Precariat:
Liberalisasi Ketenagakerjaan di Era Globalisasi
Bagian 2: Precariat, komoditas dan fleksibilitas
Oleh: Candra
Tulisan ini merupakan lanjutan dari
Keterangan: Guy Standing, Occupy Washington DC, 2011
Pada bagian sebelumnya telah
diulas mengenai apa dan siapa precariat.
Dari paparan Guy Standing dalam
bukunya The Precariat: The New Dangerous Class (2011) tersebut,
ternyata memang banyak orang yang potensial mengalami precariatisation dan ‘berubah’ menjadi precariat. Tidak heran jumlahnya sangat banyak, dan Standing
menyebut mereka sebagai “the new
dangerous class.”
“Apakah memang precariat sebuah kelas sosial yang baru?; Benarkah
berbahaya?; Seberapa berbahayakah mereka?”
Precariat (kelas) berbahaya?
Menurut Standing, precariat
sesungguhnya belum menunjukkan karakteristik sebagai kelas sosial tersendiri.
Penyebabnya adalah karena mereka tidak mampu mengontrol kekuatan teknologi yang
mereka hadapi. Precariat masih
dalam proses pembentukan menjadi kelas. Dalam
terminologi Marxis tentang kelas, Standing menyebut “precariat is a class-in-the-making, if not yet a class-for-itself.”
Sebagian orang mungkin khawatir dengan
kemungkinan bahwa precariat dapat
muncul menjadi kelas sosial yang berbahaya. Precariat
menderita dalam situasi di mana mereka memperoleh informasi yang berlebihan
namun tanpa disertai gaya hidup yang dapat memberi mereka kontrol dan kapasitas
untuk menyaring apa yang berguna dari tidak berguna. Karenanya mereka dikhawatirkan
dapat berkembang menjadi ketidakmampuan massa precariat untuk berpikir jangka panjang, yang disebabkan oleh
probabilitas rendah untuk dapat mencapai kemajuan pribadi atau membangun karir.
Sebagai sebuah kelompok sosial yang tidak melihat adanya jaminan identitas dan
masa depan buat diri dan keluarganya, dan dengan rasa takut dan frustasi yang
ditimbulkannya, dikhawatirkan dapat menyebabkan mereka menyerang balik pada
segala hal yang mereka anggap telah merugikan diri mereka.
Namun demikian, dalam pandangan
Standing, kalaupun mau disebut sebagai kelas, precariat bukanlah kelas yang
utuh. Sebabnya karena selalu ada pertentangan di dalam kelompok besar itu
sendiri. Selalu ada kemungkinan di mana salah satu kelompok menyalahkan
kelompok lain atas kerentanan dan penghinaan yang mereka alami. Ketegangan
dalam precariat membuat mereka saling
bertentangan satu sama lain, yang pada akhirnya membuat mereka kurang menyadari
bahwa struktur sosial dan ekonomi-lah yang telah menyebabkan mereka mengalami
kerentanan.
Menurut Standing, akibat tekanan
ekonomi dan sosial yang dialaminya, precariat
mengalami ‘Empat A’: anger (marah), anomie (kekacauan), anxiety
(kecemasan) dan alienation
(keterasingan). Precariat merasa frustrasi bukan hanya karena dalam jangka
waktu yang lama bekerja dalam kondisi yang labil tanpa rasa aman dalam hal
pekerjaan dan pendapatan, tetapi juga karena pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak melibatkan terciptanya hubungan
saling percaya yang melekat dalam struktur atau jaringan yang bermakna. Precariat
juga tidak memiliki jalur mobilitas sosial ke atas, yang menyebabkan mereka
terus menerus berada dalam kondisi eksploitasi diri (self-exploitation) dan keterpisahan yang dalam.
Selain itu precariat hidup dengan
kecemasan dan ketidakamanan kronis karena menyadari mereka senantiasa dalam
kondisi krisis, di mana satu kesalahan atau nasib buruk dapat membuat mereka
kehilagan segalanya. Meeka merasa tidak aman dan stres, sementara pada saat
yang sama 'menganggur' atau terlalu banyak bekerja (multitasking dan overemployed)
meskipun ternyata pendapatan yan diterima tetap tidak sebanding dengan upaya
yang dilakukan. Mereka terasing dari pekerjaan, dan anomi, merasa tidak pasti
dan putus asa. Karena takut kehilangan apa yang mereka miliki membuat mereka merasa
frustrasi. Mereka akan marah tetapi biasanya pasif. Pikiran bahwa mereka
mengalami precariatised sesungguhnya
ditimbulkan dan dimotivasi oleh rasa takut.
Seperti halnya kaum proletar,
para precariat
juga mengalami keterasingan, yang berasal dari kesadaran bahwa bahwa
apa yang mereka lakukan bukan ditujukan untuk tujuan atau kepentingan mereka sendiri,
atau untuk nilai-nilai yang mereka hormati atau hargai. Karena pada dasarnya apa
yang mereka lakukan semata untuk orang lain, dan atas perintah orang lain. Akibatnya,
para precariat cenderung menjadi
kurang menghargai diri dan pekerjaan mereka sendiri.
Dalam pandangan Standing, dampak
lainnya adalah yang terkait dengan sikap kerja. Bagi para precariat, di satu sisi pekerjaan telah berubah menjadi serba
fleksibel dan instrumental, dan di sisi lain upah yang mereka terima juga tidak
memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dampaknya, tidak ada lagi 'profesionalisme'
di kalangan precariat yang sesuai
dengan standar, kode etik dan saling menghormati di antara para anggotanya
berdasarkan kompetensi dan menghormati norma-norma perilaku lama yang mapan. Menurut
Standing, para precariat tidak dapat bertindak professional karena mereka tidak memiliki
spesialisasi dan tidak dapat melakukan pengembangan diri dalam hal kedalaman
kompetensi atau pengalaman. Mereka menghadapi ketidakpastian dalam hal pekerjaan
dan hanya memiliki sedikit prospek untuk melakukan mobilitas sosial ke atas.
Akibat hanya mengerjakan
pekerjaan yang hanya membutuhkan keterampilan ‘sederhana’ dan sering berpindah
jenis dan tempat bekerja, atau bahkan mengerjakan beberapa jenis pekerjaan
sekaligus (multitasking) untuk memperoleh
penghasilan lebih, para precariat juga dapat menjadi lemah dalam
hal ‘memori sosial’ (social memory).
Menurut Standing, memori jenis ini merupakan bagian dari kesadaran umat manusia
untuk mendefinisikan diri dengan apa yang telah dilakukan dan melakukan apa yang
ingin dilakukan. Memori sosial menjadi milik kolektif/masyarakat yang
direproduksi dari generasi ke generasi, dan menyediakan kode etik dan rasa
mengenai makna dan stabilitas, emosional dan sosial. Memori sosial berakar dari
kelas dan dimensi pekerjaan, yang
terkait dengan apa yang dicita-citakan. Situasi yang dihadapi precariat merupakan konstruksi sosial yang pada akhirnya dapat menghambat aspirasi mereka.
Standing mensinyalir, bahwa pada kondisi
demikian itu, banyak diantara para precariat yang kemudian tertarik dengan
retorika dari politisi populis bahkan para penganut neo-fasis, di mana
kecenderungan ini sudah terlihat jelas
di seluruh Eropa, Amerika Serikat dan di banyak tempat lain. Inilah sebabnya
mengapa Standing menyebut precariat sebagai
kelas yang berbahaya.
“Jadi ada analisis bahwa jumlah precariat yang besar dikhawatirkan
tergoda pada politik populisme dan fasis… Tapi apa sebenarnya yang menyebabkan
meningkatnya jumlah precariat dalam beberapa dekade terakhir ini?”
Apa/siapa ‘pencipta’ precariat?
Dalam pandangan Standing, precariat
muncul sebagai dampak dari transformasi global. Menurutnya, era globalisasi
(1975-2008) adalah masa ketika ekonomi dikonstruksi melalui perubahan kebijakan
dan kelembagaan oleh pemodal dan ekonom neo-liberal berusaha untuk menciptakan ekonomi pasar global berdasarkan daya saing
dan individualisme. Sebagai konsekuensi dari komitmen untuk terlibat dalam
ekonomi pasar terbuka dan tekanan untuk dapat lebih kompetitif, negara-negara
industri dari negara industri baru (NIC) harus mampu menyediakan pasokan tenaga kerja murah. Komitmen
terhadap prinsip-prinsip pasar terbuka tersebut mau tidak mau melahirkan sebuah
sistem produksi global dengan jaringan perusahaan dan praktik tenaga kerja yang fleksibel.
Dalam hal ini Standing
menyimpulkan bahwa aspek sentral globalisasi adalah 'komodifikasi,' di mana segala sesuatu dipandang sebagai komoditas,
yang dapat diperjualbelikan, tunduk pada kekuatan pasar, dengan harga yang
ditetapkan oleh mekanisme permintaan dan penawaran, serta tanpa kapasitas untuk
menolak. Komodifikasi ini telah meluas pada seluruh aspek kehidupan, termasuk
kebijakan perlindungan sosial keluarga, sistem pendidikan, perusahaan, lembaga
tenaga kerja, pengangguran, penyandang disabilitas, masyarakat pekerja dan dunia
politik.
Menurut Standing, dalam pandangan
ekonomi neo-liberal, salah satu prinsip utamanya adalah bagaimana agar semua
hambatan ekonomi pasar bebas dapat diatasi. Untuk itu, salah satunya adalah
gagasan bahwa diperlukan peraturan untuk
mencegah kepentingan kolektif yang dapat menjadi hambatan untuk kompetisi. Hasrat
untuk melemahkan institusi kolektif tersebut mencakup mengubah perusahaan dari
perannya sebagai lembaga sosial, serikat pekerja sebagai wakil dari karyawan,
masyarakat kerja sebagai serikat kerajinan dan profesi, pendidikan sebagai
kekuatan untuk pembebasan dari kepentingan diri sendiri dan komersialisme,
keluarga sebagai lembaga timbal balik dan reproduksi sosial, dan pegawai negeri
sipil sebagai dipandu oleh etika pelayanan publik.
Standing berpendapat bahwa di era
globalisasi ini yang sesungguhnya terjadi bukanlah de-regulasi, tapi re-regulasi, yaitu pemberlakuan
berbagai peraturan baru yang sepenuhnya diabdikan untuk mendukung berjayanya ekonomi
pasar bebas. Di pasar tenaga kerja dunia, sebagian besar peraturan baru tersebut
bersifat direktif, yang memberitahu orang-orang apa yang mereka bisa dan tidak
bisa lakukan, dan apa yang mereka harus lakukan untuk menjadi penerima manfaat
dari kebijakan negara. Dampak dari kebijakan baru tersebut adalah berubahnya pengaturan tenaga kerja dan terciptanya
fragmentasi pada kelas pekerja. Situasi tersebut semakin mulus dengan adanya proses
'tertiarisasi' (tertiarisation) kerja dan tenaga kerja, yang terkait dengan
penurunan di bidang manufaktur dan pergeseran ke tenaga kerja ke jasa/layanan.
Selain re-regulasi dan
tertiarisasi, ada salah satu dari aspek kapitalisme global yang menurut
Standing juga telah memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan precariat, yaitu komodifikasi
perusahaan. Ketika perusahaan juga telah
menjadi komoditi, maka perusahaan dapat diperjualbelikan melalui merger dan
akuisisi. Perusahaan dapat diperdagangkan, dipecah-gabung dan dikemas ulang. Konsekuensinya,
semakin banyak perusahaan yang dimiliki oleh pemegang saham asing. Dengan komodifikasi
perusahaan, maka pemilik dan tim managemen perusahaan sangat mungkin
berganti-ganti setiap saat. Di sisi lain, perusahaan juga tidak memandang perlu
memiliki banyak pekerja tetap. Hubungan
kerja menjadi fleksibel. Akibatnya, komitmen dan tanggung jawab perusahaan
terhadap tenaga kerjanya menjadi semakin sulit untuk dipegang.
Komodifikasi juga telah membuat
pembagian kerja dalam perusahaan menjadi
lebih cair. Jika kegiatan perusahaan lebih murah jika dilakukan di satu
lokasi, maka akan ada pilihan apakah pekerjaan
itu akan di-'offshored' (relokasi
bisnis ke tempat/negara lain) atau dengan 'outsourcing'
(melalui perusahaan mitra atau pihak lain). Namun kondisi tersebut ternyata
berpengaruh terhadap proses kerja di mana struktur pekerjaan dan 'karir'
internal menjadi terganggu, karena ada ketidakpastian mengenai apakah pekerjaan
akan dilakukan secara offshored atau outsourcing. Sebagai komoditas, perusahaan juga menjadi lebih portabel dan
fleksibel, dalam hal kemampuannya untuk beralih usaha atau kegiatan. Sementara, banyak karyawan tidak dapat dengan
mudah berganti atau pindah pekerjaan. Hal ini tentunya mengganggu karir
kerja mereka, yang pada akhirnya akan cenderung mendorong mereka lebih ke dalam
kondisi dan pekerjaan precariat.
Jadi, menurut Standing, liberalisasi
ekonomi pasar global-lah yang telah menciptakan precariat, yaitu ketika dalam urusan ekonomi, bisnis dan
ketenagakerjaan telah di re-regulasi, terkomodifikasi, dan dibuat menjadi serba
fleksibel. Bagi pengusaha/perusahaan, fleksibilitas ternyata bermakna sebagai
hubungan ketenagakerjaan yang longgar dan tanggungjawab yang lebih sedikit. Semua
telah menjadi komoditas, bahkan perusahaan dan tenaga kerja juga adalah
komoditas belaka.
“Sebenarnya, terkait ketenagakerjaan, dalam hal apa fleksibilitas itu terjadi?”
Fleksibilitas nan ganas
Standing menulis bahwa hubungan
kerja yang fleksibel telah menjadi penyebab langsung utama pertumbuhan precariat global. Aspek yang mempercepat
pertumbuhan precariat adalah tiga
serangkai fleksibilitas yaitu flesibilitas
numerik, fleksibilitas fungsional dan fleksibilitas
sistem upah.
Bentuk dominan precariat adalah fleksibilitas numerik, yaitu melalui bentuk tenaga kerja 'atipikal'
atau 'non-standar.' Ini adalah sebuah fitur fleksibilitas berupa meningkatnya penggunaan tenaga kerja sementara, yang
memungkinkan perusahaan untuk mengubah kerja secara cepat, sehingga mereka
dapat beradaptasi dan mengubah unit/divisi kerja mereka. Tenaga kerja sementara
memberi keuntungan bagi perusahaan, yaitu: upah lebih rendah, upah tanpa
mempertimbangkan pengalaman kerja sebelumnya, berkurangnya kewajiban perusahaan
memberi imbalan diluar upah (asuransi, bonus, tunjangan, dll.), dan sebagainya.
Meskipun dalam pandangan Standing tetap ada sedikit risiko, yaitu jika mempekerjakan
seseorang tanpa komitmen yang kuat --pada
kasus tertentu-- mungkin akan memberi resiko tersendiri juga bagi perusahaan,
namun itu kurang signifikan dibandingkan keuntungan yang diperoleh perusahaan
dari diterapkannya sistem ketenagakerjaan yang baru ini.
Seperti sudah disebutkan
sebelumnya, situasi tersebut dipengaruhi oleh adanya tertiarisasi atau pergeseran
orientasi bisnis/industri secara global dari manufaktur ke jasa/layanan. Menurut
Standing, dalam industri jasa ada kecenderungan tenaga kerja akan lebih berorientasi jangka pendek. Hal ini
berdampak pada fluktuasi permintaan
tenaga kerja, sehingga ada kebutuhan untuk menggunakan tenaga kerja
sementara –yang dapat juga dimasukkan ke dalam kategori setengah pengangguran (underemployment)--. Ada juga faktor lain
yang sedikit banyak mendorong peningkatan kondisi tersebut. Bagi pengusaha, jika
dibandingkan dengan pekerja tetap, para pekerja
kontrak sementara ini lebih mudah untuk didorong agar bekerja lebih keras,
terutama jika pekerjaan tersebut sifatnya lebih intens. Pengusaha senang karena
pekerja tetap dapat dikurangi. Selain itu pekerja kontrak sementara dapat
dibayar lebih sedikit untuk jam kerja yang juga lebih sedikit ketika
pekerjaan/proyek/order sedang berkurang, misalnya. Mereka juga dapat lebih mudah dikontrol melalui ancaman pemecatan,
dll.. Jika pekerjaan/proyek/order suatu ketika hanya membutuhkan sedikit tenaga
kerja, mereka juga dapat diberhentikan dengan
mudah, dengan prosedur dan biaya yang lebih mudah.
Standing mengutip penulis lain
(seperti Amoore, 2000; Sklair, 2002; Elger dan Smith, 2006; Royle dan Ortiz,
2009) yang menggambarkan bagaimana perusahaan
multinasional mencoba untuk membentuk model kerja baru di tempat-tempat di mana
mereka mendirikan anak perusahaan. Contohnya, best practice model dari jaringan restoran fastfood McDonald yang melibatkan pembentukan pekerja dengan
keterampilan spesifik yang terbatas (deskilling),
penghapusan karyawan lama, pelarangan serikat pekerja (union busting), serta upah dan bonus yang lebih rendah dari
perusahaan. Model ini kemudian banyak ditiru oleh perusahaan lain di lokasi
mereka beroperasi.
Menurut Standing, pergeseran
tenaga kerja sementara ternyata juga disertai dengan meningkatnya jumlah pelaku/perusahaan yang menjadi agen dan penyalur
tenaga kerja. Merekalah yang telah berperan besar membantu perusahaan untuk
mengganti tenaga kerja tetap dengan tenaga kerja sementara dan tenaga kerja
dari kontraktor/perusahaan lain.
Saya kira apa yang ditulis
Standing tersebut dapat menjelaskan fenomena menjamurnya perusahaan yang
menyediakan tenaga outsoucing di
Indonesia dalam dua dekade belakangan. Hampir semua perusahan besar, pusat perkantoran,
pusat perbelanjaan dan bahkan kantor pemerintahan tertentu menggunakan tenaga
“alih daya” untuk mengurus keamanan, kebersihan, kurir, catering, dll., karena oleh
perusahaan penyewanya, mereka dipandang lebih efisien (baca: lebih murah dan kurang
merepotkan).
Sementara itu, dalam bukunya
tersebut Starling menulis bahwa bentuk umum dari fleksibilitas fungsional adalah kontrak tanpa jam kerja (zero
hour contracts), yaitu ketika pekerja diberi kontrak namun tidak diatur
secara spesifik berapa lama jam kerja mereka, apa persisnya jenis pekerjaannya,
dan berapa banyak mereka akan dibayar. Bentuk lain dari fleksibilitas jenis ini
adalah penerapan kontrak individual.
Ketika kolektivitas menyusut, yang ditandai dengan melemahnya serikat pekerja
dan perundingan bersama, maka maraklah model kontrak individual. Hal ini
memungkinkan perusahaan untuk memberikan perlakuan
yang berbeda pada tiap pekerja, dalam hal derajat jaminan dan status, yang
menggiring sebagian besar pekerja Salariat
(penerima gaji dengan pekerjaan stabil) ke status precariat. Kontrak
Individu memungkinkan pengusaha untuk
memperketat kondisi untuk meminimalkan ketidakpastian perusahaan, yang ditegakkan
melalui ancaman hukuman jika pekerja melanggar kontrak.
Dalam pandangan Standing, kontrak
individual, kasualisasi dan bentuk lain dari fleksibilitas eksternal diterapkan
bersama-sama dalam 'tertiarisasi’ (tertiarisation)
yang merangkum kombinasi beberapa bentuk fleksibilitas. Tertiarisasi ini ditandai
dengan adanya pembagian kerja yang bersifat cair, tempat kerja menyatu dengan
rumah dan/atau tempat umum, jam kerja berfluktuasi dan orang-orang dapat
menggabungkan beberapa status pekerjaan dan memiliki beberapa kontrak secara
bersamaan. Hal ini mengantarkan sistem kontrol baru, berfokus pada penggunaan
waktu masyarakat. Kondisi ini menurut Foucault (1977) disebutnya sebagai 'pabrik sosial', di mana masyarakat
merupakan perluasan dari tempat kerja (Hardt dan Negri, 2000).
Pada dasarnya fleksibilitas
fungsional dan tertiarisasi telah menyebabkan berkembangnya pola
kerja jarak jauh, yang menurut Standing hal tersebut telah memecah
kelompok pekerja dan cenderung mengisolasi mereka. Namun sebagian pekerja menyambut ini sebagai kesempatan
untuk bekerja dari rumah. Karyawan semakin memiliki 'roaming profile', yang memungkinkan mereka untuk mengatur dan mentransfer
file dari komputer di ‘ruang kerja
virtual’ yang mereka gunakan. Pengaturan ini sangat menguntungkan bagi
perusahaan, karena selain dapat berhemat dari kebutuhan menyediakan ruang dan
perlengkapan kantor, dapat memperoleh tenaga terampil dari mana saja dan dengan
kondisi yang lebih fleksibel (ibu rumah tangga yang bekerja di rumah, misalnya),
memungkinkan untuk memperpanjang jam dan hari beroperasi nya perusahaan,
mengurangi politik kantor dan gangguan rekan kerja, dan lebih ramah lingkungan.
Kelemahannya, model kerja macam begini menyebabkan berkurangnya kegiatan berbagi
informasi secara informal dan kurangnya esprit
de corps.
Selain fleksibilitas fungsional
dan bekerja jarak jauh (distance work),
perubahan struktur kerja telah
mengganggu kapasitas masyarakat untuk mengontrol dan mengembangkan potensi
kerja mereka. Di era globalisasi, peran pemerintah diam-diam dikurangi oleh
lembaga-lembaga profesi dan kerajinan
yang menetapkan aturan mereka sendiri. Lembaga-lembaga tersebut menetapkan
standar mereka sendiri, membuat mekanisme untuk dapat masuk dalam skema
pekerjaan tertentu, membangun dan mereproduksi etika dan cara melakukan
sesuatu, mengatur tingkat upah dan hak, membangun cara mendisiplinkan dan
sanksi anggotanya, membuat prosedur untuk promosi dan untuk bentuk lain dari
kemajuan karir, dll.
Liberalisasi ekonomi disertai
dengan liberalisasi pekerjaan (liberalisation of occupations), yang
diatur dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas regional maupun
internasional. Pasar nasional kemudian menjadi terbuka untuk persaingan dengan
pekerja asing di pekerjaan di sektor jasa di negara-negara yang sebelumnya
memiliki yurisdiksi nasional mengenai siapa yang dapat berlatih menjadi seorang
pengacara, akuntan, arsitek, tukang ledeng atau apa pun. Akibatnya, bahkan pekerjaan
yang sebelumnya dimiliki oleh kelas penerima gaji dan profician menyembunyikan kecenderungan untuk juga menjadi precariat, melalui karir yang terpotong.
Standing mengkritisi
kecencerungan ini. Dalam persaingan global, dan revolusi teknologi yang sedang
berlangsung, dapat dimengerti mengapa perusahaan ingin melakukan hal tersebut
dan mengapa pemerintah
mendukungnya. Namun, model tersebut menurutnya telah membawa perubahan yang
menyakitkan dan meningkatkan jumlah precariat di dunia. Jika fleksibilitas
numerik menghasilkan ketiadaan jaminan ketenagakerjaaan (employment insecurity), maka fleksibilitas fungsional
mengintensifkan ketiadaan jaminan kerja (job
insecurity).
Fitur terakhir dari trio
fleksibilitas ini adalah fleksibilitas
upah. Fitur ini tidak hanya membuat tingkat
pendapatan yang diterima oleh sebagian besar pekerja menjadi turun, namun
sekaligus membuat ketidakamanan
pendapatan mereka menjadi meningkat. Pendapatan sosial para pekerja juga mengalami
restrukturisasi. Upah di negara-negara industri telah mengalami stagnasi selama
beberapa dekade. Terjadi kesenjangan
upah (wage gap) yang sangat besar,
termasuk perbedaan antara karyawan tetap dan kalangan precariat.
Di sisi lain, Standing mencatat
bahwa globalisasi telah mendorong perusahaan untuk mengubah tren dari upah (wages)
menjadi manfaat (benefits).
Sementara kaum Salariat selain menerima gaji juga menerima berbagai manfaat
dari perusahaan (seperti bonus, cuti medis, asuransi kesehatan, libur dibayar,
transportasi bersubsidi, perumahan bersubsidi, dll.), kaum precariat tidak mendapatkan itu sama sekali, dan hanya hidup
mengandalkan dari upah yang diterima saja. Dalam hal ini, pada intinya perusahaan telah mengurangi biaya tenaga
kerja dan memindahkan risiko serta biaya pada pekerja. Kehidupan kaum precariat menjadi lebih riskan lagi.
Sementara di sisi lain, terbatasnya penghasilan dan kurangnya dukungan dari
perusahaan menyebabkan kaum precariat
semakin kesulitan untuk dapat memiliki asuransi kesehatan/jiwa yang memadai.
Standing berpendapat bahwa yang
paling menderita dari rezim fleksibilitas upah ini adalah kaum precariat. Karena, upah yang mereka terima menjadi mereka lebih rendah, lebih bervariasi
dan lebih tak terduga, di mana variabilitas tersebut tidak mungkin berkorelasi
positif dengan pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Ketika kaum
precariat memiliki kebutuhan keuangan di atas normal, seperti ketika mereka
memiliki penyakit atau kebutuhan keluarga lainnya, mereka juga cenderung untuk
bersedia bekerja dengan upah di bawah rata-rata. Dan ketidakpastian ekonomi
mereka diintensifkan dengan cara kerja kredit perbankan/lembaga keuangan
lainnya yang tidak mendukung. Kesulitan memperoleh pinjaman di lembaga keuangan
formal akan mendorong mereka untuk meminjam uang dari rentenir dengan tinggi
bunga lebih tinggi dan dengan jadwal pembayaran yang tidak realistis. Akibatnya
kaum precariat kerap terjerat hutang
yang kronis.
Bersambung ke
Bagian 3: Jebakan Precariat
----------
Referensi:
Standing, Guy (2011). The
Precariat: The New Dangerous Class. Bloomsbury, London.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar