Teori Demokrasi Asosiatif ala Archon Fung, dkk.
Oleh:
Candra Kusuma
Dikemas
ulang dari kumpulan tulisan “Renungan Depok” – Juli 2012
Seperti
halnya Habermas dan para pemikir teori demokrasi deliberatif, banyak teoritisi
politik lainnya yang berupaya mengembangkan model-model demokrasi yang
dipandang lebih mampu menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi warga negara,
yang kerap tidak dapat terpenuhi dengan baik pada model demokrasi perwakilan
pada umumnya.[1]
Namun berbeda dengan para pendukung teori demokrasi deliberatif yang cenderung
membatasi diri untuk tidak mengintervensi secara langsung kekuasaan dan merubah
secara radikal sistem politik yang ada, beberapa pemikir menginginkan agar
warga --melalui berbagai asosiasi-asosiasi-- dapat terlibat lebih banyak dalam
pengambilan keputusan publik. Diantaranya para pemikir tersebut adalah Hirst
(1994), Cohen dan Rogers (1995), serta Fung dan Wright (2003). Oleh Fung
(2007), gagasan-gagasan mereka dimasukkan dalam kelompok pendekatan demokrasi
partisipatori (participatory democracy) yang ingin agar warga -- melalui
beragam asosiasi-asosiasi -- lebih banyak terlibat dalam urusan-urusan publik (direct
governance).
Fung
(2007:448-450), memetakan empat konsep demokrasi, yaitu demokrasi minimalis (minimal
democracy),[2]
demokrasi agregatif (aggregative democracy),[3]
demokrasi deliberatif,[4] dan
demokrasi partisipatori (participatory democracy). Fung sendiri berada
pada barisan pengusung konsep partisipatori demokrasi, yang mengkritisi tiga
konsep demokrasi lainnya karena dipandangnya belum sungguh-sungguh mampu
memberikan ruang partisipasi yang memadai bagi warga. Fung dan Wright (2001)
menawarkan konsep deepening democracy sebagai bentuk perluasan
keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan dan kabijakan publik. Demokrasi
partisipatori ini, lahir dari cara pandang yang membedakan atau memisahkan
nilai partisipasi dari prinsip deliberasi (Cohen dan Fung, 2004). Fung mengutip
Barber (1984, 1988, 1989) yang memandang demokrasi memiliki nilai-nilai
kepemerintahan sendiri (self-government), kesetaraan politik, dan aturan
main yang rasional. Warga harus mengambil bagian secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan. Meskipun partisipasi tersebut bukan berarti harus
dilakukan pada setiap level dan tiap kegiatan, namun harus dilakukan dalam
frekuensi yang cukup tinggi. Demokrasi dipandang sebagai sebuah ’komunitas’,
dimana warga dapat menyelesaikan sendiri sengketa dan masalah-masalah umum yang
mereka hadapi, yang didalamnya individu-individu bertransformasi menjadi warga,
dan berperan menentukan kebijakan publik yang terkait dengan kepentingan
mereka. Disini Fung mengutip Barber (1984) yang menyatakan bahwa diperlukan
adanya perubahan-perubahan institusional pada struktur pemerintahan perwakilan,
sehingga memungkinkan warga secara langsung dapat mendiskusikan dan memutuskan
isu-isu terkait kepentingan publik.
Banyak
ahli yang mengidentifikasi asosiasi warga sebagai asosiasi sekunder (secondary
associations), yang dibedakan dengan asosiasi publik (public associations)
yang merupakan institusi bentukan negara/pemerintah. Menurut Elstub (2008:107),
banyak ahli yang berpendapat bahwa keberadaan asosiasi-asosiasi sekunder dapat
menjadi alternatif yang menarik bagi partisipasi politik secara langung, yang
didalamnya melibatkan upaya perencanaan oleh aktor non negara, pengambilan
keputusan, pemenuhan tugas/kewajiban dan interaksi, serta menyediakan saluran bagi warga untuk terlibat
dalam diskursus publik (Hadley dan Hatch, 1981; Martell, 1992:166; Hirst, 1994;
Cohen dan Rogers, 1995; Perczynski, 2000; Warren, 2001; Fung 2003; Bader, 2005;
Eisfeld, 2006:15). Karenanya asosiasi-asosiasi sekunder dapat berkembang
menjadi pengelolaan mandiri oleh warga (self-governance) yang sekaligus
dapat mengurangi beban negara.
Dalam
kaitan antara asosiasi dengan demokrasi, Fung (2003:518-529) mengidentifikasi
enam kontribusi dari keberadaan asosiasi-asosiasi warga terhadap demokrasi,
yang uraiannya secara ringkas, sebagai berikut:
a. Kebaikan
intrinsik dari demokrasi dan kebebasan berasosiasi. Fung mengutip Dahl (1989)
yang menyatakan bahwa dalam salah satu isu penting dalam konsep demokrasi
liberal kesempatan untuk menciptakan ruang bagi kewarganegaraan yang plural dan
tumbuhnya asosiasi-asosiasi politik. Institusi liberal menciptakan perlindungan
legal yang memungkinkan asosiasi-asosiasi dapat berkembang luas. Hal tersebut
terkait erat dengan nilai-nilai kebebasan individu termasuk kebebasan dalam
memilih asosiasi dan membentuk asosiasi. Kaum liberal klasik memandang hal tersebut
sepenuhnya adalah pilihan individual. Sementara kaum demokrasi liberal
memandang pentingnya peran negara atau pemerintah dalam mendukung perkembangan
asosiasi-asosiasi tersebut. Fung juga mengutip Paxton (2002) yang menyatakan
bahwa lebih banyak asosiasi yang berpeluang untuk eksis ketika pemerintah
mengizinkan mereka untuk eksis. Para ahli menyimpulkan bahwa ada korelasi yang
signifikan dan positif antara demokrasi liberal dengan jumlah dan
keanekaragaman asosiasi;
b.
Sosialisasi kewarganegaraan (civic
socialization) dan pendidikan politik. Fung mengutip Warren (2001) yang
menyatakan bahwa asosiasi menanamkan nilai-nilai kewargaan pada
anggota-anggotanya, seperti perhatian pada masalah publik, kebiasaan
bekerjasama, toleransi, menghargai pihak lain, menghargai penegakan hukum,
kemauan untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, kepercayaan diri,
keyakinan akan keberhasilan (efficacy). Selain itu, Fung juga merujuk
pada Putnam (2000) yang berpendapat bahwa nilai dan keyakinan untuk bertindak
bagi kepentingan orang banyak tanpa berharap mendapatkan timbal balik seketika
(generalized reciprocity). Asosiasi juga dipandang sebagai ’sekolah
demokrasi’ (school of democracy) karena mengajarkan keterampilan
politik, seperti cara pengorganisasian, mengadakan pertemuan, menulis gagasan,
beragumentasi, berpidato, dll. (civic skill). Sementara mengacu pada
pendapat Verba et.al (1995) mengenai sumberdaya yang dibutuhkan dalam
partisipasi (material, waktu dan keterampilan), menurut Fung keberadaan
asosiasi juga mengajarkan civic skill yang akan dapat meningkatkan
demokrasi melalui peningkatan partisipasi politik. Dalam hal ini, asosiasi yang
memungkinkan anggotanya untuk bertatap muka secara langsung dan bersifat
horisontal, lebih memiliki peluang untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan
politik dibandingkan asosiasi yang bersifat hirarkis, vertikal, dan ’jarak
jauh’ (misalnya asosiasi dimana partisipasi anggota dalam bentuk iuran atau
sumbangan uang saja);
c.
Perlawanan dan kekuatan kontrol (checking
power). Asosiasi warga juga dapat berperan dalam melakukan perlawanan (resistance)
terhadap dominasi dan kekuatan anti demokrasi. Dalam konteks dimana institusi
demokrasi masih ’muda’ dan rapuh, kontribusi utama dari asosiasi terhadap
demokrasi kerapkali berupa perlawanan terhadap otoritas yang tidak memiliki
legitimasi. Fung mengutip Jenkins dan Goetz (1999) yang menyatakan bahwa dalam
konteks pemerintahan yang korup namun tidak otoriter, asosiasi dapat berperan
melakukan kontrol terhadap penyalahgunaan kekuasaan dengan jalan monitoring
terhadap aparatur negara, dan mendorong mereka untuk lebih transparan,
misalnya. Kritik terhadap asosiasi tipe ini adalah tak jarang justru
mengembangkan mekanisme yang kurang demokratis di dalam asosiasi sendiri, atau
sulit beradaptasi ketika sistem politik yang dilawan relative sudah menjadi
lebih demokratis;
d.
Representasi kepentingan. Kontribusi asosiasi
dalam hal ini adalah meningkatkan cara bagaimana kepentingan warga dapat
terwakili (diperjuangkan oleh para pembuat kebijakan) dan dituangkan dalam
hukum dan kebijakan yang dibuat oleh negara. Asosiasi menyediakan saluran
tambahan bagi individu-individu untuk mendesakkan isu-isu publik yang menjadi
perhatian mereka, misalnya melalui voting, lobby, dan kontak langsung
dengan pejabat pemerintah. Selain meningkatkan kualitas keterwakilan, asosiasi
juga meningkatkan kesetaraan keterwakilan politik (equality of political
representation), terutama bagi masyarakat yang terpinggirkan;
e. Deliberasi
publik dan public sphere Fung mengidentifikasi kontribusi lainnya dari
asosiasi adalah memfasilitasi deliberasi publik, seperti yang diungkapkan
Habermas (1996) maupun Cohen dan Arato (1994). Pengambilan keputusan publik
dipandang lebih deliberatif jika dapat dilakukan secara setara (equal)
dan melalui proses komunikasi terbuka dimana partisipan dapat saling
berargumentasi, dibandingkan jika keputusan diambil lebih karena
kekuatan/paksaan, uang, ataupun jumlah suara semata. Seperti diuraikan pada
pembahasan mengenai teori demokrasi deliberatif di bagian sebelumnya, perbedaan
sumberdaya dan status diantara para warga atau anggota asosiasi kemungkinan
akan menghalangi kemampuan untuk melaksanakan proses deliberasi ini. Dalam hal
ini Fung mengutip Warren (2001) yang berpendapat bahwa asosiasi yang mungkin
untuk menjaga ruang publik tetap hidup adalah mereka yang dapat meraih dukungan
luas dari publik, dan memiliki kapasitas untuk memproyeksikan suara mereka dari
waktu ke waktu dan di semua ruang publik.
f. Pemerintahan
langsung (direct government). Kelima gagasan sebelumnya dipandang lebih
berorientasi pada upaya peningkatan kualitas input terhadap proses pengambilan
keputusan dan kebijakan, tanpa merubah instrumen atau ’mesin’ pengambilan
keputusan itu sendiri. Beberapa ahli memandang warga seharusnya dapat mengambil
peran yang langsung dalam fungsi-fungsi regulasi tersebut. Mereka mengajukan
pendekatan rekonfigurasi pemerintahan yang lebih radikal, untuk mengatasi
defisit demokrasi akibat terbatasnya input dari sisi pemerintah dalam proses
demokrasi. Dalam hal ini, asosiasi-asosiasi warga dibayangkan dapat berperan
lebih besar dengan terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan publik.
Melalui hal tersebut, asosiasiasosiasi warga dapat turut berperan meningkatkan
kualitas output dari pemerintah, yaitu peningkatan kemampuan pemerintah dalam
hal menyelesaikan masalah-masalah publik.
Di
atas disebutkan mengenai asosiasi sebagai wadah untuk mencapai tujuan bersama.
Elstub (2008:101) mengutip definisi klasik dari Cole (1920)[5] yang memaknai
asosiasi sebagai setiap kelompok dari orang-orang yang memiliki tujuan atau
agregasi tujuan yang sama, dan terlibat dalam suatu program aksi bersama. Dalam
rangka mencapai tujuan tersebut mereka bersepakat untuk bersama-sama melakukan
suatu metode dan prosedur tertentu yang meskipun bukan merupakan suatu bentuk
yang sempurna namun dapat menjadi panduan umum bagi tindakan bersama.
Setidaknya ada dua hal yang mendasar dan perlu untuk setiap asosiasi, yaitu
adanya tujuan yang sama dan, sampai batas tertentu, adanya aturan tindakan bersama.
Teori
demokrasi asosiatif (associative democracy) terkait erat dengan konsep direct
government yang telah diulas sebelumnya. Dalam hal ini Fung dan Wright (2003)
mengajukan pendekatan yang lebih moderat dari gagasan Hirst[6] maupun
Cohen dan Rogers.[7]
Fung dan Wright menyebut pendekatan mereka sebagai Empowered Participatory
Governance (selanjutnya disingkat EPG), yang secara bebas dapat diartikan
sebagai ’penguatan tata pemerintahan yang partisipatif’. EPG bersifat ’participatory’
karena pendekatan ini bergantung pada komitmen dan kapasitas orang biasa untuk
membuat keputusan yang masuk akal atau rasional melalui proses deliberasi atau
musyawarah. EPG juga bersifat ’empowered’ karena pendekatan ini mencoba
untuk menghubungkan tindakan dengan diskusi. Dalam tataran konsep, EPG
menekankan pentingnya nilai-nilai partisipasi, musyawarah, dan pemberdayaan,
dengan batasan yang hati-hati dan memperhatikan tingkat kemungkinan
pelaksanaannya. Gagasan ini mungkin melampaui bentuk konvensional kelembagaan
demokratis, yang memiliki tujuan cukup praktis untuk meningkatkan respon dan
efektivitas negara sementara pada saat yang sama sehingga lebih adil,
partisipatif, deliberatif, dan akuntabel (Wright dan Fung, ed., 2003:5-6).
Konsep
ini dibangun dari empat eksperimen EPG, yaitu pada organisasi warga terkait isu
pendidikan dan keamanan lingkungan (community policing) di Chicago (USA),
program perencanaan konservasi lingkungan hidup di USA, perencanaan anggaran
kota yang partisipatif di Porto Alegre (Brazil), dan kebijakan desentralisasi
di West Bengal dan Kerala (India). Menurut Wright dan Fung, ed. (2003:15), EPG
berusaha untuk memajukan tiga arus dalam ilmu sosial dan teori demokrasi,
yaitu: (a) Dibutuhkan banyak komitmen normatif dari analisa praktek dan
nilai-nilai komunikasi, justifikasi publik, dan deliberasi/musyawarah; (b) Hal ini
juga menempatkan deliberasi secara empiris dalam organisasi tertentu dan praktek,
untuk menyusun pengalaman sosial untuk memperdalam pemahaman tentang musyawarah
praktis dan mengeksplorasi strategi untuk meningkatkan kualitasnya; (c) EPG
merupakan bagian dari sebuah kolaborasi yang lebih luas untuk menemukan dan
membayangkan lembaga-lembaga demokrasi yang sekaligus lebih partisipatif dan
efektif dari konfigurasi yang intens antara perwakilan politik dan administrasi
birokrasi.
Menurut
Fung (2003:528), seperti halnya pada pendekatan associative governance dari
Hirst maupun Cohen dan Rogers, EPG menempatkan rekonfigurasi substansial
terhadap pemerintah sebagai sarana mengajak aktor-aktor sosial untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan administrasi. Dalam perannya
sebagai perantara (intermediary) antara warga dengan struktur formal
negara, model EPG menjadi bentuk-bentuk institusional yang menciptakan arena
dimana warga dapat terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan. Dari
uraian tadi jelaslah bahwa asosiasi-asosiasi memainkan peran penting dalam model
EPG. Menurut Fung, EPG tak jarang muncul akibat adanya desakan dari organisasi-organisasi
gerakan sosial, yang bertujuan untuk mendukung upaya kontrol di tingkat lokal,
akuntabilitas pemerintahan, atau keadilan sosial. Dapat dikatakan, asosiasi
dapat menjalankan peran sebagai pembentuk (generative role) dari model
EPG tersebut. Asosiasi juga dapat berperan merekrut dan memobilisasi warga,
serta melengkapi individu-individu dengan kapasitas yang diperlukan dalam
partisipasi politik, seperti memotivasi, mendukung informasi, dan meningkatkan
keterampilan politik, melalui berbagai bentuk pelatihan dan peningkatan
kapasitas.
Wright
dan Fung, ed. (2003:16-18) mengemukakan tiga prinsip umum yang menjadi dasar
EPG, yaitu:
a. Berorientasi
praktis. Mengembangkan struktur pemerintahan yang diarahkan untuk member perhatian
yang cukup pada masalah-masalah konkret. Meskipun sering dikaitkan dengan
gerakan sosial dan partai politik, EPG berbeda karena fokus pada masalah
praktis, seperti menyediakan keamanan publik, pekerja pelatihan, merawat
habitat, atau menyusun anggaran kota yang masuk akal. Fokus pada masalah
praktis juga menciptakan situasi di mana para aktor yang umumnya terbiasa
bersaing satu sama lain untuk memperoleh kekuasaan atau sumber daya dapat mulai
bekerja sama dan membangun hubungan yang lebih menyenangkan. Namun ada kecenderungan
pula dapat mengalihkan perhatian agen dari hal yang sesungguhnya lebih penting,
seperti konflik yang lebih luas (misalnya pajak redistributif atau hak atas
kekayaan), karena lebih terfokus pada masalah-masalah yang terbatas.
b. Partisipasi
dari bawah. Perubahan yang diinginkan adalah membentuk saluran baru bagi mereka
yang paling terkena dampak langsung dari masalah yang ada –biasanya adalah
warga biasa dan birokrasi di lapangan (street level bureaucrats)-- untuk
menerapkan pengetahuan, kecerdasan, dan minat dalam merumuskan solusi.
Justifikasinya adalah bahwa solusi yang efektif untuk beberapa jenis masalah
publik mungkin memerlukan pertimbangan dari beragam pengalaman dan pengetahuan,
pikiran yang relatif lebih terbuka dari para warga negara dan operator
lapangan. Hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh para ahli dengan keilmuan dan
keterampilan tertentu saja. Selain itu, partisipasi langsung dari operator akar
rumput akan meningkatkan akuntabilitas dan mengurangi rentang birokrasi yang
ada pada partai politik dan aparat birokrasi pemerintah. Salah satu prestasi utama
dari partisipasi warga di Porto Alegre dan Kerala adalah dalam mengurangi
kebocoran fiskal akibat patronase, serta dapat melepaskan dari cengkeraman elit
politik tradisional. Dalam hal ini, tugas para ahli adalah untuk memfasilitasi
proses deliberasi dalam pengambilan keputusan, dan untuk membangun sinergi
antara kaum profesional dan warga negara.
c. Solusi
deliberatif. Dalam pengambilan keputusan musyawarah, peserta mendengarkan
posisi masing-masing pihak, dan dapat menetapkan pilihan setelah mempertimbangkan
berbagai informasi dan pendapat yang ada. Peserta harus menyampaikan
argumentasi dan mempersuasi satu sama lain dengan menawarkan alasan yang dapat
diterima oleh orang lain. Proses deliberasi kerap ditandai dengan adanya
konflik sengit, pemenang, dan pecundang. Fitur penting dari deliberasi yang
sejati adalah bahwa peserta menemukan alasan yang dapat mereka terima dalam
tindakan kolektif, meskipun hal tersebut belum tentu merupakan hal yang
benar-benar mereka dukung atau dapat memberikan keuntungan maksimal.
Empat
tipe pengambilan keputusan, yaitu deliberatif, komando, agregatif dan negosiasi
strategis, masing-masing merupakan tipe ideal. Namun Fung dan Wright (2003:18-19)
menyatakan bahwa dalam praktek EPG, proses pengambilan keputusan kerap
melibatkan keempatnya. Karenanya, desain kelembagaan EPG juga mengembangkan
kombinasi dari tipe pengambilan keputusan tersebut, sebagai berikut:
a. Devolusi,
yaitu penyerahan kewenangan pengambilan keputusan dan pelaksanaan kepada
unit-unit lokal (seperti unit pelayanan kesehatan, pendidikan, kepolisian,
dll.);
b. Supervisi
terpusat dan desentralisasi terkoordinasi (coordinated decentralization),
dimana unit-unit lokal tersebut tidak bersifat otonom melainkan tergabung dan
terhubung satu sama lain, dibawah supervise pemerintah terkait dengan kebutuhan
alokasi sumberdaya, saling mendukung penyelesaian masalah umum yang dihadapi,
dan mengembangkan mekanisme inovasi dan saling belajar;
c. Peran
negara yang besar (state-centered) dan tidak didasarkan kesukarelaan
(voluntarisme) belaka. Dalam hal ini, institusi-institusi negara coba
ditransformasi menjadi unit-unit deliberatif. Reformasi EPG pada jalur formal
tersebut berpotensi dapat memanfaatkan kekuasaan dan sumberdaya negara menjadi
lebih sesuai dengan nilai-nilai deliberasi dan partisipasi warga (popular
participation) sehingga memungkinkan praktik tersebut menjadi lebih mampu
bertahan lama dan dapat berlaku luas.
Fung
dan Wright (2003:251) juga menyatakan bahwa deliberasi dan partisipasi yang
adil, efektif dan berkelanjutan dalam institusi atau asosiasi-asosiasi tersebut
bagaimanapun tidak hanya ditentukan oleh kejelasan dan kelengkapan dalam desain
yang dibuat, namun juga dipengaruhi oleh konteks latar belakang, dan dalam
tingkat tertentu juga oleh konstelasi dari kekuatan-kekuatan sosial yang bermanuver
atau berperan di sekitar institusi-institusi EPG. Salah satunya, adalah bagaimana
mengembangkan berbagai mekanisme yang dapat mengurangi atau mungkin menetralkan
kekuatan atau pengaruh dari aktor-aktor dominan yang sebelumnya banyak berperan
(countervailing power) (lihat Fung dan Wright, 2003:260).
[1] Dalam hal ini, Fung berpendapat bahwa ada kemungkinan
sulit untuk menerapkan demokrasi deliberatif yang mengedepankan argumentasi,
diskusi dan persuasi di dalam iklim politik yang kurang kondusif, seperti
adanya ketidakadilan yang ekstrem atau adanya dominasi yang sistematik oleh
aktor-aktor tertentu. Dalam situasi tersebut, kadang dibutuhkan kombinasi
antara penerapan argumentasi, diskusi dan persuasi dengan cara-cara lain yang
tergolong non-persuasif, atau bahkan koersif (paksaan). Fung menyebut
pendekatan tersebut sebagai deliberative activism atau secara bebas
dapat diartikan sebagai ‘aktivisme deliberatif’ (lihat Fung, 2005:397-398).
[2] Menurut Fung, minimal democracy menempatkan
pemilihan umum sebagai institusi politik utama, sebagai saranan menjamin
kebebasan individu dalam menentukan pilihan politik. Partisipasi dalam
pemilihan umum dipandang sudah cukup untuk menampung aspirasi rakyat atau warga,
untuk selanjutnya para pemimpin politik terpilihlah yang akan menjalankan
pemerintahan berdasarkan mandat tersebut. Dalam perspektif ini, warga dipandang
kurang memiliki kapasitas individual (waktu, energi, komitmen, informasi, dan
keterampilan politik) untuk terlibat dalam pembahasan kebijakan publik.
[3] Dalam agrregative democracy, Fung memandang
warga dapat dan memiliki preferensi dan cara pandang politik yang rasional.
Fung mengutip Dahl (1991), yang berpendapat bahwa opini dan penilaian warga
dipandang dapat menentukan isi dari hukum, kebijakan dan tindakan publik. Opini
publik tersebut diperoleh melalui polling, survei dan bentuk-bentuk
jajak pendapat lainnya. Dalam konsep ini, sebuah pemerintahan dipandang lebih
demokratis ketika hukum dan kebijakan yang mereka buat lebih dekat pada posisi
tengah-tengah dari pandangan para pemberi suara atau median voter (seperti
dinyatakan Black 1948; Downs 1957; Hacker dan Pierson, 2005).
[4] Fung berpendapat, bahwa dalam demokrasi deliberatif
ini kebijakan dan hukum bukan semata berasal dari agregat opini warga melalui
jajak pendapat, tetapi harus sesuai dengan harapan dari tiap warga secara
individu. Para pejabat publik yang terpilih dalam Pemilu harus terlebih dahulu
melibatkan warga dalam mengelaborasi berbagai posisi politik, argumentasi dan
perspektif dan menghasilkan kompromi-kompromi yang rasional sebelum membuat
sebuah keputusan atau kebijakan.
[5] Cole mendefinisikan asosiasi sebagai: “any group of
persons pursuing a common purpose or aggregation of purposes by a course of
cooperative action extending beyond a single act, and, for this purpose,
agreeing together upon certain methods and procedures and laying down, in
however rudimentary a form, rules for common action. At least two things are
fundamental and necessary to any association: a common purpose and, to a
certain extent, rules of common action. (Cole, Social Theory,
1920:37).
[6] Menurut Fung (2003:526), versi maksimal dan ’ambisius’
dari konsep ini adalah yang diajukan Hirst (1994) yang berpendapat bahwa negara
dan ’ekonomi’ harus direstrukturisasi agar dapat memberikan jalan bagi
asosiasi-asosiasi untuk secara gradual dan progresif dapat menjadi alat utama
dalam hubungan antara politik dan ekonomi pada pemerintahan demokratis. Caranya
adalah dengan menyerahkan fungsi-fungsi tertentu dari pemerintahan dan
pembangunan kepada asoasiasiasosiasi, dan menciptakan makanisme yang
memungkinkan adanya anggaran publik yang dapat dikelola asoasiasi-asosiasi
tersebut. Konsep Hirst termasuk dalam ’aliran’ associationalism yang
memandang bahwa baik kebebasan individu maupun kesejahteraan manusia akan dapat
terwujud dengan lebih baik ketika banyak urusan masyarakat sedapat mungkin
dikelola secara sukareka (voluntary) dan secara demokratis oleh
asosiasi-asosiasi yang mengurus dirinya sendiri (selfgoverning associations)
(lihat Hirst, 1994:19).
[7] Cohen dan Rogers (1995:55) merekomendasikan adanya
hubungan yang lebih dekat antara asosiasi-asosiasi dan pemerintah untuk
mengatasi keterbatasan pada kebijakan sosial dan ekonomi pada negara
kesejahteraan (welfare state). Asosiasi diharapkan dapat memainkan peran
lebih luas, yang aktivitasnya terhubung dengan otoritas formal dari
lembaga-lembaga publik, dalam hal: (a) menyusun kebijakan; (b) koordinasi
kegiatan ekonomi; (c) pelaksanaan dan administrasi kebijakan. Meningkatnya
peran asosiasi-asosiasi dalam fungsi-fungsi negara dipandang akan meningkatkan
kualitas informasi dalam formulasi kebijakan dan meningkatkan tingkat kerjasama
antara perwakilan asosiasi-asosiasi dalam kompleksitas hubungan para aktor yang
saling terhubung (lihat Fung, 2003:527).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar