Saat ini, di
sejumlah perguruan tinggi baik di dalam dan luar negeri, semakin banyak tumbuh
pusat kajian dan bahkan jurusan studi yang bersifat extra-disipliner. Fenomena
tersebut sesungguhnya juga tidak lepas dari berkembangnya gagasan dan kebutuhan
akan studi extra-disciplinary[ii]
pada disiplin ilmu lain, baik di ilmu alam, ilmu sosial, humaniora, dan
lainnya. Tujuan dari semuanya itu pada dasarnya sama, yaitu untuk
mengefektifkan upaya mencari jawaban yang lebih komprehensif atas
persoalan-persoalan riil yang semakin kompleks dalam kehidupan manusia, yang
tidak dapat dijawab secara memuaskan oleh masing-masing disiplin ilmu, sehingga
memerlukan dukungan, kerjasama, atau bahkan kolaborasi dan integrasi dengan
berbagai disiplin ilmu tersebut. Saya menyebut kecenderungan tersebut dapat
dikatakan sebagai fenomena “arus balik epistemologi pengetahuan,” atau dalam
istilah Miller et.al. sebagai proses
reorganisasi pengetahuan (reorganization
of knowledge).[iii] Sebelumnya
upaya “produksi pengetahuan” (epistemology)
dilakukan dengan jalan memecah dan mengkotak-kotakkannya dalam berbagai
disiplin ilmu. Masing-masing disiplin
kemudian menciptakan definisi dan metodenya sendiri-sendiri. Namun belakangan
berkembang kesadaran baru bahwa kondisi tersebut juga beresiko membatasi upaya
produksi pengetahuan itu sendiri. Disadari bahwa masing-masing disiplin ilmu tersebut
memiliki keterbatasan dan terbukti tidak mampu memberikan pemahaman yang
memadai mengenai alam semesta, yang kemudian membuatnya menjadi kurang efektif
dalam memecahkan masalah kehidupan manusia yang semakin kompleks.
Disipliner dan Non-Disipliner
Ada banyak
pendapat mengenai “disiplin” ilmu. Merujuk pada Grigg, Johnston dan Milsom[iv]
yang mengutip Weingart dan Stehr
(2000), “disiplin” (disciplinarity)[v]
didefinisikan sebagai berikut:
Disiplin ilmu
adalah mata melalui mana masyarakat modern melihat dan membentuk gambarannya
tentang dunia, mengkerangkakan pengalamannya, dan belajar, sehingga dapat membentuk
masa depan mereka sendiri atau merekonstruksi masa lalu. Disiplin adalah
struktur intelektual di mana transfer pengetahuan dari satu generasi ke
generasi berikutnya dibangun sedemikian rupa, yaitu dengan membentuk sistem
pendidikan yang menyeluruh. Demikian juga, disiplin memiliki dampak yang besar pada
struktur pekerjaan ... Akhirnya disiplin tidak hanya terkait dengan persoalan intelektual
tetapi juga struktur sosial, organisasi manusia dengan kepentingan pribadi ... yang
dapat membentuk dan juga menciptakan bias pandangan mereka tentang kepentingan relatif
dari pengetahuan mereka... Dalam semua fungsi-fungsi ini, disiplin ilmu
merupakan tatanan sosial modern dari pengetahuan.
Grigg, Johnston dan Milsom (2003:7) juga mengutip OECD (1998) yang
menyatakan bahwa “disiplin” merupakan organisasi sosial untuk memproduksi
pengetahuan, yang bervariasi dalam ukuran, struktur dan tujuan. Mereka juga
berbeda dalam hal keterlibatan mereka dalam kegiatan lintas-disiplin. Selain itu
“disiplin” membawa konotasi memiliki batas-batas yang cukup mapan dan dapat
diidentifikasi, dengan aturan jelas mengenai apa yang dianggap sebagai
pengetahuan yang dapat diterima, serta rumusan masalah dan metodologi untuk menjawab
masalah tersebut. “Disiplin” secara definisi pada dasarnya adalah bersifat konservatif,
yang hanya menerima perubahan inkremental, dan menolak perubahan yang radikal
atau revolusioner. “Disiplin” juga bersifat “solid,” di mana mereka
mengandalkan ketertiban dan kontrol. Itulah satu-satunya cara untuk memastikan
bahwa pengetahuan yang mereka hasilkan dan sah dapat diandalkan. “Disiplin” juga
cenderung bersifat resisten terhadap kritik dan inovasi.
Dapat
disimpulkan, departementalisasi atau pembentukan disiplin ilmu berkaitan dengan
upaya produksi pengetahuan. Merujuk pada pendapat van den Besselaar dan Heimeriks,[vi]
sebelumnya produksi pengetahuan memang
dominan dilakukan oleh dan di dalam masing-masing disiplin ilmu pengetahuan.[vii] Namun pada masyarakat modern ada tuntutan
yang semakin besar untuk dikembangkannya pengetahuan yang lebih aplikatif, yang
karenanya kemudian memerlukan kombinasi
dan integrasi dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Secara tradisional, “disiplin”
memang telah sangat dominan mempengaruhi dan membentuk organisasi sistem ilmu
pengetahuan, sistem penghargaan, dan sistem karir bagi para ilmuwan. Namun
banyak pihak yang kemudian mendorong dan menekankan pentingnya relevansi sosial
dari hasil penelitian, yang kemudian mendorong berkembangnya modus baru
penelitian yang berorientasi aplikasi, selain penelitian akademis tradisional.
Dengan kata lain, “sistem ilmu
pengetahuan tidak hanya tumbuh dalam ukuran, namun struktur dan fungsinya
berubah juga, baik dalam hal lokus penelitian, pola kolaborasi, maupun tujuan
dari kegiatan ilmiah itu sendiri.”
Van den
Besselaar & Heimeriks mengutip analisis Gibbons et. al. (1994) mengenai dua
modus produksi pengetahuan, sebagai berikut:
- Mode pertama,
adalah produksi “disiplin ilmu tradisional,” di mana kepentingan akademik
dalam “pengetahuan murni” berlaku.
Tujuannya adalah untuk menghasilkan pengetahuan alam teoritis (fisik dan
manusia). Lokus mode pertama adalah universitas yang diselenggarakan
sepanjang garis disiplin di fakultas dan departemen/jurusan. Akibatnya
adalah struktur organisasi dan praktisi menjadi homogen, hirarkis, dan
relatif stabil. Kontrol terhadap kualitas pengetahuan dilakukan secara
internal dengan peer review, dan
berbasis sistem jurnal ilmiah masing-masing disiplin ilmu tersebut;
- Mode kedua,
adalah bersifat interdisipliner[viii]
dan berorientasi untuk memproduksi pengetahuan yang aplikatif. Fokusnya
tidak sepenuhnya berorientasi pada menjelajahi “hukum alam,” tetapi pada upaya
belajar mengenai artefak dan pengoperasian sistem-sistem yang kompleks (complex systems). Contohnya adalah
antara lain ilmu komputer, teknik kimia, dan bioteknologi. Mode ini lebih
bersifat heterogen, sebagai satu set yang lebih luas dari organisasi dan
jenis peneliti yang terlibat, beroperasi dalam konteks tertentu pada
masalah tertentu. Berbagai bentuk organisasi yang berbeda hidup
berdampingan dalam mode ini, dan penelitian tidak secara eksklusif dilakukan
di perguruan tinggi. Sistem pengendalian kualitas adalah lebih luas, dan
tidak hanya berdasarkan peer review
atas makalah akademik, namun juga mencakup review atas kegunaan dan
akuntabilitas sosial. Dalam mode ini sistem yang terbangun tidak bersifat
hierarki (berjenjang) tetapi lebih bersifat heterarchical (koordinatif). Meskipun peran mode kedua ini
semakin penting, namun tidak menggantikan mode pertama karena perkembangan
pengetahuan di masing-masing disiplin juga masih dipandang sangat penting.
Terkait
dengan upaya produksi pengetahuan tersebut adalah kegiatan studi atau
penelitian. Van den Besselaar dan Heimeriks (hlm. 2) mendefinisikan bidang
penelitian disipliner (disciplinary
research) sebagai kelompok peneliti yang bekerja pada serangkaian
pertanyaan penelitian tertentu, dengan menggunakan set metode yang sama dan
pendekatan bersama (misalnya, Kuhn 1962; Harga 1965; Chubin 1983). Penelitian
disipliner merupakan sebuahh upaya “pemecahan masalah yang normal” dalam “paradigma”
tertentu, dan dengan itu dapat ditentukan batas-batas bidang disiplin.
Sementara penelitian non-disiplin (non-disciplinary
research) dapat dilihat sebagai cara menggabungkan elemen-elemen dari
berbagai disiplin ilmu, sebagai interaksi antara dua atau lebih spesialisasi
disiplin ilmu yang berbeda, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan praktis dan
untuk memecahkan masalah praktis. Interaksi tersebut dapat hanya berupa adanya
komunikasi dan perbandingan ide, dan pertukaran data, metode dan prosedur,
sampai dengan adanya saling integrasi dalam mengorganisir konsep, teori,
metodologi, dan prinsip-prinsip epistemologis. Mengutip Klein (1990 dan 1995), bentuk-bentuk
pengetahuan non-disipliner (non-disciplinary knowledge) dinilai memiliki kesamaan, yakni umumnya dipandang berbeda
dengan apa yang sebelumnya dianggap sebagai “normal” - yaitu “disiplin” pengetahuan
tertentu, dan klasifikasi yang berlaku penelitian dalam disiplin ilmu, sub-disiplin,
dan bidang penelitian yang umumnya sering diambil atau digunakan begitu saja (taken for granted).
Menurut
van den Besselaar & Heimeriks (hlm. 2), karakteristik utama dari penelitian
non-disipliner adalah ia berorientasi
pada penelitian yang aplikatif. Seperti pada masalah perubahan sosial,
bidang non-disipliner diharapkan akan terus ditingkatkan. Namun, bidang
disipliner juga menunjukkan perkembangan dan perubahan yang cukup besar.
Anomali dapat muncul dalam proses “normal” pemecahan masalah, dan sekali ada anomali
yang diterima, maka disiplin “normal” dapat mengalami krisis, karena dituntutn
untuk juga berubah, yang setidaknya dalam bentuk mengkamodasi anomali tadi.
Akhirnya ada kemungkinan terjadi perubahan radikal, di mana bidang-bidang
kajian digabungkan (merger) atau
bahkan hilang (break-up). Terjadi
sebuah proses rekonstruksi atas bidang-bidang penelitian, di mana seringkali
proses tersebut mengkombinasikan unsur-unsur dari berbagai disiplin ilmu, yang
menghasilkan munculnya paradigma baru.
Produksi
Pengetahuan Bersifat Non-Disipliner
Berangkat
dari kritik terhadap produksi pengetahuan monodisciplinary
(monodisipliner atau disiplin tunggal) dan kebutuhan akan produksi pengetahuan non-disciplinary tadi, melahirkan
beberapa konsep “baru” mengenai produksi pengetahuan,[ix]
diantaranya cross-disciplinary, multidisciplinary, interdisciplinary,[x]
transdisciplinary, dan lainnya.[xi]
Pada faktanya tidak ada definisi yang seragam mengenai konsep-konsep tersebut. Saya
mencoba menggambarkan perkembangan gagasan mengenai konsep-konsep tersebut dari
pendapat beberapa ahli, sebagai berikut:
- Pendekatan
cross-disciplinary melibatkan
interaksi yang nyata di seluruh disiplin ilmu, meskipun tingkat dan sifat
interaksinya sangat bervariasi (Miller, 1982:6);
- Menurut
Grigg, Johnston dan Milsom (2003:7)
yang mengutip Salter & Hearn (1996),
ada tiga jenis cross-disciplinarity,
yaitu: (a) Berdasarkan pandangan instrumental dari pengetahuan, yang hanya
berkaitan dengan transfer alat dan metode kepada disiplin ilmu lain dalam
menanggapi masalah tertentu. Di sini tidak ada sintesis langsung dari
hasil pengetahuan. Contoh yang paling jelas saat ini adalah meluasnya
penggunaan kemampuan berbasis perangkat lunak dalam penelitian; (b)
Melihat cross-disciplinarity
sebagai aspek konseptual, yang mengarah pada sintesis pengetahuan
baru, namun berbasiskan secara kuat pada dasar-dasar disiplin ilmu dan
dengan tujuan memperluas, daripada menantang disiplin ilmu tersebut. Hal
ini dapat diberi label “cara pandang disiplinary
terhadap cross-disciplinarity;” (c) Jenis cross-disciplinarity
yang terang-terangan menantang disciplinarity
melalui transdisciplinarity
(mencari sebuah teori terpadu mengenai pengetahuan) dan critical interdisciplinarity (yang
mencari pengetahuan kritis dan transformatif dan bukan bukan unifikasi).
Dalam pandangan ini, manfaat cross-disciplinarity adalah ia mematahkan tradisi,
mendobrak ortodoksi, dan membuka subyek-subyek baru untuk di eksplorasi;
- Cross-disciplinarity didefinisikan sebagai lawan dari disciplinarity. Hal ini
berkaitan dengan melintasi batas-batas disiplin, membuat batasan baru, dan
berurusan dengan masalah “dunia nyata”. Hal tersebut didasarkan pada sikap
bahwa dunia dan segala permasalahannya itu tidak dapat didefinisikan
secara historis dalam struktur disiplin ilmu, namun bersifat dinamis,
fleksibel, dan menggulingkan asumsi dan pola pikir masa lalu (Grigg, Johnston dan Milsom, 2003:7);
- Cross-disciplinarity dimaknai
sebagai meminjam pengetahuan dan metode dari disiplin lain. Merupakan
bentuk yang paling umum dan paling mudah dari model interdisciplinarity (Catatan: Krishnan berpendapat bahwa interdisciplinarity dalam maknanya
yang luas adalah payung bagi sifat penelitian lainnya) di mana tidak
benar-benar memerlukan kolaborasi dari peneliti dengan latar belakang
disiplin ilmu yang berbeda, atau bahkan tidak memerlukan upaya penelitian
kolaboratif. Ide dasarnya adalah dengan melihat apa yang disiplin lain
telah analisis tentang fenomena tertentu atau objek dalam lingkup disiplin
sendiri, atau alternatif untuk menerapkan konsep dan metode disiplin
mereka sendiri untuk fenomena atau objek disiplin ilmu lainnya. Seorang
akademisi dapat menerapkan metode disiplin mereka sendiri untuk masalah
yang jelas di luar lingkup tradisional disiplin mereka sendiri. Sebagai
contoh, antropolog dapat menggunakan metode etnografi untuk memahami
proses penelitian ilmiah dan penemuan (Krishnan, 2009:3).
(2)
Multidisciplinary, Multidisciplinarity atau Multidisipliner
·
Aktivitas multidisipliner melibatkan
upaya menyandingkan beberapa disiplin ilmu, tapi hanya dengan sedikit kontak
saja diantara disiplin ilmu yang berpartisipasi tersebut (Miller, 1982:6).
·
Multidisciplinarity
adalah proses untuk menyediakan penjajaran disiplin ilmu yang hanya bersifat
aditif (menambahkan) dan tidak integratif, di mana perspektif dari
masing-masing disiplin tidak diubah, namun hanya dikontraskan atau dibandingkan
saja (Klein, 1990, yang dikutip Choi dan Pak, 2006);[xiii]
·
Penelitian
multidisipliner menyatukan campuran disiplin ilmu untuk memecahkan masalah
tertentu yang ada dalam kompetensi mereka. Strukturnya diputuskan oleh tim
manajemen. Peneliti berbicara dengan otoritas spesialisasi mereka
masing-masing, dan pemimpin proyek harus mengelola pendapat atau analisis yang
tidak kompatibel. Integritas dan prestise masing-masing disiplin masih menjadi
prioritas utama, melampaui kepentingan terhadap kerjasama dalam gabungan proyek
tersebut (Kilburn, 1990, yang dikutip Grigg, Johnston dan Milsom,
2003:8);
·
Multidisciplinarity
melibatkan masukan paralel dari berbagai disiplin ilmu tanpa memerlukan
konsultasi diantara mereka (Kapila dan Moher, 1995);[xiv]
·
Penelitian multidisiplinarity melibatkan orang dari berbagai bidang bekerja
sama, bekerja bersama menuju tujuan bersama namun tetap dalam batas-batas bidan;g
mereka sendiri. Mereka mungkin mencapai titik di mana --karena pembatasan dan
keterbatasan disiplin ilmu mereka-- mereka tidak dapat membuat kemajuan lebih
lanjut. Mereka kemudian mungkin terpaksa bekerja di area batas disiplin dan mencoba
membuka area kajian yang baru. Pada titik ini penelitian menjadi interdisipliner
(Grigg, Johnston dan Milsom, 2003:8-9, yang mengutip definisi
dari OECD, 1998:4, yang mengambil penjelasan dari Royal Society, 1996);
·
Dalam penelitian multidisipliner (multidisciplinary research), subjek yang
diteliti didekati dari sudut yang berbeda, dengan menggunakan perspektif
disiplin ilmu yang berbeda. Namun, baik perspektif teoritis maupun temuan dari
berbagai disiplin ilmu tadi kemudian diintegrasikan pada analisis dan
kesimpulan penelitian (van den Besselaar dan Heimeriks, 2001:2);
·
Multidisciplinarity
adalah proses dengan pertukaran pengetahuan secara terbatas. Agar sebuah proyek
multidisipliner dapat berjalan efektif, biasanya membutuhkan adanya manajer atau
pimpinan tim yang dapat memahami dan memiliki otoritas dan rasa hormat dari seluruh
disiplin ilmu yang terlibat (Grigg, Johnston dan Milsom,
2003:9);
·
Multidisciplinarity,
dimaknai sebagai bentuk kolaborasi interdisipliner tanpa sintesis atau
kolaborasi dengan integrasi hirarkis pengetahuan. Dipandang merupakan salah
satu bentuk strategi dari penelitian interdisipliner yang tidak memerlukan
kolaborasi peneliti dari berbagai disiplin ilmu. Dalam penelitian
multidisipliner ini tim peneliti bekerja bekerja untuk tujuan bersama atau masalah
yang sama, tetapi masing-masing disiplin dapat bekerja secara independen atau
secara berurutan. Kontribusi dari tiap disiplin yang terlibat melengkapi produk
akhir dari studi, yang hanya dapat berupa kompilasi dari hasil penelitian tiap
disiplin pada tema atau objek bersama. Atau, kolaborasi ini juga dapat
menghasilkan produk penelitian terpadu yang mensintesis perspektif dari tiap
disiplin yang terlibat menjadi sebuah gambar yang koheren. Kalaupun tidak,
sintesis dapat dilakukan sebagai langkah akhir oleh peneliti utama, meskipun
mungkin tanpa ada pertukaran antara disiplin ilmu yang terlibat. Penelitian
disiplin khusus dapat dilakukan oleh para peneliti tambahan yang ahli dalam
menggunakan metode penelitian tertentu yang telah diputuskan terlebih dahulu
oleh peneliti utama (Krishnan, 2009:4).
(3)
Interdisciplinary, Interdisciplinarity atau Interdisipliner
- Interdisciplinarity adalah
suatu proses untuk mencapai sebuah sintesis integratif, sebuah proses yang
biasanya dimulai dengan, pertanyaan masalah, atau topik masalah. Individu
harus bekerja untuk mengatasi masalah yang diciptakan oleh perbedaan
bahasa dan pandangan dunia dari disiplin yang berbeda (Klein, 1990:188,
yang dikutip Bruusgaard, 2010);[xv]
- Dalam
interdisciplinarity ada suatu
proses sintesis dari dua atau lebih disiplin, yang membangun wacana dan
integrasi pengetahuan baru, dan pada akhirnya dapat berujung pada
terciptanya disiplin ilmu baru (Klein, 1990, yang dikutip Choi dan Pak,
2006:355);
- Interdisciplinarity dapat
menjadi cara untuk memperoleh perspektif yang lebih terintegrasi mengenai
suatu kompleksitas (Kapila dan Moher, 1995:1; merujuk pada pandangan
sejumlah pemikir sebelumnya seperti Broido 1977, Gusdorf 1977, Klein 1990
dan 1993); Interdisciplinarity
menyiratkan adanya interaksi antara berbagai disiplin ilmu yang
berhubungan dengan masalah penelitian, di mana dalam proses penelitian
tersebut dimulai dengan adanya definisi masalah bersama (Kapila dan Moher,
1995:2);
- Interdisciplinarity adalah
interaksi antara dua atau lebih disiplin ilmu yang berbeda. Sebuah
kelompok interdisipliner terdiri dari orang-orang terlatih dalam berbagai
bidang pengetahuan atau disiplin ilmu, dengan konsep, metode, data dan
istilah yang berbeda, di mana mereka bergabung dalam sebuah upaya untuk
menjawab masalah bersama dengan interaksi yang berkelanjutan di antara
para peserta dari berbagai disiplin ilmu (OECD, 1998:4, yang dikutip Grigg, Johnston dan Milsom,
2003:8-9);
- Penelitian
interdisipliner menunjukkan kerja sama para ilmuwan dengan orientasi
melakukan integrasi dari setidaknya dua disiplin ilmu dengan tujuan untuk
menjawab pertanyaan bersama dan mencapai hasil bersama (Defila dan Di
Giulio, 1999:13; dikutip Pohl et.al., 2010);[xvi]
- Sebuah
pendekatan interdisipliner menciptakan identitas teoritis, konseptual dan
metodologisnya sendiri (baru). Dengan demikian, hasil dari studi
interdisipliner mengenai masalah tertentu dapat menjadi lebih koheren dan
terintegrasi (van den Besselaar & Heimeriks, 2001:2);
- Interdisciplinarity adalah
proses di mana peneliti bekerja bersama-sama, dengan menggabungkan perspektif
dari setiap masing-masing disiplin, untuk mengatasi masalah bersama
(Stokols et. al., 2003:24, yang dikutip Pohl et.al., 2010:3);
- Penelitian
interdisipliner adalah mode penelitian oleh tim dari individu-individu
yang mengintegrasikan informasi, data, teknik, peralatan, perspektif,
konsep, dan/atau teori dari dua atau lebih disiplin atau badan pengetahuan
khusus, untuk meningkatkan pemahaman fundamental, atau untuk memecahkan
masalah yang pemecahannya berada di luar lingkup disiplin tunggal atau
area praktek penelitian (National Academy of Sciences, 2005);[xvii]
- Interdisipliner
mengacu pada integrasi atau sintesis dari dua atau lebih disiplin ilmu
yang berbeda, pengetahuan (body of
knowledge), atau cara berpikir untuk menghasilkan makna, penjelasan,
atau produk yang lebih luas dan kuat daripada hanya bagian atau disiplin
ilmu yang terlibat (Rhoten dan Pfirman, 2007, yang dikutip van Rijnsoever dan Hessels, 2011:464);[xviii]
·
Studi
interdisipliner adalah proses menjawab pertanyaan, memecahkan masalah, atau
menangani topik yang terlalu luas atau kompleks untuk dapat ditangani secara
memadai oleh disiplin tunggal dan mengacu pada perspektif disiplin, dan
mengintegrasikan wawasan mereka untuk menghasilkan pemahaman yang lebih
komprehensif atau kemajuan kognitif (Repko, 2008);[xix]
- Interdisciplinarity
atau
Supradisciplinarity dimaknai
sebagai upaya berbagi konsep, teori dan metode. Dalam penelitian interdisciplinary atau supradisciplinary, disiplin yang
terlibat saling berkolaborasi dalam mengembangan perspektif bersama. Ide
berbagi konsep-konsep umum, teori dan metode dengan disiplin terkait
lainnya tentu sudah lama dikenal. Sejak masa awal ilmu pengetahuan modern,
telah ada disiplin lintas paradigma (discipline-trangressing
paradigms) yang dapat diterapkan pada berbagai disiplin ilmu. Sebuah
paradigma interdisipliner paling awal adalah Marxisme, yang telah
mendorong pengembangan sekolah pemikiran Marxis dalam berbagai macam
disiplin ilmu dan bidang studi, termasuk filsafat, ekonomi, ilmu politik,
sosiologi, sastra dan seni, dan lingkungan dan studi pembangunan. Sebuah
usaha supradisciplinary lebih
baru adalah proyek Ludwig von Bertallanffy untuk menciptakan sebuah teori
sistem umum (general systems theory),
di era 1950-an. Proyek supradisciplinary
lainnya adalah strukturalisme, dekonstruksi, pascastrukturalisme,
feminisme dan, teori kompleksitas (Krishnan, 2009:7).
·
Istilah
interdisipliner digunakan sebagai referensi yang mencakup seluruh penelitian
lintas disiplin ilmu. Namun interdisipliner juga bisa merujuk ke penelitian
dalam apa yang mungkin tampak luar menjadi disiplin tunggal (Bolitho dan
McDonnell, 2010:5);
(4)
Transdisciplinary,
Transdisciplinarity
atau Transdisipliner
- Pendekatan
transdisipliner menampilkan model pemikiran menyeluruh yang bertujuan
untuk menggantikan pandangan dunia yang ada pada masing-masing disiplin
(Miller, 1982:6);
- Transdisciplinarity
menyediakan skema holistik di mana disiplin subordinat (lebih rendah)
melihat dinamika seluruh sistem yang ada (Klein, 1990, yang dikutip Choi
dan Pak, 2006:355);
- Transdisciplinarity melibatkan
membentuk kembali dari dasar praktek kognitif dan sosial yang tepat,
dengan cara yang melibatkan konteks aplikasi dalam membentuk upaya
penelitian dari awal, dan dengan cara yang dinamis melanjutkan. Selain
kontribusi yang dihasilkan untuk pengetahuan mungkin tidak dalam bentuk
disiplin, dan dapat ditransfer langsung ke stakeholder (Gibbons et. al., 1994, yang dikutip Grigg, Johnston dan Milsom,
2003:9);
- Transdisciplinarity merujuk
pada apa yang sekaligus berada diantara disiplin ilmu, di seluruh disiplin
ilmu yang berbeda, dan di luar semua disiplin ilmu (OECD, 1998:4, yang
dikutip Grigg, Johnston dan Milsom,
2003:8-9);
- Transdisciplinarity pada
awalnya didefinisikan sebagai perspektif meta-teoritis interdisipliner,
seperti strukturalisme dan Marxisme (Klein, 1990). Belakangan, Gibbons et.al.
(1994) menggunakan konsep transdisciplinarity
dengan cara yang berbeda. Dalam pandangan mereka, pendekatan
interdisipliner ditandai dengan formulasi eksplisit yang seragam, disiplin
yang melampaui terminologi atau metodologi umum. Pendekatan transdisciplinary berjalan satu
langkah lebih jauh, karena didasarkan pada pemahaman teoritis umum, dan
harus disertai dengan saling interpenetrasi dari epistemologi disiplin.
Dalam pandangan ini, bidang transdisciplinary
memiliki teori yang terhomogenisasi (homogenized)
(van den Besselaar dan Heimeriks, 2001:2);
- Penelitian
transdisciplinary menunjukkan
kerjasama lintas disiplin, yang melibatkan tidak hanya para ilmuwan tetapi
juga praktisi dari luar bidang ilmu (misalnya, pengguna) dalam pekerjaan
penelitian (Defila dan Di Giulio, 1999:13, yang dikutip Pohl et.al.,
2010:4);
- Transdisciplinarity adalah
suatu proses di mana peneliti bekerja bersama-sama untuk mengembangkan dan
menggunakan kerangka konseptual bersama yang menjalin teori, konsep, dan
metode dari beberapa disiplin-spesifik untuk mengatasi masalah bersama
(Stokols et.al., 2003:24, yang dikutip Pohl et.al., 2010:3);
- “Trans-“ berarti "di, atau pada sisi
jauh, di luar, lebih." Untuk dapat melampaui batas-batas disiplin, melalui
proses merakit disiplin ilmu dan informasi bergabung kembali. Penjajaran (juxtaposition) adalah titik awal
untuk integrasi. Penjajaran dan rekontekstualisasi menarik pikiran untuk
teka-teki tentang koneksi potensial antara elemen informasi. Langkah
selanjutnya adalah rekombinasi informasi, yaitu "proses mengambil kode komposisi yang ada, memecah dan membawa
mereka kembali ke elemen-elemen penyusunnya, dan mengkombinasikan
unsur-unsur untuk membentuk komposisi yang baru", atau
pengetahuan baru (Kerne, 2006, yang dikutip Choi dan Pak, 2006:357);
- Menurut
Bolitho dan McDonnell (2010:6) yang mengutip Davies dan Devlin (2007), transdisciplinarity mungkin dapat
dipandang memiliki nilai tertentu dalam mengembangkan strategi penelitian
masa depan, berdasarkan cara memposisikan penelitian dalam kaitannya
dengan apa yang disebut Klein (2008) sebagai bersifat “trans-sektor, penelitian berorientasi
masalah yang melibatkan partisipasi pemangku kepentingan dalam masyarakat”.
- Transdisipliner
adalah bentuk baru dari belajar dan pemecahan masalah yang melibatkan
kerjasama antara berbagai bagian masyarakat dan akademisi dalam rangka
memenuhi tantangan yang kompleks masyarakat. Penelitian transdisciplinary mulai dari hal
yang nyata, yaitu masalah di dunia nyata. Idealnya, setiap orang yang
memiliki sesuatu untuk dikatakan tentang masalah tertentu dan bersedia
untuk berpartisipasi dapat berperan dalam proses tersebut. Melalui proses
saling belajar, pengetahuan dari semua peserta ditingkatkan, sehingga
pengetahuan yang diperoleh akan lebih besar dari pengetahuan dari setiap
disiplin atau peserta tunggal. Dalam proses ini, bias dari perspektif
masing-masing juga akan diminimalkan (Häberli et.al., 2001, yang dikutip
Zierhofer dan Burger, 2007).[xx]
- Transdisciplinarity, dimaknai
sebagai bekerja sama dengan stakeholder
penelitian dari non-perguruan tinggi. Sebuah strategi yang berbeda untuk
melakukan penelitian interdisipliner adalah mencari kolaborator penelitian
di luar konteks akademik/universitas. Tujuannya adalah untuk menghasilkan
produk penelitian yang terutama berorientasi pada hasil yang bersifat
aplikatif, misalnya perkembangan teknologi baru atau perumusan kebijakan.
Jenis penelitian ini merupakan kecenderungan utama dan telah disebut “mode
kedua produksi pengetahuan” oleh Michael Gibbons dkk., yang menganggapnya
sebagai produksi pengetahuan transdisciplinary,
yang dianggap berbeda dengan produksi pengetahuan dari satu disiplin
tertentu saja. Fenomena riset kolaborasi antara universitas dengan
industri dan organisasi non-perguruan tinggi lainnya semakin penting,
terutama dalam konteks kontrak konsultasi dan pengembangan teknologi.
Meskipun penelitian kolaborasi dengan stakeholder
non-perguruan tinggi paling umum terjadi pada disiplin ilmu-ilmu alam,
teknik dan ilmu komputer, namun terlihat juga adanya peluang
pengembangannya pada akademisi dari ilmu-ilmu sosial untuk bekerjasama
dengan pihak dari luar universitas,
seperti sektor swasta, LSM dan institusi sukarela dan, tentu saja, sektor
publik atau pemerintah (Krishnan, 2009:5-6).
Untuk
membantu dalam memahami konsep-konsep tersebut, Saya mencoba menggambarkan
dalam beberapa ilustrasi berikut. Dalam menunjukkan beberapa perbedaan yang
relevan diantara sifat penelitian multidisipliner, interdisipliner dan
transdisipliner, Bolitho
dan McDonnell (2010:5) mengacu pada diagram yang
dikembangkan oleh Lyall (2009). Mereka berpendapat bahwa setidaknya ada tiga
jenis relasi antar disiplin, yaitu: (a) Posisi pertama, yaitu multidisciplinarity, menunjukkan adanya beberapa
tim disiplin bekerja secara bersamaan atau secara berurutan, tanpa adanya upaya
untuk mengintegrasikan ketiga disiplin tersebut; (b) Posisi kedua, yaitu interdisciplinarity, menunjukkan adanya
interaksi yang lebih besar dan adanya potensi integrasi dari berbagai disiplin
yang terlibat, di mana disiplin-disiplin tersebut saling bekerjasama dan menciptakan
wacana bersama tentang masalah penelitian tertentu; (c) Posisi ketiga, yaitu transdisciplinary, yang menyoroti fokus
masalah atau isu-isu eksternal, yang kemungkinan akan mencerminkan campuran
disiplin ilmu yang terkait dengan masing-masing masalah.
Dari
uraian di atas terlibat beragamnya pengertian multidisciplinary, cross-disciplinary,
interdisciplinary, dan transdisciplinary yang digunakan oleh
para ahli. Beberapa istilah bahkan terlihat saling bersilangan ketika
menjelaskan satu pengertian yang kurang lebih serupa. Menurut Siems (2009:6),
hal tersebut terjadi diantaranya karena ketidakjelasan batasan mengenai
kriteria dan tingkat sintesis dari disiplin ilmu yang terlibat. Sebagai contoh
“ekstrim,” Klein (1990) mendefinisikan transdisciplinary
sebagai berkaitan dengan perspektif meta-teoritis seperti strukturalisme dan
Marxisme, sementara Defila dan Di Giulio (1999), Tress et.al. (2006) dan
Krishnan (2009) lebih melihatnya sebagai integrasi antara partisipan dari
disiplin akademik dan non-akademik (stakeholder
lain, misalnya institusi pengguna hasil penelitian atau kelompok masyarakat). Sebaliknya,
Krishnan (2009) justru memaknai Marxisme (yang digunakan untuk pisau analisis) sebagai
bentuk dari interdisciplinary. Karena
itu Saya mencoba membuat batasan sendiri mengenai sifat-sifat penelitian
tersebut, yang meskipun pasti memiliki banyak kelemahan namun diharapkan
membantu dalam menjelaskan mengenai penelitian interdisipliner tentang hukum
yang menjadi topik tulisan ini.
- Cross-disciplinary: Lintas disiplin, berupa modus
“meminjam” teori, metode atau
pendekatan dari disiplin ilmu lain.
- Multidisciplinary: Dua atau lebih disiplin ilmu
bersama-sama meneliti suatu topik atau isu tertentu, namun menggunakan
metode dan menganalisis berdasarkan disiplin ilmunya masing-masing. Hasil
akhir kemudian dihubungkan dan dibandingkan untuk saling memperkuat atau
menyanggah hasil analisis masing-masing.
- Interdisciplinary: Dua atau lebih disiplin
digunakan untuk meneliti suatu topik atau isu tertentu, di mana terjadi
komunikasi, kolaborasi dan integrasi mulai dari definisi, tujuan, proses,
pengumpulan data sampai analisis dan penarikan kesimpulan.
- Transdisciplinary: Lintas disiplin dan lintas
aktor/stakeholder, yang
bertujuan yang mencari pengetahuan kritis dan transformatif atas isu atau
masalah mendasar bagi bagi kehidupan manusia.
Dengan
berkembangnya studi atau penelitian ekstra-disipliner khususnya yang bersifat
interdisipliner, tentunya menjadi pertanyaan mengenai posisi studi
monodisipliner. Menurut Kapila dan Moher (1995:1), meskipun saat ini berkembang
studi yang bersifat multidisipliner atau interdisipliner, namun tidak berarti
bahwa penelitian monodisciplinary
tidak lagi diinginkan atau tidak berguna sama sekali. Karena pada dasarnya,
penelitian interdisipliner atau multidisipliner yang baik sesungguhnya justru
didasarkan pada keunggulan dari masing-masing disiplin. Selain itu penelitian monodisciplinary dipandang penting di
mana penyelesaian masalah membutuhkan keahlian keterampilan disiplin tunggal.
Tapi ketika masalah penelitian memerlukan input dari berbagai disiplin ilmu,
yang dibutuhkan dan kerap digunakan adalah pendekatan metodologis yang
bersifat multidisipliner atau
interdisipliner. Dalam pandangan Lyall et.al. (2011),[xxi]
pendekatan penelitian disipliner dan interdisipliner keduanya penting untuk
menghasilkan pengetahuan dan memecahkan masalah. Namun banyak literatur yang
ada lebih berfokus pada diskusi tentang manfaat relatif dari masing-masing
bentuk-bentuk penelitian dan masih ada kelangkaan panduan megenai interdisciplinarity sebagai cara untuk
melakukan penelitian. Dalam hal ini Lyall et.al. melihat disciplinary dan interdisciplinarity
sebagai saling melengkapi. Penelitian berbasis disiplin menyediakan seperangkat
penting standar atau cara terkait dengan framing,
penggunaan teori kunci dan metode, namun model kajian dan analisis interdisipliner
lebih mampu menjawab persoalan yang kompleks.
[i] Dikemas ulang dari BAB II buku Pengantar Penelitian Interdisipliner tentang
Hukum, Epistema Institute, 2013.
[ii] Istilah yang saya gunakan untuk
menyebut studi yang melibatkan lebih dari satu disiplin.
[iii] Lihat Thaddeus R. Miller et.al.,
“Epistemological Pluralism: Reorganizing Interdisciplinary Research,” Ecology and Society 13(2): 46, 2008.
[iv] Lyn Grigg, Ron
Johnston dan Nicky Milsom, Emerging Issues for Cross-Disciplinary Research: Conceptual and
Empirical Dimensions (Commonwealth of Australia: Department of Education,
Science and Training, 2003), hlm. 6.
[v] Dalam bahasa Inggris, disciplinary merupakan kata sifat,
sementata disciplinarity merupakan
kata benda.
[vi] Lihat Peter Van den Besselaar dan Gaston Heimeriks. “Disciplinary,
Multidisciplinary, Interdisciplinary - Concepts and Indicators –,“ makalah
dalam The 8th Conference on
Scientometrics and Informetrics – ISSI2001, Sydney, Australia, July 16-20,
2001, hlm. 1.
[vii] Alan F. Blackwell
et.al. dalam “Radical Innovation: Crossing Knowledge Boundaries with Interdisciplinary
Teams,” University of Cambridge, Technical Report UCAM-CL-TR-760, November
2009, hlm. 15, menawarkan pendekatan yang lebih luas terkait dengan produksi
pengetahuan disipliner. Menurut mereka, pengetahuan
dibangun dalam komunitas atau organisasi yang “dibatasi” (bounded) dalam beberapa cara. Dalam hal ini, melintasi batas (crossing of boundaries) antara komunitas
dan organisasi tersebut dipandang sebagai inti dari definisi mengenai
karakteristik inisiatif interdisipliner. Mereka membedakan jenis-jenis batasan
yang memisahkan antar institusi, antar departemen pemerintah, antar perusahaan,
departemen dalam perusahaan, antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat,
antara kantor cabang dan kantor pusat, antara unit riset dan pengembangan (R
& D) dan manufaktur. Juga dibedakan adanya batasan-batasan antara bentuk
pengetahuan akademis dan professional –antara hukum, kesehatan, ilmu teknik,
sejarah, biologi, matematika, dan lainnya. Selain itu mereka juga
mempertimbangkan adanya perbedaan dari jenis-jenis organisasi: perusahaan dan
universitas, atau kelompok sukarela (voluntary
groups) dan kelompok professional. Kesemuanya itu dipandang sebagai
jenis-jenis pengetahuan “disipliner.”
[viii] Saya berpandangan bahwa
penggunaan istilah interdisipliner di sini perlu disikapi dengan hati-hati,
mengingat ada beberapa pemaknaan yang
berbeda, antara lain: (a) Penggunaan istilah interdisipliner (interdisciplinary) kerap dipersamakan
dengan istilah atau sifat penelitian yang lain yang sesungguhnya memiliki makna
berbeda, seperti cross-disciplinary, multidisciplinary, atau transdisciplinary; (b) Interdisipliner kerap
dimaknai dalam arti luas yaitu sebagai istilah “payung” untuk beberapa modus
produksi pengetahuan, mulai dari yang bersifat meminjam metode atau teori dari
disiplin lain (cross-disciplinary),
sampai dengan yang bersifat transformatif (transdisciplinary);
(c) Interdisipliner juga dapat dimaknai dalam arti sempit, yaitu upaya
kolaborasi dan integrasi beberapa disiplin ilmu. Jika istilah interdisipliner
terkait teori hukum tersebut digunakan untuk menyebut modus meminjam metode
atau teori dari disiplin lain, Saya cenderung berpendapat bahwa istilah yang
lebih tepat digunakan dalam konteks teori hukum tersebut adalah cross-disciplinary.
[ix] Sebagai catatan, para ahli
menggunakan cara penulisan yang berbeda-beda mengenai jenis atau sifat
penelitian tersebut. Ada yang menuliskannya secara terpisah, dan ada yang
menulis secara bersambung. Untuk keseragaman, Saya menggunakan cara penulisan
sebagai berikut: cross-disciplinary, multidisciplinary, interdisciplinary, dan transdisciplinary.
[x] Raymond C.
Miller dalam “Varieties of Interdisciplinary Approaches in the Social Sciences: A 1981 Overview,” Issues in Integrative Studies, 1982, No.
1, hlm. 6, berpendapat bahwa konsep interdisciplinary
merujuk pada istilah generik yang mencakup seluruh studi lintas konsep dan
mencakup semua kegiatan yang mendekatkan, menerapkan, menggabungkan,
mensintesis, mengintegrasikan atau melampaui batas-batas dari dua atau lebih
disiplin ilmu. Sementara Peter van den Besselaar dan Gaston Heimeriks dalam
“Disciplinary, Multidisciplinary, Interdisciplinary - Concepts and Indicators
–,“ makalah dalam the 8th conference on Scientometrics and Informetrics – ISSI2001,
Sydney. Australia, July 16-20, 2001,
menyebut modus extra-disciplinary
sebagai interdisciplinary, yang
didalamnya termasuk multidisciplinarity,
crossdisciplinarity, pluridisciplinarity, interdisciplinarity, dan transdisciplinarity. Jadi dapat dikatakan
ada pemaknaan interdisciplinary dalam
arti luas dan sempit. Armin Krishnan, “Five Strategies
for Practicing Interdisciplinary”, dalam ESRC
National Centre for Research Methods (NCRM), Working Paper Series 02/09,
March 2009, juga menggunakan istilah interdisipliner sebagai payung bagi
semua bentuk fusi dari beberapa disiplin, baik yang bersifat cross-, multi-, maupun transdisciplinarity.
Sementara menurut Annie Bolitho dan Mark McDonnell
dalam Interdisciplinarity in Research at
The University of Melbourne (University of Melbourne: Melbourne Sustainable
Society Institute, 2010), hlm. 5, mengutip pendapat Davies dan Devlin (2007) yang
menyatakan bahwa istilah interdisciplinary, multidisciplinary,
cross-disciplinary, dan transdisciplinary sering digunakan
secara tidak tepat. Terminologi tersebut sering digunakan tanpa referensi
eksplisit mengenai modus penelitian yang bersangkutan. Pendapat yang lain
justru menyebutkan cross-disciplinarity
sebagai “payung” dari sifat penelitian interdisciplinarity,
multidisciplinarity dan transdisciplinarity (Salter dan Hearn, 1996;
Grigg, Johnston dan Milsom,
2003).
[xi] Kategori lain
misalnya seperti yang dibuat oleh Krishnan (2009:6-9). Dia menambahkan satu
kategori yaitu Superdisciplinary,
atau yang juga disebutnya sebagai megadisciplinarity. Superdisciplinary
tidak hanya mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial menjadi beberapa disiplin ilmu
pengetahuan sosial terpadu, tetapi juga dapat menjembatani kesenjangan
tradisional antara ilmu alam dan sosial. Sebagai contoh, mungkin teori sosial
global, yang dapat menyatukan semua ilmu-ilmu sosial dan perilaku. Superdiscipliner melampaui pendekatan
interdisipliner, karena mereka berniat untuk menggabungkan beberapa disiplin
ilmu. Sebagai perbandingan, supradisciplinarity
(berbagi konsep, teori dan metode) masih menghormati batas-batas disiplin dan
membiarkan disiplin tetap ada. Pada saat yang sama, superdiscipliner akan tetap dalam kerangka disciplinarity, meskipun mereka akan berarti penataan ulang dari
disiplin ilmu utama yang ada. Sedangkan tujuan akhir, atau kecenderungan, bisa
penyatuan akhirnya semua pengetahuan dan semua disiplin ilmu dalam arti “teori
segala” (theory of everything), yang masih diupayakan oleh ilmu fisika. Upaya
menyatukan ilmu-ilmu yang dimaksudkan untuk melawan implikasi negatif dari
fragmentasi pengetahuan dan dianggap suatu bentuk demokratisasi pengetahuan
dengan membuatnya lebih mudah diakses untuk semua orang, termasuk non-ilmuwan.
[xii] Saya menerjemahkan istilah “cross-disciplinary” sebagai “cross-disipliner” karena sulit menemukan
padanan kata yang tepat untuk istilah tersebut. Jika diterjemahkan sebagai
“lintas disipliner” dikhawatirkan akan membingungkan karena istilah tersebut
juga biasa digunakan pada jenis penelitian lainnya yang pada dasarnya digunakan
untuk menjelaskan jenis kajian yang tidak membatasi diri pada satu disiplin
saja.
[xiii] Bernard C.K. Choi dan Anita W.P. Pak, “Multidisciplinarity,
Interdisciplinarity and Transdisciplinarity in Health Research, Services, Education
and Policy: 1. Definitions, Objectives, and Evidence of Effectiveness,” dalam Clin Invest Med, 29 (6), 2006, hlm. 355.
[xiv] Sunita Kapila
dan Robert Moher, Across disciplines: Principles for Interdisciplinary Research (Ontario: International Development Research Center,
1995), hlm. 2.
[xv] Lihat Emily Bruusgaard et.al., “’Are We All on the Same
Page?’: The Challenges and Charms of Collaboration on a Journey Through Interdisciplinarity,”
dalam “Interdisciplinarity:
Methodological Approaches,” Graduate
Journal of Social Science, Vol.
7, Issue 1, June 2010, hlm. 42.
[xvi] Lihat Christian Pohl et.al., “Questions to evaluate inter- and
transdisciplinary research proposals”, dalam Swiss Academies of Arts and Sciencies: td-net for Transdisciplinary
Research, Working Paper, Berne, December 23th 2010, hlm. 4.
[xvii] Lihat National Academy of Sciences, Facilitating Interdisciplinary Research (Washington: National Academies
Press, 2005), hlm. 188.
[xviii] Frank J.
van Rijnsoevera, & Laurens K. Hessels. “Factors Associated
with Disciplinary and Interdisciplinary Research Collaboration.” Research Policy, Vol. 40, 2011, hlm.
464.
[xx] Lihat pada Wolfgang Zierhofer dan Paul Burger,
“Disentangling Transdisciplinarity: An Analysis of Knowledge Integration in Problem-Oriented
Research,” dalam Science Studies,
Vol. 20, No. 1, 2007, hlm. 51.
[xxi] Chaterine Lyall,
et.al., Interdisciplinary Research
Journeys: Practical Strategies for Capturing Creativity (London: Bloomsbury
Publishing, 2011), hlm. 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar