhadap perdamaian dan keamanan
internasional karena menciptakan pengungsi lintas batas. PBB juga telah
membentuk tribunal untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia (termasuk
genosida) di bekas negara Yugoslavia dan Rwanda, dan Mahkamah Pidana
Internasional yang baru juga sedang dibentuk. Namun demikian, upaya tersebut
memiliki cacat umum: Amerika yang memegang hak veto di Dewan Keamanan dapat membuatnya
menghindar sebagai target. International
citizens’ tribunals karenanya dapat berfungsi sebagai mekanisme korektif di
mana intelektual publik memobilisasi opini publik dunia terhadap negara-negara
kuat yang sebelumnya terlindung dari sanksi di bawah hukum internasional. Jika
tidak adanya struktur hukum yang efektif dan permanen menjadi masalah, maka tribunal
ini dapat menawarkan solusi yang tepat.
Tantangan Radikal
Tribunal yang menangani the Reichstag fire (pembakaran Reichstag
yaitu gedung parlemen Jerman tahun 1933), Moskow
Trials (pengadilan Moskow ala Stalin tahun 1936-1938), dan Perang Vietnam
didasarkan pada konsep hukum yang agak tradisional. Sekarang sebagian pendukung
tribunal (meskipun sesungguhnya mereka adalah para elit intelektual itu sendiri)
mengajukan visi yang lebih radikal dan populis yang didasarkan pada konsep "demokrasi
transnasional" (transnational
democracy) dan "globalisasi dari bawah" (globalization from below), dan menggambarkan panel-panel itu sebagai
kesatuan dari sebuah "kemunculan masyarakat sipil global" (emerging global civil society). Mereka
menolak globalisasi yang diarahkan dari atas, dan secara pejoratif disebut
sebagai "kapitalisme global." Tujuan utamanya adalah untuk mengubah
hukum internasional sehingga keadilan dapat didasarkan pada menyuarakan mereka
yang dianggap lemah dan tertindas. Sayangnya, ini mungkin dengan mengorbankan
proses hukum.
Spesialis hukum internasional
dari Universitas, Richard Falk, berpendapat bahwa "hukum milik kita
semua" dan "kita harus merebut kembali dari kekuatan destruktif yang
mengkristal dalam politik kekuasaan kekaisaran pada saat ini."[10]
Pengacara dan politisi sosialis dari Italia, Lelio Basso, sekarang sudah meninggal,
mengartikan tribunal sebagai "emanasi dari kehendak rakyat" dan
menyatakan bahwa masyarakat sendiri, bukan negara, harus menjadi lokus
kekuasaan dalam masyarakat internasional. Dia melihat legitimasi tribunal
berasal dari interpretasi atas kesadaran moral.[11]
Harvey Cox, profesor ilmu keagamaan Harvard, sama mendalilkan bahwa hukum alam
harus dilakukan bahkan jika negara tidak menyusun prinsip-prinsip ke dalam
hukum positif. Pemerintah yang gagal melindungi warganya dianggap melanggar hukum
alam/kodrat.[12]
Sesuai dengan interpretasi ini,
warga negara memiliki tanggung jawab sekunder untuk bertindak melawan
ketidakadilan jika negara-negara dan organisasi internasional lalai untuk
melaksanakan tanggung jawab utama mereka. Peraih hadiah Nobel Perdamaian Jose
Ramos Horta dari Timor Leste menyatakan bahwa jika pemerintah tidak membela
hak-hak rakyat, maka "kita harus
menemukan bentuk-bentuk baru dari tindakan yang dibutuhkan."[13]
Klausul Martens dalam Konvensi Den Haag 1907 dikutip sebagai preseden penting.
Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara terikat oleh penggunaan yang berasal
dari "hukum kemanusiaan dan perintah
dari hati nurani publik." Juga disajikan sebagai pembuktian untuk perkembangan
pendekatan radikal ini adalah Pasal 1 dan 55 dari Piagam PBB dan Resolusi
Majelis Umum 1514 (1960) , yang menyatakan bahwa semua orang berhak untuk
menentukan nasib sendiri. Deklarasi Universal Hak-Hak Rakyat (The Universal
Declaration of the Rights of Peoples), dirumuskan di Aljir pada tahun 1976,
berfungsi sebagai fondasi ideologis gerakan radikal dalam hukum internasional.[14]
Richard Falk menyatakan bahwa
"orang-orang di dunia menikmati
kedaulatan tertinggi, termasuk hak untuk memiliki bentuk hukum yang sesuai, dan
untuk membangun institusi dan prosedur sah yang diperlukan."Dia
memandang kedaulatan dalam konteks teoritis Revolusi Perancis, di mana kehendak
rakyat ditekankan dan bahwa negara didiskreditkan. Dalam interpretasinya
tentang kontra traditional mengenai apa yang merupakan hukum internasional,
kedaulatan rakyat secara bertahap diperluas untuk hak kelompok kolektif yang mengacu
pada kedaulatan "rakyat." Falk menggambarkan hukum sebagai senjata "progresif",
sebuah "alat politik" yang digunakan untuk memfasilitasi perubahan
dan dia menyandingkan penafsirannya dengan analis mengenai kelompok "borjuis"
yang menekankan pada prosedur dan beresiko jatuh menjadi hanya "legalisme
kosong." Bagi Falk, hukum harus menjadi sarana pemberdayaan dan itu
termasuk pada perjuangan kelas.[15]
Fakta bahwa hukum "borjuis"dalam masyarakat demokratis berasal dari
pertimbangan para wakil-wakil terpilih tidak disebutkan.
Masalah, seperti yang berhubungan
dengan lingkungan, semakin memperoleh dimensi internasional dan praktik bisnis
perusahaan yang semakin menjadi bersifat transnasional. Undang-undang negara,
menurut ahli teori hukum Sally Engle Merry, karena itu harus diganti dengan
"hukum jamak" (plural law)
yang juga mencakup "hukum adat" dan "hukum hak asasi manusia
global." International citizens’
tribunals dengan demikian menantang keutamaan hukum negara dan menunjukkan
pengakuan dari "gagasan keadilan global." Merujuk pada tribunal
tentang hak-hak masyarakat adat di Hawaii, Merry jelas menghubungkan konsep
hukum dengan aktivisme politik ketika ia mengacu pada perampasan "bentuk
dan simbol hukum dalam upaya untuk memanfaatkan kekuatan dan legitimasi hukum
dalam gerakan perlawanan."[16]
International citizens’ tribunals tidak bisa memaksakan keputusan
mereka yang melampaui batas negara, tetapi kelemahan ini jelas dapat berubah
menjadi keuntungan-- setidaknya secara teoritis. Tribunal tersebut tidak
berhutang budi kepada negara, mereka juga tidak dipengaruhi oleh negara-negara
tersebut. Ketidakberdayaan demikian terbukti dapat menjadi atribut positif, dan
memberi kontribusi bagi legitimasi. Bagaimanapun, militer Sekutu sebagai pemenang
perang yang melakukan pengadilan Nuremberg dan Tokyo-- legitimasi mereka masih
dipertanyakan saat ini. Tribunal harus secara hati-hati dibedakan dengan komisi
kebenaran, meskipun keduanya beroperasi secara terpisah dari sistem pengadilan,
karena pada yang terakhir tadi sanksi dijatuhkan oleh negara, didanai dan
diselenggarakan sebagai investigation resmi.[17]
Gambaran Paralel
Ketika membandingkan international citizens’ tribunals,
isu-isu hubungan masyarakat, waktu, dan efek pada negara yang menyediakan
tempat menjadi sangat penting. Karena tribunal ini tidak memiliki kedudukan
hukum dan mungkin tidak memberlakukan hukuman, dampak hubungan masyarakat
melalui perhatian media adalah kunci untuk memajukan kasus hukum dan moral
mereka. Seperti hasil pengamatan Lelio Basso: "Media massa merupakan saluran utama antara kami dan masyarakat
internasional, yang sekaligus matriks dan lengan eksekutif kami."[18]
Seperti yang akan ditunjukkan, tribunal telah mencoba untuk memaksimalkan
cakupan dengan menekankan peran selebriti seperti Albert Einstein, John Dewey,
Jean-Paul Sartre, dan Simone de Beauvoir, dan dengan mengakui bahwa perhatian
media suatu negara dapat ditingkatkan ketika salah satu warganya yang memiliki kredibilitas
tinggi dapat berperan sebagai anggota tribunal.
Terkait dengan waktu, adalah penting
untuk juga mempertimbangkan apakah tribunal dilaksanaan untuk mempengaruhi
putusan sidang yang sedang berlangsung. Jika demikian, perilaku negara bisa
dimodifikasi dan tribunal dapat memiliki efek jera pada tindakan di masa depan
melalui proses yang sama dengan pemberian sanction.[19]
Sebaliknya, ex post facto tribunal yang
berurusan dengan genosida Armenia tahun 1915 sampai1916 dan perlakuan terhadap
penduduk asli Amerika di abad sebelumnya kurang memiliki dari dampak terhadap kebijakan
kontemporer. Mereka tetap melakukan fungsi penting dari pengakuan publik, atau
bahkan permintaan maaf.
Hal yang perlu dipertimbangkan juga
adalah dampak bagi negara-negara yang menjadi tuan rumah pelaksanaan tribunal.
Apa tujuan kebijakan luar negeri yang ingin dicapai ketika suatu negara
mengizinkan international citizens’
tribunal untuk dilaksanakan di wilayahnya, dan bagaimana sesi tribunal
tersebut berinteraksi dengan perpecahan politik internal yang terjadi negara
itu? Selanjutnya, apa upaya yang dilakukan oleh negara-negara yang dituduh
melemahkan organisasi tribunal?
Tribunal, sejauh ini, memiliki
kekurangan yang telah menghambat keberhasilan, tetapi kebanyakan dari masalah tersebut
dapat diperbaiki. Mereka dibentuk dalam cara yang agak elitis, bukan demokratis,
oleh komite yang menunjuk dirinya dan mencoba untuk mengumpulkan para partisan.
Akibatnya mungkin ada beberapa alasan politis yang tidak diumumkan ke publik selain
dari alasan keadilan, dan panelis dapat dipilih berdasar kecenderungan
ideologis dan bukan semata karena kejujuran hukum mereka. Bertrand Russell yang
telah mencoba untuk menangani isu ini yang menjadi opini sebelum pengadilan diselenggarakannya
tribunal Vietnam, mengakui bahwa mereka diundang untuk dapat memberi keyakinan yang kuat. Dia mempertahankan,
bagaimanapun, bahwa panelis tersebut adalah orang-orang yang memiliki karakter
yang kuat dan dapat bersikap adil. Anda tidak perlu menjadi acuh tak acuh, menurut
Russell, tidak memihak, dan tidak memiliki pikiran yang kosong untuk menjamin adanya
sebuah pemikiran terbuka.[20]
Mungkin dapat saja memang begitu, tapi penampilan mereka yang cenderung memihak dapat merusak kredibilitas tribunal
di mata media-- terutama ketika vonis yang dijatuhkan agak ekstrim, termasuk
temuan genosida, diumumkan. Jelaslah bahwa panelis pada tribunal sering menalankan
tugas mereka dengan keyakinan yang jelas bahwa ketidakadilan telah terjadi.
Daripada mempertanyakan premis-premis dari kasus itu yang perlu mereka
pertimbangkan, mereka lebih peduli dengan pengumpulan bukti yang dapat
digunakan untuk memvonis (effect a remedy).[21]
Hal yang juga diperdebatkan
adalah penolakan umum oleh pendukung tribunal dengan kesetaraan moral. Sama
seperti halnya ketika kejahatan yang dilakukan Sekutu tidak diangkat dalam
pengadilan Nuremberg atau Tokyo, international
citizens’ tribunals yang kemudian ternyata juga tidak ingin
memberikan status yang sama dengan kejahatan oleh mereka yang telah diidentifikasi
sebagai korban. Mereka yang dalam posisi lemah, menurut para pendukung tribunal,
namun mewakili kehendak rakyat dan karena itu mungkin mengambil jalan tindakan
tindakan kekerasan sebagai "perlawanan." Setiap kejahatan perang yang
dilakukan sebagai bentuk perlawanan tidak dianggap memiliki kesetaraan moral
dengan tindakan oleh mereka yang memiliki kekuatan superior dan melanggar
norma-norma internasional secara sistematis.[22]
Namun, kegagalan untuk mengakui tanggung jawab ganda telah menjadi amunisi yang
kuat bagi para pengkritik tribunal.
