Kampanye Negatif ?
Oleh: Candra
Buku ini berjudul “Going Dirty:
The Art of Negative Campaining” yang ditulis pada tahun 2009 oleh David Mark, seorang
jurnalis, penulis dan analis politik yang menjadi editor “Politix” yaitu sebuah
situs forum politik di Palo Alto, California. “Going Dirty” menggambarkan
sejarah mengenai “kampanye negatif” dalam politik di Amerika, terutama mengenai
bagaimana para kandidat dan konsultan politik mereka merancang dan memainkan teknik-teknik
kampanye yang kontroversial.
Apa itu negative campaining?
Mark memaknai “negative
campaining” sebagai tindakan seorang kandidat untuk dapat memenangkan
Pemilu dengan cara menyerang lawan dibandingkan menekankan sisi positif lawan
ataupun kebijakannya. Menurut Mark, strategi kampanye negatif mulai diperkenalkan dan
berkembang sejak era televisi di Amerika. Beberapa contoh dari bentuk kampanye negatif, yaitu:
- Membuat
iklan di televisi atau media massa lain yang menceritakan kisah yang merusak
mengenai lawan politik secara berulang-ulang;
- Menyebarkan
dan terus mempertajam kejanggalan yang ada pada lawan politik, baik secara
verbal maupun fisik ;
- Membuat
iklan humor yang menyindir atau mentertawakan kelemahan atau kegagalan lawan
politik;
- Dll.
Ada perbedaan antara
strategi kampanye negatif dengan trik kotor dan taktik kampanye illegal
bentuknya sangat beragam, seperti: menyadap atau mencuri data/informasi secara
langsung (seperti kasus Watergate yang menjatuhkan Nixon); mempengaruhi, menekan
atau memaksa pemilih; mempengaruhi proses dan hasil pemungutan suara; dll.
Dalam buku ini Mark banyak sekali memberikan contoh dari bentuk
kampanye negatif sejak tahun 1960-an sampai dengan pemilihan presiden AS tahun
2008. Sebagian besar contoh yang diberikan Mark adalah mengenai teknik iklan
negatif di televisi yang memojokkan kandidat lawan daan efeknya terhadap hasil
polling dan perolehan suara. Salah satunya sbb.: Pada Pemilu di AS tahun 2006,
strategi Partai Republik yang mengangkat isu mengenai ancaman teroris direspon
dingin oleh publik. Sementara Partai Demokrat berhasil mengeksploitasi perilaku
tidak pantas dari seorang mantan anggota Konggres dari Republik. Pada akhirnya
terbukti bahwa teknik kampanye negatif oleh Demokrat dan kondisi internal
Republik yang tengah tidak kondusif berhasil mendongkrak perolehan suara
Demokrat hingga berhasil memperoleh kursi mayoritas di Kongres dan Gubernur
negara bagian setelah belasan tahun selalu didominasi oleh Republik (p.243-244).
Intinya, dalam iklan politik paling efektif jika dapat menggambarkan secara
langsung kelemahan atau kegagalan lawan politik: “Actors in negative ads are great, but actual footage of an opponent
stumbling is political gold.” (p.247).
Seberapa efektifkah?
Menurut Mark, hasil penelitian akademik memberikan kesimpulan
yang berbeda mengenai efektivitas kampanye negatif dan sikap pemilih terhadap
praktek tersebut. Pemilih sering mengutuk model kampanye negatif. Bahkan di AS,
82% pemilih menyatakan mereka percaya bahwa “serangan kampanye negatif merongrong dan merusak demokrasi,” dan
mayoritas percaya bahwa praktik yang tidak etis dalam kampanye terjadi “sangat”
atau “cukup” sering (58%) (berdasar survei November 1999 oleh Lake Snell Perry
& Associates untuk Pew Charitable Trusts dan The Institute for Global
Ethics, serta survei September 2000 yang dilakukan oleh Yankelovich Partners,
untuk The Center for Congressional and Presidential Studies.
Namun Mark juga menunjukkan hasil studi lainnya yang
menunjukkan bahwa dengan adanya kampanye negatif membantu calon pemilih untuk
mengetahui perbedaan antara kandidat. Contohnya, hasil studi oleh The Pew
Research Center for the People and the Press pada bulan November 2004 mengenai
sikap pemilih terhadap Bush dan Kerry (yang pertarungannya dianggap salah satu
yang terburuk di AS), sebanyak 86% responden (calon pemilih) menyatakan bahwa “mereka memperoleh informasi cukup banyak
tentang profil kandidat dan isu-isu yang mereka tawarkan.” Di sisi lain,
72% responden studi tersebut menyatakan bahwa mereka melihat adanya kampanye
negatif yang lebih banyak dibanding pada kampanye presiden sebelumnya.
Selain itu, Mark juga menunjukkan bahwa meskipun banyak yang
mengutuk model kampanye negatif, tetapi para calon pemilih tersebut mengaku
juga mengapresiasi ditayangkannya isu-isu dan kepribadian para kandidat dalam
kampanye. Dengan kata lain, tidak semua calon pemilih menganggap kampanye negatif
itu tidak informasif atau bahkan berguna sama sekali. Mark juga menyebutkan
bahwa hasil studi dalam pemilihan Gubernur di California menemukan bahwa dampak
dari adanya kampanye negatif adalah semakin banyak calon pemilih yang tahu dan
peduli dengan proses politik.
Terlebih, hasil studi yang komprehensif pada tahun 2004 mengenai
pemilihan Senat AS tahun 1992-2002 menyatakan, bahwa dari berbagai literatur dan
hasil studi mengenai kampanye negatif sebelumnya, tidak ada yang secara jelas
dapat memberikan bukti bahwa teknik tersebut tidak efektif dan dianggap dapat
merusak system politik. Terlebih, kampanye negatif umumnya tidak mengurangi
jumlah pemilih, dan bila dikaitkan dengan biaya kampanye, teknik tersebut
justru dapat meningkatkan jumlah pemilih. Ibarat acara infotainment gosip artis di televisi: Gosip = Makin digosok makin siip... katanya...
Bagaimana di
Indonesia?
Perdebatan tentang negative
campaign sudah lama terjadi, setidaknya pada saat pembahasan RUU Pemilu dan
RUU Pilpres pada tahun 2007 lalu. Muhammad Qodari (Direktur Ekskutif Indo
Barometer) berpendapat bahwa harus dibedakan antara negative campaign dan black
campaign (kampanye hitam). Menurutnya, kampanye negatif tidak sembarangan,
namun didasarkan pada fakta, sedangkan kampanye hitam tidak didasarkan pada
fakta. Seorang kandidat dapat saja menuduh lawan politiknya melakukan korupsi,
asalkan tuduhan tersebut berbasis fakta yang jelas. Contohnya kampanye negatif
adalah kampanye untuk tidak memilih politisi busuk pada Pemilu 2004 lalu.
Secara prinsip kampanye negatif merupakan keniscayaan dalam
berpolitik, karena setiap kandidat akan melakukan dua hal utama, yaitu
menonjolkan hal-hal yang baik terkait dirinya, dan sebaliknya menonjolkan hal
negatif dari lawan politiknya. Kampanye negatif bermanfaat memberikan informasi
yang memadai mengenai track record
kandidat, menilai mereka dan selanjutnya memutuskan siapa yang akan dipilih
atau tidak dipilih. Dalam hal ini Qodari menyayangkan karena dalam tidak adanya
pembedaan antara kedua jenis kampanye tersebut, di mana dalam RUU ada upaya
untuk menghalangi black campaign,
namun justru juga dapat mematikan negative
campaign.
Jadi?
Dari dua sumber itu saja terlihat bahwa strategi dan teknik
kampanye ternyata sangat beragam: ada yang positif, hitam, negatif, trik kotor,
illegal. Tiap kandidat dan tim sukses sangat mungkin mengkombinasikan beberapa
strategi dan teknik kampanye sekaligus.
Terkait dengan kondisi aktual menjelang Pileg dan Pilpres tahun
2014 ini, marak sekali iklan politik dan berita di media massa maupun sosial
media. Ada yang muatannya memuji-muji diri sendiri, mencitrakan sesuatu,
menjanjikan sesuatu, mengkritik, menyindir, menuduh, membantah, menuding,
menjelekkan, mengaburkan, mengalihkan, dll.
Sejauhmana batasan agar kampanye negatif tidak tergelincir
menjadi kampanye hitam, kayaknya ya
disitulah pinter-pinternya kandidat, partai, konsultan dan tim suksesnya… Juga pinter-pinternya Bawaslu dan kawan-kawannya tentu saja…
Masing-masing strategi dan teknik tentu ada resikonya, bisa
menarik simpati calon pemilih… atau
malah blunder dan bahkan dikecam dan
ditinggalkan para calon pemilihnya nantinya ya…
Jadi baiknya memang nggak perlu gampang sewot kalau partai atau
calon presiden yang anda gandrungi diiklankan atau diberitakan negatif oleh
lawan-lawan politiknya… Namanya juga usaha… Capres juga manusia… Kalau memang ada kampanye
hitam ya tinggal lapor aja ke Bawaslu…
Apalagi dalam politik di Indonesia, politisi yang “berhasil mencitrakan diri
sebagai korban” seringkali justru malah dapat
menuai banyak simpati dan suara, bukan? he…he…
DISCLAIMER:
Model kampanye ini tidak dianjurkan buat yang masih menganggap bahwa
ngomongin atau menyebarluaskan kekurangan dan kesalahan orang lain --apalagi
sampai mengumpat dan cenderung fitnah-- sebagai dosa ya… he..he..
-----------------------
Sumber:
- David Mark. Going Dirty: The Art of Negative Campaigning. Updated Edition. Rowman &
Littlefield Publishers, Inc. 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar