“Ente’ piro…?”
(Bahasa Jawa: Habis berapa?)
Oleh: Candra
Kusuma
Diolah dari hasil
penelitian lapangan tahun 2012
Tahun 2012 lalu, saya
melakukan sebuah penelitian kecil (tanpa sponsor lho ini…) mengenai relasi sosial dan politik masyarakat
terkait dengan Pemilukada di sebuah daerah di Jawa Barat. Tujuannya adalah
untuk melihat pengalaman mereka dalam membangun institusi warga, dan dalam
membangun kontak dengan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta peran mereka
dalam memantau proses pemerintahan dan pembangunan di daerah oleh Bupati/Wakil
Bupati terpilih dalam Pemilukada.
Karena berurusan dengan
Pemilukada, mau tidak mau akhirnya ngobrolin soal bagaimana
pengalaman mereka (warga dan Cabub/Cawabub) berkaitan dengan “isu” politik uang
dalam Pemilu secara umum: termasuk Pilpres, Pileg, Pemilukada bahkan Pildes.
Sebagai sebuah penelitian kualitatif, datanya memang bersifat anekdotal saja,
dan tentu tidak dapat dibuat gambaran penuh tabel dan diagram berwarna yang fancy ala lembaga-lembaga survei di televisi ya…
Pola politik uang
berubah: Rakyat Matre’?
Dari beberapa responden
yang ditemui, baik dari kalangan aktivis warga maupun Cabub/Cawabub, ternyata
punya pandangan yang sama bahwa DULU partai politik dan politisi hanya mengembangkan
pola interaksi politik transaksional menjelang Pemilu atau Pemilukada saja.
Tapi SEKARANG polanya sudah berubah sama sekali. Rakyat/pemilih cenderung LEBIH AKTIF, dalam arti mereka memulai terlebih dahulu terjadinya transaksi
politik, berupa permintaan uang, barang, atau dukungan pembangunan fisik dan
kegiatan di lokasi mereka.
Dahulu, di Kabupaten X
mobilisasi politik dipandang lebih mudah dilakukan oleh para elit daerah, baik
melalui pemanfaatan pengaruh para tokoh masyarakat, birokrasi, dan kekuatan
uang. Kultur masyarakat dan birokrasi yang paternalistik mempermudah
berlangsungnya proses pengendalian politik masyarakat. Dalam waktu lama,
hubungan antara pemerintah dan masyarakat dikelola dalam relasi dimana salah
satu pihak menganggap dirinya sebagai pemimpin yang harus mengarahkan,
mengawasi dan mengendalikan, dan pihak lain sebagai yang harus diarahkan,
diawasi dan dikendalikan. Relasi patron-client diciptakan dengan sengaja dalam hubungan antara masyarakat dan
elit, dan warga dengan pemerintah.
“Peran birokrasi, dari mulai Bupati sampai
dengan Kepala Desa itu sangat berperan besar… dengan menggunakan instrumen
kekuasaan… anggaran, dan lain sebagainya, untuk memanipulasi kehendak rakyat.
Jadi yang terjadi sesungguhnya adalah manipulasi kehendak rakyat, padahal itu
kehendak segelintir elit tertentu saja… Nah kenapa terjadi proses pembodohan
seperti itu, ya karena memang rakyat tidak tahu, sangat miskin dengan informasi
kan… Siapa calon, calon yang tepat untuk dipilih seperti apa… kan mereka masih abu-abu…
sehingga ketika Kepala Desa, Camat, birokrasi berperan, dan digerakkan oleh
kekuatan tertentu, akhirnya rakyat menentukan pilihannya berdasarkan arahan
elit-elit tersebut, karena tidak ada yang menyadarkan… Disitu money politics segala macem… Politicking anggaran kan terjadi…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
Namun, perubahan
perilaku politik yang terjadi di masyarakat Kabupaten X sangat menarik untuk
dicermati. Menurut para informan penelitian ini, perilaku politik yang
transaksional saat ini tampaknya terjadi merata di semua lapisan dan pelosok masyarakat,
baik di perkotaan maupun perdesaan, baik mereka yang berpendidikan rendah
maupun lebih tinggi. Dalam pengalaman mereka, perilaku tersebut bukan monopoli
atau sepenuhnya inisiatif para politisi atau partai politik. Inisiatif untuk
membuka ruang transaksional tersebut saat ini justru lebih banyak muncul dari
masyarakat. Pengalaman dari calon independen yang mencoba membangun relasi
politik non transaksional (tidak dengan “membeli suara”) menunjukkan sulitnya
mengajak masyarakat untuk membangun relasi politik yang sehat. Diantaranya adalah pasangan Cabup dan Cawabup, sebut saja Jaka dan Toto (nama samaran), yang mengaku tidak
mau terlibat transaksi politik uang, menyatakan kegelisahannya, sbb.:
“Kemudian, sejauhmana respon masyarakat terhadap semua yang
diomongkan calon… dan tuntutan masyarakat seperti apa?…. Itu dimana-mana,
ketika saya omong ke sana omong ke sini, semua yang disampaikan itu usulan,
seakan-akan kita ini adalah tim perencanaan anggaran, dan kita ini punya
segudang duit untuk diimplementasikan di lapangan. Bahkan dia mintanya bukan
setelah jadi, sebelum jadi dia sudah minta… Saya datang kesana, “Pak InsyaAllah lah, suara kami ke bapak. Tapi saya minta satu saja
sekarang, punten
itu jembatan kami diperbaiki…”. Nah itu… itu yang hampir selalu muncul… jadi udah ngga nyambung…” (Jaka, nama samaran, mantan Cawabub)
----------------------------------------
“Intinya mah itu, masyarakat kita sebagian besar
masih matre lah… urusannya duit… Jadi itu karena sebelumnya mereka kan merasa
banyak dikhianati juga… Janji-janji kan banyak yang tidak terealisasi… Jadi apa
yang bisa kepegang saja… Ya uang… Istilah mereka, lagi butuh aja nggak ngasih,
nggak inget… apalagi nanti kalau sudah terpilih… pasti bohong… Logikanya sudah
terbalik-balik seperti itu… Nah, di hari-hari terakhir menjelang pemilihan, tim
sukses kita di lapangan itu termasuk calon-calon saksi menelpon, ‘Pak Toto,
calon-calon lain mah ngasih beras 5 kg, 10 kg, plus uang Rp 20.000 an ke
masyarakat … cik atuh barang Indomie-Indomie sabungkus atuh, sebagai tanda kita
inget mereka….’ Tuntutannya tuh cuma Indomie barang sebungkus… Tapi saya tegas,
selain juga nggak punya duit… Seorang satu Indomie, tapi kalau banyak kan tetap
saja… Saya bilang, ‘Kalau memang nggak ikhlas milih, ya nggak usah milih… Saya
tuh iklas mencalonkan diri mau melayani rakyat itu… Jadi saya juga butuh
keikhlasan…,’itu aja jawaban saya…” (Toto, nama samara, Cabub)
----------------------------------------
“Bahkan warga di Kompleks Y yang
orang-orang kaya, dan terdidik… Cina kaya, pribumi terdidik… Disitu orangnya
kritis memang… Dari sekian calon, mereka melirik saya… Terus saya diundang… Wah
kayak sidang ujian tesis… Gabungan warga beberapa RW… Tapi ujung-ujungnya
mereka keukeuh
wae mintaan duit… Nggak gede sih, minta buat biaya
penyelenggaraan… Katanya mereka mau jadi relawan tim sukses tapi minta dana
buat operasional… Tapi nggak menang saya disitu, tapi waktunya memang udah mepet, seminggu menjelang pemilihan baru ngundang saya… Ada suara untuk
saya disitu, nggak besar, tapi minimal nggak nol-lah… Kelihatan ada bekas usaha
mereka itu tadi…” (Toto, nama samaran,
Cabub)
----------------------------------------
“Jadi memang money politics itu bukan cuma dari politisinya, tapi rakyat
sendiri seperti itu… Itu pengalaman saya… Merata itu… Tapi ada yang tersentuh
ya… Yang tersentuh itu yang militan… Jadi angka 4,9% suara yang dukung saya teh, saya yakin itu angka orang-orang idealis… Da’ pasti mereka kan digoda uang sama calon yang lain, tapi bertahan…
Saya yakin mereka orang yang tegar… Suara murni lah… Jadi ya money politics itu bukan sistem… Orang pada nyalahin sistem dan politisinya yah… Tapi saya mah
nyalahin rakyatnya juga… Tapi memang itukan ada sebab juga yah, kenapa rakyat
jadi begini… Itu suatu persoalan sendiri…” (Toto, nama samaran, Cabub)
Pendidikan politik yang buruk
dari para tokoh agama
Selain itu, dalam
pandangan mereka, banyak tokoh agama dan lembaga keagamaan (khususnya pada
agama yang dianut mayoritas penduduk Kabupaten X) yang justru seakan memberi
contoh perilaku tersebut. Satu ungkapan menarik dari salah seorang calon
mengenai hubungan antara fiqih (Keterangan: salah satu bidang ilmu dalam
syariat yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai
aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan
manusia dengan Tuhannya) dengan perilaku politik transaksional pragmatis:
“Perilaku fiqih itu berpengaruh sekali terhadap
perilaku politik orang… Perilaku
fiqih yang
akomodatif, cenderung perilaku politiknyapun akomodatif… Jadi ada Persxx, Muhaxxxxxxxx, Syarexxx Isxxx, Nahxxxxx Ulaxx,…
Jadi semakin akomodatif perilaku fiqih, itu semakin mudah sekali untuk kesana kemari…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Yang non formalnya, karena saya lihat di
pendidikan non formal seperti pesantren, ini juga yang kemudian turut merusak
pendidikan politik masyarakat. Jadi yang namanya kyai itu, semua calon itu
diterima., ha…ha… Itukan di pesantren, disaksikan santrinya… Dan itu, kyai kan
selalu pidato… selalu menerima calon, dan ujung-ujungnya minta pesantren
dibereskan… mesjid dibereskan… Inikan selalu terjadi… momentum Pilkada… apalagi
Pileg… Pileg itukan banyak calon… Calon ini diterima, itu diterima… begitu saja
terus… didagangkan di depan majelis taklimnya, santri-santrinya…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Dan yang paling parah itu di kalangan Nahxxxxx
Ulaxx, itu paling parah…he..he.. Jadi, mereka itu sudah deklarasi pada Putaran
Kedua, menyatakan dukungan… kemudian kita lihat, tiga hari menjelang pemilihan, incumbent itu ngasih, ngasih, ngasih… kita cek, pada orang
dekat kyai itu, sudah rubah… cepet sekali itu perubahannya… Karena Nahxxxxx Ulxxx struktural kan dukung kita… Tapi basis mereka ini kan pesantren…Sampai ada teman
saya Nahdliyin yang bilang, “Sayah mah Pak, mending pake tim sukses residivis… Daripada kyai,
pusing Pak… Kalau residivis kan kalau A ya A… dan murah… cukup dikasih rokok, paling uang saku Rp 50.000… langsung jalan…. Tapi
kalau kyai, udah mahal, sambil ngga jelas lagi…”, ha…ha…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Saya melihat pesantren sekarang mengalami
degradasi dalam hal partisipasi politik… Jadi kalau bicara politik, bersentuhan
dengan pesantren, ya semua bakal tertipu habis… Kyai itu efektif sih ke santri
atau jamaahnya… karena dianggap punya barokah… Jadi kalau berbicara politik,
saya lebih percaya teman-teman daripada ke pak kyai…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Pesantren jangan ikut kemudian ikut mencemari
perpolitikan… tapi harus mencerdaskan perpolitikan…Ada konsekuensi logis dari
perilakukan politik kyai sekarang… Jadi kalau dulu kan, ketika Kyai X itu
mengambil sikap, itu dampaknya puluhan ribu… Tetapi kalau kyai sekarang paling
seribu dua ribu… Sekarang itu masih kuat, ada tokoh lain, berimbang sekarang…
ada tokoh nasional, ada kyai… Nah sekarang masyarakat sudah menilai kan, kok
begini..? Di mimbar ini suruh dukung ini… besoknya jadi rubah, sudah mulai
bergeser… Karena harga mahal kyai itukan pada istiqomah… Begitu dia tidak
istiqomah dia ditinggal… Lamun
ceuk Sunda mah, ‘ulah murucan nu teu eucrek’… Jadi jangan memberi contoh buruk, karena pengawal moralitas
bangsa itukan kyai… jadi kalau kyai sudah memberikan contoh buruk kepada
masyarakat, itu pasti akan menggerus kharisma mereka…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
Biaya politik mahal
Biaya politik menjadi
sangat tinggi, di mana pada akhirnya kekuatan uanglah yang menjadi faktor utama
penentu kemenangan dalam Pemilukada. Konon, setidaknya setiap Cabup/Cawabub
yang bertarung dalam Pemilukada 2010 di Kabupaten X tersebut harus keluar uang
Rp 5 – 10 milyar.
Rakyat menerima
pendidikan politik yang salah
Terjadinya perubahan
perilaku rakyat sebagai pemilih tentu bukan tanpa sebab. Kondisi tersebut
justru harus dipandang sebagai akibat dari gagalnya atau bahkan tidak adanya
pendidikan politik yang sehat dari negara dan institusi politik khususnya
partai-partai politik. Pendidikan politik selama Orde Baru hanya menghasilan
pemilih yang hanya bisa “mencoblos” saja. Setelah “Reformasi” ternyata
pendidikan politik bagi rakyat juga tidak sehat. Anggotannya, parlemen dan
pemerintahan yang terpilih banyak yang justru menunjukkan perilaku yang tidak
terpuji: banyak yang mangkir dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, serta
menunjukkan perilaku snob serta banyak diantaranya yang terlibat kasus
korupsi. Pada akhirnya rakyat juga “meniru” perilaku para politisi dan pejabat
tersebut. Ungkapan “wani piro?” yang populer belakangan ini menjadi simbol dari
perubahan perilaku dan relasi antara rakyat dan politisi dan pejabat tadi.
Sementara upaya
pendidikan politik umumnya dilakukan NGO atau CSO, yang tentunya menjadi terbatas
jangkauannya.
“Jadi pencerdasan-pencerdasan politik di
kabupaten (ini) belum ada itu… Apalagi partai-partai politik
yang melakukan pencerdasan politik itu cuma NGO-NGO kecil gitu kan… Ya dengan swadaya semampunya melakukan
pencerdasanpencerdasan politik… Kalau partai politik ya gitu, yang diterapkan politik transaksionalnya, bukan pencerdasan
masyarakat… Yang membawa visi misi untuk lima tahun ke depan gimana… jarang itu
partai politik…” (Nanang, nama samaran,
anggota Forum Warga)
Namun sebagai hiburan,
perlu ditambahkan mengenai trend tersebut, yaitu bahwa fenomena vote buying juga terjadi dimana-mana di seluruh belahan dunia, meskipun secara
normatif hal tersebut dipandang sebagai illegal. Uang dan politik memang saling
terkait satu sama lain khususnya pada momentum pemilihan umum. Studi di Taiwan,
Thaiand, dan Meksiko menunjukkan adanya jaringan broker politik yang berperan mempengaruhi jaringan sosial di masyarakat
secara transaksional (Bryan dan Baer, eds., 2005). Sementara hasil studi di 22
negara Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Latin oleh The National Democratic
Institute (NDI), menggambarkan adanya keterkaitan antara politik uang saat
Pemilu dengan korupsi yang terinstitusionalisasi dalam partai politik
(Schaffer, ed., 2007). Dalam konteks Indonesia, temuan penelitian ini
mengkonfirmasi kelemahan Pemilu/Pemilukada yang diulas Djojosoekarto dan Hauter
(2003). Adanya jaringan broker politik dalam Pemilu/Pemilukada bahkan Pilkades
juga dikemukan oleh Kusnadi, salah seorang Cabub yang menjadi informan dalam penelitian ini.
“Ente’
piro?" -vs- “Entu’ piro?”
Apakah cerita tadi hanya
anekdot yang terjadi di suatu tempat dan waktu tertentu saja? Atau ini juga
yang dialami oleh para Calon Legislatif yang saat ini tengah “berjuang” merebut
hati rakyat dalam Pemilu 2014? Bisa jadi ceritanya masih mirip-mirip ya. Sangat menarik kalau ada yang mau share juga disini… Singkat kata, kalau boleh
tahu, “Ente’ piro?” (Bahasa Jawa: Habis berapa?) buat modal keliling
dan kampanye?
Tapi mengikuti cara
berpikir teman-teman yang selalu positive thinking, maka tentulah dilarang untuk pesimis… Bisa jadi proses belajar masyarakat secara
umum memang baru sanggup sampai di level ini ya… Selain itu, pastilah masih
banyak Caleg yang berniat lurus dan dapat memperoleh dukungan suara yang tulus
dari konstituennya. Berhubung banyak teman dari Sabang sampai Merauke yang saat
ini menjadi Caleg, saya doakan semoga tabah dan sehat selalu (kesehatannya dan
keuangannya tentu). Amiin…
Dan sebagai rakyat biasa, saya hanya bisa berharap, semoga setelah Pemilu 2014 nanti tidak sampai harus mengajukan pertanyaan tambahan, baik ke masyarakat maupun para Caleg (terutama teman-teman yang jadi Caleg): “Entu’ piro?” (Bahasa Jawa: Dapat berapa?), baik mengenai perolehan suaranya, maupun hasil “pampasan perang”-nya… he...he...
Dan sebagai rakyat biasa, saya hanya bisa berharap, semoga setelah Pemilu 2014 nanti tidak sampai harus mengajukan pertanyaan tambahan, baik ke masyarakat maupun para Caleg (terutama teman-teman yang jadi Caleg): “Entu’ piro?” (Bahasa Jawa: Dapat berapa?), baik mengenai perolehan suaranya, maupun hasil “pampasan perang”-nya… he...he...
2 komentar:
Info pembanding: http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/03/21/162311/2533094/1562/siapa-memulai-praktik-politik-wani-piro-politisi-atau-pemilih
Jumat, 21/03/2014 16:32 WIB
Praktik Politik Wani Piro:
Siapa Memulai Praktik Politik Wani Piro, Politisi atau Pemilih?
ERWIN DARIYANTO - detikNews
Jakarta - Bagi sebagian calon legislator, kampanye pemilihan umum tahun ini bisa dirasakan adalah yang paling melelahkan dan bikin 'berdarah-darah'. Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim Saifuddin mengakui adanya fakta tersebut.
“Beberapa caleg yang saya temui mengeluh, musim kampanye tahun ini yang paling 'berdarah-darah' dan melelahkan,” kata Lukman saat berbincang dengan detikcom, Jumat (21/3).
Saat kampanye, masyarakat tak lagi melihat visi dan misi seorang caleg, melainkan besarnya uang atau bantuan yang diberikan. Pada pemilihan umum 2009 lalu praktik ini sebenarnya sudah ada, namun sekarang sangat terasa dan kian vulgar dilakukan.
Lukman yang kini maju sebagai caleg DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Tengah VI menyarankan, seorang politisi tidak menanggapi tantangan wani piro ini. Apabila terpaksa tak bisa menolak, maka sebaiknya uang tersebut diberikan dalam bentuk sesuatu yang bisa memberi manfaat untuk bersama.
“Misalnya membangun prasarana olahraga, pendidikan, atau sarana sosial lainnya,” kata Lukman. Namun pria yang kini menjabat Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini mengaku tidak mengetahui pihak yang lebih dulu memunculkan praktik politik wani piro ini.
“Susah menjawabnya. Seperti pertanyaan ayam dan telur mana yang duluan ada?,” kata Lukman. Pastinya menurut dia praktik politik transaksional atau wani piro ini jelas tidak ideal bagi demokrasi Indonesia.
Semestinya pemilih memberikan hak suara berdasarkan kesamaan visi dan misi dengan calon legislator. “Transaksi antara keduanya dibangun di atas fondasi kesamaan visi dan saling percaya. Ini yang ideal,” kata dia.
Saat transaksi politik dilakukan atas dasar kesamaan visi dan misi, maka hubungan pemilih dengan yang dipilih akan terikat dalam jangka panjang. Hubungan wakil rakyat dengan konstituen tidak terputus setelah pemilihan umum selesai.
Laporan Rilis Survei “Sikap dan Perilaku Pemilih terhadap Money Politic” oleh Indikator Politik Indonesia
Sumber: http://indikator.co.id/news/details/1/41/Laporan-Konpers-Rilis-Survei-Sikap-dan-Perilaku-Pemilih-terhadap-Money-Politics-
Indikator Politik Indonesia merilis hasil survey “Sikap dan Perilaku Pemilih Terhadap Politik Uang” pada 12 Desember 2013. Rilis survey menggunakan dua sumber data, yakni data kumpulan survey 39 Dapil sengan populasi 400 responden tiap Dapil yang dilakukan September-Oktober 2013, serta data survei nasional dengan sampel 1.200 responden pada bulan Maret 2013. Kedua sumber data menggunakan metode multistage random sampling dengan teknik pengambilan sampel respondennya.
Sebanyak 41,5% responden 39 Dapil menganggap bahwa politik uang merupakan hal yang wajar, sedangkan 57,9% menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima atau menolak praktek politik uang tersebut.
Aspek demografi seperti gender, perbedaan desa-kota, serta usia ternyata tidak berpengaruh atas tingkat toleransi terhadap politik uang. Tingkat pendidikan dan pendapatan lebih berhubungan erat dengan toleransi terhadap politik uang.
Namun, semakin tinggi party id atau kedekatan seseorang terhadap sebuah partai, maka tingkat toleransi terhadap politik uang juga cenderung menurun.
Posting Komentar