Meskipun international
citizens’ tribunals bukan
merupakan badan peradilan formal, mereka tetap menekankan kepatuhan terhadap
prosedur hukum dalam rangka meningkatkan legitimasi mereka. Ketika mengevaluasi
keadilan mereka, perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah ada
anggota tribunal yang berkomentar sebelum dengar pendapat tentang masalah kesalahan
(the matter of guilt)? Apakah
pemeriksaan silang pada saksi diizinkan? Adalah panelis absen dari persidangan
selama presentasi bukti? Apakah tuduhan pelanggaran hukum telah memperhitungkan
perbedaan antara apa yang direncanakan terlebih dahulu dan konsekuensi yang
tidak diinginkan? Hal yang juga dapat bermasalah
dalam konteks hukum adalah mengenai partisipasi para tertuduh. Mereka sering
diundang tapi jarang setuju untuk muncul karena apa yang mereka anggap sebagai
forum bias. Kadang-kadang, tribunal menunjuk seorang ahli untuk menyajikan
kesaksian atas nama tertuduh-- namun pasti dari kubu penuntut tetap yang mendominasi
jalannya tribunal. Absennya tertuduh kemudian cenderung menjadi norma (hal yang
umum) dan bukan pengecualian.
Tribunal kadang-kadang sampai
pada keputusan/vonis namun tanpa melalui musyawarah. Hal ini terutama berlaku
dalam hal sesi yang berlangsung hanya satu atau dua hari-- termasuk didalamnya
untuk mendengar pernyataan/testimoni dari para saksi. Hal ini menyebabkan munculnya
kecurigaan bahwa putusan/vonis telah ditentukan sebelumnya, atau bahkan sudah ditulis
sebelum tribunal dimulai. Meskipun tidak secara langsung mengacu pada
pengadilan Reichstag fire, Moskow show trial, dan tribunal Vietnam,
itu sayangnya hal semacam itu terjadi kasus lain. Sebagai contoh, sebuah tribunal
yang menyelidiki bahaya globalisasi mengakui bahwa dakwaan telah disetujui
dengan cepat, tapi mereka membenarkan tindakan tersebut dengan alasan bahwa
para panelis sebelumnya telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang masalah
tersebut dan "tidak mulai lagi dari nol." Lebih jauh, ada juga dugaan
yang kuat bahwa teks dakwaa telah disiapak sebelumnya, yang ditunjukkan oleh
komentar bahwa "panel akan menandatangani surat dakwaan jika mereka setuju
dengan maksudnya" (the panel will
sign the indictment if they agree with its general tenor)[23]
Menerapkan terminologi legalistik
dalam hal ini sering membingungkan. Komisi penyelidikan menonjolkan pencarian
kebenaran karena mereka mengumpulkan bukti dan datang dengan
"temuan;" mereka tidak terlalu menganggap fungsi yuridis, tapi jangan
mencoba untuk mempengaruhi proses hukum yang sedang berlangsung. Sejak dengar
pendapat Russell tahun 1967, istilah "tribunal" --dengan nuansa siding
pengadilan-- telah menjadi standar yang digunakan. Tidak ada klaim mengenai
otoritas aktual atau yurisdiksi, tapi format kuasi-legal ini telah menimbulkan kebingungan
tentang peran anggota tribunal. Karena tidak ada struktur perdebatan hukum
secara formal, mereka mungkin tampak bertindak seperti jaksa. Secara
keseluruhan, di sana tidak akan ada tribunal dan yang ada hanyalah bukti-bukti
kejahatan saja.
Gambaran anggota tribunal sebagai
hakim atau juri adalah bertentangan dengan peran penuntutan.[24]
Hakim cenderung mencerminkan orang yang memiliki pelatihan hukum dan mengajukan
perbedaan pendapat. Juri adalah orang awam yang merumuskan vonis atas dasar
konsensus. Mengacu pada Russell Tribunal, Sartre berkomentar bahwa anggota tribunal
tidak akan mengenakan jubah, karena juri tidak memakai pakaian seperti itu. Namun
Russell sendiri memiliki interpretasi yang agak berbeda, karena melihat para
anggota tribunal lebih sebagai "saksi."[25]
Pengamatan ini sejalan dengan argumen populis radikal bahwa anggota tribunal
tidak harus mengambil tanggung jawab sebagai hakim, karena setiap orang berhak
untuk menghakimi, terutama mereka yang terkena dampak langsung dari masalah
yang disidangkan.[26]
Melihat tribunal sebagai dewan juri mungkin paling tepat (instruktif). Mereka dapat
menyaring melalui bukti untuk menentukan apakah sebuah surat dakwaan harus
disusun, fungsi yang lebih cocok daripada menyiapkan putusan, karena pihak
tertuduh jarang memiliki kesempatan untuk mempresentasikan kesaksiannya.
Refleksi
Pada tribunal Reichstag fire dan Moskow show trial ditekankan hak tertuduh untuk memiliki proses
dengar pendapat yang adil dan tidak
memihak, dengan ketua panel terakhir, John Dewey, menekankan bahwa demokrasi
adalah lebih sebagai proses daripada tujuan.[27]
Dimulai pada Russell Tribunal,
prosedur standar yang pragmatis telah memberikan cara untuk interpretasi yang lebih
didasarkan pada penerapan hukum internasional (dengan kasus Mumia Abu-Jamal
menjadi pengecualian).[28]
ini adalah karena pengaruh dari pengalaman pengadilan Nuremberg, serta upaya
universalisasi pedoman pengadilan. Hal ini penting untuk mengenali,
bagaimanapun, bahwa kerangka hukum sejak Russell
Tribunal telah didasarkan pada perkembangan baru dalam interpretasi radikal
atas hukum internasional yang ditolak oleh banyak kalangan tradisionalis.
Tribunal telah bergeser dari pemeriksaan atas kesalahan dalam menegakkan keadilan (examinations of
miscarriages of justice) terhadap individu tertentu menjadi dakwaan yang lebih
luas terhadap "sistem." Anti-kapitalis, sikap dekonstruksionis secara
jelas hadir dalam deskripsi mengenai tribunal berikut ini: "Mereka
membantu pindah ke pengetahuan yang lebih dalam, menjalin bersama-sama analisis
obyektif dengan kesaksian subjektif, pribadi dengan politik, menantang logika mengenai
wacana dominan hak asasi manusia, pembangunan, globalisasi, dari semua yang
hegemonik dan berkuasa."[29]
Pada intinya, tribunal telah menjadi senjata dari kaum kiri radikal dalam
pertempuran melawan "kapitalisme global"; jika negara-negara dapat
bersatu untuk menciptakan kerangka G-7, maka anti-kapitalis dapat melawannya
dengan tribunals.[30]
Sampai dengan contoh yang barusaya terjadi yaitu dengar pendapat tentang
komunisme Lithuania, tidak ada tribunal yang memiliki agenda politik sayap
kanan dan infrastruktur untuk tribunal telah disediakan oleh kaum radikal
melalui tribunal Russell II, Lelio Basso International Foundation yang berbasis
di Italia, dan Permanent People’s Tribunal.
Para pendukung tribunal mendorong pendekatan baru dalam
hukum internasional untuk mengidentifikasi faktor kelembagaan yang menjadi penyebab
masalah, dan mengkritik kaum liberal yang mereka tuduh telah gagal untuk
melakukannya, meskipun mereka sadar akan efeknya.[31]
Konflik antara penekanan pada tujuan ideologi
dan dan konsentrasi kaum liberal pada cara mencapai tujuan, sekarang menjadi
ciri dari pola sebelumnya. Sedikit perhatian perlu diberikan pada Arthur
Garfield Hays dan John Dewey, para pendukung liberal dari dengar pendapat Reichstag fire dan Moskow show trial.
Berkembangkannya hubungan antara international
citizens’ tribunals dan platform populis radikal memiliki dampak negatif dalam
hal hubungan masyarakat, yang ditunjukkan dengan berkurangnya perhatian media
terhadap sejumlah kasus belakangan ini.
International
citizens’ tribunals mengisi kebutuhan dalam sistem keadilan saat ini, dan
tidak mengherankan bahwa jumlah mereka teru bertambah. Melalui pemeriksaan tiga
contoh terobosan (path breaking) di abad kedua puluh lalu, ditambah sejumlah
proses dengar pendapat pada beberapa tahun terakhir, penelitian ini mencoba
untuk mengeksplorasi mengapa tribunal dibentuk, oleh siapa, prosedur apa yang
mereka mengadopsi, dan apa hasil yang mereka hasilkan. Tujuannya adalah untuk
mengidentifikasi cacat, dan kemudian mengusulkan solusi yang dapat memperkuat
proses. Tribunal memang dapat berkontribusi untuk kepentingan publik, dan
kondusif terhadap memajukan masyarakat sipil, tapi pertama mereka harus
menjalani reformasi dan kembali ke prinsip dasar dalam mempromosikan
nilai-nilai demokrasi dan keadilan tanpa memandang perbedaan ideologi (the ideological blindness of justice).
[1] Sajak Ogden Nash dikutip dari memo Joseph Califano kepada Lyndon
Johnson, 12 January 1967 (White House Central Files, box 339, nama file [Russell],
LBJL).
[2] Walter Lippmann, The
Phantom Public (New York: Harcourt, Brace,
1925), pp. 55, 69–70, and 197.
[3] Henry Kissinger, Diplomacy
(New York: Simon and Schuster, 1994),
pp. 232, 235, and 247 and Gary Jonathan Bass, Staying
the Hand of Vengeance (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 2000), chapters 3 and 4.
[4] Walter Lippmann, Public
Opinion (New York: Macmillan, 1947), pp. 31 and
408. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1922.
[5] Genosida
disebutkan pada pengadilan Nuremberg, tapi tidak termasuk dalam dakwaan
terhadap terdakwa dan bukan merupakan konsep hukum yang operatif. Untuk diskusi
tentang evolusi konsep genosida dan penerapannya di pengadilan, lihat Arthur Jay Klinghoffer, The International Dimension of Genocide in Rwanda (London: Macmillan, 1998).
[6] John Duffett, ed., Against
the Crime of Silence (New York: Simon and Schuster,
1970), p. 33; Frank Browning and Dorothy Forman, eds., The Wasted Nations (New
York: Harper and Row, 1972), pp. vii–viii; dan Ebbe Reich, Ekstra Bladet, November
22, 1967.
[7] Duffett, p. 650.
[8] Russell in Duffett, p. 4 and Sartre in
Duffett, p. 44.
[9] Bertrand Russell, War
Crimes in Vietnam (London: Allen & Unwin,
1967), p. 125.
[10] Richard Falk adalah terotisi hukum yang paling menonjol
dalam isu international citizens’ tribunals.
Lihat The International People’s Tribunal, The
People vs. Global Capital (New York: Apex, 1994) dan
Marlene Dixon, ed., On Trial: Reagan’s War Against Nicaragua (San Francisco: Synthesis, 1985), p. 20. Lihat
juga James Crawford, “Negotiating Global Security Threats in a World of Nations,”
American Behavioral Scientist, Vol. 38, No. 6 (May 1995)–available in EBSCO.
[11] Lelio Basso, “Inaugural Discourse,” in William Jerman, ed., Repression in Latin America (Nottingham: Spokesman Books, 1975), pp. 4–5.
[12] Harvey Cox, “Foreword,” in Dixon, pp.
ii–iii.
[13] “The 1997 People’s Summit on APEC,”
http://www.vcn.bc.ca/summit/popindex.htm; Permanent People’s Tribunal, A Crime of Silence: The Armenian Genocide (London: Zed, 1985), p. 242; and Gunnar Myrdal in Browning
and Forman, pp. vii–viii.
[14] Guenther Lewy, America
in Vietnam (Oxford: Oxford University Press, 1978),
pp. 224–25; Basso in Jerman, p. 5; dan Bill Bowring, “Socialism, Liberation
Struggles and the Law,” http:// members.netscapeonline.co.uk/suzyboyce1/files/book1/3_9.htm
[15] The International People’s Tribunal, p. 4, and interview
with Richard Falk, March 6, 2001.
[16] Sally Engle Merry, “Resistance and the Cultural Power of the
Law,” Law and Society Review, Vol. 29, No. 1 (1995)—available in EBSCO.
[17] Duffett, pp. 15 and 43; Russell autobiography, p. 215; and
Jean-Paul Sartre, “Imperialist Morality,” New
Left Review. no. 41 (January–February 1967): 10. Untuk
analisis yang sangat baik tentang komisi kebenaran, lihat Priscilla Hayner, Unspeakable Truths: Confronting State Terror and
Atrocity (New York: Routledge, 2001), especially
pp. 14, 16, 23, and 239.
[18] Basso in Jerman, p. 9.
[19] Priscilla Hayner menyatakan bahwa komisi kebenaran yang memeriksa
kesalahan masa lalu harus dievaluasi, sebagian, atas dasar dampak kemudian
mereka. Lihat Hayner, p. 252. International
citizens’ tribunals, sebaliknya, berusaha untuk memiliki dampak yang lebih
langsung karena mereka yang berharap untuk menghentikan ketidakadilan sementara
hal itu masih berlangsung. Tentu saja, ini adalah tugas yang sulit, karena
mengorganisir pengadilan memang memakan waktu.
[20] Bertrand Russell, The
Autobiography of Bertrand Russell, Vol.
III, 1944–1967 (London: Allen dan Unwin, 1969), p. 216; Russell, War Crimes in Vietnam, p. 126; and National
Guardian, December 3, 1966.
[21] Falk interview.
[22] Dalam bahasa Perancis, tanpa keterangan penulis (10.5/384,
BRA), dan Russell, War Crimes in Vietnam, p. 127.
[23] The International People’s Tribunal,
pp. 5 dan 8.
[24] Duffett, p. 6; Russell, War
Crimes in Vietnam, p. 127; and The
International People’s Tribunal, p. 1.
[25] Duffett, pp. 32 and 315.
[26] Diana Russell dan Nicole Van de Ven, eds., Crimes Against Women: Proceedings of the International
Tribunal (Millbrae, CA: Les Femmes, 1976), p. 240
dan The International People’s Tribunal, p. 123.
[27] Xenia Zeldin, “John Dewey’s Role in the 1937 Trotsky
Commission,” Public Affairs Quarterly, Vol. 5, No. 4 (October 1991): 393.
[28] Mumia Abu-Jamal adalah seorang Afro-Amerika radikal yang dihukum
pada tahun 1981 karena membunuh seorang perwira polisi Philadelphia, dan dijatuhi
hukuman mati. Banding telah menyelamatkannya dari hukuman tersebut.
[29] http://www.grisnet.it/filb, p. 10. This passage appears in a
commentary supporting a tribunal investigating sweatshop labor practices.
Bagian ini muncul dalam sebuah komentar yang mendukung
pengadilan yang menyelidiki praktek kerja sweatshop.
[30] The International People’s Tribunal, p.
124.
[31] The Citizens Commission of Inquiry, The Dellums Committee Hearings on War Crimes in Vietnam (New York: Vintage, 1972), p. 335.
Catatan dari penerjemah:
- Kangaroo court adalah istilah untuk pengadilan yang tidak resmi dan tidak regular (an irregular unauthorized court).
- Kangaroo Court adalah juga digunakan sebagai judul lagu dari sebuah grup musik bernama Capital Cities.
- Ex Post Facto adalah terkait dengan penelitian untuk menyelidiki peristiwa yang telah terjadi, dan selanjutnya merunut ke belakang untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab peristiwa tersebut.
- Sweatshop adalah industri di mana buruh bekerja di pabrik dengan kondisi kerja yang buruk, upah rendah dan jam kerja yang panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar