Di salah satu channel televisi kabel, saya pernah melihat satu acara yang buat saya sangat menarik. Judulnya cukup serem, The Seven Deadly Sins. Dalam acara tersebut, digambarkan kisah nyata tentang seorang perempuan yang terlihat terus menerus melakukan kegiatan makan dan minum nyaris tanpa henti. Ukuran badannya yang sudah ekstra jumbo tidak menghalangi nafsu makannya yang jauh dari kewajaran. Uniknya, kebiasaannya tersebut didukung penuh oleh laki-laki pasangannya, yang juga tampak bahagia dengan ukuran badan dan kegiatan makan tanpa henti dari kekasihnya tersebut. Ada pula kisah satu kelompok masyarakat yang sangat gemar berlatih menggunakan senjata api, dan berpendapat bahwa itulah satu-satunya cara untuk menjaga ketertiban bersama, yaitu di mana setiap orang punya kesempatan yang sama untuk membela diri atau melawan kekerasan. Di bagian lain digambarkan bagaimana sekelompok perempuan begitu bahagia bermain dan mengurus boneka yang sangat mirip dengan bayi sungguhan, dan terlihat justru kurang memberi perhatian pada anak kandungnya sendiri. Sementara di bagian lain lagi dikisahkan tentang para laki-laki yang gemar mengenakan semacam topeng dan lapisan kulit sintetis hingga buat mereka tampak seperti wanita cantik. Ada pula kisah tentang seorang pemuda yang gemar menggunakan kursi roda meskipun dia sendiri sesungguhnya sehat secara fisik.
Menonton The Seven Deadly Sins --atau barangkali bisa
diterjemahkan menjadi Tujuh Dosa
Mematikan-- membuat saya lantas teringat The Divine Comedy-nya Dante Alighieri, yaitu Inferno, Purgatorio, dan Paradiso. Salah satu bagian dari karyanya
itu belakangan kembali populer karena menjadi basis dari novel laris karya Dan
Brown berjudul Inferno (Neraka). Dalam
novel itu Brown menyebut istilah SAGLIA,
yang merupakan singkatan dari bahasa Latin terkait tujuh dosa besar, yaitu: Superbia
(Inggris: pride), Avaritia
(greed), Luxuria (lust), Invidia
(envy), Gula (gluttony), Ira
(wrath/anger),
dan Acedia
(sloth).
Kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan urutan yang sama menjadi: Kesombongan/Kebanggaan, Keserakahan, Nafsu, Iri, Kerakusan, Kemarahan, dan Kemalasan.
Kemudian, ternyata
saya cukup beruntung dapat mengakses dan membaca langsung buku seri tentang Seven Deadly Sins yang disponsori oleh The New York Public Library
dan Oxford University Press. Dalam pengantar ke-tujuh buku tersebut, Elda Rotor
selaku editor mengajak pembacanya untuk mengeksplorasi secara historis dan
kontemporer tentang bagaimana Seven
Deadly Sins ini mempengaruhi spiritualitas dan etika dalam kehidupan
sehari-hari.
Menurut Rotor, gagasan tentang The Seven Deadly Sins sesungguhnya bukan berasal dari Alkitab (kitab suci Kristen). Konsep ini muncul pertama kali di abad ke-4 oleh Evagrius of Pontus dan kemudian John of Cassius. Selanjutnya konsep ini diadopsi oleh Kristen pada masa Paus Gregory the Great di abad ke-6. Seven Deadly Sins dianggap sebagai “Tujuh Dosa Pokok” (The Seven Capital Sins) yang menjadi penyebab bagi dosa-dosa dan kebiasaan buruk lainnya. Untuk mengatasi Seven Deadly Sins ini para teolog Kriten kemudian merumuskan “Tujuh Keutamaan Surgawi” (The Seven Heavenly Virtues).
Menurut Rotor, gagasan tentang The Seven Deadly Sins sesungguhnya bukan berasal dari Alkitab (kitab suci Kristen). Konsep ini muncul pertama kali di abad ke-4 oleh Evagrius of Pontus dan kemudian John of Cassius. Selanjutnya konsep ini diadopsi oleh Kristen pada masa Paus Gregory the Great di abad ke-6. Seven Deadly Sins dianggap sebagai “Tujuh Dosa Pokok” (The Seven Capital Sins) yang menjadi penyebab bagi dosa-dosa dan kebiasaan buruk lainnya. Untuk mengatasi Seven Deadly Sins ini para teolog Kriten kemudian merumuskan “Tujuh Keutamaan Surgawi” (The Seven Heavenly Virtues).
Pride
Michael Eric Dyson (2006). Pride: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.
Pride adalah kesombongan, kebanggaan dan keyakinan yang berlebihan akan
kemampuan diri seseorang. Kebanggaan juga dapat berarti kebutuhan untuk
diterima publik dalam semua tindakan, dan kebutuhan untuk menjadi atau dianggap lebih
penting daripada yang lain. Ujung-ujungnya, mereka menjadi memandang diri
terlalu tinggi, sekaligus cenderung meremehkan dan memandang rendah orang lain.
Greed
Phyllis Tickle (2004). Greed: The Seven Deadly Sins. Oxford
University Press.
Greed adalah keserakahan
atau ketamakan, berupa hasrat atau keinginan kuat untuk menguasai dan memiliki kekayaan
materi atau keuntungan, dan mengabaikan ranah spiritual. Untuk memuaskan
hasratnya, orang serakah mungkin akan menimbun barang, mencuri,
merampok, menipu, memanipulasi, dsb. Orang-orang serakah biasanya juga mudah
untuk melakukan suap dan berjudi.
Lust
Simon Blackburn (2003). Lust: The Seven Deadly Sins. Oxford
University Press.
Lust adalah
keinginan berlebihan untuk kesenangan tubuh, terutama berkenaan dengan seks,
baik dalam pikiran maupun tindakan. Hasrat akan hal ini dapat mendorong masturbasi,
perkosaan, kekerasan seksual, dll.
Envy
Joseph Epstein (2003). Envy: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.
Envy adalah rasa iri yang sangat berupa keinginan untuk memiliki
barang orang lain, atau merasakan/mengalami situasi, status, kemampuan yang ada
pada diri orang lain. Akibatnya, dia dapat mencuri, meniru, terlibat voyeurism (mencampuri urusan orang
lain, atau dalam bentuk paling ektrimnya adalah yang dalam istilah kedokteran disebut skopofilia, yaitu salah satu bentuk kelainan jiwa berupa hasrat yang kuat untuk mengintip orang lain demi kepuasan seksual). Kisah tentang orang-orang yang gemar mengenakan topeng dan selubung
tubuh yang mirip perempuan cantik, atau anak muda yang gemar mengenakan kursi
roda meskipun sesungguhnya badanya sehat saja adalah contoh dari sikap iri yang
ekstrim ini.
Gluttony
Francine Prose (2003). Gluttony: The Seven Deadly Sins. Oxford
University Press.
Gluttony adalah kerakusan
berupa keinginan ekstrim untuk mengkonsumsi makanan dan minuman jauh melebihi
dari yang yang dibutuhkan oleh dirinya sendiri, termasuk didalamnya adalah
alkoholisme dan penyalahgunaan narkoba. Makan/minum yang terlalu cepat, terlalu
enak, terlalu mahal, terlalu rakus, terlalu banyak merupakan sifat dari para
pelaku gluttony ini. Kisah dalam
serial tv tentang seseorang yang selalu terus-menerus makan di atas adalah
contoh nyata dari gluttony.
Anger
Robert A. F. Thurman (2004).
Anger: The Seven Deadly Sins. Oxford
University Press.
Anger/Wrath adalah sikap individu yang suka menghina dan/atau marah
(anger) pada orang lain. Wujud ekstrimnya
berupa kebencian, tindakan main hakim sendiri, keinginan membalas dendam,
melakukan kekerasan fisik terhadap diri sendiri dan orang lain, pembunuhan, genosida,
dll.
Sloth
Wendy Wasserstein (2005). Sloth: The Seven Deadly Sins. Oxford
University Press.
Sloth adalah kemalasan atau keengganan berupa
tindakan menghindari pekerjaan fisik atau spiritual. Wujudnya dapat berupa kesedihan
mendalam, depresi, atau ketidakmampuan untuk merasakan sukacita, yang dapat
mendorong pada tindakan bunuh diri, atau sebaliknya melakukan kekerasan pada
orang lain.
-------
Konsep pahala dan dosa --yang mungkin juga
dibagi dalam kategori dosa kecil, sedang maupun besar—barangkali selalu ada di semua
agama. Jika The Seven Deadly Sins secara historis lekat dengan ajaran Kristen, uniknya
dalam agama Islam misalnya, juga dikenal adanya “Tujuh Dosa yang Dapat
Membinasakan” –dalam rumusan yang berbeda-- yang diambil dari hadis
(ucapan/tindakan) Nabi Muhammad, yaitu: (1) Sryrik
atau mensekutukan Allah; (2) Melakukan sihir; (3) Membunuh jiwa yang diharamkan
Allah kecuali yang hak; (4) Memakan harta riba; (5) Memakan harta anak yatim; (6)
Melarikan diri dari perang; (7) Menuduh wanita baik-baik (berkeluarga) dengan
tuduhan zina.
Kembali ke The Seven Deadly Sins, barangkali menarik
jika menggunakan perspektif tersebut dalam melihat masalah-masalah besar yang
tengah diidap bangsa Indonesia saat ini. Ada banyak politisi, pejabat
pemerintah, pakar, dan pengamat yang tampaknya merasa paling hebat dan paling benar
sendiri. Korupsi yang massif dan sistemik dan melibatkan trilyunan uang rakyat hilang, serta eksploitasi dan pengrusakan sumberdaya
alam tanpa kendali. Penyebaran dan penyalahggunaan narkoba yang begitu luar
biasa. Belum lagi maraknya kejahatan, perampokan, penipuan, pembegalan. Begitu
pula dengan semakin banyaknya pelecehan/kejahatan seksual dan prostitusi –baik offline maupun online--. Berniat menambahkan? Bagaimana dengan kecenderungan narsistik dari kegemaran selfie di media sosial yang belakangan ini sedang hit banget?
Tentu saja saya juga berniat menggunakan perspektif ini untuk memikirkan dosa-dosa saya sendiri. Tapi maaf saja, itu cuma untuk konsumsi pribadi saya sendiri saja ya, he..he...
-------
Sumber:
Michael Eric Dyson (2006). Pride: The Seven Deadly Sins. Oxford
University Press.
Phyllis Tickle (2004). Greed: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.
Simon Blackburn (2003). Lust: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.
Joseph Epstein (2003). Envy: The Seven Deadly Sins. Oxford
University Press.
Francine Prose (2003). Gluttony: The Seven Deadly Sins. Oxford University Press.
Robert A. F. Thurman (2004). Anger: The Seven Deadly Sins. Oxford
University Press.
Wendy Wasserstein (2005). Sloth: The Seven Deadly Sins. Oxford
University Press.
John
Moorhead (2005). Gregory the Great. Routledge.
Richard Newhauser (2007). The Seven Deadly Sins: From Communities to
Individuals. BRILL.
http://www.deadlysins.com/
1 komentar:
Mas,saya sangat tertarik dengan ulasan mendalam dari 7 buku diatas..boleh saya dishare link tentang ulasan tersebut yang bahasa indonesia?Terima kasih banyak.
Posting Komentar