“Forum Warga”: Hidup Segan Mati Tak
Mau
Oleh: Candra Kusuma
Dikemas ulang dari kumpulan tulisan “Renungan Depok” –
Juli 2012
Pengertian Forum Warga
Dalam penelitiannya mengenai inisiatif masyarakat dalam
mengembangkan forum warga di berbagai daerah di Indonesia, Sumarto (2009:36)
mendefinisikan “Forum
Warga” sebagai suatu forum konsultasi dan penyaluran aspirasi
warga untuk urusan pembangunan dan pelayanan publik di tingkat lokal.
Dalam hal ini ada sejumlah ciri dari forum warga, diantaranya: (a)
Merupakan wadah yang digunakan untuk merumuskan dan mencari solusi atas
permasalahan yang dihadapi komunitas (seringkali berupa rekomendasi bagi
pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan atau melakukan kebijakan
tertentu), sekaligus menjadi media resolusi konflik di tingkat lokal; (b)
Biasanya merupakan aliansi berbagai organisasi non pemerintah (NGO/LSM),
organisasi berbasis komunitas, asosiasi/kelompok sektoral (seperti kelompok
petani, buruh, pemuda, transportasi, pedagang kaki lima, perempuan, dll.) serta
tokoh-tokoh lokal; (c) Biasanya bersifat sektoral, tetapi kebanyakan koalisi
dibangun dengan basis teritorial, walaupun tidak selalu identik dengan wilayah
administratif.[1]
Kehadiran forum-forum tersebut menambah alternatif arena
partisipasi warga, setelah sebelumnya lebih banyak dimunculkan melalui
berbagai NGO.[2] Tumbuhnya asosiasi atau forum warga ini dapat dipandang sebagai
kritik atas kelemahan dari demokrasi representatif yang cenderung eksklusif dan
tidak responsif terhadap kepentingan dan aspirasi warga. Kehadiran forum warga
dalam juga dapat dipandang sebagai tumbuhnya kebutuhan akan adanya
kelompok-kelompok penekan, yang menjadi bagian dari dinamika perkembangan
civil society di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitiannya
Sumarto telah mengidentifikasi forum warga berdasar proses kelahirannya,
yang dapat dikategorikan menjadi: (a) Forum yang lahir dari kebutuhan
akan wadah komunikasi, pengorganisasian masyarakat, dan aksi bersama; (b)
Forum yang lahir sebagai kelanjutan dari suatu program/proyek dari pemerintah,
pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga donor, atau lainnya; (c) Forum yang
dibentuk sebagai “prasyarat” atau kewajiban yang harus dipenuhi untuk dapat
terlibat dalam suatu program/proyek tertentu (Sumarto, 2009:38).
Dari hasil studi Sumarto (2005, 2008 dan 2009) dan USAID
(2006), dapat dipetakan empat isu yang menjadi perhatian dan arena
partisipasi Forum Warga, yaitu dialog, diskusi dan upaya terlibat dalam
pengambilan keputusan mengenai atau dalam hal: (a) Masalah sosial atau isu
publik di komunitas dan/atau daerah; (b) Perencanaan pembangunan/komunitas
dan/atau daerah; (c) Penganggaran pembangunan di komunitas dan/atau daerah; dan
(d) Monitoring dan evaluasi
pembangunan di komunitas dan/atau daerah. Diantara
keempat isu tersebut, dalam
pengamatan saya sebagian besar forum warga terlibat dalam
dialog dan diskusi mengenai masalah sosial atau isu publik dan penganggaran
pembangunan atau participatory budgeting.
Efek Forum Warga
Hasil studi Sumarto (2005:372-373) mengenai keberadaan
dan kiprah forum warga di Kabupaten Bandung dan Kota Solo diantaranya
menjelaskan mengenai efek forum warga terhadap demokrasi lokal. Dengan mengacu
pada pendapat Warren (2001:60-93) mengenai tiga dimensi perubahan dari
adanya asosiasi semacam itu, studi Sumarto menemukan bahwa forum warga
memiliki:
(a) Efek
pengembangan individu-individu. Forum warga berpotensi membentuk, meningkatkan
dan mendukung kepercayaan diri dan kapasitas warga untuk secara kolektif
mengubah politik lokal. Perkembangan individu dimaksud yaitu pada aspek: merasa
mampu/berhasil (a sense of efficacy), informasi, keterampilan politik,
kebajikan (civic virtues) dan kemampuan berifikir/bersikap kritis (critical
skills). Hasil studi Sumarto tersebut menunjukkan bahwa forum warga menjadi
semacam ’school of democracy’, melalui berbagai proses pembelajaran
informal mengenai “civic culture”;
(b) Efek
terhadap public sphere, dimana organisasi dapat memegang peran kunci
dalam komunikasi publik dan deliberasi, serta merepresentasikan kesamaan dan
perbedaan yang ada. Meskipun tantangannya adalah umumnya sulit bagi forum warga
untuk terlibat dalam proses perencanaan pembangunan karena ruang/kesempatan
untuk itu masih belum ada;
(c) Efek
institusional, dimana asosiasi memiliki potensi untuk menyeimbangkan
representasi para pihak dalam sistem politik lokal, meningkatkan kemampuan
warga untuk memperjuangkan aspirasinya, dan mengimplementasikan prinsip subsidiarity[3]
pada pemerintahan lokal, meningkatkan koordinasi dan kerjasama diantara
kepentingan yang berpotensi saling bersaing, dan meningkatkan legitimasi
demokrasi.
Kendala Forum Warga
Dari berbagai penelitian yang telah diuraikan di atas,
ada sejumlah catatan yang
penting untuk dicermati berkenaan dengan keberadaan forum
warga tersebut. Meskipun dibangun dengan semangat partisipatif dan
bertujuan menciptakan kebijakan publik yang lebih berpihak pada kepentingan
warga,[4] namun forum warga juga memiliki sejumlah kendala, antara
lain:
(a) Kemungkinan
terabaikannya masalah atau isu lain diluar isu utama yang menjadi fokus forum
warga. Masalah ini sangat mungkin terjadi pada forum warga yang bersifat
sektoral atau hanya mewakili wilayah tertentu;
(b) Keanggotaan
forum warga yang umumnya berbasis tokoh masyarakat, kerap hanya memiliki
legitimasi yang lemah dan tidak menjamin mewakili kepentingan masyarakat
miskin/marginal. Forum tersebut menjadi elitis dan tidak terakses oleh warga
kebanyakan;
(c) Hambatan
sosio-kultural terhadap kehidupan asosiasional, seperti kurangnya trust,
adanya sebagian anggota/peserta yang oportunis (opportunism), krisis
kepemimpinan dan hubungan patronase;
(d) Semangat
kolektif anggota atau aktivis forum warga tidak stabil. Konflik kepentingan,
rivalitas, orientasi/tujuan yang berubah tidak saja dapat mengganggu proses
pengambilan keputusan dan membuat keberadaan forum tersebut menjadi rentan
untuk mampu bertahan lama;
(e) Forum
warga yang betul-betul muncul dan dikelola oleh masyarakat sendiri, kerap
menghadapi masalah keterbatasan sumberdaya untuk menggerakkan organisasi dan
kegiatan forum;
(f) Pembentukan
forum warga tidak jarang lebih condong dikembangkan dalam skema proyek,
sehingga kerap bergantung pada pihak sponsor yang mendanainya;
Secara khusus, peluang dan hambatan yang berasal dari
birokrasi memang perlu dicermati, karena dapat turut mempengaruhi berhasil atau
tidaknya proses deliberasi di daerah. Dalam hal ini, perlu dipetakan
tingkat keterbukaan birokrasi terhadap gagasan partisipasi warga dalam
proses perumusan dan kontrol atas pelaksanaan
kebijakan publik di daerah.[6] Pandangan tersebut sejalan dengan hasil studi
empirik Yang dan Callahan (2007:259) yang menginformasikan bahwa faktor
terpenting terkait upaya pelibatan warga dalam pengambilan keputusan adalah
perilaku para manajer publik (birokrat) dalam menyikapi prinsip-prinsip partisipasi.[7] Namun, pemahaman aparatus birokrasi di Indonesia
mengenai prinsip partisipasi publik dan secara umum mengenai good
governance masih menjadi pertanyaan besar. Hasil studi empirik BAPPENAS
(2003:33) menunjukkan bahwa dari empat belas prinsip tata
pemerintahan yang baik yang
dikembangkan oleh BAPPENAS,[8] prinsip transparansi dan prinsip demokratis serta
berorientasi pada konsensus merupakan prinsip-prinsip yang paling kurang dipahami
oleh aparatur pemerintahan daerah.
Jika birokrasi di daerah khususnya kepala daerah -- oleh
berbagai sebab -- bersifat tertutup terhadap gagasan tersebut, maka
upaya deliberasi dapat dikatakan hanya akan menjadi aksi sepihak saja.
Karenanya menjadi penting untuk mencermati karakter dan kecenderungan dari
birokrasi yang menjadi bagian dalam proses deliberasi ini. Yang dan Callahan
(2007:250) mengutip Meier dan O’Toole (2006) yang menyatakan bahwa bureaucratic
value adalah lebih penting daripada faktor-faktor politik
lainnya dalam menjelaskan keputusan-keputusan birokrasi. Masalahnya, banyak
pimpinan atau pejabat publik takut untuk merespon partisipasi karena dianggap dapat
menurunkan efektifitas lembaganya (King dan Stivers, 1998; Vigoda, 2002).
Karenanya, seperti yang dikutip Yang dan Callahan dari More (1995), idealnya
birokrasi jangan bersikap pasif terhadap gagasan partisipasi, karena partisipasi
dapat digunakan untuk membangun dinamika politik dan meningkatkan legitimasi
institusi.
Untuk itu, pemahaman para stakeholder atau aktor
yang terlibat dalam proses
deliberasi mengenai efek dari partisipasi publik juga
perlu ditelaah lebih jauh.
Dalam hal ini hasil studi empirik oleh Halverson (2003)
dapat dijadikan salah satu
pijakan, bahwa partisipasi publik yang berkualitas dapat
mempengaruhi persepsi atau kepercayaan publik terhadap birokrasi/pemerintah.
Partisipan atau warga cenderung meningkat kepercayaannya bahwa pemerintah atau
institusi public sudah dan akan bersikap responsif terhadap kepentingan
publik. Selain itu, studi
empirik dari Wang dan Wart (2007:276) menyimpulkan bahwa public
trust (tingkat kepercayaan publik) meningkat ketika para
pejabat publik menunjukkan
integritas, kejujuran, dan kepemimpinan moral serta etis,
yang terinstitusionalisasi
dalam pemerintahan melalui proses partisipasi. Namun Wang
dan Wart juga mengingatkan, bahwa meskipun partisipasi dapat mencapai
konsensus publik, namun tidak dengan sendirinya dapat menciptakan public
trust, karena realisasi
atas kesepakatan itu harus dapat ditunjukkan oleh para
pejabat publik kepada warga, bahwa proses partisipasi tersebut memang mewujud
dalam hal yang konkret, misalnya peningkatan jangkauan dan kualitas
pelayanan publik dari pemerintah (daerah) kepada warga.
Sementara berkenaan dengan kecenderungan di forum warga
sendiri, hasil kajian Sumarto (2008:i) justru menyimpulkan adanya indikasi
bahwa gairah berpartisipasi di beberapa daerah sedang mengalami proses
erosi. Berkurangnya kemauan politik dari kepala daerah dan kejenuhan warga
menjadi sebagian penyebab dari kondisi tersebut. Bahkan pada sejumlah kasus ada
pendukung partisipasi yang beralih menjadi penentangnya karena
merasa tidak lagi percaya
akan keuntungan dari proses partisipatif. Akibatnya
banyak forum-forum deliberatif yang pernah berkembang dan populer di era
2000-an kemudian menjadi vakum, atau mulai mengalami stagnasi atau
pembelokan tujuan.
[1] Sumarto
(2009:37) mencatat bahwa sesungguhnya kehadiran forum warga belum diakui dalam kerangka legal formal. Pengakuan atas
keberadaan forum-forum tersebut belum merata, khususnya pengakuan dari pihak pemerintah. Akibatnya
tidak jarang upaya mereka membangun dialog
dengan
pihak-pihak tersebut kerap kurang ditanggapi serius atau bahkan diabaikan dan
ditolak.
[2] Menurut
Sumarto (2005:5), tidak ada data mengenai jumlah forum warga di di Indonesia,
tapi diperkirakan ada ratusan jumlahnya.
Beberapa diantaranya yang dapat disebutkan, seperti: Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera di Bandung;
Sarasehan Warga Bandung di Kota Bandung; Perekat Ombara di Lombok Utara; Forum Jatinangor di Sumedang; Forum
Masyarakat Peduli Sanur di Bali;
Solidaritas Masyarakat Pinggiran Surakarta; Forum Masyarakat Jepara; dll.
(diantaranya lihat Sumarto,
2005, 2008 dan 2009; USAID, 2006).
[3] The
Oxford English Dictionary mengartikan subsidiarity sebagai prinsip bahwa
otoritas yang lebih tinggi hanya melakukan sesuatu yang tidak dapat
dilaksanakan oleh otoritas yang lebih rendah. Dalam konteks otonomi daerah,
pemerintah pusat hanya menjalankan urusan yang tidak dapat dilaksanakan oleh
pemerintah daerah.
[4] Tidak
semua pihak memiliki pandangan positif atau moderat terhadap konsep demokrasi deliberatif
dan keberadaan forum warga. Perspektif dan teori yang berbeda akan menghasilkan
kesimpulan yang berbeda pula terhadap masalah yang sama. Chotim (2006)
misalnya, melihat forum warga sebagai gagasan yang ditanamkan dari luar melalui
program/proyek dari berbagai donor atau lembaga kerjasama pemerintah lainnya,
yang dianggap sebagai model yang paling baik dalam menyelesaikan masalah di
komunitas secara damai, melalui konsensus yang dapat diterima semua pihak.
Sementara masalah pokok di komunitas mungkin lebih mendasar dari apa yang diperbincangkan,
khususnya soal kontestasi kepentingan ekonomi diantara para aktor mengenai sumberdaya
yang ada di suatu daerah. Konsep demokrasi dan partisipasi menjadi hegemonik, dianggap
benar dan berlaku universal. Disini terlihat adanya perbedaan perspektif antara
Chotim dengan Chandra (2003) dan Sumarto (2005, 2008, 2009) mengenai topik yang
sama yaitu tentang Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera (FM2S) di Kabupaten
Bandung. Dalam konteks yang lebih luas, perspektif serupa misalnya dari Hadiz
(2005:272-273) yang melihat demokrasi dan desentralisasi secara lebih luas di
Indonesia, Menurutnya, konsep-konsep tersebut tidak lain hanyalah bagian dari
pencangkokan gagasan neo-institusionalis yang dianggap varian dari aliran neo-liberalisme.
[6] Menurut
Dwiyanto et.al., (2007:328), proses konsolidasi menuju suatu kualitas
tata pemerintahan yang baik dan mapan
tergantung pada banyak faktor, diantaranya adalah kualitas kepemimpinan dan lingkungan penyelenggaraan
pemerintahan yang ada di tiap daerah. Provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki kualitas kepemimpinan yang baik
dan pimpinan daerah yang memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap reformasi tata pemerintahan serta secara serius mengembangkan berbagai program untuk
mendorong perubahan menuju pada kualitas tata pemerintahan yang baik cenderung memiliki kinerja yang lebih baik.
[7] Sebagai
catatan, studi Yang dan Callahan (2007) juga menyatakan bahwa respon birokrasi terhadap partisipasi warga lebih rendah jika
dibandingkan respon terhadap komunitas bisnis dan NGO.
[8] BAPPENAS
merumuskan empat belas Prinsip Good Governance, yaitu: (a) Wawasan ke
depan; (b) Keterbukaan
dan transparansi; (c) Partisipasi Masyarakat; (d) Tanggung gugat/akuntabilitas; (e) Supremasi hukum; (e) Demokrasi; (f)
Profesionalisme dan kompetensi; (g) Daya tanggap; (h) Efisiensi dna efektifitas; (i) Desentralisasi;
(j) Kemitraan dengan dunia usaha swasta dan
masyarakat;
(k) Komitmen pada pengurangan kesenjangan; (l) Komitmen pada perlindungan lingkungan hidup; (m) Komitmen pada pasar
yang fair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar