Merujuk pada sejarahnya, upaya untuk mendefinisikan pekerjaan
interdisipliner telah dimulai sejak tahun 1930-an,[ii] dan
mencapai puncaknya pada dekade 1970-an dan 1980-an.[iii] Perdebatan
mengenai definisi, makna dan metodologi mengenai interdisciplinarity ini masih
berlangsung sampai saat ini.[iv]
Menurut Bolitho dan McDonnell (2010:6), pada prinsipnya
upaya interdisciplinarity melibatkan
integrasi dari dua atau lebih disiplin dalam situasi di mana sumber daya pada sebuah
disiplin tunggal tidak dapat mencakup ruang lingkup dari masalah yang ingin
dipecahkan. Terkait hal tersebut, Davies dan Devlin (2007) mengusulkan konsep
mengenai sebuah kontinum integrasi, di mana pada salah satu ujungnya
menunjukkan adanya dampak yang relatif kecil dari satu disiplin, dan di ujung
yang lainnya beberapa disiplin yang berbeda menggabungkan keahlian mereka untuk
menjawab masalah tertentu. Jenis interaksi berpotensi mengarah pada
pengembangan metodologi dan model konseptual baru untuk masing-masing
sub-disiplin ilmu (Klein, 1990; Lattuca, 2001; Repko, 2008).
Sementara itu, Klein (1990) berpendapat bahwa proyek-proyek
interdisipliner didefinisikan sebagai proyek yang menekankan integrasi lebih
dari satu disiplin studi diskrit atau disiplin yang memiliki identitas
tersendiri (Lattuca, 2001:11). Akibatnya komunikasi dan koordinasi antara disiplin
ilmu lebih banyak terjadi pada studi interdisipliner dibandingkan pada
multidisipliner.[v]
Namun kemudian berkembang definisi yang lebih baru yang membedakan antara dua bentuk interdisciplinarity, yaitu: (a) Interdisipliner
instrumental (instrumental interdisciplinarity);
dan (b) Interdisipliner konseptual (conceptual interdisciplinarity). Lattuca mengutip Salter dan Hearn (1996:9) yang
mendefinisikan interdisipliner instrumental berperan sebagai pendekatan
pragmatis yang berfokus pada kegiatan pemecahan masalah dan tidak mencari
sintesis atau perpaduan dari perspektif yang berbeda. Sementara interdisipliner
konseptual menekankan sintesis pengetahuan, yang cenderung bersifat "teoritis, epistemologis utama yang
melibatkan koherensi internal, pengembangan kategori konseptual baru, penyatuan
metodologi, dan penelitian dan eksplorasi jangka panjang."
Epton, Payne, dan Pearson (1983:3-4) --yang dikutip
Lattuca (2001:12)-- memetakan penekanaan pemaknaan dalam konsep interdisciplinarity, sebagai berikut:
- Birnbaum (1975,
1979) menekankan pada adanya integrasi disiplin, bahwa penelitian
interdisipliner "mengacu pada
tim penelitian di mana upaya ini harus dipadukan dalam satu kesatuan;"
- Lindas (1979)
menekankan padanya adanya penelitian terpadu yang terus menerus: bahwa
penelitian interdisipliner menyiratkan adanya "kontribusi spesifik dari setiap peneliti cenderung dikaburkan oleh
produk bersama;"
- Russell
(1983) menekankan proses atas produk, khususnya mengenai sifat kolaboratif
dari kelembagaan dalam penelitian interdisipliner: "Secara umum interdisipliner mengacu pada pendekatan, rencana
tertentu atau rangkaian upaya yang memadukan komponen dari dua atau lebih
unit administratif dalam sebuah universitas atau di antara satu kelompok
peneliti yang berasal dari berbagai kelembagaan dan disiplin."
Sementara beberapa ahli lain lebih menekankan pada adanya
“pembaruan” dan “kebaruan” dari interdisiplinarity,
diantaranya:
- Grigg, Johnston dan Milsom (2003:8) mengutip Kilburn (1990) yang menyatakan bahwa penelitian interdisipliner
yang biasa muncul dari seorang individu yang mampu mengembangkan
pendekatan baru, yang mengacu pada disiplin lain, tetapi dalam beberapa
cara melampaui mereka, dengan mengembangkan kemampuan atau perspektif
teoritis baru;
- Van Klink
dan Taekema berpendapat bahwa hasil penelitian interdisipliner yang
terintegrasi mungkin juga dapat melahirkan disiplin yang baru.[vi]
Dalam beberapa kasus, adanya integrasi dari dua atau lebih disiplin ilmu
berakibat pada “meleburkan batas
akademik yang ada” dan mungkin dapat mengarah pada penciptaan disiplin
baru (Bermingham dan Moritz, 1998).[vii]
Berkenaan dengan karakteristik kunci dari penelitian dan
penulisan interdisipliner, Repko (2008:138-139) berpendapat sebagai berikut:
- Penelitian
interdisipliner adalah heuristic,
di mana peneliti interdisipliner adalah “penemu” yang terlibat dalam
perumusan konsep, isu, atau masalah secara individual maupun kolektif
"dengan memperkenalkan beberapa poin keputusan atau langkah-langkah yang
menggunakan metode eksperimen atau trial
and error" untuk mencapai pemahaman terpadu;
- Penelitian
interdisipliner adalah bersifat iterative,
di mana proses penelitian melibatkan pengulangan urutan operasi yang
menghasilkan hasil berturut-turut yang mendekati hasil yang diinginkan;
- Penelitian
interdisipliner adalah reflexive,
di mana dalam seluruh proses penelitian sang peneliti interdisipliner menyadari
akan potensi adanya bias disiplin atau bias pribadi yang dapat
mempengaruhi proses dan hasil penelitian.
Dalam hal ini Lyall et.al. (2011:14-15) berpendapat bahwa
ada dua jenis penelitian interdisipliner, yaitu penelitian yang: (a) Berorientasi
akademis, dan (b) Berorientasi pada masalah (problem-focused). Kedua jenis penelitian tersebut memiliki tujuan,
metode dan hasil yang sangat berbeda, namun pada umumnya banyak penjelasan lain
sebelumnya yang kurang memperhatikan hal tersebut. Penelitian interdisipliner
yang berorientasi akademis ditargetkan untuk mencari solusi dari pertanyaan
akademik, yaitu ketika disiplin ilmu telah mencapai batas kapasitas metodologis
mereka dan perlu membawa wawasan dari disiplin ilmu lain untuk mengatasi
keterbatasan dalam kajian disipliner. Modus ini sesungguhnya salah satu faktor
pendorong dari terjadinya evolusi disiplin ilmu, yang bahkan kadang justru
mendorong muncul dan berkembangnya disiplin ilmu yang baru. Sementara jenis
penelitian interdisipliner yang problem-focused
membahas isu-isu sosial, teknis dan/atau kebijakan yang relevan di mana
disiplin yang berhubungan justru kurang memberikan perhatian pada masalah tersebut.
Manfaat dari penelitian interdisipliner menurut
Lyall et.al. (2011:13-14) adalah pada potensinya untuk membawa perubahan
penting dalam cara pandang peserta dan struktur akademis, serta untuk
menghasilkan produk dari sebuah sinergi proyek. Penelitian interdisipliner
dipandang lebih penting dan bermanfaat dibanding penelitian multidisipliner,
karena dapat menghasilkan pengetahuan yang lebih integratif. Sementara Conole
et.al.[viii] berpandangan bahwa manfaat dari sifat
penelitian interdisipliner ini adalah pada pada kemampuannya untuk memberikan
solusi baru untuk masalah baru dari seluruh disiplin ilmu, di mana didalamnya
juga dapat memberikan keuntungan pribadi dan akademik, seperti memuaskan
keingintahuan intelektual, memahami perspektif disiplin lain, memperkaya
perspektif teoritis dan metodologis, dan dapat melihat masalah yang sama dari kacamata
berbeda. Dalam hal ini manfaat dari penelitian interdisipliner, antara lain:
- Mendorong
para peneliti intelektual dalam memperluas pola pikir dan mendorong mereka
dapat berpikir lateral atau “di luar kotak” (out of the box);
- Memungkinkan
peneliti untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa mereka lakukan sendiri,
di mana peneliti berinteraksi dengan dan belajar dari orang dengan
disiplin ilmu yang berbeda, baik dalam hal perspektif, instrumen dan
keterampilan yang berbeda dengan disiplin ilmu asal mereka sendiri;
- Membangun
kesadaran bahwa perspektif disiplin lain dapat membantu memperluas basis
literatur seorang peneliti dan dapat menyegarkan wawasan teoritis.
Conole et.al. bahkan menegaskan bahwa sekali peneliti
mulai menyeberangi batas-batas disiplin ilmu, selanjutnya dia akan melihat
pengetahuan dengan cara berbeda, misalnya yang berkenaan dengan terminologi,
metodologi, instrumen dan literatur. Ide-ide individu peneliti juga dapat
berkembang karena terbiasa beradaptasi dengan disiplin lain. Begitupun dengan
interpretasi mereka bahkan terhadap disiplin mereka sendiri. Dampak positif
secara keseluruhan praktek-praktek interdisipliner adalah bahwa:
- Sekali
peneliti telah berhasil bekerja dalam tim interdisipliner, mereka lebih
mungkin untuk menjadi lebih ahli dan dapat bekerja interdisipliner lebih
lanjut;
- Manfaat
pribadi juga tercermin baik dari segi produk (hasil kajian, artikel,
dll.), dan manfaat proses, yakni dalam hal pemahaman bersama tentang
bagaimana bekerja dengan cara interdisipliner;
- Kerja
interdisipliner dapat memberikan hasil penelitian yang jauh lebih kaya
dari kerja disiplin atau multidisipliner. Hal ini juga dapat menghasilkan
lebih banyak tulisan ilmiah yang dapat diterbitkan dalam lebih banyak
jenis jurnal, sehingga penyebaran gagasan dapat dilakukan lebih luas;
- Pengalaman
tersebut juga dapat menjadi proses reflektif, di mana ada kemungkinan
bahwa individu peneliti mungkin terinspirasi untuk membuat sebuah
terobosan teoritis dari pengalaman mereka berinteraksi dengan disiplin
ilmu yang berbeda.
Sementara itu Locker (1994) yang dikutip
Sumner (2003),[ix]
menyebutkan manfaat penelitian
interdisipliner ditinjau dari pengembangan konsep, metode dan perspektif,
sebagai berikut:
- Dapat
memperjelas kerja penelitian dan memungkinkan untuk melanjutkan penelitian
dengan berangkat dari pertanyaan-pertanyaan baru yang dihasilkan.
Konsep-konsep ini memungkinkan peneliti tidak hanya berteori dan mengkontekstualisasikan
penelitian, serta menghubungkan
temuan peneliti sendiri dalam dialog yang lebih luas, tetapi juga untuk
membingkai ulang data dan teori, sehingga peneliti dapat melihatnya dengan
cara baru dan mendapatkan wawasan baru;
- Memungkinkan
untuk membantu peneliti dalam menjawab pertanyaan yang berbeda dan untuk
mempelajari baik fenomena yang dapat dibuat hipotesis maupun tentang fenomena
yang terlalu sedikit diketahui untuk dirumuskan dalam hipotesis;
- Dapat
berfungsi sebagai triangulasi (variasi
dan perbandingan data), karena data dan analisa dapat diperoleh dari
perspektif disiplin yang berbeda;
- Memungkinkan
untuk membuat penelitian yang benar-benar orisinil dan memberi kontribusi yang
berguna bagi pengetahuan.
Berkembangnya gagasan mengenai penelitian interdisipliner
tidak dapat dilepaskan dari adanya pengaruh dan dukungan lembaga perguruan
tinggi dan lembaga donor. Menurut Krishnan (2009:2), interdisciplinarity telah diidentifikasi sebagai arah yang diinginkan
dari penelitian dan sedang sangat dipromosikan khususnya oleh organisasi
pendanaan penelitian di Eropa dan Amerika Serikat. Alasan utama pengembangan studi interdisciplinarity adalah berangkat
dari kekhawatiran bahwa penelitian disipliner telah menjadi terlalu sempit dan
kaku. Sementara studi interdisciplinarity
dapat menjanjikan sesuatu yang lebih inovatif, dan tampaknya telah menjadi
karakteristik utama dari penelitian mutakhir tingkat internasional. Kecenderungan tersebut sangat jelas
terjadi pada disiplin lmu alam. Beberapa bidang penelitian yang paling menarik
dan paling cepat perkembangan seperti bioteknologi, nanoteknologi dan
kecerdasan buatan, pada dasarnya semua bersifat interdisipliner. Analog
dengan itu, ada pendapat bahwa ilmu sosial juga akan bisa mendapatkan
keuntungan luar biasa dari penelitian interdisipliner, yang akan membantu dalam
mengatasi batas-batas disiplin buatan, parokialisme dan kesempitan dalam
berpikir, dan dengan demikian akan meningkatkan kualitas keseluruhan dari
penelitian ilmu sosial itu sendiri.
Meskipun demikian, penelitian interdisipliner
juga bukan tanpa kelemahan. Krishnan (2009:2) berpendapat bahwa semua tawaran
strategi tersebut memiliki janji-janji dan kelemahannya sendiri. Meskipun pada
para peneliti disarankan untuk mencoba melihat melampaui disiplin mereka
sendiri, namun dipandang hanya akan ada sedikit manfaat yang bisa diperoleh
dari memilih strategi penelitian interdisipliner jika hanya untuk kepentingan
itu. Pada akhirnya, semuanya sangat tergantung pada masalah penelitian yang
ingin dijawab peneliti: apakah masalah tersebut dapat dijawab dengan studi
disipliner atau memang memerlukan studi interdisipliner. Menurut van Klink dan
Taekema (2008:25), pendekatan integratif seperti pada penelitian
interdisipliner memang menawarkan kesempatan terbaik untuk melakukan pertukaran
pengetahuan, di mana ilmu dibebaskan dari batas-batas disiplin yang bersifat
buatan dan “sewenang-wenang”. Namun, dengan melanggar batas-batas, disiplin dapat
kehilangan karakter mereka yang khas, dan mungkin justru dapat menjadi lebih
identik satu sama lain. Selain itu, dalam upaya untuk melihat segala sesuatu
dari berbagai perspektif pada saat yang sama, pendekatan integratif mungkin
berakhir justru dengan tidak dapat melihat apa-apa sama sekali. Paradoksnya,
semakin berhasil upaya integrasi dari disiplin-disiplin ilmu, justru akan
semakin menyerupai pendekatan monodisipliner, yang awalnya justru dikritik.
Lyall et.al. (2011) mencoba memetakan risiko dan manfaat interdisciplinarity yang juga dapat
berimplikasi terhadap karir dan masa depan peneliti, sebagai berikut:
Resiko:
- Kebingungan metodologi;
- Kurangnya fokus/kejelasan, dan bahaya kehilangan fokus;
- Tidak adanya tujuan bersama;
- Ketidakmampuan untuk mengevaluasi kualitas;
- Kurangnya keketatan teoritis dan basis disiplin;
- Kurangnya integrasi, kompleksitas;
- Kurangnya output (misalnya lebih sedikit jurnal interdisipliner kualitas tinggi);
- Ketidaksepakatan atas kepemilikan kekayaan intelektual, ide-ide baru, dan temuan;
- Beresiko tinggi mengalami kegagalan;
- Terjadi kemacetan kerja (bottleneck) karena saling ketergantungan di antara anggota tim (kompleksitas dari beberapa peran kunci berperan di tahapan yang berbeda, dengan orang lain tergantung pada mereka);
- Membuang-buang waktu pada manajemen dan administrasi daripada pekerjaan tim itu sendiri;
- Misi proyek terombang-ambing.
Manfaat:
- Pekerjaan yang menarik, menyenangkan dan memuaskan;
- Fleksibilitas;
- Adanya diversifikasi, karena portofolio yang banyak dengan beragam metodologis;
- Bersifat multipel, dan adanya pendekatan kreatif (atau kombinasinya) terhadap masalah;
- Perspektif baru, dan menyingkirkan mitos;
- Ajang latihan yang baik dalam hal berkomunikasi dengan khalayak yang lebih luas (peningkatan dalam pemahaman diri);
- Kehidupan nyata, dan memiliki relevansi praktis;
- Peningkatan pemahaman mengenai fenomena yang kompleks;
- Bersifat baru, terobosan menarik, dengan pencapaian yang saling melengkapi;
- Dalam jangka panjang, dapat mengefektifkan biaya melalui sinergi yang menghemat waktu dan energi.
Karenanya, tantangan yang ditemui peneliti dalam
penelitian interdisipliner memang cenderung lebih banyak jika dibandingkan pada
penelitian monodisipliner. Menurut Lyall et.al. (2011:1) penelitian
interdisipliner tidak terjadi secara otomatis, bahkan ketika uang atau biaya
penelitian tersedia atau mudah diperoleh sekalipun. Karena menurutnya bukanlah
masalah sederhana untuk dapat menggabungkan beberapa disiplin ilmu menjadi satu
proyek penelitian. Diperlukan usaha ekstra untuk mencapai kesepakatan dalam membangun
sinergi dan untuk membentuk tim yang kohesif dan benar-benar dapat
menggabungkan keahlian dari beberapa spesialisasi. Pengembangan strategi yang
dapat membantu para peneliti memahami bagaimana dapat berkolaborasi secara
efektif dan mengintegrasikan berbagai disiplin yang berbeda masih merupakan
masalah utama dalam penelitian
interdisipliner. Lyall et.al. (hlm. 13-14) bahkan menyimpulkan bahwa hasil yang
baik dari suatu penelitian interdisipliner memang relatif sulit untuk dicapai. Tantangan
bagi peneliti interdisipliner adalah bagaimana dapat mendekati masalah dari
berbagai perspektif disiplin sehingga
dapat diperoleh kontribusi yang optimal dari berbagai disiplin ilmu yang
terintegrasi, untuk memperoleh hasil penelitian yang holistik. Terkait hal
tersebut, Lyall et.al. mengingatkan bahwa penelitian interdisipliner yang baik
adalah lebih daripada sekedar akumulasi atau penjumlahan dari bagian-bagian
atau disiplin yang terlibat.
Dalam hal ini Grigg,
Johnston dan Milsom (2003:8) mengutip Klein (1990) yang menyebutkan
bahwa para peneliti interdisipliner perlu mengetahui informasi apa yang harus dikumpulkan
dan bagaimana cara mensinergiskan pengetahuan tentang konsep-konsep bahasa,
informasi, dan kemampuan analisis yang berkaitan dengan proses, masalah atau
fenomena yang diteliti. Conole et.al. (2010:12) bahkan menegaskan bahwa terlepas
dari kenyataan bahwa gagasan interdisciplinarity
sukses telah menjadi diterima secara luas di seluruh akademisi, namun tampaknya
jarang berhasil memenuhi janjinya dalam praktek. Hal tersebut diantaranya
disebabkan oleh:
- Sampai
batas tertentu, para akademisi cenderung tetap menganut atau
mempertahankan pola pikir kognitif disiplin mereka, dan jarang mampu atau
bersedia merangkul jenis epistemologis atau metodologis holisme yang
diperlukan peneliti untuk dapat benar-benar mengembangkan penelitian
interdisipliner;
- Sulit untuk
menetapkan standar validitas di seluruh domain subjek, dan ini menjadi
tantangan bagi peneliti dalam mengembangkan kriteria efektif untuk
merencanaan dan mengevaluasi penelitian interdisipliner;
- Karena
kosakata akademik dan praktek sering bersifat spesifik pada tiap disiplin,
tantangan lainnya adalah dalam hal mengelola transisi antara batas-batas
disiplin dan budaya. Spelt et.al. (2009:366) berpendapat bahwa pemikiran
interdisipliner adalah merupakan keterampilan kognitif yang kompleks, yang
mengintegrasikan pengetahuan beberapa disiplin untuk menghasilkan “kemajuan
kognitif” yang sangat mungkin berbeda jika hanya dilakukan dalam satu
disiplin tertentu saja. Dengan demikian, interdisciplinarity bersifat integratif, dan berhubungan
dengan “keterampilan lintas batas,
misalnya: kemampuan untuk mengubah perspektif, untuk mensintesis
pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, dan untuk mengatasi kompleksitas;”
- Tantangan
yang dihadapi penelitian interdisipliner termasuk “mengintegrasikan” norma
disiplin dan budaya spesialisasi yang telah tertanam dalam pendidikan
tinggi;
- Kesulitan
lainnya adalah dalam hal mendefinisikan interdisciplinarity;
- Masalah
dalam hal mencari bentuk-bentuk alternatif dari peer review (terkait dengan artikel dalam jurnal ilmiah;
- Masalah dalam
mencapai konsensus di antara para peneliti dari berbagai disiplin ilmu;
- Adanya
kebutuhan akan bahasa bersama yang dapat memfasilitasi terbangunnya saling
pengertian yang luas;
- Adanya
kesulitan dalam mengamankan dukungan keuangan dan kelembagaan untuk
penelitian interdisipliner;
- Tantangan
dalam mencapai kerjasama efektif diantara spesialis atau organisasi yang
berbeda, sehingga dibutuhkan metode yang efektif untuk komunikasi,
kolaborasi dan evaluasi.
Conole et.al. juga menambahkan bahwa kompleksitas dan
keanekaragaman penelitian kontemporer berarti bahwa kajian disipliner seringkali
mengarah pada pertanyaan penelitian tunggal, yang sesungguhnya jarang dapat dipahami
dengan baik di luar komunitas disiplin tersebut. Inilah salah satu alasan utama
mengapa mekanisme yang familiar bagi suatu disiplin bisa begitu sulit untuk
dipahami disiplin lain. Tidak masuk akal untuk mengharapkan peneliti
interdisipliner untuk menguasai lebih dari satu disiplin dengan standar yang
sama yang diharapkan dapat dimiliki oleh seorang peneliti. Seorang ahli dalam
suatu disiplin mungkin dapat menilai kontribusi disiplinnya sendiri dalam
penelitian interdisipliner, namun akan sulit untuk menilai mengenai hubungan
antara kontribusi dari para peneliti dari disiplin yang berbeda, atau bahkan
sekedar memamahi sepenuhnya bahan penelitian di luar disiplinnya. Karena itu
menurut Østreng (2010:67) kegiatan
interdisipliner harus "dinilai
berdasarkan seberapa baik mereka mencapai tujuannya dan seberapa baik mereka
mengintegrasikan pengetahuan."
Sementara Repko (2008:145-147) menyatakan bahwa
penelitian interdisipliner juga menghadapi tantangan yang tidak mungkin
dihadapi seorang peneliti disipliner berkenaan dengan sejumlah potensi bias,
sebagai berikut:
- Disiciplinary Bias. Bias disipliner
adalah ketika terjadi menggunakan terminologi dan kalimat yang hanya menghubungkan
atau merujuk pada satu disiplin tertentu saja. Hal ini dapat membatasi
ruang lingkup penelitian hanya ke dalam pendekatan disiplin tertentu saja,
yang lebih menonjolkan metodologi tertentu dibanding yang lainnya;
- Disciplinary Jargon. Bias jargon
mirip dengan bias disiplin karena menggunakan terminologi yang spesifik
pada disiplin tertentu, yang mungkin juga hanya dapat dimengerti dalam
disiplin tertentu. Sementara upaya interdisipliner dimaksudkan untuk
memfasilitasi wacana antar disiplin;
- Personal Bias. Bias
pribadi adalah ketika peneliti sering mencoba untuk mengekspresikan mereka
sendiri, sudut pandang pribadi atau pendapat ke dalam pekerjaan mereka.
Dalam beberapa disiplin ilmu dan keadaan itu dapat diterima, atau bahkan
diinginkan, bahwa seorang peneliti mengambil sikap pada isu tertentu.
Namun, pekerjaan interdisipliner tidak menonjolkan sudut pandang peneliti.
Repko menyatakan: "adalah peran
interisciplinarian (Catatan: Saya mengartikannya sebagai “penstudi
atau peneliti interdisipliner”) untuk menghasilkan pemahaman masalah
yang lebih komprehensif dan lebih inklusif." Dalam hal ini penelitian
interdisipliner harus terbuka bagi berbagai sudut pandang dan pendekatan. Hanya
mengikuti sudut sendiri pandang pribadi akan menghambat kemampuan peneliti
untuk tetap berpikiran terbuka.
Tantangan terhadap pengembangan gagasan interdisipliner
juga ditemukan di berbagai perguruan tinggi bahkan di negara-negara di mana
gagasan tersebut sudah lama berkembang bahkan masuk dalam kurikulum pendidikan
tinggi (khususnya pasca sarjana), dan memiliki banyak lembaga pengembangan
kajian maupun jurnal ilmiah interdisipliner.[x] Morse,
et.al. (2007:1) mencatat bahwa hambatan institusional untuk mengubah struktur
tradisional dari penelitian disiplin di perguruan tinggi meliputi kurangnya
dana untuk penelitian interdisipliner, kurangnya kerjasama antar departemen
atau pengalaman melakukan kerjasama lintas disiplin, adanya kebutuhan waktu
penelitian yang lebih panjang, perbedaan metodologi dan norma-norma disiplin, “turfism” (loyalitas berlebihan pada
disiplin tertentu), dan ego diantara para ahli dan departemen dari disiplin
yang berbeda (Brewer, 1999; Golde dan Gallagher, 1999; Younglove-Webb et. al.,
1999; Lele dan Norgaard, 2005; Eigenbrode et.al., 2007).
Menurut Morse et.al., faktor-faktor tersebut sangat
memberatkan bagi para mahasiswa pascasarjana untuk dapat memgembangakan
penelitian interdisipliner dalam tugas akhir kuliahnya. Pada akhirnya hambatan
institusional tersebut hanya menghasilkan orang-orang profesional terlatih
namun tidak memiliki kapasitas (Rosa dan Machlis, 2002), yang tidak siap untuk
berkolaborasi secara lintas disiplin ilmu secara terpadu dan tidak memiliki
kapasitas untuk mengatasi dilema ilmiah yang semakin kompleks (Sillitoe, 2004).
Jadi, meskipun spesialisasi disiplin telah menyebabkan kemajuan besar dalam
ilmu pengetahuan dan sangat penting, hal tersebut sering tidak cukup untuk membangun
pengetahuan atau menjadikan peneliti yang mampu memecahkan masalah yang
kompleks saat ini (Klein 2004).
Secara umum, tantangan dalam
sebuah penelitian yang kompleks dapat dilihat dari ilustrasi Tress, et.al.
(2006) yang memetakan 16 tantangan dalam penelitian integratif, yang menurut
hemat saya juga dapat digunakan untuk menggambarkan tantangan dalam penelitian
interdisipliner. Terlihat bahwa tantangannya memang sangat kompleks dari mulai
persoalan personal chemistry (kecocokkan) diantara peneliti yang
terlibat sampai dengan persoalan adanya tuntutan yang tinggi terhadap hasil
penelitian untuk dapat memuaskan peneliti dari berbagai disiplin yang terlibat
dan stakeholder lainnya.
Untuk dapat lebih memahami tantangan dalam penelitian
interdisipliner, saya mencoba mengulas mengenai tahapan dari penelitian
interdisipliner itu sendiri. Merujuk pada pendapat Dirk van Dusseldorp (1992) yang
dikutip Kapila dan Moher (1995:2), komponen utama dari tahapan dan analisis
dalam penelitian interdisipliner secara ringkas adalah sebagai berikut:
- Mempelajari
objek yang sama;
- Dilaksanakan
pada saat yang sama;
- Oleh
anggota (peneliti) dari berbagai disiplin ilmu;
- Dalam
kerjasama yang erat;
- Dengan
pertukaran informasi yang berkesinambungan; dan (f) Menghasilkan analisis
terpadu dari objek yang diteliti.
Kapila dan Moher (hlm. 8) juga menawarkan analisis
mengenai prinsip-prinsip umum dari penelitian interdisipliner, yaitu:
- Adanya
landasan dalam disiplin merupakan prasyarat untuk interdisciplinarity;
- Adanya
tujuan bersama, komunikasi rutin, konsultasi, pertukaran data, dan
kesimpulan sementara antara anggota tim, dan komitmen yang kuat untuk
kerjasama tim;
- Kualitas
penelitian interdisipliner tergantung pada perhatian terhadap persiapan,
kualitas input dari masing-masing disiplin, proses interaksi, dan kualitas
sintesis. Prinsip-prinsip inti dari interdisciplinarity
bisa disebut “Tiga K" --yaitu: Kolaborasi, Kerjasama dan Komunikasi--
antar disiplin dalam menangani isu tertentu (Klein, 1993);
- Umumnya
lebih mudah untuk mendorong suatu kajian multidisipliner daripada
interdispliner di lembaga-lembaga atau daerah di mana penelitian
monodisipliner sangat umum digunakan;
- Persiapan
untuk penelitian interdisipliner dapat dipromosikan dengan mendorong
jaringan reguler antara akademisi dan peneliti dari berbagai disiplin
ilmu, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas. Keterbukaan untuk koneksi di
luar domain khusus dapat memberikan fondasi yang dikembangkan dalam
penelitian interdisciplinarity;
- Sumberdaya
yang dibutuhkan dalam pengembangan penelitian interdisipliner (seperti:
waktu, orang, dan uang) umumnya lebih tinggi dibandingkan pada penelitian
monodisipliner;
- Proses
interdisipliner membutuhkan penggunaan jaringan elektronik dan/atau sosial
sosial untuk input dan penyebaran pengetahuan dan informasi.
Sementara berkenaan dengan langkah-langkah dalam
penelitian interdispliner, dikemukakan oleh
Newell (2001)[xi]
yang mengutip Klein (1990), sebagai berikut:
- Mendefinisikan
masalah (pertanyaan, topik, masalah);
- Menentukan
kebutuhan semua pengetahuan, termasuk perwakilan disipliner yang sesuai
dan konsultan, serta model yang relevan, tradisi, dan literatur;
- Mengembangkan
kerangka integratif dan pertanyaan yang tepat untuk diselidiki;
- Menentukan
studi tertentu yang akan dilakukan;
- Terlibat
dalam “negosiasi peran” (dalam kerja sama tim);
- Mengumpulkan
semua pengetahuan saat ini dan mencari informasi baru;
- Menyelesaikan
konflik disiplin dengan bekerja menuju kosa kata atau bahasa bersama (dan
berfokus pada pembelajaran timbal balik dalam kerja sama tim);
- Membangun
dan memelihara komunikasi melalui teknik integratif;
- Menyusun
semua kontribusi dan mengevaluasi kecukupan mereka, relevansi, dan
kemampuan beradaptasi;
- Mengintegrasikan
bagian-bagian individu untuk menentukan pola keterkaitan yang saling
menguntungkan dan relevansi;
- Melakukan
konfirmasi atau diskofirmasi atas jawaban atau solusi yang diajukan;
- Manajemen
memutuskan tentang masa depan atau disposisi tugas atau proyek.
Sementara Repko (2008:142) menawarkan sepuluh langkah
dari proses penelitian interdisipliner, sebagai berikut:
- Tentukan
masalah,dan nyatakan fokus pertanyaan penelitian;
- Justifikasi
mengapa perlu menggunakan pendekatan interdisipliner;
- Identifikasi
disiplin ilmu yang relevan/terlibat;
- Melakukan
pencarian literatur;
- Mengembangkan
kecukupan dalam setiap disiplin yang terlibat;
- Menganalisis
masalah dan mengevaluasi setiap informasi dan gagasan ke dalamnya;
- Mengidentifikasi
konflik antara gagasan/pemahaman dan sumber-sumber mereka;
- Membuat
atau menemukan landasan bersama;
- Mengintegrasikan
gagasan/pemahaman;
- Menghasilkan
pemahaman interdisipliner atas masalah dan mengujinya.
Topik serupa juga
disampaikan oleh Tress, Tress dan Fry (2006:255) yang menawarkan sepuluh
langkah dalam merancang dan melaksanakan proyek penelitian integratif, yaitu:
- Mengorgansiasikan
upaya integrasi;
- Mengidentifikasi
pertanyaan penelitian bersama dan tujuan proyek;
- Mengidentifikasi
partisipan proyek dan peran mereka masing-masing;
- Menyepakati
konsep integratif dan menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan
epistemologi;
- Membangun
kontak secara reguler dalam suasana saling percaya;
- Mengalokasikan
tambahan waktu bagi proyek;
- Berusaha
untuk membangun kepemimpinan dan manajemen proyek yang baik;
- Memeriksa
upaya dari semua anggota tim yang terlibat dan hasil atau capaian proyek.
Lebih jauh, perlu juga diulas mengenai
prinsip-prinsip dalam pengelolaan penelitian interdisipliner. Saya merujuk pada
ulasan Kapila dan Moher (1995:9-13) mengenai prinsip-prinsip tersebut, sebagai
berikut:
(1)
Identifikasi Masalah
- Pendekatan
interdisipliner untuk memecahkan masalah ini ditandai dengan desain
penelitian dan sebuah tim peneliti yang mencerminkan sejauh mungkin
aspek-aspek kunci dari kompleksitas masalah dan perhatian dari mereka yang
terpengaruh olehnya;
- Langkah
pertama adalah merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang tepat. Karenanya
fokus harus diarahkan pada masalah dan isu-isu tersebut, dan bukan pada
perspektif dari disiplin atau metodologi tertentu saja. Pertanyaan
penelitian ini baru dapat dirumuskan setelah ada definisi masalah yang
jelas. Kejelasan ini harus sampai pada tingkat di mana semua disiplin yang
terlibat dalam proses penelitian dapat membuat atau merumuskan
asumsi-asumsi eksplisit yang mereka bawa ke proyek tersebut, terkait
dengan masalah, tujuan penelitian, dan istilah kunci yang digunakan
bersama;
- Dalam merumuskan
masalah yang akan menjadi fokus penelitian, pertanyaan intinya adalah: "Masalah siapakah itu?; Siapa yang
mengidentifikasi masalah tersebut?." Semua konstituen dan
stakeholder penelitian (seperti masyarakat dan pembuat kebijakan) dan para
peneliti, harus sedapat mungkin mendefinisikan masalah bersama-sama.
Proses konsultasi dapat melibatkan pengguna dari penelitian melalui
pertemuan masyarakat, diskusi informal, dan wawancara awal dengan
peneliti;
- Sensitivitas
lintas budaya, dalam pengertian menghormati adat istiadat setempat, juga
sangat penting dipertimbangkan dalam mendefinisikan masalah. Melibatkan
kelompok-kelompok lokal dan individu pada awal proyek dapat meningkatkan
derajat kepekaan terhadap nilai-nilai sebuah masyarakat, keyakinan,
kebiasaan, tradisi dan makna. Sensitivitas ini merupakan pertimbangan
penting bagi penelitian yang efektif dalam inisiatif interdisipliner atau
lainnya;
- Setelah
masalah telah didefinisikan bersama-sama, adalah penting untuk memiliki
tujuan yang diartikulasikan dengan jelas dan yang telah disetujui oleh
semua stakeholder kunci yang
terlibat dalam proses penelitian.
(2) Tim Manajemen
- Adanya
seorang pemimpin tim yang baik adalah penting untuk menciptakan manajemen
yang efektif dalam proyek-proyek interdisipliner. Pemimpin harus memiliki
kemampuan untuk bernegosiasi dengan berbagai stakeholder dan bekerja melintasi batas-batas disiplin ilmu,
sektor dan isu. Dia juga harus memiliki kapasitas dalam memobilisasi
kelompok;
- Kualitas
pemimpin akan mendukung pembangunan identitas tim sehingga peneliti dapat
bekerja sama sebagai tim dan bukan sebagai kumpulan individu;
- Kepemimpinan
intelektual dan tanggung jawab administrasi dapat dipegang sendiri oleh
pemimpin, atau dapat dipisahkan yaitu antara pemimpin proyek (sebagai
pemimpin intelektual) dan koordinator administrasi proyek. Keuntungan yang
mungkin diperoleh dari menggabungkan dua peran tadi adalah bahwa kontrol
pemimpin atas pencairan dana dapat memberikan daya dorong dalam
meningkatkan kinerja individu;
- Peran
berbagai disiplin ilmu akan bervariasi sesuai dengan permasalahan
penelitian. Kadang mungkin akan ada disiplin utama (lead discipline), dan pada waktu lain mungkin tanggung jawab
di bagi bersama di antara rekan peneliti;[xii]
- Pemilihan
disiplin yang terlibat dalam tim penelitian adalah respon terhadap masalah
atau pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Hal ini juga dipengaruhi
oleh analisis kepentingan yang terlibat dalam proses penelitian;
- Mode
kerja tim tergantung sampai batas tertentu pada lokasi proyek penelitian
dan ketersediaan infrastruktur untuk menarik dan mempertahankan tim.
Transportasi, mekanisme komunikasi elektronik, dan telepon yang bekerja
adalah alat penting untuk menggerakkan kerja tim interdisipliner;
- Pengaturan
yang ideal adalah satu di mana semua anggota tim dapat bekerja berdekatan,
meskipun komunikasi elektronik dapat mengatasi beberapa kelemahan dari
jarak;
- Perwakilan
dari disiplin ilmu yang terlibat dalam penelitian harus menyampaikan
kepada anggota tim lain mengenai perspektif disiplinnya pada masalah yang
berhubungan dengan disiplin lain. Ini membutuhkan proses pertukaran dan
umpan balik berulang-ulang antara aktor yang terlibat dalam penelitian;
- Ketidaksepakatan
di antara anggota tim harus didiskusikan secara terbuka ketika masalah
tersebut pertama kali muncul. Mengabaikan perbedaan dapat membangun
konsensus dalam jangka pendek tetapi menciptakan lebih banyak konflik
mendasar dalam jangka panjang;
- Ketika
mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab, pemimpin tim harus secara
jelas mengalokasikan tugas dan meminta tanggung jawab untuk mereka.
(3)
Pengumpulan Data dan Analisis
- Tahap ini
dirumuskan dari tahap identifikasi masalah dan tujuan penelitian.
Pengumpulan data harus mengalir langsung dari pernyataan tujuan yang
jelas;
- Pengumpulan
data perlu ditata sesuai dengan tanggal target waktu yang ditetapkan,
sehingga data dari semua disiplin ilmu dan peserta dapat disampaikan
kepada para pengambil keputusan proyek penelitian di sepanjang pelaksanaan
proyek, dan bukan hanya di akhir proyek saja;
- Analisis
dilakukan dengan pengakuan saling ketergantungan antara berbagai aspek
dari masalah;
- Proses
penelitian interdisipliner dimaksudkan untuk mengintegrasikan temuan dari
komponen disiplin ilmu yang terlibat mengenai berbagai masalah
pembangunan.
(4)
Sintesis dan Penyajian Temuan
- Sintesis
dan proses belajar harus berlangsung sepanjang proses penelitian.
Interaksi berulang antara mereka yang terlibat dari berbagai disiplin
dapat membangun bahasa dan kepekaan bersama terhadap asumsi-asumsi dari
semua disiplin yang terlibat;
- Sebuah
prasyarat mendasar untuk sintesis yang sukses adalah keterbukaan dan
saling menghormati antar disiplin dan kesadaran akan adanya tujuan
bersama;
- Perlu
adanya sintesis dan integrasi dari perspektif yang berbeda antara peneliti
dan stakeholder yang terlibat.
Komunikasi, konsultasi reguler dan pertukaran data dan kesimpulan
sementara antara anggota tim dan pengguna akhir penelitian adalah cara
untuk memastikan hal tersebut;
- Tahap menulis
laporan dari proses interdisipliner mengintegrasikan temuan dari berbagai
komponen penelitian. Ini berarti bahwa temuan tidak harus disajikan
sebagai kumpulan input dari semua disiplin yang terlibat atau dalam bentuk
laporan terpisah. Sebaliknya, setiap bab harus berusaha mengintegrasikan
masukan dari berbagai isu dari disiplin ilmu masing-masing.
Dalam upaya mendukung keberhasilan penelitian
interdisipliner, tentunya juga sangat dipengaruhi oleh karakter dan kapasitas
para peneliti yang terlibat di dalamnya. Menurut Lyall et.al. (2011:35),
kepribadian dan sikap peneliti juga sama pentingnya dengan penguasaan dasar-dasar disiplin dan spesialisasi.
Karenanya diperlukan karakteristik dari seorang peneliti interdisipliner
sebagai berikut:
- Fleksibilitas,
kemampuan adaptasi, dan kreativitas;
- Rasa ingin
tahu dan kemauan untuk belajar dari disiplin ilmu lain;
- Pikiran
yang terbuka untuk ide-ide yang datang dari disiplin dan pengalaman lain;
- Komunikasi
yang baik dan keterampilan mendengarkan;
- Kemampuan
untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan praktek;
- Mampu
bekerja dalam tim; dan
- Kemauan
untuk mentolerir ambiguitas.
Selain itu, juga dipandang perlu adanya keterampilan umum
yang harus dimiliki oleh seorang peneliti, yaitu:
- Keterampilan
penelitian;
- Keterampilan
analisis;
- Kemampuan
menulis dan presentasi;
- Kemampuan
untuk berkomunikasi dan mengintegrasikan seluruh baris yang berbeda dari
bukti, dan;
- Kemampuan
untuk berdialog dan mempertahankan arguemntasi dari kasus yang diangkat,
khususnya terkait dengan upaya pencarian dukungan dana penelitian.
Selain adanya tim peneliti yang handal, tentunya juga
diperlukan adanya pemimpin tim (team
leader) yang juga mampu berperan dengan baik. Kualitas pemimpin dalam penelitian
interdisipliner yang baik menurut Lyall et.al. (hlm. 72), adalah:
- Memiliki
visi yang jelas mengenai apa yang ingin dicapai dari proyek;
- Menghormati
disiplin lain;
- Memiliki
keahlian dalam disiplin ilmunya sendiri;
- Memiliki
kemampuan interpersonal yang baik seperti kebijaksanaan, kesabaran
ketegasan, dan ketekunan;
- Mampu
bersikap proaktif terhadap mitra dan tidak hanya menunggu mereka untuk
memulai interaksi;
- Tidak
terlalu ambisius dalam lapangan disiplin ilmunya sendiri;
- Tertarik
pada berbagai topik dan isu;
- Mampu
mencegah proyek terjebak hanya memperhatikan metode atau satu disiplin
saja;
- Kemampuan
untuk menyerap informasi dan implikasinya dengan cepat;
- Membuka
pikiran dan fleksibel;
- Kemampuan
untuk menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan mempertahankan kemajuan
proyek;
- Mampu
menstrukturkan rapat/pertemuan tim sehingga ada banyak kesempatan untuk
diskusi tentang ide yang berbeda, mendorong orang untuk mengarah pada pandangan mayoritas (atau konsensus) dan
bagaimana melaksansanakannya; dan
- Pemahaman
tentang struktur di mana orang bekerja dan tekanan yang mereka hadapi,
dengan menghargai bahwa mereka bekerja dalam sistem yang berbeda dari
disiplin ilmu yang biasa mereka jalani.
Sementara dalam membangun tim proyek berbasis
interdisipliner menurut Lyall et.al. (hlm. 54) perlu memperhatikan
langkah-langkah berikut:
- Pengembangan
tim;
- Mengembangkan
budaya kerja dalam tim (meskipun kadang-kadang perbedaan budaya juga bisa mendorong
kreatif);
- Memperjelas
kontribusi dari perspektif yang berbeda;
- Mengembangkan
model konseptual bersama untuk semua peneliti/stakeholder;
- Mengembangkan
pemahaman bersama tentang bahasa dan alat yang relevan dengan proyek;
- Mengembangkan
pemahaman bersama tentang pembagian kerja dan bagaimana perubahan ini
harus ditangani;
- Mengembangkan
toleransi atas ambiguitas yang mungkin ditemui dalam perjalanan proyek;
- Mencapai
keseimbangan antara kesepakatan pada “tujuan bersama” dan ketegangan
kreatif yang ditimbulkan oleh perbedaan.
Selain itu Lyall et.al. (hlm. 74-76) juga memberikan tips
untuk manajer tim interdisipliner dalam menjalankan perannya memimpin proyek penelitian
interdisipliner, sebagai berikut:
(1) Terkait dengan konseptualisasi masalah penelitian
- Memastikan
bahwa semua peserta (anggota tim) terlibat, dan memberikan kontribusi pada
standar yang sama, bahkan jika metodologi dan data berbeda;
- Menegosiasikan
peran sesuai dengan kebutuhan; Meluangkan waktu untuk menemukan kerangka
kerja peneltitian bersama dalam rangka mendapatkan keseimbangan yang tepat
mengenai kontribusi dari disiplin yang terlibat, sehingga dapat mencapai
hasil yang sungguh-sungguh bersifat interdisipliner dan bukan hanya sebuah
proyek multidisipliner saja;
- Mengalokasikan
waktu yang cukup untuk kelompok kerja pada tahap awal membangun kerangka
proyek interdisipliner, sehingga dapat memfasilitasi interaksi yang hidup dan
dapat membantu mitra disiplin ilmu yang terlibat untuk mengeksplorasi
persamaan dan perbedaan, dan membangun hubungan dan kepercayaan.
(2) Mendistribusikan tanggung jawab tim
- Mengembangkan
kerangka kerja sistemik dan membangun kesepakatan mengenai masalah dan
tujuan bersama proyek sedari awal;
- Menjembatani
kontribusi disiplin ilmu yang berbeda untuk mencapai sinergi di seluruh
disiplin ilmu dan metode yang terlibat;
- Bersikap cukup
fleksibel, dengan menyadari bahwa meskipun perencanaan awal proyek
interdisipliner sudah disusun sedemikia rupa namun tetap memungkinkan
untuk berkembang dan berubah ketika berproses;
- Mendorong
tim peneliti untuk lebih reflektif dibandingkan ketika mereka mengerjakan
proyek monodisipliner; Memfasilitasi diskusi yang lebih sering, lebih
terbuka dan positif mengenai perjalanan proyek;
- Menunjuk
seorang anggota staf yang berdedikasi untuk melaksanakan tanggung jawab
koordinasi, diseminasi dan pertukaran pengetahuan;
- Mendistribusikan
tanggung jawab tim secara transparan sehingga setiap anggota tim mengetahui
siapa yang akan melakukan apa, dan kapan;
- Mengidentifikasi
keahlian dan menetapkan tugas dengan tepat, tanpa harus mengharapkan semua
orang untuk berpartisipasi penuh dalam semua tugas;
- Terbuka
untuk metode baru;
- Mempertimbangkan
bagaimana analisis mungkin disusun untuk mengintegrasikan berbagai jenis
temuan, dari metode disiplin dan data yang berbeda;
- Mengakui
bahwa tanggung jawab tim dapat melampaui bidang keahlian standar atau
tradisional;
- Mempertimbangkan
peran dan kontribusi “pengguna” atau stakeholder
lainnya dalam tim.
(3) Mengatasi hambatan komunikasi
- Diharapkan
dapat mengalokasikan waktu dan usaha dalam mengembangkan “bahasa” yang sama dalam tim;
- Menyadari
bahwa disiplin ilmu yang berbeda memiliki gaya kerja dan tradisi yang
berbeda; Mengurangi prasangka diantara mitra kerja berkaitan dengan
paradigma disiplin ilmu yang berbeda;
- Melakukan
pertemuan tatap muka dan acara konsolidasi tim kerja secara berkala,
terutama di awal proyek dan kemudian pada tahapan tertentu dari proyek
atau pada saat pengambilan keputusan penting terkait proyek;
- Menggunakan
acara sosial untuk membantu tim dapat terintegrasi. Kegiatan bersama di
lapangan juga dapat membantu membangun suasana tersebut;
- Mendapatkan
cara untuk menerapkan penghargaan dan insentif bagi tim dan bukan bagi
individu-individu;
- Mempertimbangkan
untuk menggunakan teknik yang sudah ada dan alat-alat komputasi untuk
mengintegrasikan data;
- Memberikan
kesempatan bagi anggota tim untuk menulis bersama-sama untuk mendorong
integrasi di seluruh disiplin ilmu;
- Membuka
ruang perdebatan di dalam tim, di mana hal tersebut mungkin membantu
membangun cara baru berpikir tentang masalah penelitian, atau bahkan
sebagai jalan untuk mengembangan gagasan bagi penelitian lain masa depan;
- Tegas dan
diplomatis, dan selalu mengingatkan komitmen anggota tim mengenai tujuan
mereka bersama.
(4) Kebersamaan
- Sejak tahap
perencanaan penelitian, pertimbangkan bagaimana pekerjaan --dan
penilaian/penghargaan-- dapat dilakukan bersama pada saat mempublikasikan
hasil penelitian;
- Menyadari
bahwa disiplin ilmu yang berbeda memiliki tradisi yang berbeda, misalnya,
isu sensitif terkait dengan pencantuman nama penulis/pengarang (authorship) yang kadang-kadang
dapat sangat merugikan bagi peneliti muda dalam tim interdisipliner;
- Membahas
bersama strategi publikasi dengan anggota tim sejak awal, sehingga ada
rancangan pengembangan portofolio publikasi dengan output yang berbeda dan
ditargetkan pada berbagai jenis jurnal (misalnya berbagai jurnal
monodisipliner serta satu atau lebih jurnal interdisipliner) atau media
lainnya;
- Menetapkan
tanggung jawab utama untuk publikasi yang berbeda untuk anggota tim yang
berbeda tergantung pada disiplin ilmu dan peran mereka masing-masing dalam
tim;
- Sebelum
mencapai akhir proyek, mungkin perlu mempertimbangkan faktor-faktor apa
akan mempengaruhi kemungkinan tim dapat tetap bekerja bersama-sama dan
mungkin berkembang atau apakah tim langsung dibuaubarkan begitu proyek
selesai.
Sementara berkenaan dengan upaya pengukuran kualitas
penelitian interdisipliner, Lyall et.al. (hlm. 140) mengajukan pertanyaan sebagai
berikut:
- Apakah topik/masalah yang diangkat memang
membutuhkan pendekatan interdisipliner?;
- Apakah topik/masalah dan pendekatan
interdisipliner tersebut memberi peluang untuk menjadkani penelitian tersebut
menjadi yang lebih kuat, lebih berkualitas (meskipun non-konvensional) dan
menghasilkan produk yang dapat diterima (meskipun mungkin
non-konvensional)?;
- Apakah pendekatan interdisipliner tersebut
dapat menunjukkan penyusunan kerangka masalah, pengumpulan data, dan analisis
yang ketat, serta dapat menggambarkan kesimpulan yang wajar?;
- Apakah proyek diselaraskan dengan
atau didasarkan pada sumber disiplin atau metodologi yang sudah ada,
ataukah memungkinkan untuk mengembangkan pendekatan metodologis yang baru?;
- Apakah proyek menambah atau akan
menambah pemahaman, meskipun dalam cara yang non-konvensional?.
Dalam hal ini, Lyall et.al. (hlm. 144) menyusun sejumlah
kriteria untuk mengukur kualitas untuk penelitian interdisipliner, diantaranya:
- Sebuah
proposal untuk suatu inisiatif baru harus menunjukkan adanya sinergitas outcome yang diharapkan dari
kombinasi disiplin dan pendekatan yang terlibat. Selain itu juga harus ada
manfaat yang dapat diperoleh bagi disiplin ilmu (dalam hal penelitian
interdisipliner berorientasi akademis), atau manfaat bagi dunia sosial
atau bisnis (dalam hal penelitian interdisipliner yang difokuskan untuk
mengatasi masalah tertentu). Kedua orientasi tersebut sangat mungkin sekaligus
dimasukkan dalam satu proyek interdisipliner;
- Jangan berharap
inisiatif interdisipliner yang berfokus pada masalah (problem focused) dapat memberikan kontribusi terhadap
peningkatan basis pengetahuan pada semua disiplin yang terlibat;
- Mencari
pemahaman yang baik dari disiplin ilmu yang terlibat maupun keterbatasan
mereka, dan justifikasi yang jelas atas pilihan disiplin berdasarkan
kebutuhan dari pertanyaan penelitian;
- Mencari
bukti bahwa peneliti atau tim peneliti telah memahami tantangan integrasi
interdisipliner, termasuk integrasi metodologis, dan “faktor manusia”
dalam mendorong interaksi dan komunikasi, dan mengembangkan strategi yang
efektif untuk menangani hal tersebut;
- Proyek
interdisipliner mungkin dapat berkembang dan berubah pada saat
pelaksanaannya. Karenanya proposal proyek interdisipliner harus dapat diatur
sedemikian rupa, namun dengan jadwal yang cukup fleksibel. Tujuan akhir
proyek memang harus jelas, namun rute untuk mencapai itu sangat mungkin dapat
berubah pada saat proyek berlangsung;
Dalam rangka mengembangkan kuantitas dan
kualitas penelitian interdisipliner, para ahli juga memandang perlunya upaya peningkatan
kapasitas (capacity building) baik
individu maupun kelembagaan penelitian, baik di lingkungan kampus/akademik
ataupun non-akademik. Kapila dan Moher (1995:9-14) memberikan pandangannya
mengenai kebutuhan tersebut, sebagai berikut:
- Kapasitas
harus dikembangkan di lembaga-lembaga pembelajaran dan penelitian, baik
mengenai keahlian dalam disiplin ilmu dan maupun keterampilan dalam interdisciplinarity. Pelatihan
untuk kedua kebutuhan perlu diakui dan dihargai di institusi pendidikan,
komunitas donor, dan pasar (market);
- Perlu
dikembangkan adanya lembaga-lembaga yang mendorong interaksi dan hubungan
antara berbagai disiplin ilmu. Perlu ditingkatkannya pelatihan dan
fasilitas riset yang secara aktif memupuk rasa saling menghargai dan
kesadaran dari berbagai disiplin ilmu;
- Ruang atau
media untuk penyebaran produk penelitian interdisipliner perlu didukung
dan dikembangkan;
- Lembaga
perlu mengenali dan membangun kapasitas kepemimpinan dalam penelitian
interdisipliner;
- Dalam
lembaga, harus ada personil senior dengan pengetahuan yang memadai tentang
jaringan dan keahlian dalam berbagai bidang, sehingga mudah bagi mereka
untuk dapat menarik orang yang tepat dari berbagai disiplin ilmu dan
institusi untuk terlibat dalam proyek;
- Jaringan
dapat berfungsi untuk kembali mengarahkan anggota dari pendekatan disiplin
yang ketat menjadi lebih mengembangkan teknik pemecahan masalah
interdisipliner melalui penyebaran informasi dan contoh;
- Pengembangan
kepemimpinan yang sesuai untuk tim interdisipliner dapat didukung melalui
dokumentasi dari pengalaman proyek interdisipliner yang dipandang memiliki
kepemimpinan atau kemampuan pengelolaan tim yang baik;
- Peningkatan
kapasitas dalam pemerintahan lokal dan nasional dapat diwujudkan dengan
mendorong partisipasi mereka dalam tahap awal proses penelitian.
Keterlibatan dalam penelitian interdisipliner dapat mendorong hubungan
yang lebih erat antara penelitian dan proses kebijakan dan integrasi yang
lebih besar dalam kebijakan publik.
Terkait dengan model integrasi dalam penelitian
interdisipliner, Rossini dan Potter (1979) menawarkan empat tipe pengorganisasi
penelitian interdisipliner. Rossini dan Potter berpendapat bahwa integrasi tersebut
dapat dibangun melalui interaksi yang intensif diantara anggota tim peneliti,
melalui penyusunan model awal, melalui sintesis yang dilakukan oleh pimpinan
penelitian (atau mungkin peneliti utama), atau melalui proses negosiasi
diantara para ahli yang terlibat dalam penelitian. Tipe pertama yang berbasis
interaksi intensif diantara para peneliti tampaknya paling mendekati konsep
penelitian interdisipliner yang telah diulas sebelumnya. Meskipun Rossini dan
Potter mengkritisi tipe ini yang dipandang lebih mengedepankan “keluasan” cakupan
penelitian dibandingkan “kedalaman” data dan analisis.
[i]
Dikemas ulang dari BAB II
buku Pengantar Penelitian Interdisipliner
tentang Hukum, Epistema Institute, 2013.
[ii] Sebagai contoh,
International Council for Science (ICSU) yang didirikan pada tahun 1931 dan
berkedudukan di Paris, adalah organisasi non-pemerintah dengan keanggotaan
global dari badan-badan ilmiah nasional (pada tahun 2008 memiliki 114 anggota,
mewakili 134 negara) dan organisasi ilmiah internasional (29 anggota). ICSU
mempromosikan dan mendanai pengembangan penelitian interdisipliner dan berorientasi
kebijakan praktis di seluruh dunia. Lihat International Council for Science
(ICSU), Enhancing
Involvement of the Social Sciences in ICSU (Paris:ICSU, 2008).
[iii] Lihat pada Lisa
R. Lattuca, Creating
Interdisciplinarity: Interdisciplinary Research and Teaching Among College and
University Faculty (Nashville:
Vanderbilt University Press, 2001), hlm. 10.
[iv] Perdebatan di
kalangan para ahli mulai dari istilah dan makna, alasan perlunya pendekatan interdisipliner,
sampai dengan metodologi dan teknik yang digunakan. Hal inilah yang dikritik
oleh Frodeman (2011), bahwa perdebatan interdisciplinarity telah jatuh dalam
perangkap umum, yaitu menjadi terlalu fokus pada pencarian “definisi” atau
“makna” daripada fokus pada “hasil” atau manfaat, dan lebih asik berdebat mengenai
“metodologi” dibandingkan mengenai “tujuan yang lebih luas.” Lihat Robert
Frodeman, “Interdisciplinary Research
and Academic Sustainability: Managing Knowledge in an Age of Accountability,” Environmental
Conservation 38 (2), 2011,
hlm. 108.
[v] Lattuca mengutip
Rossini dan Porter (1984) yang menganalogikan studi
interdisipliner sebagai jenis kain tenunan halus, jika dibandingkan dengan
selimut tambal sulam ala studi multidisipliner. Dalam proyek-proyek
interdisipliner yang sesungguhnya, rangkaian perspektif disiplin diganti dengan
integrasi berbagai perspektif disiplin tersebut.
[vi] Lihat Bart van Klink dan Sanne Taekema, “A Dynamic Model of Interdisciplinarity: Limits and Possibilities of
Interdisciplinary Research into Law,” dalam Tilburg
Working Paper Series on Jurisprudence and Legal History, No. 08-02, June 9,
2008, hlm. 21.
[vii] Namun van Klink
dan Taekema juga mengemukakan bahwa integrasi tidak selalu melahirkan disiplin
ilmu baru. Sebagai contoh, banyak ahli lain berpendapat bahwa sejarah hukum (history of law) dan sosiologi hukum (sociology of law) telah mengembangkan
konsep dan metode mereka sendiri, dan bahwa mereka dapat dianggap sebagai suatu
disiplin khusus yang baru. Pengembangan ini tidak hanya membutuhkan waktu,
tetapi juga memerlukan pengaturan kelembagaan tertentu, seperti: perlu adanya
sekelompok besar orang yang bekerja di bidang tersebut; adanya dukungan dari
organisasi akademik; dan sebagainya. Untuk bidang lain dari penelitian
interdisipliner, pertanyaan pada saat ini adalah apakah memungkinkan untuk
pengembangan ke arah disiplin baru. Dalam beberapa kasus, menggabungkan hukum
dengan disiplin lain tampaknya tidak menuju ke arah integrasi, tetapi lebih
mengarah menjadi subordinasi hukum dengan disiplin lain. Misalnya,
cabang-cabang tertentu dari penelitian hukum dan ekonomi (law and economic) tampaknya menggunakan hukum hanya sebagai masukan
untuk penelitian bidang ekonomi, dan memberikan kesimpulan yang tetap asing
bagi bidang hukum, misalnya dengan mengharuskan bahwa sistem hukum harus lebih efisien. Di sini, posisi hukum
mungkin sebagai suatu disiplin pendukung saja.
[viii] Gráinne Conole et.al., Interdisciplinary research. Findings from the Technology Enhanced Learning Research Programme (London: London Knowledge Lab. - Institute of Education University of London, 2010), hlm. 7.
[viii] Gráinne Conole et.al., Interdisciplinary research. Findings from the Technology Enhanced Learning Research Programme (London: London Knowledge Lab. - Institute of Education University of London, 2010), hlm. 7.
[ix] Lihat Jennifer Sumner, “Relations
of Suspicion: Critical Theory and Interdisciplinary Research”, dalam History of Intellectual Culture, Vol.
3, No. 1, 2003, hlm. 3.
[x] Sebagai
ilustrasi perkembangan gagasan interdisipliner (atau lebih tepatnya ekstra
disipliner) di negara lain, pada tahun 1972 the Social Science Research Council
yang bekerjasama dengan The Joseph Rowntree Memorial Trust telah menyediakan trust funds untuk Centre for Socio-Legal
Studies (CLSS) di Universitas Oxford di Inggris. Bahkan pada tahun 1959 telah
terbit Journal of Law in a Changing Society yang memuat kajian hukum dalam
konteks sosial dan ekonomi. Lihat Oliver Ross
McGregor, Social History and Law Reform (London:
Stevens and Sons, 1981), hlm. 2.
[xi] Lihat Newell, William H. “A
Theory of Interdisciplinary Studies,” Issues in Integrative Studies, No. 19, 2001, hlm. 14.
[xii] Dalam pandangan Saya,
pertimbangan ini dapat menjadi dasar dalam pengembangan penelitian
interdisipliner tentang hukum, di mana permasalahan penelitian yang diangkat
adalah yang memang terutama dipandang sebagai masalah dan dianggap penting dari
perspektif disiplin hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar