“Ada
Apa Dengan Bigot?”
(AADB: Bagian 2)
Oleh: Candra
AADB: Bagian 1 mengulas
pokok-pokok gagasan Stephen Eric Bronner mengenai bigot dan bigotry dalam
bukunya The Bigot: Why Prejudice Persist (2014). Untuk memudahkan dalam
memahami dan mengingat uraian Bronner, saya mencoba membuat skema “proses pembentukan” perilaku bigotry. Namun karena Bronner tidak selalu eksplisit mendefinisikan
tiap komponen dari proses tersebut, akhirnya saya merasa perlu membaca sumber
lain, dan kemudian menambahkannya dalam skema di bawah ini. Skema tersebut memang hanya
berupa generalisasi sekaligus simplifikasi dari satu proses sosial, yang
artinya tentu punya banyak keterbatasan dan kelemahan, sehingga perlu dan bisa
dikritisi nantinya.
Skema di atas kurang lebih dapat dibaca sebagai berikut:
- Perilaku bigotry dari para bigot umumnya dalam bentuk penyebarluasan kebencian (hate spreads), pelecehan dan diskriminasi, baik yang bersifat langsung maupun melalui kebijakan yang tidak inklusif. Bentuk lebih ekstrim dari bigotry adalah kekerasan fisik dan psikologis berupa tindakan terorisme;
- Bigotry tidak hanya dalam bentuk kebencian terhadap keyakinan atau agama lain (religism) atau ras lain (rasisme), tapi juga karena perbedaan gender (sexisme), ketakutan akan perubahan pada tatanan lama (conservatism), perbedaan usia (ageism), perbedaan budaya (culturism), ketakutan akan pengaruh orang asing (nativism), dll.;
- Kebencian tersebut muncul dari prasangka (prejudice);
- Prasangka berkembang dari stereotype dan kategorisasi;
- Stereotype dan kategorisasi dibentuk dari skema atau alur berpikir tertentu;
- Skema tadi dipengaruhi oleh kepercayaan, perasaan dan asumsi tententu.
Bigotry vulgar dan halus?
Senada dengan Bronner, Kathlyn
Gay dalam Bigotry and Intolerance: The Ultimate Teen Guide (2013)
mengutip penjelasan dari ReligiousTolerance.org yang memaknai bigotry sebagai
suatu bentuk dualisme yang membagi seluruh umat manusia dalam dua kelompok, yaitu “kita” dan “mereka.”
Umumnya berdampak pada penolakan atau fitnah terhadap pihak/kelompok lain yang
disebabkan oleh perbedaan usia, bentuk atau berat badan, kasta, warna kulit,
gender, kebangsaan, ras, agama, orientasi seksual, dll. Seringkali
diekspresikan dengan keinginan atau tindakan yang berujung pada pembatasan atau
pencabutan hak asasi kelompok ain tesebut, seperti dalam hal kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan beragama, dll. Menurut Gay, perilaku bigotry ini
dapat dijumpai di berbagai tempat, baik dalam kehidupan keseharian di
lingkungan permukiman, jalan, sekolah, tempat kerja, arena politik, dunia
olahraga tempat ibadah, media massa, media sosial, dll.
Namun Gay menegaskan bahwa tidak
ada yang lahir dengan sikap bigotry dan rasis. Banyak faktor yang mempengaruhi bagaimana sikap dan perilaku bigotry
tersebut terbentuk pada diri seseorang atau sekelompok orang. Dalam hal ini, keluarga
dan lingkunganlah yang paling berpengaruh dapat menciptakan seorang bigotry,
melalui berbagai bentuk pernyataan, ekspresi wajah, gestur dan sentimen yang
muncul dari prasangka dan kecurigaan terhadap pihak lain yang dianggap berbeda
atau lebih rendah.
Tidak semua perilaku bigotry
terekspresikan dalam bentuknya yang lugas bahkan kasar. Kristin J. Anderson
dalam Benign Bigotry: The Psychology of Subtle Prejudice (2010) berpendapat
bahwa ada banyak bentuk perilaku bigotry yang jinak atau halus (benign bigotry). Jenis bigotry ini
digunakan sebagai istilah umum untuk menggambarkan prasangka halus (subtle prejudice), yaitu prasangka yang otomatis, rahasia, seringkali
tidak disadari, tidak disengaja, dan kadang-kadang tidak terdeteksi oleh pelaku
maupun korbannya. Dalam pandangan Anderson, benign
bigotry ini sangat berbahaya karena tersebunyi dan merusak. Bentuk bigotry halus
ini terkesan tidak berbahaya dan bahkan positif, namun sesungguhnya menyimpan prasangka
tersembunyi yang tidak kentara. Saya
contohkan perbedaannya: jika bigotry yang vulgar berkata “Muslim dan pengungsi dilarang masuk!”
maka bigotry yang halus berbunyi “Daripada
beli di toko asing-aseng, lebih baik beli di warung pribumi” karena
meskipun mungkin tujuannya baik untuk mendorong perkembangan perekonomian dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
kelas bawah, namun ada prasangka tertentu kepada mereka yang dianggap “orang
luar dan penganggu” yang juga ditanamkan dari penggunaan istilah “asing-aseng” tersebut.
Bigotry melahirkan agresifitas dan kekerasan
Bentuk nyata dari perilaku
bigotry adalah kekerasan. Ada banyak jenis kekerasan menurut para ahli
psikologi dan sosiologi, seperti kekerasan fisik, psikologis, dilakukan oleh
individu atau kelompok, bersifat simbolik, kultural atau struktural, dll.
Michael Burleigh dalam Blood
& Rage: A Cultural History of Terrorism (2010) mengulas bagaimana
prasangka dan bigotry menjadi basis dari semua bentuk teror dalam berupa
kekerasan fisik maupun penyebaran ketakutan. Tindakan terorisme ini dapat
dilakukan oleh individu, kelompok/organisasi atau bahkan negara.
Kekerasan lain berupa kekerasan
struktural yang salah satunya dalam bentuk diskriminasi. Pelaku kekerasan
struktural ini adalah kelompok sosial yang merasa superior dibanding kelompok
lain, contohnya pelarangan atau sweeping oleh
kelompok tertentu terhadap kegiatan kelompok lain dianggap lebih rendah, lemah
atau subordinat (diantaranya lihat Bruce dan Yearly, 2006; Gay, 2013).
Sementara diskriminasi negara melalui kebijakan atau regulasi yang tidak seragam
dan tidak adil.
Sementara kekerasan psikologis
berupa penyebarluasan kebencian kebohongan dan kebencian (spreading lies and hate) melalui simbol-simbol kebencian (hate symbols) dalam bentuk lambang,
simbol, gambar atau tulisan tertentu yang ditampilkan dalam bentuk graffiti,
perhiasan, tato, dll. Gay (2013) mengutip penjelasan dari Anti-Defamation
League (ADL), bahwa simbol dan grafis sering mengganti peran kata-kata dalam
mengirim pesan dari para kelompok kebencian (hate groups) dalam rangka propaganda dan menyampaikan pesan
kebencian (hate messages). Beberapa
simbol dimaksudkan untuk menyampaikan perasaan benci atau marah, atau
dimaksudkan untuk menanamkan pada mereka yang melihat simbol perasaan takut dan
ketidakamanan. Simbol-simbol tersebut memberikan rasa kekuasaan dan kepemilikan
pada para pelakunya, serta membantu sebagai cara yang cepat untuk mengidentifikasi
orang/kelompok lain yang memiliki keyakinan yang sejalan dengan mereka. Penyebarluasan
kebencian (hate spreads), prasangka
dan stereotip juga dilakukan melalui musik (hate
music), video , film, iklan, kartun, komedi, pidato, talk show, artikel, berita, tulisan di media sosial, dll.
Penyebarluasan kebencian ini
sebagian kemudian berujung pada bentuk-bentuk kejahatan karena kebencian (hate crime). Neil Chakraborti dan Jon
Garland dalam Hate Crime: Impact, Causes and Responses (2009) mengutip Jacops
dan Potter (1998) yang berpendapat bahwa hate
crime tidak sungguh-sungguh tentang kebencian, tapi tentang bias dan prasangka.
Hate crime adalah tindak kejahatan yang
dimotivasi oleh bias dan prasangka terhadap etnik, ras, agama, gender, dll. (lihat
juga diantaranya Kressel, 1996; Kelly dan Maghan, 1998)
Bigotry dan kebencian pada yang berbeda
Bigotry dapat berupa kebencian
pada individu atau kelompok lain berdasarkan atas perbedaan ras, agama, gender,
usia, budaya, kelas, dll. Beberapa diantaranya coba saya ulas di bagian
berikut.
Bruce dan Yearly (2006) menyebutkan
bahwa Rasisme (racism) merupakan kepercayaan, ideologi atau perilaku yang
membedakan orang atas dasar keanggotaan dalam kelompok ras tertentu, yang dalam
praktek biasanya didefinisikan oleh budaya atau daerah asal (origin) atau warna kulit. Meskipun setiap
sistem klasifikasi sosial dapat menjadi dasar untuk ketidaksetaraan terstruktur
dan perilaku berdasarkan prasangka, namun rasisme terutama sering dikaitkan dengan
perlakuan yang kejam karena menggunakan dasar biologis untuk membuat pembedaan
yang memungkinkan kelompok dominan untuk membuat pengelompokkan yang tidak
dapat diubah, atau memandang orang lain sebagai bukan sepenuhnya manusia.
Sementara Aosved dan Long (2006) mengutip (Kowalewski,
McIlwee, & Prunty, 1995) yang mendefinsikan rasisme sebagai stereotip yang
mendalam dan emosional mengenai kelompok ras atau etnis yang menjadi dasar
dalam menghadapi perubahan sosial dan mempengaruhi perilaku individu yang
memegang keyakinan tersebut.
Sebagai tindakan, sikap atau
kebijakan yang dipangaruhi oleh keyakinan tentang karakteristik ras, Abercrombie,
Hill dan Turner (2006) membagi rasisme dalam dua jenis, yaitu: (a) Rasisme yang
bersifat terbuka dan individual, yang melibatkan tindakan individu yang menindas
terhadap kelompok ras atau individu yang dianggap lebih rendah atau subordinat;
dan (b) Rasisme yang bersifat tertutup dan institusional, yang melibatkan
subordinasi struktural dan penindasan antar kelompok-kelompok sosial.
Collete Guillaumin dalam Racism,
Sexism, Power and Ideology (1995) menegaskan bahwa rasisme merupakan
suatu sistem simbolik tertentu yang beroperasi di dalam sistem hubungan
kekuasaan (power relations) pada
bagian tertentu dari masyarakat. Menurut Turner (2006), pada dasarnya rasisme
mengacu pada keseluruhan hubungan dari dominasi dan subordinasi antara kelompok
yang ada dalam hirarki dari suatu masyarakat tertentu yang didasarkan pada
perbedaan ras. Dalam masyarakat rasis, semua bentuk prasangka, diskriminasi,
dan diskriminasi institusional adalah elemen umum yang membentuk hubungan
antara kehidupan individu dari kelompok yang dominan dan subordinat dalam
kehidupan sehari-hari.
Rasisme ini erat kaitannya dengan
Kulturisme (culturism), yaitu cara pandang yang memandang tinggi satu
kebudayaan dan memandang rendah kebudayaan lain. Kulturisme merupakan gerakan
politik sayap kanan yang mempromosikan budaya Barat sekaligus menentang
multikulturalisme, yang berimbas pada sikap dan kebijakan negatif terhadap
imigran dan pengungsi (diantaranya lihat John Kenneth, Culturism: A Word, a Value, Our
Future, 2007).
Seperti halnya dengan bentuk
bigotry halus (benign bigotry), Anderson
(2010) juga menyebut adanya bentuk rasisme yang halus (subtle racism) yaitu berupa pernyataan
yang sedemikian rupa menyamarkan prasangka tertentu terhadap pihak lain. Salah
satunya adalah bentuk rasisme budaya (cultural racism) yang memberi atribusi tertentu kepada
kelompok tertentu. Saya contohkan perbedaannya: jika rasisme yang vulgar
berkata “Dasar Cina cuma mau ambil untung
dan enaknya aja!” maka rasisme yang halus berkata "Buat pengusaha lebih suka ambil buruh dari
suku itu aja, karena biarpun kerjanya agak
lambat tapi penurut dan nggak macem-macem."
Menurut Gay (2013), tidak semua
bigot (pelaku tindakan bigotry) adalah rasis, tapi semua rasis pastilah juga
bigot, karena pandangan dan tindakan mereka yang merendahkan ras lain yang
berbeda. Contohnya, ras kulit putih yang merasa lebih unggul dari ras lain (white supremacy). Beberapa ilmuwan
penganut rasisme ilmiah menafsirkan teori seleksi alam dari Darwin sedemikian
rupa. Mereka percaya bahwa ras yang berbeda datang/muncul dari sumber yang
berbeda, dan bahwa ras kulit putih telah berkembang secara signifikan sementara
ras lain tetap pada tahap primitif. Dengan demikian ras kulit putih dipandang
lebih superior dibanding ras kulit berwarna lainnya. Dalam pandangan Gay,
sesungguhnya, pertimbangan ekonomi dan politiklah yang menjadi faktor utama
yang membuat rasisme dan bigotry masih terus ada sampai saat ini. Rasisme tetap
ada dalam rangka mempertahankan status quo, atau struktur sosial yang menguntungkan
para bigot.
Sumber perbedaan lain yang paling
sering menjadi sumber munculnya perilaku bigotry adalah perbedaan agama. Gay
(2003) mengutip The Canadian-based
ReligiousTolerance.org yang menyebut fenomena itu sebagai Religisme (religism),
yang didefinisikan sebagai sebagai ekspresi ketakutan, kebencian, atau
diskriminasi terhadap orang dari afiliasi agama tertentu, yang biasanya dari agama
minoritas. Kebanyakan kelompok agama
percaya bahwa iman mereka adalah satu-satunya agama yang "benar" di
mana keyakinan ini kadang mengakibatkan terjadinya diskriminasi, pelecehan, dan
serangan fisik terhadap orang-orang dengan keyakinan berbeda.
Dalam pandangan Gay, perilaku
bigotry dalam beragama (religious bigotry)
ini juga telah dimainkan di arena politik dalam berbagai bentuk diskusi dan
pidato yang panjang dan tajam dengan fokus pada keberatan agama terhadap
aborsi, hak-hak gay, penggunaan alat kontrasepsi, penelitian stem-cell, doa di sekolah umum, simbol
liburan (holiday symbols) di properti
publik, teori penciptaan (versus teori evolusi), imigrasi, perubahan iklim ilmu
pengetahuan, hukuman mati, sumpah setia pada bendera, dan isu-isu sosial dan
lingkungan lainnya.
Religisme ini pada dasarnya adalah bentuk dari intoleransi
agama, yang oleh Aosved dan Long (2006) dikonseptualisasikan
sebagai stereotype, prasangka, dan
diskriminasi terhadap kelompok agama tertentu atau individu anggota
kelompok-kelompok agama (Godfrey, Richman & Withers, 2000; Richman, Kenton,
Helfst, & Gaggar, 2004).
Di Indonesia, kasus yang dapat
dijadikan contoh seperti adanya sweeping
dan pelarangan ditampilkannya simbol-simbol yang dianggap mewakili perayaan
keagamaan tertentu di tempat umum seperti pusat perbelanjaan dan jalan raya,
dan pelarangan kegiatan keagamaan di lingkungan permukiman tertentu, dll.
Bentuk lain dari bigotry adalah Seksisme (sexism). Abercrombie,
Hill dan Turner (2006) menyebutkan bahwa sikap atau tindakan seksis adalah bentuk
diskriminasi antara laki-laki atau perempuan yang murni atas dasar gender. Ada
seksisme yang eksplisit tapi ada juga yang implisit karena hanya diasumsikan
dan belum diakui sebagai bagian dari budaya. Istilah ini muncul pada tahun 1960-an yang merujuk pada sikap
dan tindakan yang mendiskriminasi perempuan (atau, sangat jarang, laki-laki)
dengan alasan seks atau jenis kelamin (Bruce dan Yearly, 2006). Istilah ini kemudian populer pada era
1970-an ketika kaum feminis berkampanye menentang penggunaan gambar perempuan
seksi dalam iklan dan media (Turner, 2006).
Turner (2006) menyatakan bahwa istilah
ini digunakan untuk menggambarkan proses dan struktur sosial yang menunjukkan
prasangka terhadap kepentingan satu jenis kelamin dibandingkan yang lain. Seksisme
merujuk pada cara di mana perempuan telah digambarkan dengan cara menghina dan
merendahkan oleh budaya, media massa atau lembaga sosial tertentu. Pengertian
seksisme kemudian berkembang yang juga mencakup penggunaan bahasa, semua bentuk
komunikasi, dan asumsi-asumsi budaya mengenai ide-ide yang mengutamakan
kepentingan laki-laki daripada perempuan.
Parrillo (2008b) melihat seksisme sebagai sistem penindasan yang mengistimewakan
hak laki-laki dan mendiskriminasikan perempuan, yang tidak hanya melibatkan
prasangka namun juga penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Parrillo, seperti halnya
rasisme, dalam seksisme juga ada pola
tertentu. Lembaga-lembaga pemerintahan, hukum, agama, pendidikan, dan
media-serta bahasa dan sosial adat istiadat berperan besar dalam terjadinya seksisme,
di mana perempuan dipandang lebih rendah dan selalu menjadi bawah (subordinat)
dari laki-laki. Meskipun ada kasus di mana wanita juga dapat mendiskriminasi
laki-laki, namun diskriminasi terhadap perempuan bersifat lebih struktural dan
banyak terjadi. Singkatnya, seksisme
merujuk pada sikap negatif –khususnya terhadap perempuan-- peran sosial dan
peran gender tradisional mereka (lihat Aosved dan Long, 2006). Seksisme
juga kerap terjadi di tempat kerja, di mana perempuan umumya menjadi korban
utama, karena kerap di bully dan
mengalami pelecehan, serta dikenakan stereotype
sebagai orang yang dianggap tidak mampu menyeimbangkan antara perannya sebagai
wanita karier dan sebagai ibu rumah tangga (Gay, 2013).
Namun seksisme memang bukan semata diskriminasi terhadap
perempuan. Intinya adalah masalah gender
stereotype (diantaranya lihat Swann, Langlois dan Gilbert, Sexism and Stereotype in Modern Society,
1999). Belakangan, makna seksisme ini meluas terkait dengan maraknya tuntutan
akan pengakuan dan perlindungan hak kaum lesbian, gay, biseksual dan
transgender (LGBT) (diantaranya lihat Laura Bates, Everyday Sexism, 2014). Sejumlah
negara sudah mengakui keberadaan mereka termasuk yang berkaitan dengan legalisasi
atas perkawinan sejenis. Sementara di Indonesia, bagi para pelaku dan
pendukungnya, diskriminasi masih terjadi baik dalam kehidupan pergaulan
sehari-hari maupun dalam hal kebijakan (legalisasi) dan jaminan hak lainnya.
Bentuk bigotry lain yang mungkin lebih jarang dikenali dan diakui
adalah Ageisme (ageism). Istilah ini mengacu pada stereotype negatif dari orang lanjut usia, yang berdasarkan
prasangka digambarkan sebagai pikun, bersikap kaku dan secara memiliki ketergantungan
secara psikologis dan sosial (Abercrombie, Hill dan Turner, 2006). Sementara Aosved
dan Long (2006) yang mengutip Butler (1978) mendefinisikannya sebagai prasangka
individu dan terinstitusionalsiasi terhadap orang tua, stereotype, mitos, ketidaksukaan, dan/atau penghindaran dan pengabaian.
Singkatnya, ageisme adalah diskriminasi berdasarkan stereotip negatif tentang
orang lanjut usia dan kapasitas mereka (Bruce dan Yearly, 2006).
Menurut Parillo (2008), ageisme dapat bervariasi baik intensitas
dan efeknya pada kelompok sasaran. Ageisme yang lebih struktural terjadi sentimen
itu terlembagakan seperti dalam kasus praktik ketenagakerjaan yang
diskriminatif. Banyak sosiolog percaya bahwa praktek ini bertanggung jawab
untuk subordinasi orang tua di masyarakat usia lanjut. Ageisme juga dapar
menghambat proses interaksi antara orang lanjut usia dan anak-anak muda. Selain
itu juga dapat menghalangi peluang partisipasi orang-orang usia lanjut dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan. Hal tersebut justru cenderung mendorong
penarikan diri para orang tua tersebut dari masyarakat yang akhirnya justru
dapat berpengaruh pada kesehatan dan kebahagiaan hidup.
Sumber lain dari bigotry adalah Classism.
Bagi Aosved dan Long (2006), pada dasarnya classism
adalah salah satu bentuk dari intoleransi terhadap sistem kepercayaan berbeda. Mereka
mengutip Lott (2002) yang secara khusus mendefinisikan classism sebagai
diskriminasi, stereotype, dan
prasangka terhadap orang miskin. Seperti seksisme, homofobia, rasisme, dan
usia, ada tema intoleransi terhadap "yang lain" yang berbeda dari
anggota kelompok mayoritas. Dengan demikian, classism berfungsi untuk mempertahankan status quo dengan tujuan
tetap menjaga agar meeka yang secara ekonomi lemah tetap tak terlihat dan tak
berdaya, dan yang kaya tetap memiliki kekuatan.
Dalam hal ini Lott menyoroti prasangka dan diskriminasi oleh kelas
berkuasa terhadap kelas bawah saja. Pendekatan yang senada juga diajukan oleh Pincus
dan Sokoloff (2008) yang mengangkat isu classism
dan analisis tentang penindasan kelas dalam masyarakat kapitalis.
Sementara menurut Elementary Teachers’
Federation of Ontario (2009), classism adalah
seperangkat asumsi pribadi dan sistemik, keyakinan, sikap, dan praktik yang
sering mendiskriminasi orang menurut status sosial-ekonomi mereka. Ini termasuk
perlakuan yang berbeda berdasarkan kelas sosial, atau dipersepsikan kelas
sosial.
Sederhananya, menurut Liu
et.al. (2004) classism adalah prasangka
dan diskriminasi berdasarkan kelas sosial yang dihasilkan dari
individu-individu dari kelas sosial yang dirasakan berbeda (Liu, 2001). Mereka menawarkan
pendekatan “Modern Classism Theory (MCT)” yang terutama membagi classism menjadi: (a) Upward
classism, yang didefinisikan sebagai prasangka dan diskriminasi kepada
mereka yang dipersepsikan sebagai kelas sosial lebih tinggi, yang kerap
dianggap sebagai “elitis” dan “snob.”;
(b) Downward
classism, yang sejalan dengan pandangan klasik Marxian tentang oppression and classism, yang dimaknai sebagai prasangka dan diskriminasi terhadap
orang atau kelompok yang dipersepsikan kelas sosialnya lebih rendah (Kilborn,
2001; Kotler, 1999; O’Conner, 2001; Schor, 1998, 2000; Sennet & Cobb,
1972).
Ada pula perilaku bigotry yang
bersumber dari Nativisme (nativism). Menurut Crepaz, et.at. (2014) nativisme berpusat pada ide "kita yang pertama dan
utama" (“us first”), ketakutan
bahwa orang asing akan merusak cara hidup tradisional. Nativisme merupakan
bentuk xenophobia dan eksklusifitas. Nativisme merupakan sebuah
sentimen politik yang menentang imigran dengan alasan bahwa hal itu mengancam
identitas dan kebajikan dari mayoritas penduduk saat ini, yang memposisikan diri
mereka sebagai penduduk asli (Bruce dan Yearly, 2006:207). Menurut Lippard
(2011) nativisme ini merupakan sebuah ideologi berdasarkan sentimen nasionalis
dan memisahkan 'pribumi' dari 'orang asing' (Galindo dan Vigil 2006; Knobel
1996; Schrag 2010). Brian N. Fry dalam Nativism and Immigration: Regulating the
American Dream (2007) mencatat bahwa dalam nativisme penduduk menandai
batas-batas antara yang "asli" dan klaim milik mereka atas property
yang vis-avis dengan segala yang dianggap "asing" di dalam dan
melalui proses kolektif, seperti tuntutan hukum, kampanye media dan pertukaran
ilmiah (Blumer 1958).
Lippard (2011) berpandangan bahwa
nativisme adalah unik karena inti ideologinya bertumpu pada gagasan
nasionalisme dan membedakan antara pribumi dan non-pribumi. Dalam hal ini,
Lippard mengutip Huber et al. (2008) yang berpendapat bahwa isu nasionalisme
penting untuk nativisme karena tidak hanya menjadi alasan bagi upaya membela
identitas nasional dari ancaman yang dirasakan khususnya yang datang dari pihak
luar atau asing. Nativisme umumnya menguat ketika terjadi krisis nasional
berupa sentimen anti-imigran yang menekankan kekhawatiran bahwa orang asing akan
dapat mengancam atau mengambil alih budaya, politik, dan ekonomi. Hal yang
dipandang sebagai bencana nasional yang kemudian membangkitkan kembali isu
nativisme ini adalah ketika terjadi kemerosotan ekonomi, atau perang (atau
bahkan serangan teroris) (Galindo dan Vigil 2006; Higham 1955; Perea 1997;
Portes dan Rumbaut 2006; Sa'nchez 1997).
Nativisme juga mengilhami
tindakan diskriminatif yang sistematis termasuk kebijakan membatasi imigran,
peningkatan kerusuhan dan kejahatan kebencian, dan munculnya kelompok-kelompok “pribumi”
yang tidak segan melakukan kekerasan (vigilante).
Efeknya, menurut (Parrillo, 2008b), nativisme juga mendesakkan kebijakan yang
mendukung warga asli dibandingkan dengan imigran. Di Indonesia bentuk nativisme
ini juga terlihat dari sentimen “pribumi dan non-pribumi” yang kerap dimunculkan,
khususnya pada momentum politik tertentu seperti menjelang pemilihan umum.
Bersambung ke "Ada Apa Dengan Bigot?" (AADB: Bagian 3)
--------------
Referensi:
- Abercrombie, Nicholas, Stephen Hill, and Bryan S. Turner (2006). The Penguin Dictionary of Sociology. Fifth Edition. Penguin Books, London.
- Anderson, Kristin J. (2010). Benign Bigotry: The Psychology of Subtle Prejudice. Cambridge University Press, Cambridge.
- Aosved, Allison C. and Patricia J. Long (2006). “Co-occurrence of rape myth acceptance, sexism, racism, homophobia, ageism, classism, and religious intolerance,” Sex Roles (2006) 55:481–492.
- Bates, Laura (2014). Everyday Sexism… Simon & Schuster, Sydney.
- Bauböck, Rainer (2008). “Beyond Culturalism and Statism. Liberal Responses to Diversity,” Eurosphere Working Paper Series, No. 06, 2008.
- Bronner, Stephen Eric (2014). The Bigot: Why Prejudice Persist. Yale University Press, New York.
- Bruce, Steve and Steven Yearly (2006). The SAGE Dictionary of Sociology. SAGE Publications, London.
- Burleigh, Michael (2010). Blood & Rage: A Cultural History of Terrorism. HarperCollins, New York.
- Chakraborti, Neil and Jon Garland (2009). Hate Crime: Impact, Causes and Responses. SAGE, Los Angeles.
- Crepaz, Markus M.L., et.at. (2014). “Trust matters: The impact of ingroup and outgroup trust on nativism and civicness,” Social Science Quaterly, Volume 95, Number 4, December 2014, pp.938-959.
- Fry, Brian N. (2007). Nativism and Immigration: Regulating the American Dream. LFB Scholarly Publishing, New York.
- Gay, Kathlyn (2013). Bigotry and Intolerance: The Ultimate Teen Guide. It Happened to Me, No. 35. The Scarecrow Press, Lanham.
- Kelly, Robert J. dan Jess Maghan (eds.) (1998). Hate Crime: Global Politics of Polarizarion. Southern Illinois University Press, Illinois.
- Kenneth, John (2007). Culturism: A Word, A Value, Our Future. John Kenneth Press, New York.
- Kressel, Neil J. (1996). Mass Hate: The Global Rise of Genocide and Terror. Springer, New York.
- Lippard, Cameron D. (2011). “Racist Nativism in the 21st Century,” Sociology Compass 5/7 (2011): 591-606.
- Liu, William Ming, et.al. (2004). “A new framework to understand social class in counseling: The social class worldview model and modern classism theory,” Journal of Multicultural Counseling and Development, Apr 2004; 32; 2; pp.95-122.
- Guillaumin, Collete (1995). Racism, Sexism, Power and Ideology. Routledge, London.
- Parrillo, Vincent N. (ed.) (2008). Encyclopedia of Social Problems. Vol. 1. SAGE Publications, Inc., California.
- Parrillo, Vincent N. (ed.) (2008b). Encyclopedia of Social Problems. Vol. 2. SAGE Publications, Inc., California.
- Pincus, Fred Al. and Natalie J. Sokoloff (2008). “Does ‘classism’ help us to understand class oppressios?,” Race, Gender & Class, 15.1/2 (2008):9-23.
- Scruton, Roger (2007). The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought. Third Edition. The Macmillan Press, New York.
- Swann, William B., Judith H. Langlois and Lucia Albino Gilbert (1999). Sexism and Stereotype in Modern Society. American Psychological Association-APA, Washington, D.C.
- Turner, Bryan S. (Gen. Ed.) (2006). The Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge University Press, Cambridge.
- Elementary Teachers’ Federation of Ontario (2009). “Building Undestanding About Classism,” www.etfo.ca/.../Building%20Understanding%20About%20Classism.rtf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar