Oleh: C. Kusuma
Indonesia
pasca krisis 1998 dihadapkan pada kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan
penyerapan tenaga kerja khususnya di sektor industri. UU Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan menjadi landasan hukum kebijakan diperkenankannya
penggunaan pekerja kontrak dan outsourcing,
yang awalnya hanya pada jenis pekerjaan pendukung di sektor manufaktur.
Faktanya praktek ini meluas juga ke bagian inti pekerjaan pada sektor tersebut, dan meluas pada
sektor-sektor lain, termasuk di pemerintahan dan pemerintahan daerah serta
BUMN/D. Kebijakan tersebut, berdasarkan hasil sejumlah kajian sebelumnya,
memperlihatkan adanya proses eksklusi sosial yang multidimensi terhadap pekerja
dan pencari kerja.
Masalah
Persoalan utama di
bidang ketenagakerjaan/perburuhan di Indonesia saat ini adalah semakin tidak memihaknya
kebijakan pemerintah dalam hal ketenagakerjaan di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah
Indonesia
termasuk diantara negara-negara
yang mengadopsi kebijakan Flexibel Labour Market (pasar tenaga kerja yang
fleksibel), sebagai bagian dari upaya
untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan, yang belum secara signifikan berkurang
setelah efek panjang dari krisis ekonomi 1998 (Bappenas, 2004; Widianto,
2006).
Bentuk nyata dari
kebijakan tersebut adalah adanya pekerja kontrak dan outsourcing.[1] Istilah
outsourcing ini secara formal muncul dalam Usulan Reformasi Kebijakan
Ketenagakerjaan Bappenas 2005. Outsourcing dipandang sebagai salah satu
cara untuk memperbaiki proses perekrutan melalui praktik-praktik yang fleksibel
di tempat kerja' (AKATIGA, 2006:2)
Dari sumber referensi utama yang menjadi bahan
review, dapat ditangkap bahwa yang dimaksud dengan Flexibel Labour Market
(pasar tenaga kerja yang fleksibel) adalah pasar tenaga kerja yang ditentukan
oleh mekanisme permintaan dan penawaran bebas antara pencari kerja, agen
pencari kerja dan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja. Pasar
tenaga kerja yang fleksibel, setidaknya memiliki sejumlah ciri berikut: (a) Merupakan pasar
bebas, yang
bebas dari intervensi negara; (b) Memandang kebebasan pelaku untuk
bertransaksi
sebagai prasyarat bagi kinerja ideal dari pasar tenaga
kerja; (c) Mengedepankan
tujuan ekonomi dari interaksi pekerja, pencari kerja dan pengusaha; (d)
Mengedepankan prinsip-prinsip hukum pasar berkaitan dengan fleksibilitas
dalam hal pengangkatan
dan pemberhentian, jam kerja, upah dan kesejahteraan.
Di Indonesia, kebijakan yang mengatur sistem pasar tenaga kerja
yang fleksibel adalah UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU
tersebut dianggap memberikan legitimasi penggunaan pekerja kontrak dan outsourcing, khususnya pada sektor
industri manufaktur (lihat Lampiran 2), dan banyak menabrak kebijakan
ketenagakerjaan dan hak asasi manusia (lihat Lampiran 3). Penyebaran praktek
pasar tenaga kerja fleksibel padas ektor manufaktur di Indonesia sangat cepat,
termasuk merambah ke sektor jasa dan pelayanan publik. Situasi ini menciptakan
keresahan di kalangan pekerja dan serikat pekerja, dan mendorong munculnya
banyak protes dan demonstrasi. Akibat reaksi keras kaum pekerja tersebut, upaya
pemerintah menyusun peraturan pemerintah sementara ini dapat ditangguhkan.[2]
Peningkatan fleksibilitas
pasar tenaga kerja terjadi paling cepat di sektor manufaktur. Alasan berkenaan dengan
penggunaan pekerja kontrak dan outsourcing, adalah: (a) Bagi pengusaha, sistem tersebut merupakan strategi
baru yang dapat meningkatkan efisiensi
biaya produksi
di tengah kerasnya persaingan di
pasar komoditas dan fluktuasi tajam ekonomi; (b) Bagi pemerintah,
sistem tersebut dianggap sejalan dengan keinginan
menciptakan
iklim usaha yang ramah investasi; (c) Bagi
pemerintah daerah di daerah industri, sistem tersebut juga membantu peningkatan
pertumbuhan investasi di sektor industri di daerahnya, yang diharapkan dapat
mendongkrak pemasukan daerah.
Pada
awalnya, flexibilisasi terjadi pada pekerja di bagian pendukung di sektor
manufaktur, seperti pekerja kebersihan, keamanan, sopir, operator gudang dan
catering yang memang diizinkan oleh hukum. Namun, belakangan juga
merambah para pekerja di lini produksi utama akibat lemahnya pengawasan dan
sikap permisif pemerintah.
Hubungan kerja dalam pasar tenaga kerja fleksibel memliki beberapa
ciri, sebagai berikut: (a) Menciptakan hubungan yang tidak adil, karena mengabaikan realitas
hubungan yang tidak seimbang antara pencari kerja, pekerja dan pengusaha; (b)
Menghasilkan struktur kesempatan yang dominasi oleh modal, sehingga majikan
berada dalam posisi kuat untuk mengontrol jenis pekerja yang mereka butuhkan,
lama kerja, kondisi kerja dan upah, dan organisasi produksi yang akan
diterapkan, terutama dalam kondisi pasar tenaga kerja yang didominasi oleh
surplus tenaga kerja, khususnya tenaga kerja tidak terampil di negara
berkembang. Singkatnya, pengusaha dan rezim pasar tenaga kerja memonopoli akses
ke sumber daya di pasar tenaga kerja (Silver, 1995; Tjandraningsih &
Nugroho, 2007).
Eksklusi
sosial
Pokok masalah utama dari gejala eksklusi sosial
di sektor ketenagakerjaan adalah: (a) Semakin berkurangnya peran negara dalam
memberi jaminan perlindungan kesejahteraan kepada warga negaranya, khsususnya di
sektor ketenagakerjaan; (b) Semakin kuatnya posisi dan peran pengusaha/modal
dalam hubungan kerja; dan (c) Semakin lemahnya daya tawar tenaga kerja dan
serikat pekerja dalam memperjuangkan kepentingan pekerja.
Hasil studi menunjukkan terjadinya kenaikan
proses eksklusi sosial, karena praktek pasar kerja yang fleksibel, khususnya
di antara
para pekerja tidak terampil di semua sektor
pekerjaan. Perubahan
struktur pasar tenaga kerja dan pengambilalihan kontrol akses membuat terjadinya
eksklusi sosial pada pekerja dan pencari kerja. Bentuk eksklusi sosial dalam
pasar kerja, diantaranya: (a) Meskipun mungkin tidak sepenuhnya tereksklusi
dari pasar tenaga kerja dan menjadi penganggur permanen (eksklusi sosial dari
pasar tenaga kerja), tetapi banyak pekerja dan pencari kerja yang tidak dapat
memperoleh pekerjaan yang mereka butuhkan; (b) Membuat pekerja dan pencari
kerja terperangkap di sirkulasi pekerjaan yang tinggi, tidak ada jaminan
keberlangsungan pekerjaan, menanggung resiko sendiri (ill-paid) dan hanya memiliki keterampilan rendah (Rodgers, 1995).
Proses
eksklusi melibatkan proses yang kompleks, yang terjadi dalam dua locus dan
melibatkan dua tahap yang saling berkaitan. Proses tersebut terjadi di
tempat kerja (pasar tenaga kerja internal) dan di luar tempat kerja (pasar
kerja eksernal). Eksklusi sosial di tempat kerja yang terjadi pada pekerja
lama/tetap terjadi melalui beberapa strategi managerial yang dimainkan oleh
pengusa, seperti: (a) Memberi beban kerja berlebihan yang dirancang untuk
memaksa pekerja tetap mengundurkan diri dan menjadi outsourcing atau pekerja kontrak; (b) Mendelegasikan beberapa
pekerjaan untuk pekerja outsourcing, sehingga
selanjutnya dapat menggantikan peran dan posisi pekerja tetap dengan pekerja
kontrak atau outsourcing; (c) Pemutusan
kerja tanpa alasan tertentu, dan re-rekrutmen sebagai pekerja kontrak atau
dirujuk ke agen outsourcing (pola
yang paling eksplisit dan sering digunakan pengusaha).
Sementara
itu, eksklusi di pasar tenaga kerja fleksibel terjadi dalam beberapa bentuk,
diantaranya: (a) Ketika pekerja kehilangan
pekerjaan tetap atau menjadi pekerja sementara, mereka harus
mengikuti proses perekrutan lagi, tetapi dalam struktur hubungan kerja yang
berbeda. Mereka yang melamar secara individual akan
memasuki suatu sistem hubungan kerja kontrak individu; (b) Sebagian
besar pekerja terjebak dalam sebuah sistem outsourcing
dimana lembaga outsourcing
mendominasi akses ke pekerjaan pendukung dan pekerjaan produksi bahkan inti
dalam
perusahaan
manufaktur;
(c) Masuknya eks pekerja PHK dan berubahnya status mereka
hampir dengan kekuatan/paksaan - dan oleh pencari kerja baru - ke
dalam sistem agen memerangkap
mereka
menjadi
komodifikasi tenaga kerja membuat mereka tidak memiliki kekuasaan
atas tenaga
kerja mereka sendiri; (d) Semua keputusan mengenai
penempatan kerja, upah, hak dan kewajiban dikendalikan oleh agen; (e) Pekerja
dalam sistem tersebut harus mendaftarkan diri dengan logika transaksi antara agen
dan majikan.
Konsekuensi
Perubahan struktur pasar
tenaga kerja ini
tidak
hanya mempersempit peluang akses dan mengambil alih kontrol
akses, tetapi juga menciptakan suatu proses dualisasi. Rodgers mendefinisikan
dualisasi sebagai,
di satu sisi, ada pekerjaan ‘buruk’ dengan akses lebih mudah tapi di mana kemiskinan
terkonsentrasi,
dan, di sisi lain, ada pekerjaan ‘baik’ dengan akses terbatas namun memberikan
tingkat keamanan dan kondisi kerja yang dapat diterima (Rodgers, 1995: 46). Pekerjaan
yang lebih mudah untuk didapatkan adalah jenis pekerjaan yang tidak
memerlukan keterampilan, bersifat jangka pendek, pekerjaan yang berbahaya (tingkat keamanan rendah),
upah yang rendah dan hampir tidak ada manfaat tambahan, dan dengan kondisi kerja
yang tidak memadai. Pekerjaan ini juga tidak memberikan perlindungan
kolektif melalui kerja kolektif perjanjian, dan tidak
memberi pekerja keanggotaan dalam serikat pekerja. Secara umum, karakteristik
pekerjaan jenis ini menciptakan ketidakpastian dalam memenuhi kebutuhan mereka
dalam
jangka
panjang. Mereka
juga dapat dihentikan sewaktu-waktu dari pekerjaan
tergantung pada kondisi ekonomi perusahaan serta
kinerja mereka dan hubungan kerja. Secara umum, mereka hanya bekerja selama beberapa
bulan, yang tidak lebih lama
dari dari dua
tahun. Tingkat
rasa aman
pekerjaan mereka sangat rendah.
Pengaruh terhadap upah, tunjangan, bonus,
pensiun dan penghasilan lainnya yang diterima pekerja: (a) Upah
yang diterima oleh pekerja outsourcing
berkisar antara hanya 40-60 persen dari upah pekerja tetap di bidang pekerjaan yang
sama; (b) Pekerja
kontrak
umumnya hanya menerima upah minimal tanpa tunjangan dari masa kerja; (c) Baik
pekerja outsourcing
dan kontrak tidak menerima tunjangan untuk transportasi,
makan dan asuransi untuk kecelakaan, kesehatan, tabungan hari
tua dan kematian; (d) Tidak menerima bonus tahunan; (e) Banyak
pekerja kontrak dan
pekerja tidak menerima bonus hari libur, sedangkan sisanya menerima dalam jumlah kecil berdasarkan
berapa lama
mereka bekerja; (f) Tidak
memiliki hak untuk dibayar ketika cuti; (g) Tidak menerima paket
pesangon saat kontrak mereka telah berakhir atau dihentikan.
Selain itu, pasar tenaga kerja fleksibel juga
berpengaruh
terhadap kebebasan berserikat, diantaranya dalam bentuk: (a) Para pekerja
umumnya tidak dapat bergabung dengan serikat karena tekanan manajemen. Karena
keberadaan serikat pekerja seringkali dianggap gangguan bagi para pengusaha,
maka keanggotaan
dalam serikat
kerja sering digunakan sebagai alasan untuk memutuskan hubungan kerja; (b) Status mereka yang bersifat
pekerja sementara
membuat mereka rentan kehilangan pekerjaan; (c) Di
sisi lain, serikat pekerja tidak bisa membangun keanggotaan
stabil dari pekerja
kontrak
dan outsourcing karena keanggotaan mereka yang bersifat sementara.
Situasi di atas tentunya juga akan berpengaruh terhadap
relasi sosial yang dimiliki para pekerja kontrak dan outsourcing. Status sosial mereka sejak awal pada dasarnya
dipisahkan
baik secara formal dan informal: (a) Status pekerjaan mereka yang sementara
juga mencegah pekerja dapat membangun hubungan sosial dengan pekerja
lain, baik pekerja
tetap ataupun sementara; (b) Identitas sosial mereka
sering didefinisikan berbeda berdasarkan perilaku mereka; (c) Identitas
sosial yang berbeda juga diperkuat oleh mereka mengenakan seragam
yang berbeda dari pekerja tetap; dan (d) Mereka menjadi dipisahkan secara sosial dari
kolektif yang sesungguhnya
memiliki potensi untuk menjadi kelompok referensi mereka.
Pada akhirnya, kondisi kerja
yang tidak layak
bagi para pekerja kontrak dan outsourcing
memiliki dampak yang signifikan terhadap sosial ekonomi mereka hidup: (a) Upah
mereka, lebih rendah dari upah minimum -yang berarti juga lebih
rendah dari standar kehidupan yang layak- menunjukkan kelemahan kemampuan
ekonomi mereka, bahkan untuk pemenuhan kebutuhan bertahan hidup; (b) Kurangnya
akses terhadap tunjangan juga memiskinkan mereka dari sumber-sumber dukungan
kehidupan di
dalam jangka menengah dan jangka panjang; (c) Menurunnya kondisi
ekonomi para pekerja yang sebelumnya memiliki
pekerjaan tetap dengan pendapatan tetap dan berbagai
tunjangan dan hak-hak ekonomi tertentu; (d) Ketidakpastian kerja dan
penghasilan menciptakan ketidakpastian dalam perencanaan sosial ekonomi hidup mereka; (e) Posisi
mereka yang terpinggirkan,
kekurangan hak dan sumber daya ekonomi, telah menimbulkan konsekuensi lebih
lanjut terhadap
kesempatan mereka untuk memperoleh akses sosial dan ekonomi di masyarakat. Hal
ini terlihat dari kurangnya kesempatan untuk memperoleh dukungan pelayanan yang
memadai dalam hal kesehatan dan pendidikan yang
tersedia di
komunitas atau masyarakat; (f) Status mereka sebagai pekerja sementara
juga akan
mengeksklusi mereka dari akses untuk pengembangan pribadi
seperti pelatihan yang disediakan oleh perusahaan atau dari
provider lain.
Pekerja/serikat pekerja
Simulasi ini
dapat dilihat dari dua posisi, yaitu sebagai pekerja tetap dan sebagai pekerja
kontrak atau oursourcing. Posisi pekerja kontrak dan outsourcing lebih rentan, karena sesungguhnya mereka menghadapi dua
kekuatan sekaligus, yaitu agen tenaga kerja dan perusahaan tempat mereka
menjalankan kerja sehari-hari. Langkah alternatif yang dapat diambil dalam
menghadapi situasi tersebut adalah: (a) Advokasi khususnya dalam bentuk demonstrasi
di tingkat perusahaan sedapat mungkin dibatasi. Upaya yang dapat dilakukan
adalah terus menjalin komunikasi dan solidaritas antar sesama pekerja.
Pertimbangannya, karena posisi sebagai pekerja kontrak dan/atau outsourcing sangat rentan mengalami PHK
yang justru menyulitkan ekonomi keluarga; (b) Mencoba terlibat aktif atau
setidaknya memberi dukungan pada jaringan advokasi kebijakan ketenagakerjaan
yang memperjuangkan perubahan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih memihak pada
buruh. Pertimbangannya adalah karena akar persoalan sesungguhnya terletak pada
kebijakan negara dalam hal ketenagakerjaan, bukan semata-mata persoalan yang
bersifat individual atau hanya terjadi di perusahaan tertentu saja. Target
advokasi yang secara langsung berkaitan dengan pekerja kontrak dan outsourcing adalah perubahan UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Target yang lebih besar dan lebih mendasar
adalah mendesakkan adanya kebijakan nasional kesejahteraan rakyat yang lebih
menjamin terpenuhinya hak seluruh warga negara terhadap pelayanan kesejahteraan
sosial dasar.
Bagi
pengusaha, alternatif tindakan yang dapat diambil relatif sedikit lebih
terbuka: (a) Upaya advokasi di lingkungan perusahaan lebih terbuka, melalui pembangunan
jaringan serikat pekerja dalam pendidikan politik, kampanye dan lainnya; (b)
Demikian pula upaya advokasi kebijakan perburuhan dan kesejahteraan nasional;
(c) Selain itu, memperjuangkan dapat dibuatnya kesepakatan kerja baru antara
pekerja dan perusahaan, dengan pertimbangan sekurang-kurangnya lebih memberi
jaminan rasa aman dan perlindungan kerja, seperti: kesepakatan tidak asal main
PHK.[3]
Kendala dalam alternatif tindakan di atas bukannya tanpa
halangan. Pengusaha dapat memecat kapan saja pekerja outsourcing (atau meminta agen mengganti pegawai tersebut).
Pengusaha dapat menunggu sampai pekerja kontrak habis masa kontraknya dan tidak
memperpanjang. Pengusaha, seperti telah diulas di bagian sebelumnya, dapat
memainkan strategi yang membuat pekerja tetap tidak merasa nyaman dan akhirnya
mengundurkan diri, atau jika ada momentum tertentu yang dianggap tepat
(misalnya gejolak saham atau nilai tukar rupiah, penurunan pesanan dari pasar
luar negeri, dll.) dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bangkrut dan
menawarkan pesangon, menutup sebagian tertentu dari perusahaan dengan alasan
bukan merupakan kegiatan pokok, Menunggu sampai ada
buruh yang pensiun atau mencari-cari kesalahan individual buruh untuk kemudian
dilakukan PHK secara perorangan (lihat juga AKATIGA, 2006:18).
Upaya advokasi
kebijakan tentunya bukan perkara yang mudah, karena menyangkut kepentingan
banyak pihak baik pemerintah, pengusaha dan investor. Upaya peninjauan ulang
kebijakan ketenagakerjaan melalui mekanisme hukum juga belum menunjukkan hasil
optimal, seperti pengalaman judicial
review UU No. 13 Tahun 2003 di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004 yang
hanya memberikan sedikit ’kemenangan’ saja bagi kaum pekerja.[4]
Upaya semacam ini tengah dilakukan lagi pada tahun 2010. Disisi lain, telah ada
sinyal bahwa pemerintah akan merevisi UU
No. 13 Tahun 2003,[5]
dan menghapus sistem tenaga kerja outsourcing
secara bertahap.[6]
Kendala lain adalah belum satunya strategi yang
diambil kalangan pekerja/serikat pekerja. Sebagian ada yang mendukung
revisi UU 13/2003 yang terkait dengan kontrak dan outsourcing. Namun sebagian yang lain berpendapat bahwa UU 13/2003 2. tidak perlu direvisi,
hanya perlu diperkuat pengawasannya. Termasuk dalam kelompok ini adalah mereka
yang percaya bahwa negosiasi dan perjuangan di tingkat pabrik dan daerah masih
dapat dilakukan (AKATIGA, 2010: 25). Dalam hal ini dialog kejernihan pemilihan
strategi di kalangan serikat pekerja paling menentukan apa yang menjadi agenda
taktis dan strategis gerakan buruh/pekerja menyikapi sistem kontrak dan outsourcing ini.
Berkaitan
dengan upaya membuat kesepakatan kerja baru dengan perusahaan yang, kendala
terbesar adalah perlunya kemampuan negosiasi yang tinggi di kalangan
pekerja/serikat pekerja. Jalan inipun belum tentu berhasil, ketika pengusaha
tetap bersikukuh dengan penerapan sistem kontrak dan outsourcing tersebut.
2014?
Isu pekerja
kontrak dan outsourcing memang
sensitif karena menyangkut kepentingan banyak pihak, dan dapat menjadi isu
politik dalam memperoleh dukungan dari pihak-pihak tertentu, atau justru
dijauhi oleh pihak tertentu karena dianggap ’tidak ramah investor’. Contoh
konkret, pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009, pasangan
Mega-Prabowo[7] maupun
JK-Wiranto sama-sama mengusung isu penghapusan pekerja kontrak dan outsourcing, meskipun JK (yang kental
dengan latar belakangnya sebagai pengusaha) kemudian ’melunakkan’ pernyataannya
bahwa dia tidak akan menghapus sistem tersebut selama ada perlindungan dan upah
yang lebih besar.
Kepala Daerah
juga pasti dihadapkan pada pilihan yang sulit terkait masalah ketenagakerjaan
ini. Pemerintah/Pemda perlu semakin banyak berupaya mengurangi praktek pekerja
kontrak dan outsourcing pada
perusahaan yang ada di daerah. Sepanjang praktek tersebut masih dianggap legal
secara undang-undang, tentunya tidak dapat dilakukan pelarangan. Pendekatan
yang dapat dilakukan misalnya lewat surat resmi yang berisi himbauan agar
pengusaha lebih memperhatikan kesejahteraan pegawainya, ataupun dalam
pertemuan/dialog formal/non formal dengan kalangan pengusaha di daerah. Pemerintah/Pemda
perlu menjajaki kemungkinan memberi insentif kepada pengusaha atau perusahaan
yang dinilai memperhatikan kesejahteraan tenaga kerjanya, berupa penghargaan atau
keringanan dalam pajak/retribusi tertentu misalnya. Upaya lainnya adalah
meningkatkan pengawasan pemerintah daerah (Dinas Ketenagakerjaan) terhadap
praktek pekerja kontrak dan outsourcing
di daerah.
Upaya tersebut
sangat mungkin dipandang bukan kebijakan populer baik bagi sebagian kaum
pekerja maupun bagi pengusaha. Kaum pekerja pasti menginginkan adanya kebijakan
ketenagakerjaan yang lebih memihak mereka secara penuh, begitupun para
pengusaha. Disisi lain, banyak pihak juga yang mengkhawatirkan jika penerapan
kebijakan pro pekerja diterapkan akan merusak iklim investasi dan membuat para
investor enggan menanamkan modalnya di daerah. Lagi-lagi upaya dialog dengan
berbagai pihak yang kompeten dan menaruh perhatian dalam isu ini menjadi sangat
penting dalam upaya menjadi jalan lain yang tidak memberatkan rakyat dalam
memperoleh penghasilan daerah dan penyerapan tenaga kerja di daerah.
Kendala bagi
pemerintah daerah bagi inisiatif penerapan kebijakan pembangunan sosial yang
memperhatikan hak dan kepentingan pekerja sebagai bagian dari warga negara
adalah belum jelasnya arah kebijakan tersebut di tingkat nasional. Idealnya
kebijakan kesejahteraan ini di dibangun secara nasional, dengan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah sebagai regulatornya. Di negara yang menjalankan welfare state contohnya, adanya sistem
kesejahteraan sebagai hak warga negara harus diimbangi oleh dua hal yang
terkait, yaitu: pertumbuhan ekonomi (untukpembiayaan kebijakan sosial ini) dan
kesempatan kerja penuh (full employment).
Dalam hal ini negara harus menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang aktif (active labour policy) untuk mendorong partisipasi penuh warga dalam
pasar tenaga kerja [(Hall dan Soskice dalam Touwen (2004), yang dikutip oleh
Bahagijo dan Triwibowo (2010: 14)].
Akhirnya, sulit
untuk keluar dengan tawaran yang konkret dalam sistem politik yang kurang jelas
perkubuan ”ideologis”-nya seperti di Indonesia. Usulan normatifnya hanyalah
agar pekerja/serikat pekerja perlu mencermati kembali tawaran atau
kecenderungan kebijakan perburuhan dari tiap partai politik maupun Calon
Presiden pada Pemilu 2014. Itupun kalau memang mereka secara jelas menyusun dan
mensosialisasikan tawaran policy tersebut.
[1] Outsourcing menjadi
istilah yang populer dalam bisnis dan manajemen sejak tahun 1990-an di Amerika
Utara, yang pertama kali dilakukan dalam industri pemrosesan data dan kemudian
berkembang ke berbagai bidang lainnya. Outsourcing dari sudut pandang
bisnis didefinisikan sebagai: penyerahan sebagian tugas atau pekerjaan di dalam
suatu perusahaan ke perusahaan lain (penyedia jasa). Outsourcing ini
dilakukan untuk menghemat biaya/uang, meningkatkan kualitas produk, atau
membebaskan sumber daya yang ada di perusahaan (pemberi kerja) untuk melakukan
aktivitas-aktivitas lain (AKATIGA: 2006: 2).
[2] Menurut AKATIGA (2010: 3-4), ada beberapa peraturan
dari tingkat UU, Keputusan Menteri maupun Peraturan Menteri yang mengatur
hubungan kerja macam itu, yaitu: (1) UU
13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 56 – 59 dan Pasal 64-66; (2) KEPMENAKERTRANS No.
KEP.100/MEN/VI/2004 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu; (3) KEPMENAKERTRANS No.
KEP.101/MEN/VI/2004 tentang
Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa pekerja/ Buruh; (4) KEPMENAKERTRANS No.
KEP.220/MEN/X/2004 tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada perusahaan Lain;
(5) PERMENAKERTRANS
No. PER.22/MEN/IX/2009 tentang
Penyelenggaraaan Pemagangan di dalam Negeri.
[3] Gagasan ini
merujuk pada apa yang telah dijalankan oleh beberapa serikat pekerja, yang
relatif dapat mengurangi peningkatan penggunaan pekerja outsourcing.
[4] Mahkamah
Konstitusi hanya mengabulkan sebagian tuntutan pekerja, yaitu enam pasal pada
UU tersebut. Lihat Lampiran 4.
[5] Revisi UU Ketenagakerjaan. Sumber: http://www.harianpelita.com/read/752/33/pelita-hati/revisi-uu-ketenagakerjaan-/
, diakses 14 November 2010.
[6] Pemerintah akan hapus tenaga kerja outsourcing.
Sumber: http://www.antaranews.com/berita/1287040457/pemerintah-akan-hapus-tenaga-kerja-outsourcing , diakses 13
November 2010.
[7] Janji Megawati
ini agak ironis, karena UU No. 13 Tahun 2003 sebagai landasan hukum praktek
pekerja kontrak dan outsourcing justru disahkan pada saat masa jabatannya
sebagai Prersiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar