Candra Kusuma
Belum lama ini, saya baru saja
selesai membaca sebuah buku yang terbilang cukup baru dari hasil penelitian antropologis
mengenai perubahan sosial di kalangan menengah urban Indonesia. Buku dimaksud
berjudul In Search of Middle Indonesia:
Kelas Menengah di Kota-kota Menengah (2016) yang dieditori oleh Gerry van Klinken
dan Ward Berenschot, yang merupakan terjemahan dari In Search of Middle Indonesia: Middle Classes in Provincial Towns
(2014). Keduanya, terutama Klinken, telah banyak meneliti mengenai lokal
politik, konflik dan perubahan sosial di Indonesia.
Perubahan sosial di Indonesia memang
telah dan tengah berlangsung demikian cepat dalam beberapa dekade terakhir,
hingga kerap tidak disadari bahwa telah banyak hal yang “berbeda” dari gambaran
klasik tentang Indonesia masa kolonial, pra kemerdekaan, masa-masa awal
kemerdekaan, dan sampai saat sekarang ini. Tidak hanya di kota-kota besar,
perubahan –apakah itu betul diinginkan atau tidak, dan apakah itu kemudian
memang dipandang membawa dampak yang baik atau buruk— berlangsung jauh sampai
ke pelosok-pelosok. Kemajuan pengetahuan dan teknologi, meningkatnya pendidikan
dan ekspektasi sosial, globalisasi, berkembangnya transportasi massal yang
lebih banyak, cepat dan terjangkau, penggunaan media massa dan media sosial
yang massif, meningkatkan kebutuhan serta berkembangnya “gaya hidup”, telah
turut mendorong dan mempengaruhi proses tersebut.
Buku ini menggambarkan kondisi
kelas menengah di beberapa kota menengah
di Indonesia.
-----
“Kelas Perantara”: Kelas “baru” antara borjuis dan proletar
Konon, istilah kelas menengah sudah muncul dalam karya
Euripides, seorang filsuf Yunani Kuno. Definisi kelas menengah berkembang dan
bervariasi di kalangan pemikir, lembaga dan lapangan pengetahuan (ekonomi,
ekonomi-politik, antropologi, dll.). Ada
yang hanya berbeda tipis, namun banyak pula yang justru saling konttradiktif (Tarkhnishvili &
Tarkhnishvili, 2013).
Bahkan, penggunaan terminologi
dan konsep “kelas menengah” untuk sebagian orang masih diperdebatkan dan
dianggap tidak ada “akar teori”-nya. Dapat dipahami jika para penganut Marxis
klasisk menolak konsep kelas menengah ini. Bagi mereka, kelas menengah adalah
konsep yang dikonstruksi oleh kelas kapitalis kepada kelas pekerja sebagai buah
dari adanya booming ekonomi yang
mengakibatkan adanya peningkatan upah dan kondisi kerja, yang berujung pada
berkurangnya potensi konflik kelas.
Teori kelas dalam tradisi Marxian
klasik pada dasarnya memang hanya mengenal adanya dua kelas sosial di
masyarakat, yaitu kelas pemodal (kapitalis, borjuis, atau upper class) dan kelas pekerja (buruh, proletar, atau lower class) saja (lihat Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy,
1991). Namun, pandangan Marx tersebut telah dikritik dan dikembangkan lebih
lanjut oleh Max Weber, Dahrendorf,
dan pemikir sosial lainnya. Salah seorang pemikir yang gagasannya menginspirasi
buku ini adalah Michael
Kalecki, seorang ekonom asal Polandia, yang menawarkan pandangannya tentang “kelas
perantara” atau intermediate-class.
Dalam hal ini Kalecki (1972:163)
menggambarkan “kelas perantara” sebagai:
“sebuah kelas yang ditandai dengan kurangnya
kontradiksi antara tenaga kerja dan modal sebagaimana dilawankan dengan
konsepsi Marxis klasik tentang kelas dalam konteks transisi di Mesir dan
Indonesia ke kapitalisme matang… Akumulasi kelas perantara erat terhubung ke
Negara karena kendala modal kelas ini dan pasar yang tidak sempurna. Oleh
karena itu, kepentingan kelas-kelas perantara ini berhimpitan dengan
kapitalisme negara” (Tidey dalam Klinken dan Berenschot, 2016:118).
Dalam pandangan Kalecki,
negara-negara tersebut dapat disebut “intermediate
regimes”, di mana kelas perantara yang juga merupakan borjuis kecil (petit bourgeoisie) menempati ruang
antara kelas kapitalis dan kelas pekerja, dan yang terdiri dari kelas menengah
perkotaan dan kaum tani kaya di perdesaan, yang secara faktual memegang
kekuasaan negara.
Menurut Ben White, yang juga
turut memberi semacam tinjauan teoritik dalam buku ini, Kalecki menggunakan
istilah “kelas-kelas perantara” yang merujuk pada beberapa hal berbeda: (a)
“kelas menengah-bawah dan orang desa yang kaya” (Kalecki 1972:162); (b) “orang
miskin desa dan kota”; (c) “kelas-kelas menengah-atas yang diasosiasikan dengan
modal asing dan pemilik tanah feudal” (Kalecki, 1972:164-165); (d) “borjuis
kecil” (Kalecki, 1972:167) (Klinken dan Berenschot, 2006:58).
Sebagai contoh, Nicolaas Warouw,
salah seorang peneliti yang tulisannya masuk dalam buku ini, mengutip Barbara
Harriss-White (2003:241) yang mengaplikasikan konsep “kelas perantara” (intermediate class)-nya Kalecki dalam
penelitiannya di India, sebagai “sebuah
koalisi longgar yang terdiri dari kelas kapitalis skala kecil, elite agrarian
dan elite agribisnis lokal, dan pejabat negara di daerah… Koalisi ini bertujuan
untuk mendapatkan akses ke “sumber daya negara” dan “konsesi dengan
mempengaruhi kebijakan dalam pelaksanaannya” (h.72).
Menurut White, penggunaan
perspektif makro-meso-mikro bisa sangat berbeda dalam melihat keberadaan kelas-kelas
sosial tersebut: “Ketika didefinisikan
dengan cara ini, kelas-kelas tersebut bisa dilihat sebagai “perantara” dalam
struktur nasional yang lebih besar, namun ketika dilihat dari bawah atau level
lokal, mereka lebih mirip seperti elite desa dan elite kota kecil. ” White berpendapat
bahwa tidak masalah bagaimana peneliti mendefinisikan sebuah kelas, sejauh dia
juga mampu meneliti relasi antar kelas
tersebut. White mengutip Thompson (1963)
yang menyatakan bahwa “kelas seperti juga
modal, adalah sebuah relasi, bukan “barang.” Karena itu menurutnya kelas-kelas
hanya bisa dipahami dalam relasinya dengan kelas lain, yaitu apa yang mereka
lakukan bersama dan pada yang lain. Dalam hal ini White menyarankan bahwa: “…seyogianya kita tidak berfokus melulu pada
kelompok-kelompok modal atau “perantara” sembari mengesampingkan dua ujung yang
lain… (Sebaliknya) kita tidak bisa
hanya berfokus pada relasi antara “elite” dengan “massa” dan justru
meninggalkan yang-di-tengah.” Persoalan yang lebih krusial, adalah
mencermati untuk siapa kota itu ada. Bagi White, perdebatan tentang “kelas
perantara” sebenarnya berbicara tentang bentuk masa depan dari masyarakat desa
dan kota: “siapa yang akan memiliki
kawasan pedesaan, dan perkotaan?” (h.58-59).
Namun, dalam buku ini Klinken dan
Berenschot memang tidak menawarkan atau menggunakan satu definisi baku atau
baru tentang apa yang dimaksud “kelas perantara” dan “kelas menengah”. Bahkan
mengenai “kelas” sendiri, Klinken hanya memberi gambaran umum saja, bahwa “kelas menghububungkan kepentingan materialis
yang lebih atau kurang koheren dari sekelompok besar orang… (yang dapat
dikenali) ketika para anggotanya
bertindak secara politik dengan cara yang sama, bahkan sekalipun mereka tidak
menyadari kesamaan mereka” (h.4). Namun dalam penelitian maupun penulisan
buku ini, tergambar bagaimana relasi dan dinamika sosial, ekonomi dan politik
antara lapisan masyarakat yang ada.
-----
Middle Indonesia: Indonesia
di kota-kota menengah
Gagasan tentang Indonesia
Menengah (Middle Indonesia) yang
digunakan dalam buku ini, juga diinspirasi dari ide tentang Middle America (diantaranya lihat Lynd
and Lynd, 1929), Middle England
(Girling, Loader dan Sparks, 2000), Middle
Australia (Pusey, 2003), Middle India
(Harris-White, 2016), dll., yang pada dasarnya menggambarkan situasi sosial di
kota-kota menengah di berbagai belahan dunia, yang untuk Indonesia adalah yang
mewakili kehidupan masyarakat di kota-kota provinsi.
Menurut Ben White, ketika
membicarakan tentang Indonesia Menengah, berarti yang dipelajari dan dibicarakan
adalah sejumlah isu dan proses sosial dalam kota-kota menengah –bukan kota-kota
besar macam Jakarta, Surabaya atau Medan-- (h.58). Penelitian yang disponsori
oleh KITLV Belanda ini merupakan studi etnografi yang dilakukan di kota-kota
menengah (provincial towns), yang
lebih melihat persoalan relasi dan politik ketimbang sekedar aspek ekonomi
semacam pola konsumsinya semata (h.2).
Klinken dkk. menggunakan
terminologi “Indonesia Menengah” untuk menggambarkan bagian Indonesia yang saya
sebut sebagai menjadi “wilayah antara”, sekaligus “menunjukkan fungsi mediasi antara dua ekstrem –antara atas dan bawah,
atau pusat dan pinggiran.” Menurut Klinken, makna kedua tadi mencerminkan
sisi gelap dari kelas tersebut, dimana kelas
menengah juga sekaligus berperan sebagai aktor yang mengekstrak surplus
dari desa-desa atau pedalaman. Selain itu, umumnya mereka juga berperan sebagai
perantara (broker) dalam memediasi penerapan
tertib administrasi pusat di daerah (h.9).
Persiapan dan pelaksanaan
penelitian ini cukup panjang, yaitu tujuh tahun (2005-2012). Ada lima kota
menengah yang menjadi lokasi penelitian, yakni: (1) Pekalongan dan Cilegon,
yaitu dua kota di Jawa dengan sektor swasta yang besar; (2) Ternate dan Kupang,
kota di luar Jawa dengan kelas menengah yang didominasi oleh pejabat/pegawai
daerah; (3) Pontianak, kota di luar Jawa dengan perekonomian campuran
negara-pasar (h.13).
-----
Kelas menengah di Indonesia Menengah meningkat pesat
Hasil penelitian menunjukkan
adanya kelas menengah yang berbeda dari logika statistik mengenai
kelompok-kelompok pendapatan tertentu. Dalam pandangan Klinken: “kelas pada dasarnya bukan merupakan
pertanyaan tentang pendapatan dan kategori pengeluaran. Kelas adalah sebuah
konsep politik, yang dimaksudkan untuk menjelaskan mengapa perbedaan tetap
terjadi antara perilaku orang-orang kaya dan miskin terhadap hal-hal yang bukan
merupakan kebaikan bersama” (h.2).
Klinken mencatat bahwa dalam
studi-studi sebelumnya, yang dimaksud sebagai kelas menengah oleh para peneliti
sesungguhnya adalah para “borjuasi
nasional yang terlindung secara aman dalam komunitas-komunitas mereka di
pinggiran Jakarta.” Namun dalam
studi-studi terakhir ini, ada pemaknaan baru mengenai kelas menengah, yaitu
sebagai: “sebuah kelompok yang lebih luas
dari rakyat Indonesia jelas-jelas mendorong politik baru yang mengarah pada
otonomi daerah yang demokratis, dunia media yang demokratis, ketegasan Islam
konservatif, dan (untuk tidak mengabaikan sisi gelap) bentuk-bentuk baru
korupsi dan ketegangan komunal” (h.3).
Ternyata, kelas menengah di
Indonesia lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya. Ada semacam konsensus
di kalangan para ahli sejak dekade 1980-an bahwa yang termasuk dalam kelas
menengah Indonesia hanya sekitar 10% saja dari seluruh populasi. Dalam
perspektif yang digunakan Klinken mengenai proporsi masyarakat yang menjadi
konsumen dan peran politik mereka, maka kelas menengah Indonesia jauh lebih
besar dari angkat tersebut. Namun Klinken juga mengkritisi penyederhanaan bahwa
semua yang berpendapatan di atas US$2 per hari dapat disebut sebagai kelas
menengah, karena tidak dapat menggambarkan upaya mereka untuk keluar dari
kemiskinan dan berupaya dapat secara permanen tidak mengalami kemiskinan lagi (h.3-4)
Dalam diskusi buku ini pada
tanggal 5 Maret 2016 di Yayasan Pustaka Obor - Jakarta, Klinken menyatakan
bahwa saat ini Indonesia didominasi oleh mereka yang disebut kelas menengah di
kota-kota menengah. Jumlah kelas menengah ini diperkirakan sekitar 45-50% dari
total jumlah penduduk Indonesia. Kebanyakan mereka baru keluar dari jerat
kemiskinan.
Dari segi pekerjaan, kelas
menengah yang tinggal di kota-kota menengah merupakan campuran antara pegawai
pemerintahan dan wiraswasta/pengusaha lokal, yaitu para birokrat, pedagang,
pengusaha menengah, pegawai dan professional. Meskipun bagi masyarakat kota
besar pekerjaan dan posisi sosial mereka termasuk kelas menengah-bawah, tapi
dalam kota mereka sendiri mereka lebih cenderung dilihat sebagai kalangan“elite”.”
Klinken dkk. sendiri cenderung menyebut kalangan tersebut sebagai kelas
menengah (bawah) atau lower middle class
(h.21).
-----
Demokrasi patronase
Dalam pandangan Klinken, kelas
menengah di daerah ini juga berperan besar dalam proses demokratisasi di saat
dan sesudah “Reformasi 1998.” Menurutnya, dorongan kuat terhadap proses
desentralisasi di tengah-tengah semangat demokratisasi yang mengikutinya
tidaklah berasal dari elite nasional, tetapi justru berasal dari kelas menengah
provinsi yang lebih luas. Karena itu, dalam penelitian ini Klinken dkk. juga
memotret gambaran dari peran politik kelas dalam demokratisasi dan
desentralisasi di daerah. Ideanya adalah “memperluas
pandangan kita tentang masyarakat yang aktif secara politik untuk memasukkan
orang-orang yang merasa jauh lebih nyaman bersama kelompok besar orang miskin
daripada dengan apa yang telah dilakukan elite nasional” (h.3).
Dalam konteks ini, Klinken
mengutip hasil kajian Rueschemeyer, Huber Stephens, dan D. Stephens (1992) mengenai
peran kelas menengah yang ambivalen dalam menanggapi proses demokratisasi.
“…demokrasi terwujud bukan karena kapitalis
menginginkannya melainkan karena kelas-kelas sosial yang kurang beruntung
mendorongnya. Kapitalisme menghasilkan kontradiksi-kontradiksi, dan semua
kontradiksi itu pada gilirannya meningkatkan tuntutan untuk kesetaraan politik
oleh kelas non-elite dan koalisi kelas. Di mana kelas pekerja memberikan
sebagian besar energi untuk tuntutan ini, reformasi demokrasi pun paling
berkembang. Kelas menengah lebih bersifat ambivalen. Mereka akan menolak demokrasi
jika itu berarti juga memberdayakan orang miskin, tapi akan mendukungnya jika
itu berarti mendapatkan keunggulan atas kelas borjuasi nasional, terutama
menyangkut isu-isu daerah. Persis peran ambivalen inilah yang dimainkan kelas
menengah Indonesia sejak kemerdekaan” (h.7)
Di Indonesia sendiri, peran kelas
menengah dalam proses demokratisasi menunjukkan karakter yang sangat teritorial,
sehingga memerlukan kajian yang lebih bersifat spasial dan perspektif geografi
politik (h.7). Sebagai gambaran, saya merujuk pada pandangan Cox (2002:29), yang
berpendapat bahwa perspektif geografi politik (political geography) mencakup dua konsep kembar tentang wilayah (territory) dan teritorial (territoriality). Teritorial adalah
tindakan yang di desain untuk mengawasi dan mengendalikan sejumlah area, yaitu
wilayah tadi. Perspektif ini melihat hubungan antara ruang (space) dan politik. Sementara Jones,
Jones dan Woods (2004:2-3) memaknai perspektif tersebut sebagai interseksi
antara ilmu politik dan geografi, yang membahas hubungan antara kekuatan (power), politik dan kebijakan (policy) --yang menjadi domain ilmu
politik--, dengan ruang (space), tempat
(place) dan wilayah (territory) –yang merupakan domain
geografi--.
Klinken menyimpulkan, bahwa
meskipun relatif mampu berasimilasi dengan elit nasional, akan tetapi kelas
menengah di kota menengah ini cenderung hanya memiliki cakrawala terbatas dan
daya ekonomi yang juga retan. Namun pengaruh mereka di tingkat lokal mampu
memberi mereka daya tawar untuk melakukan bargaining
positition terhadap aktor maupun kekuatan ekonomi dan politik nasional.
“Latar alamiah untuk kelas menengah yang
memberikan tekanan uap politik baik bagi demokrasi maupun desentralisasi
bukanlah monopolis yang berjangkauan global, melainkan kota-kota menengah…
Mereka hanya sebagian berasimilasi dengan kaum borjuasi nasional. Mereka bisa
saja berbagi aspirasi konsumeris global dengan elite, tetapi kepentingan
ekonomi mereka berbeda. Dari segi pendapatan mereka kurang aman, jaringan
hubungan mereka lebih bersifat lokal (di mana jaringan itu mungkin lebih intens
daripada di kota besar), agama mereka lebih konservatif—singkatnya cakrawala
mereka lebih terbatas. Namun demikian, kontrol mereka atas kota memberi mereka
pengaruh yang bersifat nasional yang menutupi kenyataan bahwa sebenarnya dari
segi kesejahteraan mereka kurang aman” (h.8).
Kelas menengah di kota menengah ini
merupakan kekuatan politik yang menjadi perantara (broker, middlemen) antara ranah formal maupun informal, baik dari pusat
ke pemerintah dan rakyat di daerah, maupun sebaliknya, dari daerah ke
pemerintahan pusat (h.24). Dengan kata lain, para broker birokrat-politisi—dan-buruh tersebut, dapat memainkan
kekuatan mereka dalam sistem hubungan sosial yang informal di mana mereka memiliki
kekuatan dan pengaruh, baik sebagai operator politik, memudahkan urusan
administrasi, memperoleh tender atas proyek pembangunan, akses lapangan kerja, outsourcing buruh industri, penggunaan
dana CSR, dan lainnya (h.25). Relasi yang dikonstruksikan oleh dan/untuk kelas
menengah ini cenderung bersifat klientelistik (patron-client), baik ke atas (ke aktor pusat) maupun ke bawah
(kalangan masyarakat biasa atau miskin).
“”Orang Besar” lokal… pemimpin agama dan
tokoh-tokoh masyarakat lainnya… sangat penting untuk negara sebagai operator
politik karena mereka menguasai wilayah di mana pemerintah pusat perlu memiliki
akses juga. Proses formasi negara yang mereka wakili menyerupai “politik yang
terpusat pada orang kuat”… dan otoritas jalanan yang begitu penting untuk
pemerintahan…” (h.31)
Banyak kelompok menengah di kota
menengah ini akibat minimnya pembangunan industri dan sektor jasa, pada
akhirnya menggantungkan diri pada sumber daya negara khususnya kontrak-kontrak
proyek pemerintah (APBN/APBD) maupun dari subsidi.
“Secara historis kelompok yang aktif secara
politik ini dihasilkan oleh negara –mereka adalah guru, pegawai pemerintah,
polisi, dan mitra bisnis pribadi mereka… kemakmuran orang-orang di sektor
swasta juga tergantung pada hubungan dengan negara melalui kontrak-kontrak dan
subsidi dari pemerintah” (h.38).
Jadi, bagi kelas menengah di kota
menengah, desentralisasi dan demokratisasi dimaknai secara sepihak dan parsial,
sejauh dapat memberi keuntungan bagi mereka. Klinken menyimpulkan bahwa secara
umum Indonesia Menengah mendukung dan menyukai demokrasi dalam bentuk otonomi
daerah, di mana kewenangan daerah menjadi lebih besar. Bagi para elit daerah, demokrasi
telah menawarkan banyak kesempatan yang tidak akan mereka miliki di bawah rezim
yang lebih terpusat (h.32).
Disinilah sikap kelas menengah di
Indonesia Menengah menjadi ambivalen. Alih-alih mendorong makin terbukanya
ruang partisipasi masyarakat di daerah, kelas menengah ini justru mengharapkan
adanya peningkatan kekuasaan dan peran negara dalam menguasai dan
mendistribusikan sumber daya negara maupun pasar yang diatur oleh negara. Menurut Klinken, hal ini yang membedakan
kelas menengah di kota menengan dari kaum borjuis nasional yang sebelumnya
sudah memiliki semua yang mereka inginkan di bawah Orde Baru (h.39).
“Politik di mana para anggota dari kelas
menengah perkotaan ini terlibat bukanlah tentang mengurangi kekuasaan negara
atas hidup mereka, melainkan tentang mendapatkan kontrol yang lebih langsung
atas sumber daya negara. Juga bukanlah tentang memberikan pasar lebih banyak
ruang untuk bernafas, melainkan tentang meningkatkan kekuasaan negara untuk
mendistribusikan keuntungan pasar kepada para pemain non-pasar” (h.30).
Klinken menyebut fenomena semacam
itu sebagai “demokrasi patronase” (h.39). Di mana secara formal di permukaan
ada satu sistem dan struktur demokrasi yang diakui dan sampai tingkat tertentu
masih menjalankan fungsinya secara minimalis, namun dalam realitanya relasi patron-client lah yang menjadi penggerak
utama pemerintahan, politik dan sosial-ekonomi daerah. Kondisi tersebut
menciptakan “defisit demokrasi” (lihat juga Klinken, “Demokrasi Patronase
Indonesia di Tingkat Provinsial,” 2014).
“Kebanyakan institusi pemerintah daerah dan
pasar “melekat secara sosial” dalam jejaring patron klien tersebut. Jejaring
tersebut bersifat baik integratif (dengan menghubungkan orang-orang mereka
membangun modal sosial) maupun menindas (mereka sering mencegah warga dari
mengklaim hak-hak mereka). Interaksi ini menghasilkan jenis bisnis dan politik
khas yang dengannya kota-kota menengah ini dikenal – kientelistik, anti-liberal
dan, kadang-kadang, intimidatif. Para operator “kelas menengah”… memobilisasi,
memberikan patronase dan mengancam para pesaing dengan kekerasan, yang mana
semuanya itu merupakan upaya untuk memonopoli akses kepada kontrak negara untuk
jaringan mereka sendiri” (h.29).
Klinken menyimpulkan bahwa kelas
menengah ini cenderung hanya memperhatikan kepentingannya saja. Mereka
menikmati demokrasi tetapi menggunakan keterampilan politik dan jaringan
patronasenya untuk membuat sistem itu menguntungkan mereka sendiri, yang tidak
selalu menguntungkan baik bagi elite nasional maupun orang miskin (h.40). Dominasi
elit dan besarnya pengaruh kelas menengah tersebut membuat mereka menjadi semacam
“representasi negara” di daerah, dan turut mempengaruhi lemahnya kekuatan
masyarakat sipil di kota-kota menengah.
“Masyarakat sipil juga tetap belum
benar-benar terbentuk, … (meskipun) tanda-tanda
itu muncul ketika demokrasi elektoral menjadi lebih rutin di tingkat lokal.
Masyarakat kota menengah didominasi, bukan oleh warga negara yang bebas untuk
berbicara tentang kebenaran hingga kekuasaan, melainkan oleh aktor-aktor
kolusif, blok-blok birokrat Gramscian, legislator, pengusaha, aktivis LSM, dan
wartawan yang telah menjadi negara di kota mereka” (h.29).
Namun, dari hasil penelitian
tersebut ditemukan juga adanya sejumlah kasus di mana masyarakat keberatan dan
menolak peran para patron atau “elit” daerah, karena merasa bahwa proses
demokratisasi yang tengah berlangsung membuka ruang dan memberi mereka
kesempatan untuk secara langsung mengakses sumber daya negara (h.29).
-----
Pemburu rente
Globalisasi, desentralisasi dan
demokratisasi turut mempengaruhi tumbuhnya kelas menengah di kota menengah. Bukan
hanya di sektor formal, menurut Klinken, globalisasi ini juga mendorong
berkembangnya sektor ekonomi informal di Middle
Indonesia. Bukan hanya yang legal, namun yang illegal pun turut meningkat daya jelajahnya.
“Globalisasi sebenarnya merangsang pertumbuhan
di sektor informal lebih daripada menggembosnya, ketika orang-orang pindah ke
industri informal… Kekuatan sosial yang tertanam itu bermain dalam ekonomi
informal, dan beroperasi melalui nilai-nilai budaya lokal untuk menghasilkan
mekanisme eksklusi dan inklusi… Sebagian dari ekonomi informal ini tentu saja
illegal, yang terdiri dari misalnya pemotongan kayu tidak terdaftar, prostitusi
atau penyelundupan sepeda motor curian, narkoba dan minyak. Wilayah ini juga
didominasi oleh kelas menengah kota-kota menengah (termasuk polisi yang korup,
militer dan jaksa), dan bukan oleh orang miskin ataupun sangat kaya” (h.24).
Klinken menyimpulkan bahwa
kekuatan ekonomi dari kelas menengah di kota menengah ini umumnya terbentuk dan
berasal dari kaum penduduk asli dan birokrasi pemerintahan. Sumber pendapatan
mereka umumnya bukan dari proses produksi secara riil, tapi lebih sebagai
pemburu rente dari kegiatan pihak lain.
“Inti yang aktif secara politik dari kelas
menengah perkotaan menengah adalah masyarakat asli dan birokrat, dengan
kroni-kroni bisnis mereka. (Anggota dari kelas menengah etnik Cina, yang
kekayaannya berdasarkan hasil komersial, sampai saat ini hampir tidak
berpartisipasi dalam politik formal, meskipun banyak yang telah lama membangun
dan merawat hubungan politik di ruang belakang). Sumber kekayaan kelas menengah
ini pada umumnya tidak mengontrol alat produksi (para produsen batik yang kaya
di Pekalongan adalah pengecualian), tetapi mengontrol rente yang mereka peroleh
dari negara atau dari posisi manajerial” (h.23)
Menurut Klinken, kekuatan dari
kelas menengah perkotaan di kota menengah ini terletak pada kemampuan mereka
untuk memanfaatkan ketidakjelasan dari prosedur dan mekanisme pembangunan,
lemahnya pengawasan, dan ketidaktegasan hukum. Faktor lain adalah karena pada
dasarnya pemerintah pusat dan kekuatan politik dan ekonomi di pusat juga
memerlukan “bantuan” mereka dalam memuluskan program dan agenda masing-masing.
Dengan kata lain, ada hubungan simbiosis mutualisme di sana.
“…di Indonesia perekonomian kota-kota menengah
ini sangat informal, dan lembaga-lembaga pemerintah pusat hampir tidak mampu
melaksanakan kehendak mereka tanpa memenuhi tuntutan para “bos” daerah.
Kekuatan tersembunyi dari kelas menengah perkotaan menengah ini justru terletak
pada kekaburan perekonomian di kota-kota tempat tinggal mereka, yang disebabkan
oleh informalitas pengaturan daerah yang rumit dan kekebalan mereka dari
pengawasan pusat… Kelas menengah kota-kota menengah belum tentu kaya
dibandingkan dengan borjuasi nasional, namun tuntutan mereka bagi otonomi
daerah telah berhasil menjaga keseimbangan kekuatan atara keduanya. Kontrol
mereka atas ekonomi informal lokal memungkinkan mereka untuk mengatur sendiri
kandang mereka” (h.31).
Namun yang menjadi paradoks adalah
meskipun mengambil manfaat dari globalisasi, desentralisasi dan demokratisasi
tersebut, ada kecenderungan di kalangan tersebut untuk menolak bagian dari globalisasi
dan demokratisasi yang dipandang dapat merugikan kepentingan mereka, seperti
nilai-nilai transparansi, partisipasi, persaingan terbuka, dan lain lain.
Klinken mencatat: “…Indonesia Menengah
secara keseluruhan lebih menolak daripada menyambut pasar global yang terbuka
(sementara tentu saja menikmati barang-barang konsumen yang tersedia di pasar)”
(h.40). Mekanisme yang transparan dan persaingan terbuka dikhawatirkan justru akan
mengurangi peluang memperoleh rente, dan dapat melemahkan posisi mereka dalam
menguasai jaringan politik dan ekonomi lokal.
“…ketegasan daerah berakar dalam perekonomian.
Hubungan ekonomi antara pasar daerah-daerah subnasional, nasional dan global
bersifat kompleks… hubungan ini diwarnai baik politis maupun administratif. Di satu sisi, investasi swasta dan publik tetap penting bagi ekonomi di semua
kota-kota menengah. Tapi di sisi lain, ketidakpercayaan terhadap modal besar
lebih kuat di antara pengusaha-pengusaha daerah daripada yang tampaknya berada
di Jakarta. Perusahaan-perusahaan di kota-kota menengah di daerah lebih kecil
dibandingkan dengan di kota-kota besar. Pengusaha dan pemerintah daerah serta
pemimpin-pemimpin lokal saling mengenal dengan baik. Bersama-sama mereka
mengatur untuk menolak apa yang mereka anggap sebagai ancaman serangan dari
luar” (h.31).
-----
Klientelisme berbasis keluarga, etnis dan agama
Dari lima kota menengah yang
diamati, Klinken menilai bahwa dalam keseharian tidak ada orientasi kelas yang
kuat dan segregasi sosial berdasarkan pendapatan yang menonjol diantara
kelas-kelas sosial yang ada. Karenanya Klinken dkk. menyimpulkan bahwa Indonesia
Menengah relatif tak terpolarisasi, meskipun bukan sama sekali tanpa
ketegangan, namun tidak sampai menjadi konflik terbuka, setidaknya belum
terlihat saat penelitian ini dilakukan (h.25-26). Seperti yang ditemukan di
Kupang, di mana belakangan ini semakin banyak kelas menengah yang lebih memilih
tinggal di perumahan enclave yang
terpisah dari masyarakat kebanyakan. Sementara di Cilegon dan Pekalongan,
ketidakpuasan terhadap semakin menguatnya kelas menengah kerap dilontarkan
justru oleh mereka yang berada di kelas bawah. Bagi mereka, kelas menengah
adalah para “elit” yang mengambil keuntungan bagi diri mereka sendiri saja.
“…sementara anggota kelas menengah tidak
berbicara tentang kelas, orang-orang dari kelas bawah justru membicarakannya…
Orang-orang mengeluh bahwa mereka terpinggirkan dari politik oleh mereka yang
memiliki akses yang lebih baik kepada negara daripaa mereka. Mereka menyebut
para aktor peminggiran ini “elite”, meskipun pada kenyataannya mereka ini
adalah PNS tingkat rendah, orang-orang yang lebih cocok diklasifikasikan kelas
menengah-bawah. Diantara orang-orang yang dipinggirkan adalah para buruh pabrik
(termasuk buruh migran terampil) pekerja kontrak dan pekerja informal” (h.26).
Telah digambarkan sebelumnya
bagaimana demokrasi klientelisme di bidang politik dan ekonomi menjadi corak
umum di kota-kota menengah Indonesia. Relasi dan jaringan klientelis tersebut
memerlukan adanya trust yang kuat sehingga memungkinkan adanya hubungan timbal
balik yang “saling menguntungkan” bagi semua pihak yang terlibat. Tidak
mengherankan jika jaringan klientelis tersebut umumnya lebih bersandarkan pada
hubungan keluarga, dan kesamaan etnik, komunal maupun agama.
“Jaringan klientelis ditandai dengan
kewajiban timbal balik yang hanya dapat ditegakkan dengan sanksi sosial.
Kepercayaan yang terletak di dasar hubungan-hubungan yang tidak setara ini
sering diambil dari beberapa identitas semisal keluarga, yang dapat berbasis
lingkungan, agama, atau etnik. Informalitas negara dan pasar yang begitu khas
dari Indonesia Menengah (seperti di kota-kota Dunia Ketiga di manapun…) membuat
klientelisme pervasif. Karena itu, rivalitas antara jaringan klientelis sering
bersifat komunal. Perbedaan sosial yang paling mencolok di dalam sebuah kota
sebenarnya berdimensi etnik… klaim terhadap kekuasaan lokal tampaknya
didasarkan, bukan pada kepemilikan alat-alat produksi… melainkan pada dimensi
etnik dan agama (Amal1992; Asnan 2007; Schiller 1996)” (h.28).
Akibatnya menjadi tumbuh semacam
kepercayaan di masyarakat bahwa siapapun yang ingin memperoleh sesuatu harus
menjadi bagian atau terlibat dalam jaringan klientelis tersebut. “Basisnya terdapat di kota yaitu pada ikatan
komunitas etnik lintas kelas, serta kepercayaan paternalistik bahwa orang maju
karena kerja keras yang bersinar dalam hati sanubari para bos” (h.35). Sebaliknya, bagi yang bukan merupakan bagian dari jaringan klientelis tersebut –karena berbeda keluarga,
etnik atau agama—dengan jaringan klientelis tertentu, maka dianggap wajar jika
mereka sulit untuk mendapatkan “kemudahan-kemudahan” tertentu dalam hal usaha,
pekerjaan, dll. Menurut Klinken: “Ketergantungan
klientelistik dengan para patron kelas menengah sekali lagi menjadi pilihan
terbaik bagi masyarakat miskin… Siapapun yang bukan bagian dari jaringan
klientelistik tidak mendapatkan apa-apa”
(h.27).
Konsumerisme
Klinken berpandangan bahwa
karakteristik paling kasat mata dari kelas menengah dapat dilihat dari
berkembangnya gaya hidup konsumerisme dan aktivisme politik yang baru (h.5).
Secara umum mereka juga memiliki mobilitas yang tinggi, memiliki karier yang
beragam, menjadi pendukung superkultur metropolitan dan bentuk-bentuk
kontemporer pluralisme agama (h.22)
“…kelas menengah telah tumbuh semakin besar…
para anggotanya sama-sama menghayati konsumerisme… Peningkatan daya beli serta
peningkatan pengaruh politik telah bertumbuh cepat khususnya di kalangan kelas
menengah yang lebih rendah (bawah). Mereka lebih menyerupai kelas borjuis
menengah-bawah (petit bourgeoisie) yang cemas dan konservatif daripada kelas
borjuis yang nyaman-mapan di abad kesembilan belas Eropa” (h.22; 38).
Sementara itu, kelas menengah di
kota-kota menengah juga memiliki mobilitas yang cukup tinggi dan membuat mereka
dapat sering mengunjungi kota-kota lain yang lebih besar, dan mungkin juga ke
luar negeri. Karenanya bagi mereka kota menengah yang mereka tinggali terasa
tidak jauh berbeda dari kota besar. Mereka
kemudian menyerap dan mengadaptasi budaya kota besar dan mempraktekkannya
di kota mereka sendiri. Menurut Klinken, budaya kelas menengah ini bahkan telah
menentukan nada untuk seluruh kota dalam hal cara berpakaian yang resmi, cita
rasa arsitektur, dan hiburan yang didanai publik atau acara-acara keagamaan (h.34).
Komodifikasi dan konservatisme agama
Klinken dan peneliti lainnya juga
melihat adanya keterkaitan antara pembangunan, meningkatnya daya beli, dan budaya
konsumerisme dengan munculnya “kemasan” keagamaan yang baru khususnya Islam di
kota-kota menengah. Menurut mereka, selain sebagai konsumen dari produk dan
jasa, mereka juga berperan sebagai agen komersial dalam mendistribusikan
produk-produk “Islam.” Di sisi lain, fenomena justru menempatkan Islam sebagai
komoditas simbolik semata. Hasan, salah seorang peneliti dan penulis di buku
ini berpandangan bahwa:
“…pembangunan ekonomi di kota-kota menengah
Indonesia juga menghasilkan sikap dan gaya hidup Islami yang lebih berorientasi
pragmatis dan konsumtif… (mereka) tidak
hanya sebagai konsumen yang setia tetapi juga sebagai agen komersial yang
secara luas mendistribusikan produk-produk “Islam” yang mengikuti kecenderungan
model dan gaya terbaru untuk menjangkau daerah-daerah terpencil di pedalaman…
mengubah Islam menjadi suatu komoditas simbolik yang tidak secara total dicabut
dari tradisi dan budaya, namun tetap relevan dengan tuntutan konsumen yang bergerak
ke atas untuk gaya hidup, kesederhanaan dan kenikmatan” (Hasan, dalam Klinken
dan Berenschot, 2016:244-245).
Kondisi sebaliknya terjadi di
beberapa daerah yang diteliti, yaitu di Kebumen-Jawa Tengah dan
Martapura-Kalimantan Selatan. Sejak lama Kebumen dikenal sebagai daerah abangan. Baru pada awal tahun 2000-an
terjadi penetrasi yang cukup kuat dari kelompok-kelompok Islam yang cenderung
konservatif, termasuk di lingkungan pemerintahan daerah. Hasan menilai bahwa: “Simbol-simbol agama yang semakin mencolok di
tempat-tempat umum di Kebumen mencerminkan penetrasi yang berkelanjutan dari
ortodoksi Islam ke jaunting budaya abangan ini, dan memperlihatkan upaya Islam
untuk bergerak menuju integrasi penuh sebagai bagian dari Indonesia yang
mengglobal” (Hasan, dalam Klinken dan Berenschot, 2016:220)
Berkembangnya kelompok-kelompok
dakwah yang ultra-ortodoks tersebut bukan tidak disadari oleh kalangan ulama
dari organisasi-organisasi Islam yang lebih moderat macam NU dan Muhammadiyah.
Di satu sisi mereka memanang kelompok-kelompok dakwah baru itu sebagai “mitra”
dalam dakwah Islam, namun sekaligus juga menjadi pesaing dan ancaman.
“Meskipun banyak ulama dan guru agama
menyadari bahwa kelompok-kelompok dakwah baru yang ultra-ortodoks mungkin
menantang praktik-praktik keagamaan mereka yang sudah berjalan secara mapan dan
memberikan ekspresi baru untuk iman mereka, namun mereka umumnya menyambut
kelompok-kelompok ultra-ortodoks ini sebagai mitra dalam perjuangan untuk syiar
Islam di seluruh Kebumen.” Meskipun belakangan penetrasi kelompok-kelompok
tersebut mulai dianggap mengganggu pengaruh organisasi Islam yang sudah memliki
pengaruh cukup kuat di Kebumen (Hasan, dalam Klinken dan Berenschot,
2016:221).
Berbeda dengan fenomena Kebumen,
yang terjadi di Martapura adalah kecenderungan makin kuatnya Islam sebagai
identitas kota tersebut. Sebelumnya Martapura memang telah cukup kental akan
nuansa Islami, pada saat yang sama juga semakin menegaskan identitas kedaerah
mereka yang berjalan beriringan dengan citra masyarakat Islami. Dalam pandangan
Hasan: “Martapura telah mendayagunakan
kekuatan simbol-simbol Islam untuk memperkuat identitas lokalnya, dan dengan
itu ia mempunyai kekuatan tawar untuk menegosiasikan posisinya di hadapan
pemerintah pusat (Hasan, dalam Klinken dan Berenschot, 2016:223)
-----
Masa depan kelas menengah Indonesia
Jika para ekonom dan lembaga
donor/mitra pembangunan asing lebih menekankan aspek ekonomi semata ketika mencermati
kelas menengah, Klinken dkk. mengajak untuk melihatnya dari perspektif antropologis
dan geografi politik.
Hasil penelitian Klinken dkk.
menunjukkan fenomena tumbuhnya kelas menengah di kota-kota menengah Indonesia. Peingkatan
jumlah kelas menengah baru tersebut menjadi pertanda positif berkurangnya angka
kemiskinan. Perubahan ekonomi tersebut tentunya menyebabkan juga perubahan
dalam struktur sosial masyarakat, di mana proporsi antara masyarakat kelas
bawah dan kelas menengah menjadi hampir berimbang. Namun, meningkatnya kelas
menengah tersebut belum mampu berperan lebih besar dalam mendorong demokrasi dan
kultur politik yang sehat di Indonesia. Di kota-kota menengah, kelas menengah
yang umumnya merupakan mereka yang baru berhasil keluar dari garis kemiskinan (kelas
menengah-bawah atau lower middle class,
yang artinya masih rentan secara ekonomi), kemudian dalam prosesnya justru
berperan menyuburkan konsumerisme serta membangun demokrasi patronase dan
klientelis berbasis keluarga maupun kesamaan etnis dan agama, di mana mereka
menjadi perantara (broker/middlemen)
yang memburu rente dan predator khususnya terhadap kelas sosial yang lebih
lemah.
Dengan karekteristik semacam itu,
kelas menengah yang baru terbentuk ini ternyata hanya menjadi miniatur dengan
karakter yang serba menjadi mirip dengan kelas elit nasional. Ketika Reformasi
1998, kritik keras terhadap para elit politik dan ekonomi nasional adalah
mereka telah begitu lama tenggelam dalam korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Mereka
cenderung menolak nilai dan prinsip demokrasi mengenai partisipasi,
transparansi, akuntabilitas, meritokrasi, dan sejenisnya. Tidak heran jika
kemudian muncul istilah “kelas menengah ngehe”
untuk menggambarkan bagian dari masyarakat Indonesia yang baru merangkak naik
dari kubangan kemiskinan akibat booming
ekonomi dan demokratisasi, namun dianggap arogan, masa bodoh dan “berkhianat”
terhadap masyarakat miskin, sebagai kelas sosial terbawah yang baru saja
ditinggalkannya. Itu pun masih menyisakan persoalan lain yang justru tampak
semakin parah, yaitu makin lebarnya kesenjangan sosial antar kelas-kelas tersebut.
Bagaimana kelas menengah itu menjadi dominan pengaruhnya di kota-kota
menengah tersebut? Jika merujuk pada teori Pierre Bourdieu, saya berpendapat bahwa kelas
menengah tersebut dapat eksis dan memiliki pengaruh karena mereka memiliki
“modal” yang diperlukan, yaitu: (a) cultural
capital, karena umumnya memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik; (b) social capital, karena memiliki jaringan
di antara keluarga, kelompok etnik atau agama tertentu; (c) economic capital, karena memiliki pendapatan dari rente ekonomi terkait
dengan pemanfaatan cultural dan social
capital tadi (lihat Bourdieu, “The Form of Capital,” 1986). Artinya, logis
saja jika secara ekonomi politik mereka mampu mencapai posisi sosial ekonomi tersebut
karena mampu memanfaatkan “modal” yang mereka miliki, meskipun secara etika dan
moral ada banyak celah untuk dikritisi karena di balik praktik patronase dan klientelis
tersebut ada pihak-pihak lain yang telah dirugikan akibat tidak adanya
persaingan yang adil dan meritokrasi, khususnya bagi mereka dari kalangan kelas
yang lebih rendah.
Seperti sudah disinggung Klinken
dan Berenchort, tumbuhnya kelas menengah baru dalam beberapa dekade terakhir
tidak hanya terjadi di Indonesia, namun hampir di seluruh negara-negara di
dunia. Di Asia peningkatan signifikan juga terjadi di banyak negara seperti Thailand,
Malaysia, Philipina dan Cina/Tiongkok (lihat diantaranya ADB, “The Rise
of Asia’s Middle Class,” 2010; dan Shiraishi, “The Rise of New Urban
Middle Classes in Southeast Asia,” 2004). Demikian pula di di Eropa (lihat Bacqué, et.al. The Middle Classes and the City: A Study of Paris
and London, 2015),
Amerika Latin (Ferreira et.al., Economic
Mobility and the Rise of the Latin American Middle Class, 2013), dll.
Namun karakteristik tersebut,
dalam beberapa hal tampaknya bukan eksklusif milik kelas menengah baru di
Indonesia saja. Perilaku konsumerisme kelas menengah baru juga terjadi di Asia
Tenggara (diantaranya lihat Shiraishi, “The Rise of New Urban Middle Classes in
Southeast Asia, 2004), Amerika Latin (Ferreira et.al., 2013), bahkan di Rusia
pun menunjukkan fenomena serupa (Wyne, Leisure, Lifestyle and the New Middle Class, 1998).
Klientelisme yang melibatkan kelas menengah dan birokrasi yang memburu rente
juga terlihat di banyak negara lain di Asia Tenggara (lihat Slater, Contentious Politics and Authoritarian
Leviathans in Southeast Asia, 2010), dan Amerika Latin (lihat Hilgers, Clientelism in Everyday Latin American
Politics, 2012).
Begitu pula fenomena komodifikasi
agama sebagai efek dari berkembangnya konsumerisme di kalangan kelas menengah
baru juga terjadi di banyak negara seperti di Brazil, Eropa dan Amerika Utara
(lihat Dawson, “Entangled Modernity and Commodified Religion: Alternative
Spirituality and the ‘New Middle Class’,” dalam Gauthier dan Martikainen, 2013),
juga di negara-negara Asia seperti Thailand, Vietnam, dan Singapura (lihat Kitiarsa, Religious
Commodifications in Asia: Marketing Gods, 2008). Sementara kaitan antara
tumbuhnya kelas menengah dan konservatisme agama bahkan terlihat paling menonjol
terjadi di Amerika Serikat (diantaranya lihat Glen dan Teles, Conservatism and American Political
Development, 2009).
Jika fenomena tumbuhnya kelas menengah ini berikut segala dampak
positif dan eksesnya merupakan gejala global, lalu bagaimana masa depan kelas
menengah tersebut di Indonesia sendiri? Saya tidak tahu persis
kemungkinannya, namun jika situasinya terus semacam ini di mana hanya
faktor-faktor negatif yang mengemuka dari akibat tumbuhnya kelas menengah baru
tersebut, tampaknya juga akan kurang lebih sama dengan situasi yang telah lebih
dahulu mengalami situasi tersebut.
Sayangnya bagi Indonesia, budaya
konsumerisme justru menjadi tidak menguntungkan secara ekonomi, karena tidak banyak
berdampak positif terhadap ekonomi lokal. Melonjaknya gaya hidup dan konsumsi
barang dan jasa di kalangan kelas menengah sementara sebagian besar
barang-barang tersbut sepenuhnya atau sebagian memiliki komponen impor, membuat
surplus ekonomi nasional justru tersedot keluar. Inflasi akan meningkat, dan
kembali yang paling tertekan adalah kelompok kelas bawah. Budaya konsumerisme
kalangan kelas menengah baru justru hanya akan menambah kaya kelas menengah
lama dan elit ekonomi saja. Kesenjangan ekonomi akan semakin tajam karenanya.
Dari perspektif ekonomi politik,
dominasi yang terjadi mungkin tidak seperti dalam bayangan kaum Marxis klasik,
namun menjadi lebih bertingkat hubungannya anatara kelas kaya/elit, kelas
menengah, dan kelas bawah. Kalecki (1972;163) sudah mengingatkan bahwa “…hal yang mungkin terjadi adalah “tunduknya
secara final kelas menengah bawah kepada kepentingan bisnis besar” (White,
dalam Klinken dan Berenschot, 2016:59). Ujung-ujungnya, untuk tetap dapat
mempertahankan rente ekonominya, bisa jadi kelas menengah akan semakin menekan
kelas bawah tadi. Belum lagi, dalam rangka memenuhi gaya hidup dan kebutuhan kelas
elit dan menengah yang terus meningkat, baik pemerintah maupun pihak swasta dapat
membuat program/proyek yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat kelas bawah
karena umumnya melibatkan tindakan penggusuran dan pemaksaan lainnya (diantaranya
lihat polemik kasus pembangunan pabrik semen di Gunung Kendeng - Jawa Tengah, juga
penggusuran dan reklamasi di Jakarta Utara).
Sementara dari perspektif sosial
politik, kesenjangan ekonomi pada akhirnya akan mempertajam gesekan antar kelas
tersebut. Dalam situasi tersebut, pada umumnya kelas menengah akan merapat pada kekuatan yang lebih
otoritatif. Sebaliknya, segala tekanan, ketidakdilan dan ketidakpuasan di
kalangan kelas bawah akan membuat mereka lebih ekspresif dalam memperjuangkan
kepentingan ekonomi dan sosial mereka sendiri.
“Kekecewaan yang berulang menciptakan
kebencian yang nyata. Masyarakat miskin masih sangat percaya bahwa pendidikan
menawarkan mereka jalan keluar, tetapi prinsip-prinsip meritokrasi biasa tidak
bekerja dengan baik” (h.35)… Jika
kesenjangan terus meningkat di dalam Indonesia Menengah… kita dapat melihat
klientelisme memberi jalan sekali lagi untuk membuka politik kelas. Ini bisa
membuat kelas menengah perkotaan sekali lagi bersandar pada otorianisme…
sebagaimana telah benar-benar terjadi di Indonesia pada tahun 1965. Kerusuhan
di Bangkok pada tahun 2010 adalah contoh terbaru di Asia Tenggara tentang
bagaimana ini mungkin terjadi” (h.29).
Bagian lain yang tak kalah
mengkhawatirkan adalah terkait konservatisme dan radikalisme agama di
Indonesia, khususnya Islam. Menguatnya kelompok-kelompok yang cenderung anti
pluralisme tersebut boleh jadi terkait pula dengan meningkatnya kekerasan agama
dan terorisme belakangan ini. Klinken mengingatkan bahwa dari hasil penelitian
mereka ternyata “konservatisme agama
lebih termobilisasi di kota-kota menengah daripada di desa ataupun kota-kota
besar” (h.36). Belajar dari temuan penelitian terakhir mengenai kelompok
radikal dan terror di dunia, ternyata mereka yang bergabung dalam
kelompok-kelompok tersebut bukanlah mereka yang miskin atau marginal, namun
justru yang secara ekonomi dan sosial termasuk yang cukup mampu (diantaranya
lihat Bjørgo, Root
Causes of Terrorism, 2005). Peringatan akan kemungkinan terjadinya Talibanization di Asia Tenggara termasuk
Indonesia tidaklah dapat diabaikan begitu saja (lihat Singh, The
Talibanization of Southeast Asia, 2007).
Jadi jika gagal atau bahkan tidak
ada upaya mitigasi-nya, tumbuhnya kelas menengah baru adalah juga bom waktu…
-----
Tentang penulis In Search of Middle Indonesia:
Gerry
van Klinken adalah peneliti senior di KITLV dan Professor of Southeast Asian
History pada University of Amsterdam. Latar belakang pendidikan PHD nya dalam
sejarah Indonesia di Griffith University, Australia. Dia juga pernah menjadi
editor majalah Inside Indonesia
(1996-2002), direktur the Australian Consortium of In-Country Indonesian
Studies (Acicis), dan research advisor
pada the Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor
(CAVR). Karya Klinken baik yang ditulis sendiri ataupun bersama pemikir lain,
diantaranya: The Maluku Wars: Bringing
Society Back In (2001); The Battle
for History After Suharto: Beyond Sacred Dates , Great Men, and Legal
Milestones (2001); Indonesia New
Ethnic Elites (2002); Minorities,
Modernity and the Emerging Nation: Christians in Indonesia: A Bigraphical
Approach (2003); New Actors, New
Identities: Post-Suharto Ethnic Violance in Indonesia (2005); Master of Terror: Indonesia’s Military and
Violence in East Timor (2006); Renegotiating
Boundaries: Local Politics in Post-Soeharto Indonesia (2007);
Blood,
Timber, and the State in West Kalimantan, Indonesia (2008); Return
of the Sultans: The Communitarian Turn in Local Politics (2008); Patronase Democracy in Provincial Indonesia
(2009); The State and
Illegality in Indonesia (2011).
Demikian
pula, Ward Berenschot juga adalah peneliti di KITLV. Dia memperoleh PhD dari
University of Amsterdam dengan disertasi tentang kekerasan komunal di India.
Pernah menjadi manajer pada the Access to Justice in Indonesia pada the Van
Vollenhoven Institute. Berenschot banyak meneliti dan menulis tentang dinamika
sosial dan politik India. Di Indonesia, karyanya yang lain (baik ditulis
sendiri maupun bersama penulis lain) adalah: Akses Terhadap Keasilan: Perjuangan Masyarakat Miskin dan Kurang
Beruntung untuk menuntut Hak di Indonesia (2011); Paralegalism and Legal Aid in Indonesia (2011); Party Politics in Southeast Asia:
Clientelism and Electoral Competition in Indonesia, Thailand and the
Philippines (2012); Money, Power, and
Ideology: Political Parties in Post-authorian Indonesia (2013); Within and Around the Law; Paralegals and
Legal Empowerment in Indonesia (2013).
-----
Sumber:
- Asian Development Bank (2010). “The Rise of Asia’s Middle Class,” Key Indicator for Asia and the Pacific. ADB, Manila.
- Avraamova, E.M and T.M. Maleva (2015). “The Evolution of the Middle Class: Missions and Methodology,” Sociological Research, vol. 54, no. 5, 2015, pp. 307-325.
- Bjørgo, Tore (Ed.) (2005). Root Causes of Terrorism: Myths, Reality and Ways Forward. Routledge, London.
- Bourdieu, P. (1986). “The Forms of Capital.” In J. Richardson (Ed.) Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. Greenwood, New York.
- Chun, Natalie (2010). “Middle Class Size in the Past, Present and Future: A Description of Trend in Asia,” Asian Development Bank - ADB Economic Working Paper, No. 217, September 2010.
- Cox, Kevin R. (2002). Political Geography: Territory, State, and Society. Blackwell Publishers, Ltd., Oxford-UK.
- Dahrendorf, Ralf (1959). Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford University Press, Carolina.
- Ferreira, Francisco H.G., et.al. (2013). Economic Mobility and the Rise of the Latin American Middle Class. IBRD/World Bank, Washington, D.C.
- Gauthier, Francois and Tuomas Martikainen (2013). Religion in Consumer Society: Brands, Consumer and Markets. Ashgate, Guilford-England.
- Glen, Brian J. dan Steven M. Teles (2009). Conservatism and American Political Development. Oxford University Press, New York.
- Girling, Evi, Ian Loader and Richard Sparks (2000). Crime and Social Change in Middle England: Questions of Order in an English Town. Routledge, London.
- Harriss-White, Barbara (ed.) (2016). Middle India and Urban-Rural Development: Four Decades of Change. Springer New Delhi.
- Hilgers, Tina (2012). Clientelism in Everyday Latin American Politics. Palgrave Macmillan, New York.
- Kalecki, Michal (1972). Selected Essays on the Economic Growth of the Socialist and the Mixed Economy. Cambridge University Press, London.
- Kitiarsa, Pattana (2008). Religious Commodifications in Asia: Marketing God. Routledge, London.
- Klinken, Gerry van (2014). “Demokrasi Patronase Indonesia di Tingkat Provinsial,” dalam A.E Priyono dan Usman Hamid (eds.) Merancang Arah Baru Demokrasi. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. Atau lihat: http://virtue.or.id/ebooks/MerancangArahBaruDemokrasi/OEBPS/Text/TOC.xhtml
- Klinken, Gerry van and Ward Berenschot (eds.) (2014). In Search of Middle Indonesia: Middle Classes in Provincial Towns. BRILL, Leiden.
- Klinken, Gerry van and Ward Berenschot (eds.) (2016). In Search of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota-kota Menengah. KITLV-Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.
- Lynd, Robert S. and Helen Merrel Lynd (1929). Middletown: A Study in Contemporary American Culture. Harcourt, Brace and Co., New York.
- Marx, Karl (1982; 1992; 1991). Capital: A Critical of Political Economy. Vol. 1, 2 & 3. Translated by David Fernbach. Penguins Books, London.
- Pusey, Michael (2003). The Experience of Middle Australia: The Dark Side of Economic Reform. Cambridge University Press, Cambridge-UK.
- Shiraishi, Takashi (2004). “The Rise of New Urban Middle Classes in Southeast Asia,” Research Institute of Economy, Trade & Industry - RIETI Discussion Paper Series, on www.rieti.go.jp
- Slater, Dan (2010). Contentious Politics and Authoritarian Leviathans in Southeast Asia. Cambridge University Press, New York.
- Tarkhnishvili, Anna and Levan Tarkhnishvili (2013). “Middle Class: Definition, Role and Development,” Global Journal of Human Social Science, Sociology & Culture, Volume 13 Issue 7, 2013.
- Turner, Bryan S. (2006). The Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge University Press, New York.
- Weber, Max (2001). The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Translated by Talcott Parsons. Routledge, London.
- Wynne, Derek (1998). Leisure, Lifestyle and the New Middle Class: A Case Study. Routledge, London.
- “Senandung Pilu Kartini Kendeng Menolak Pabrik Semen,” KOMPAS, 13 April 2016.
- “Komnas HAM Bentuk Tim Khusus Pemantau Penggusuran,” KOMPAS, 23 Mei 2016.
- www.kitlv.nl/researchers-klinken/
- www.law.leiden.edu/organisation/metajuridica/vvi/research/access-to-justice/researcher/berenschot-ward.html
- Kelas Menengah Indonesia Tumbuh Pesat: Pada 2010 kelas menengah Indonesia mencapai 134 juta jiwa atau 56,5 persen. 30 Maret 2011, http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/212144-kelas-menengah-indonesia-tumbuh-pesat
- Geliat Meningkatnya Kelas Menengah Indonesia, 24 April 2014, http://www.rri.co.id/post/editorial/113/editorial/geliat_meningkatnya_kelas_menengah_indonesia.html
- Pengaruh Kelas Menengah dari Kota Menengah. 6 Maret 2016, http://netralnews.com/news/nasional/read/751/pengaruh.kelas.menengah.dari.kota.menengah&ei=6K6OsjiH&lc=en-
- Fenomena Kelas Menengah di Indonesia Senang Melakukan Kesalehan Individual. 10 Maret 2016. http://www.tribunnews.com/tribunners/2016/03/10/fenomena-kelas-menengah-di-indonesia-senang-melakukan-kesalehan-individual
- Kelas Menengah Indonesia Semakin Berpengaruh. 10 Maret 2016. https://m.tempo.co/read/news/2016/03/10/078752298/kelas-menengah-indonesia-semakin-berpengaruh
- Kelas Menengah Indonesia Tumbuh Pesat, 30 Maret 2011, http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/212144-kelas-menengah-indonesia-tumbuh-pesat
- Fenomena Kelas Menengah "Ngehe" Indonesia Dibahas di Sydney. 23 May 2016, http://news.detik.com/australia-plus-abc/3215331/fenomena-kelas-menengah-quotltigtngeheltigtquot-indonesia-dibahas-di-sydney?n992204australia
- Siapakah Kelas Menengah Indonesia, 8 Juni 2012, http://nasional.kompas.com/read/2012/06/08/13003111/Siapa.Kelas.Menengah.Indonesia
- Menguak Tabir Ilusi Kelas Menengah, http://indoprogress.com/2016/02/menguaktabirilusikelasmenengah/
- Tentang Borjuis Kecil, Kelas Menengah dan Sebuah Tanggapan, http://indoprogress.com/2016/04/tentangborjuiskecilkelasmenengahdansebuahtanggapan/
- Memahami ‘Kelas Menengah’ Indonesia, http://indoprogress.com/2016/02/memahamikelasmenengahindonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar