Golongan Putih
Dalam suasana menjelang Hari-H Pemilu 2014, mulai terdengar lagi
wacana mengenai “Golput.” Golput
atau Golongan Putih adalah kelompok yang tidak ikut memilih dalam Pemilu, baik
karena terpaksa, dibuat tidak memilih (tidak didaftar sebagai pemilih), ataupun
karena memang secara sadar tidak mau memilih (choose
not to elect). Golput ini oleh
banyak ahli dipandang telah menjadi salah satu ancaman terbesar bagi demokrasi representatif,
yang tidak hanya terjadi di Indonesia
tapi juga di seluruh negara demokratis di dunia, karena terutama dipandang
dapat menggerogoti dan melemahkan legitimasi pemerintahan dan politisi terpilih dalam Pemilu.
Golput karena terpaksa, misalnya saja karena tengah di perjalanan jauh atau tinggal jauh di pulau terpencil, umumnya masih dapat dimaklumi. Sebaliknya, Golput karena dipaksa tidak memilih, dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak politik warga negara oleh pemerintah/penguasa. Sementara jenis Golput yang disebabkan karena kesadaran politiknya sendiri, oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah bentuk sikap politik yang juga harus diakui, yaitu sebagai kritik terhadap sistem demokrasi representatif yang makin oligarkis dan cenderung korup serta tidak mampu menyediakan calon-calon pemimpin yang sesuai dengan harapan rakyat.
Golput karena terpaksa, misalnya saja karena tengah di perjalanan jauh atau tinggal jauh di pulau terpencil, umumnya masih dapat dimaklumi. Sebaliknya, Golput karena dipaksa tidak memilih, dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak politik warga negara oleh pemerintah/penguasa. Sementara jenis Golput yang disebabkan karena kesadaran politiknya sendiri, oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah bentuk sikap politik yang juga harus diakui, yaitu sebagai kritik terhadap sistem demokrasi representatif yang makin oligarkis dan cenderung korup serta tidak mampu menyediakan calon-calon pemimpin yang sesuai dengan harapan rakyat.
Uniknya,
dan ini mungkin hanya terjadi di Indonesia saja, masalah Golput ini sampai terbawa ke urusan “halal-haram.” Belum lama ini Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa, bahwa masyarakat
yang tidak ikut Pemilu alias Golput adalah haram. MUI meminta masyarakat untuk
ikut peran serta atau mencoblos di Pemilu 2014 nanti. Meskipun menurut
Ketua MUI Jawa Timur, istilah yang digunakan dalam keputusan MUI bukanlah Golput.
Akan tetapi, MUI menyatakan bahwa Nasbul Imamah atau mengangkat pemimpin itu
hukumannya wajib. Artinya memilih pemimpin yang amanah, jujur, adil, beriman dan bertaqwa itu hukumnya wajib. Jika ada pemimpin yang memiliki sifat tersebut, maka wajib hukumnya untuk dipilih. Namun jika tidak dipilih, maka orang yang tidak memilihnya akan menanggung dosa. Tetapi, MUI Jawa Timur
juga memfatwakan bahwa tindakan memilih politisi yang memiliki track record yang jelek, suka korupsi, akhlaknya jelek, juga termasuk berdosa. Sayangnya, dalam berita yang cukup banyak diliput media tersebut, tidak disebutkan bagaimana seharusnya sikap masyarakat jika merasa sulit atau bahkan tidak dapat menemukan politisi (Caleg dan Capres/Cawapres yang tidak sesuai dengan kriteria tadi, yaitu sebagai pemimpin yang amanah, jujur, adil, beriman dan bertaqwa tersebut. Lima tahun lalu (2009) sesungguhnya MUI Pusat sudah mengeluarkan fatwa wajib memberikan suara dalam Pemilu. MUI tidak mengeluarkan fatwa mengenai Golput.
Saya sendiri masih berniat ikut menggunakan hak pilih pada Pemilu
kali ini. Tapi saya juga tergoda untuk membaca lagi mengenai tema Golput ini. Agar
dapat berbagi, saya cuplik secara utuh bagian dari tulisan Bismar Arianto berjudul
“Analisis Penyebab
Masyarakat Tidak Memilih dalam Pemilu,” yang dimuat pada Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol.
1, No. 1, 2011.
------------------------------------
Kerangka Teori
Dalam kajian perilaku pemilih hanya ada dua konsep utama, yaitu;
perilaku memilih (voting
behavior) dan perilaku tidak
memilih (non voting
behavior). David Moon mengatakan
ada dua pendekatan teoritik utama dalam menjelaskan prilaku non-voting yaitu: pertama, menekankan pada
karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem
pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang
keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih
(dalam Hasanuddin M. Saleh, 2007).
Istilah Golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama
zaman Orde Baru tahun 1971. Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara
lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah
mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan,
cenderung diinjak-injak (Fadillah Putra, 2003: 104).
Golput menurut Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa
pengurus tetapi hanya merupakan pertemuan solidaritas (Arif Budiman). Sedangkan
Arbi Sanit mengatakan bahwa Golput adalah gerakan protes politik yang
didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan Golput
adalah penyelenggaraan pemilu. Mengenai Golput alm. KH. Abdurrahaman Wahid
pernah mengatakan “ kalau tidak ada yang
bisa di percaya, ngapain repot-repot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa”
(Abdurrahamn Wahid, dkk., 2009: 1).
Sikap orang-orang Golput, menurut Arbi Sanit dalam memilih
memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak
pilih. Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang
berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya,
kaum Golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan.
Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran
untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya
adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya
secara bertanggungjawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan
pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan
pemilu (Arbi Sanit, 1992).
Jadi berdasarkan hal di atas, Golput adalah mereka yang dengan
sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara
dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat
Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau
terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori Golput. Begitu
pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi Golput bukan lagi sekedar
memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian
kedua golongan ini dari istilah Golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai
kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya
pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak.
Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan Golput atas empat
golongan. Pertama, Golput teknis, yakni mereka yang karena
sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan
lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang
keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, Golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar
sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara
pemilu). Ketiga, Golput politis, yakni mereka yang merasa tak
punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada
akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, Golput
ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan
tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan
politik-ideologi lain (dalam Hery M.N. Fathah).
Sedangkan menurut Novel Ali (1999:22)., di Indonesia terdapat
dua kelompok Golput. Pertama,
adalah kelompok Golput
awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan
politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik
kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat
deskriptif saja. Kedua,
adalah kelompok Golput
pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu
benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai
politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi
politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu
atas dasar system distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis
politik mereka jauh lebih tinggi dibandingkan Golput awam. Golput pilihan ini
memiliki kemampuan analisis politik yang tidak cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat
evaluasi.
Analisa Penyebab Golput
Berdasar pemaparan secara teoritis dan tinjauan penelitian
sebelumnya ada perbedaan pendapat para ahli dan temuan hasil penelitian tentang
fenomena Golput. Menurut David Moon ada perilaku non-voting yaitu pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan
psikologi pemilih serta karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan
kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih.
Merujuk pedapat Arbi Sanit Golput dapat diklasifikasi menjadi
tiga yaitu Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran
untuk tidak menggunakan hak pilih. Sedangkan menurut Novel Ali dapat di bagi
dua kelompok Golput awam dan kelompok Golput pilihan. Secara lebih detail
diuraikan oleh Eep Saefulloh Fatah Golput teknis, Golput teknis-politis Golput
politis dan Golput ideologis.
Hasil penelitian Tauchid Dwijayanto dalam kasus pilkada Jawa
Tengah ada tiga yang menyebabkan terjadinya Golput yaitu lemahnya sosialisasi,
masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dan sikap apatisme masyarakat.
Berdasarkan hasil temuan Efniwati ada dua hal yang menyebabkan pemilih Golput
yaitu faktor pekerjaan dan faktor lokasi TPS. Kemudian Eriyanto mengatakan ada
empat alasan mengapa pemilih Golput yaitu karena administratif, teknis,
rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement) dan kalkulasi rasional.
Berangkat dari penjelasan ini dalam pemahaman penulis faktor
yang menyebabkan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya secara
sederhana dapat di klasifikasikan kedalam dua kelompok besar yaitu faktor dari
internal pemilih dan faktor ekternal. Faktor internal yang penulis maksud
adalah alasan pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu bersumber
dari dirinya sendiri, sedangkan ekternal alasan tersebut datang dari luar
dirinya.
1. Faktor Internal
Tabel di atas menunjukkan tiga alasan yang datang dari individu
pemilih yang mengakibatkan mereka tidak menggunakan hak pilih. Diantaranya
alasan teknis dan pekerjaan pemilih.
a. Faktor Teknis
Faktor teknis yang penulis maksud adalah adanya kendala yang
bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya untuk
menggunakan hak pilih. Seperti pada saat hari pencoblosan pemilih sedang sakit,
pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal lainnya yang sifatnya
menyangkut pribadi pemilih. Kondisi itulah yang secara teknis membuat pemilih
tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya.
Faktor teknis ini dalam pemahaman dapat di klasifikasikan ke
dalam dua hal yaitu teknis mutlak dan teknis yang bisa di tolerir. Teknis
mutlak adalah kendala yang serta merta membuat pemilih tidak bisa hadir ke TPS
seperti sakit yang membuat pemilih tidak bisa keluar rumah. Sedang berada di
luar kota. Kondisi yang seperti yang penulis maksud teknis mutlak. Teknis yang
dapat di tolerir adalah permasalahan yang sifatnya sederhana yang melakat pada
pribadi pemilih yang mengakibat tidak datang ke TPS. Seperti ada keperluan
keluarga, merencanakan liburan pada saat hari pemilihan. Pada kasus-kasus seperti
ini dalam pemahaman penulis pemilih masih bisa mensiasatinya, yaitu dengan cara
mendatangi TPS untuk menggunakan hak pilih terlebih dahulu baru melakukan aktivitas
atau keperluan yang bersifat pribadi.
Pemilih Golput yang karena alasan teknis yang tipe kedua ini
cenderung tidak mengetahui essensi dari menggunakan hak pilih, sehingga lebih
mementingkan kepentingan pribadi dari pada menggunakan pilihnya. Pemilih ideal
harus mengetahui dampak dari satu suara yang diberikan dalam pemilu. Hakikatnya
suara yang diberikan itulah yang menentukan pemimpin lima tahun mendatang.
Dengan memilih pemimpin yang baik berarti pemilih berkontribusi untuk
menciptakan masa depan yang lebih baik pula.
b. Faktor Pekerjaan
Faktor pekerjaan adalah pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor
pekerjaan pemilih ini dalam pemahaman penulis memiliki kontribusi terhadap
jumlah orang yang tidak memilih. Sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di
sektor informal, dimana penghasilanya sangat terkait dengan intensitasnya
bekerja. Banyak dari sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika
mereka bekerja, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan. Seperti tukang ojek, buruh
harian, nelayan, petani harian. Kemudian ada pekerjaan masyarakat yang
mengharuskan mereka untuk meninggal tempat tinggalnya seperti para pelaut,
penggali tambang. Kondisi seperti membuat mereka harus tidak memilih, karena
faktor lokasi mereka bekerja yang jauh dari TPS. Maka dalam pemahaman penulis
faktor pekerjaan cukup singifikan pada pada faktor internal membuat pemilih
untuk tidak memilih. Pemilih dalam kondisi seperti ini dihadapkan pada dua
pilihan menggunakan hak pilih yang akan mengancam berkurang yang penghasilannya
atau pergi bekerja dan tidak memilih.
2. Faktor Eksternal
Faktor ektenal faktor yang berasal dari luar yang mengakibatkan
pemilih tidak menggukan hak pilihnya dalam pemilu. Ada tiga yang masuk pada
kategori ini menurut pemilih yaitu aspek administratif, sosialisasi dan
politik.
a. Faktor Administratif
Faktor adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek
adminstrasi yang mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya.
Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan
tidak memiliki identitas kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti
inilah yang membuat pemilih tidak bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan
bisa menggunakan hak pilih jika tidak terdaftar sebagai pemilih. Kasus pemilu
legislatif 2009 adalah buktinya banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak bisa
ikut dalam pemilu karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Jika kondisi yang
seperti ini terjadi maka secara otomatis masyarakat akan tergabung kedalam
kategori Golput.
Faktor berikut yang menjadi penghalang dari aspek administrasi
adalah permasalahan kartu identitas. Masih ada masyarakat tidak memilki KTP.
Jika masyarakat tidak memiliki KTP maka tidak akan terdaftar di DPT (Daftar
Pemimilih Tetap) karena secara administtaif KTP yang menjadi rujukkan dalam
mendata dan membuat DPT. Maka masyarakat baru bisa terdaftar sebagai pemilih
menimal sudah tinggal 6 bulan di satu tempat.
Golput yang diakibat oleh faktor administratif ini bisa
diminimalisir jika para petugas pendata pemilih melakukan pendataan secara
benar dan maksimal untuk mendatangi rumah-rumah pemilih. Selain itu dituntut
inisiatif masyarakat untuk mendatangi petugas pendataan untuk mendaftarkan diri
sebagai pemilih. Langkah berikutnya DPS (Daftar Pemilih Sementara) harus tempel
di tempat-tempat strategis agar bisa dibaca oleh masyarakat. Masyarakat juga
harus berinisiatif melacak namanya di DPS, jika belum terdaftar segara melopor
ke pengrus RT atau petugas pendataan. Langkah berikut untuk menimalisir terjadi Golput karen aspek adminitrasi adalah dengan
memanfaatkan data kependudukan berbasis IT. Upaya elektoronik Kartu Tanda
Penduduk (E-KTP) yang dilakukan pemerintahan sekarang dalam pandangan penulis
sangat efektif dalam menimalisir Golput administratif.
b. Sosialisasi
Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia
sangat penting dilakukan dalam rangka meminimalisir Golput. Hal ini di sebabkan
intensitas pemilu di Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa,
bupati/walikota, gubernur pemilu legislatif dan pemilu presiden hal ini belum
dimasukkan pemilihan yang lebih kecil RT/RW.
Kondisi lain yang mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya
meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama
pemilu di era reformasi selalu diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang
berbeda. Pada Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai politik, pada pemilu 2004
dikuti oleh 24 partai politik dan pemilu 2009 dikuti oleh 41 partai politik
nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Kondisi ini menuntut perlunya
sosialisasi terhadap masyarakat. Permasalahan berikut yang menuntut perlunya sosialisasi
adalah mekanisme pemilihan yang berbeda antara pemilu sebelum reformasi dengan
pemilu sebelumnya. Dimana pada era orde baru hanya memilih lambang partai sementara
sekarang selian memilih lambang juga harus memilih nama salah satu calon di
pertai tersebut. Perubahan yang signifikan adalah pada pemilu 2009 dimana kita
tidak lagi mencoblos dalam memilih tetapi dengan cara menandai.
Kondisi ini semualah yang menuntu pentingnya sosialisasi dalam
rangka menyukseskan pelaksanaan pemilu dan memenimalisir angka Golput dalam
setiap pemilu. Terlepas dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar
berada di pedesaan maka menyebar luaskan informasi pemilu dinilai pentingi,
apalagi bagi masyarakat yang jauh dari akses transportasi dan informasi, maka
sosiliasi dari mulut ke mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka Golput.
c. Faktor Politik
Faktor politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh
aspek politik masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan
partai, tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa
pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang
mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya.
Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan
lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga
membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk
karena tabiat sebagian politisi yang masuk pada kategori politik instan.
Politik dimana baru mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti
pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi.
Faktor lain adalah para politisi yang tidak mengakar, politisi
yang dekat dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat
dengan para petinggi partai, dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih
menngantungkan diri pada pemimpinnya di bandingkan mendekatkan diri dengan
konstituen atau pemilihnya. Kondisi lain adalah tingkah laku politisi yang
banyak berkonflik mulai konflik internal partai dalam mendapatkan jabatan
strategis di partai, kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda partai.
Konflik seperti ini menimbulkan anti pati masyarakat terhadap partai politik.
Idealnya konflik yang di tampilkan para politisi seharusnya tetap mengedepankan
etika politik (fatsoen).
Politik pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan
politisi maupun di sebagian masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan
sesaat dengan cara mendapatkan suara rakyat. Sedangan sebagian masyarakat kita,
politik dengan melakukan transaksi semakin menjadi-jadi. Baru mau mendukung,
memilih jika ada mendapatkan keutungan materi, maka muncul ungkapan kalau tidak
sekarang kapan lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka akan lupa janji.
Kondisi-kondisi yang seperti penulis uraikan ini yang secara politik
memengaruhi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebagian masyarakat semakin tidak yakin dengan politisi. Harus
diakui tidak semua politisi seperti ini, masih banyak politisi yang baik, namun
mereka yang baik tenggelam dikalahkan politisi yang tidak baik.
------------------------------------
Referensi:
· http://news.detik.com/pemilu2014/03/13/161554/2524913/1562/kpu-sambut-baik-fatwa-mui-jatim-soal-golput-haram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar