Kalau ada buku yang mesti segera dibaca
sebelum sumber daya alam di Indonesia benar-benar rusak atau habis adalah buku
ini. Buku versi aslinya terbit di tahun 2007. Puji Tuhan… karena buku ini telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh The
Samdhana Institute (yang
berkedudukan di Bogor). Kalau benar, buku ini dapat disebut fenomenal, karena
sangat jarang terjadi di mana sebuah buka dapat diterjemahkan dan diterbitkan
pada tahun yang sama dengan versi Inggrisnya.
Penulisnya memang bukan orang sembarangan. Macartan Humphreys
adalah pakar ilmu sosial dan politik dari Columbia University. Jeffrey
D. Sachs menjabat sebagai Professor
of Sustainable Development, Professor of Health Policy and Management, dan
sekaligus Director of the Earth Institute juga di Columbia University.
Sementara Joseph E. Stiglitz
adalah pakar ekonomi, pengarang, dan peraih penghargaan Nobel bidang
Ekonomi, yang juga pernah mengajar di MIT dan Yale. Selain itu belakangan Stiglitz
juga lebih dikenal sebagai “suara mantan orang dalam” karena pernah menjabat
posisi strategis di Bank Dunia yaitu sebagai Senior Vice-President dan Chief Economist (1997 – 2000) yang konon kemudian "dipaksa" berhenti karena kebijakannya dianggap tidak sejalan lagi lembaga tersebut. Dan seperti lazimnya adat istiadat ilmiah di
luar sana, buku ini didasarkan pada sebuah paper ilmiah berjudul sama di
(journal) European Economic Review,
Volume 45, tahun 2001.
Buku
ini berangkat dari gagasan Richard Auty
dari Lancaster University-Inggris pada tahun 1993. Dia memperkenalkan
istilah “resource curse” atau
“kutukan sumber daya alam” dalam bukunya Sustaining Development
in Mineral Economies: The Resource Curse Thesis. Seperti dikutip oleh Humphreys dkk., dalam bukunya Auty menganalisis
bahwa negara-negara yang kaya sumber daya alam (khususnya minyak dan gas alam)
ternyata justru menunjukkan performa
pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintahannya dibanding negara-negara
yang sumber daya alamnya lebih terbatas. Menurutnya, meskipun kekayaan alam
yang besar member peluang untuk memperoleh kekayaan negara dari eksploitasi
sumber daya alam, namun “anugrah” tersebut kerap justru berubah menjadi
“kutukan” dan menjadi faktor penghambat pembangunan yang berkelanjutan.
Sebaliknya, keterbatasan sumber daya alam (seperti Hong Kong, Korea, Singapura,
dan Taiwan) tidak selalu terbukti menjadi hambatan dalam menciptakan pembangunan
yang stabil dan berkelanjutan. Selain itu, pada sejumlah negara kaya sumber
daya alam, selain banyak yang gagal dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang
diharapkan, juga ada hubungan antara kekayaan sumber alam dengan kemungkinan
lemahnya perkembangan demokrasi (Ross 2001), korupsi (Salai-Martin and Subramanian 2003), dan perang saudara
(Humphreys 2005).
Ada satu analisis yang mengena dengan konteks
Indonesia, yaitu bahwa variasi dari efek kekayaan sumberdaya alam terhadap
kesejahteraan bukan hanya terjadi di tingkat negara, tetapi juga “di dalam” negara itu sendiri. Singkat kata, kekayaan
sumber daya alam tidak menjamin dapat diciptakannya keadilan dan pemerataan
bagi seluruh rakyatnya. Kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin juga terjadi
pada negara dengan kekayaan alam yang besar, seperti terjadi di Venezuela
(sebelum Chavez???), dan meski tidak disebutkan oleh para penulisnya, kita juga
dapat menambahkan Indonesia dalam kategori ini.
Intinya, ada dua kakteristik pemanfaatan sumber
daya alam, yaitu:
(a)
Kekayaan alam
hasil ekstraksi atau bahan galian. Umumnya lokasi berada dalam sebuah kawasan
terpisah/tersendiri atau enclave. Hal ini diakibatkan oleh karena proses
produksi relatif tidak terkait dengan proses ekonomi pada umumnya. Dalam kasus
Indonesia, kita tentu dapat dengan mudah teringat pada kota-kota mandiri di
kawasan pertambangan emas, tembaga, nikel, dll. milik TNC yang diantaranya
terdapat di Sulawesi, NTT dan Papua.
(b) Karakteristik
kedua, adalah bahwa ekstraksi sumber daya alam juga dapat terjadi tanpa
bergantung pada proses politik. Dalam buku ini disebutkan bahwa tak jarang
suatu pemerintahan dapat dengan mudah mengakses sumber daya alam, terlepas dari
apakah dari apakah ia sungguh-sungguh yang mendominasi hubungan dengan
rakyatnya, atau memang secara efektif mengendalikan institusi-institusi negara.
Terpisahnya mekanisme ekonomi politik dan sektor
pertambangan misalnya, ternyata justru memunculkan proses ekonomi dan politik
yang tidak sehat. Diantaranya adalah munculnya perilaku pemburu rente (rent-seeking behavior). Karena imun dari kontrol politik oleh publik,
banyak individu-individu baik para para aktor dari sektor swasta atau para
politisi, ternyata memiliki insentif untuk menggunakan mekanisme dan pengaruh
politik mereka untuk menangguk keuntungan secara pribadi ataupun berjamaah.
Kasus aktual di Indonesia saat ini (2014) salah satunya adalah terungkapnya
kasus suap di SKK Migas yang melibatkan para pejabat teras lembaga tersebut
yang juga menyeret nama sejumlah politisi Senayan.
Masalah lain yang mencerminkan ketidakadilan
dalam pemanfaatan sumber daya alam adalah pada umumnya ada ketimpangan
pembagian hasil antara negara dan perusahaan yang umumnya adalah TNC. Besarnya
investasi dan mahalnya teknologi kerap menjadi isu yang dimainkan TNC dalam
proses negosiasi kegiatan ekstraksi sumber daya alam. Pada negara-negara yang
secara teknologi masih lemah, di sisi lain ada keinginan untuk secepatnya
memperoleh pendapatan dari hasil sumber daya alam (terlepas dari betu dengan
tujuan untuk pembangunan ataupun untuk keuntungan kelompok tertentu saja),
posisi tawar mereka tentu sangat lemah. Istilah pasarannya: “Jual Butuh” lah…
Efek lain adalah bahwa melonjaknya pendapatan
dari hasil ekstraksi sumber daya alam, justru membuat sektor ekonomi peroduktif
lain khususnya diluar pertambangan menjadi rusak. Fenomena ini disebut sebagai
“Dutch Disease” (Ebrahim-Zadeh
2003), yang diambil dari pengalaman Belanda, yang rusak kapasitas ekspornya akibat
temuan gas alam di Laut Utara. Kemampuan memproduksi dan mengekspor digantikan
dengan kebiasaan membeli/impor. Dalam kasus Indonesia, oil boom di era tahun 70-an masuk dalam kategori ini. Setelah
bertahun-tahun terbiasa mengimpor, bahkan
bahan makanan dan garam-pun juga mesti diimpor dari luar.
(Lanjut lagi
nanti deh ya…)
-----------------------
Judul asli : Escaping The Resource Curse (2007)
Judul teremahan : Berkelit dari Kutukan Sumberdaya Alam
Penyunting : Macartan Humphreys, Jeffrey D. Sachs & Joseph E. Stiglitz
Penerbit : The Samdhana Institute, Bogor
Tahun : 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar